Cerpen
S E P U H
Oleh : Nurdin Kurniawan
Langit
jingga dengan awan bagaikan kumpulan domba terlihat indah dibalik Gunung
Ciremai. Ketukan tongkat dengan langkah kaki yang terbata-bata terdengar iba.
Menjelang kemunculan rembulan terdengar
orang yang meminta dibukakan gerbang. Markum yang sedang asik mengetik di
laptop menengok kearah datangnya suara. Dilihat sosok tua yang sudah tak asing
lagi. Wajah tua yang mengharap secepatnya sang tuan rumah membukakan pintu
gerbang.
“Lama
sekali...”
Dengan langkah yang tertatih-tatih
terasa berat menopang tubuh yang tak seperti dulu lagi. Tongkat ular naga yang
membuat Mbah Dirja masih terlihat tangguh.
“Kebiasaan....”
“Mana
minumnya?”
“Kalau mbah
habis olahraga sediakan teh manis”
Mendengar ada suara tamu didepan Rokamah menghampiri sang suami. Terlihat mbah
Dirja sudah duduk di sofa. Rokamah mengerti lalu membuatkan air teh manis.
“Berapa
putaran mbah?”
“Sudah
8 putaran mbah hari ini”
Rokamah hanya mesem mendengarkan penuturan
mbah Dirja. Rokamah tahu kalau ingatan mbah Dirja sudah tak sehebat dahulu
lagi. Kemarin saja waktu bertamu masih dalam hitungan menit ia minta makan.
Padahal sebelumnya sudah diberi nasi
bungkus. Kali ini olahraga jalan kaki mengelilingi
perumahan yang culup luas katanya sudah selesai 8 putaran. Sang sami saja
paling kuat hanya 4 atau 5 putaran lalu minta pulang.
Sosok
mbah Dirja bagi keluarga Markum sudah bukan orang lain lagi. Mbah Dirja
seangkatan dengan ayahnya Markum sewaktu beliau masih hidup. Menghargai
pertemanan antara orangtuanya dengan mbah Dirja maka mbah Dirja diperlakulan
istimewa. Tak seperti tamu yang lainnya si mbah kadang sudah seperti orangtua
sendiri. Setiap usai olahraga mengelilingi komplek perumahan pulangnya pasti ke
rumah Markum. Antara rumah Markum dengan rumah mbah Dirja terhalang beberapa
blok saja tapi masih dalam satu komplek.
Ngobrol
kesana kemari walau sering diantaranya diulang-ulang. Maklumlah kalau orang
sudah sepuh pembicaraan yang sudah pernah diceritakan sehari atau dua hari sebelumnya
diulang dan diulang lagi. Kadang bagi Markum terasa tak berkembang kalau
ngobrol dengan mbah Dirja. Namun karena menghargai kalau beliau adalah sepuh yang
seangkatan dengan bapaknya maka obrolan dengan mbah selalu dilayani.
Ingatan
mbah Dirja terasa mulai berkurang semenjak beliau terpeleset di kamar mandi.
Mungkin terkena benturan dengan lantai yang membuat si mbah kini suka
bertanya kalau sedang ngobrol.
“Ini
dengan siapa ya...?”
Padahal ngobrol sudah lama. Markum yang
menyadari kalau mbah adalah gurunya ketika masih di Sekolah Dasar dahulu masih
bisa sabar. Markum masih ingat si mbah adalah walikelas ketika masih di kelas 5
SD.
“Markum
...mbah”
“Eh....mbah
lupa”
Markum mesem melihat si mbah mulai
teringat dirinya.
“Kemana
saja mbah beberapa hari tidak kelihatan?”
Si mbah tak menjawab apa yang ditanyakan
Markum. Ia asik melihat kedepan jalan yang sibuk dengan mobil yang datang silih
berganti.
“Mbah...”
“Ya...tanya
apa tadi?”
“Beberapa
hari ini mbah tak terlihat suka olahraga lagi?”
Si mbah malah menatap wajah Markum
seolah sedang mengingat sesuatu. Tertunduk tak lantas menjawab apa yang
ditanyakan Markum. Pikirannya malah melanggangbuana mengingat masa-masa muda
dahulu.
“Kamu
inikan anaknya si Herlambang bukan?”
“Mbah....masih
ingat kalau saya anaknya Herlambang?”, tanyaku
“Iya...kadang
si mbah suka ingat...”
Dulu ketika masih sama-sama muda mbah
Dirja pernah sekantor dengan bapak sama-sama sebagai guru. Itu puluhan tahun lalu ketika bapak masih ada. Bapak
meninggal 10 tahun yang lalu setelah 4 tahun pensiun dari guru. Teman seangkatan
bapak rata-rata sudah meninggal, hanya mbah Dirja yang usianya awet. Sesekali
mbah Dirja memijat-mijat kepalanya.
“Masih
terasa sikit mbah?”
Si mbah hanya menggukkan kepala.
Terlihat beban yang berat yang masih
dirasakan. Di rumah hanya sendirian sementara sang istri sudah meninggal 3
tahun yang lalu. Anak satu-satunya tinggal di luar kota.
Markum
kadang menyengajakan diri melihat kondisi si mbah kalau sehari tak nongol. Maklumlah
ia seperti orangtua sendiri. Khawatir seperti di berita beberapa mingggu yang
lalu di tv ada berita yang sangat memilukan. Ada orangtua yang sudah manula hidup
hanya berdua pasangan suami-istri. Lima anaknya hidup di luar kota semua sukses
mempunyai rumah masing-masing. Manula yang lelaki sakit hanya istrinya yang
membantu. Rupaya tak lama kemudian sang istri juga sakit. Tetangga tak ada yang
tahu kalau kedua orangtua yang hidupnya dibalik rumah gedong dengan tembok
tinggi itu sedang sakit. Sampai diketahui keduanya sudah menjadi tengkoraknya
saja. Rupanya manula itu meningggal diperkirakan antara 2 minggu dan tiga
minggu yang lalu. Dari berita ini Markum selalu lewat depan rumah mbah Dirja
memastikan kalau beliau sehat-sehat saja.
“Mbah
sudah makan siang?”
Dilihat memang ada piring bekas makan
namun apakah piring itu bekas makan siang atau makan pagi belum tahu. Untuk
urusan makan memang anaknya sudah menghubungi warung nasi yang ada dipinggir
rumah. Utuk urusan makan si mbah memang tidak perlu repot. Anaknya tinggal
bayar pada tetangga yang juga kebetulan buka warung nasi.
Kadang
suka terpikirkan kalau punya orangtua yang jauh dari anak-anaknya. Seperti mbah
Dirja yang hidupnya sebatang kara walau punya anak dan cucu. Jarak dan kesibukan
kadang suka membuat jarak makin terasa jauh. Walau sekarang ada HP namun tetap
saja intensitas untuk bertatap muka kadang diperlukan.
***
Terdengar
dari kejauhan suara terompet bangun pagi. Markum hanya mesem kalau sudah
mendengar suara terompet bangun pagi di gedung sebelah tempatnya sedang
mengikuti penataran. Kebetulam tempat penataran di kota Batu- Malang berdekatan
dengan asrama Arhanudse TNI AU. Setiap
jam 5 pagi tentara sudah apel pagi yang dilanjutkan dengan kegiatan olah raga.
Begitu dan begitu yang dilakukan setiap harinya di asrama sebelah. Suasana
seperti berada di kamp tentara walau tepatnya hanya bertetangga saja.
Suara
hp bergetar beberapa kali. Markum tak langsung mengangkatnya karena sedang pos
test. Karena terus bergetar akhirnya Markum buka juga. Terlihat nama teman
kecilnya yang juga anak mbah Dirja. Markum keluar ruangan sebentar untuk
mengangkat telpon.
“Maaf
Kum...”
“Bagaimana
khabar bapak saya...?”
Markum lupa kalau dirinya sedang
mengikuti penataran dan tak memberitahukan
Wahyudi anak mbah Dirja.
“Maaf
Di...saya sedang penataran di Kota Batu”
“Memang
ada apa?”
Wahyudi lalu menjelaskan ia sudah
menghubungi bapaknya namun tak diangkat-angkat.
“Kalau
begitu nanti saya hubungi istri saya”
“Oh...tidak
usah biar saya minta nomer istri kamu saja”
“Biar
saya yang nelpon biar kamu tidak terganggu...”
Syukurlah kalau Wahyudi yang nanti menelpon sang istri. Ujian sedang
dilaksanakan Markum tak ingin jika pos testnya mendapatkan nilai rendah.
Di
kamar tempatnya diklat Markum hanya berdiam diri. Masih terbayangkan betapa
baiknya mbah Dirja pada dirinya dan anak-anak. Sang istri tadi memberitahu
kalau mbah Dirja sudah meninggal dunia. Menurut dokter yang menangani katanya
si mbah meninggal 2 hari yang lalu. Markum sedih betapa orang yang ia cintai
meningggal tanpa ada yang mengatahui. Sudah dapat dibayangkan orang seperti
Wahyudi yang jauh diluar kota mendengar
kalau orangtuanya meninggal tidak ada yang mengetahui. Orang yang sudah sepuh
memang harus ada yang menjaga. Sesibuk
apapun yang menjadi anaknya jangan sampai meninggalkan orang yang sudah sepuh
seorang diri.
Keberhasilan
anak-anak bukan karena ia menjadi ini dan itu. Punya barang mewah ini dan punya
barang mewah itu. Apalah artinya dengan jabatan atau pangkat yang tinggi dengan
rumah yang terbilang mewah sekalipun kalau orangtuanya sendiri tinggal
sendirian tak ada yang menemani. Lebih sedih lagi manakala mereka meninggal
dunia tetanggapun tak tahu kapan meninggalnya. Ketika masih anak-anak mereka
merawat kita dengan tulus. Tinggal
ketika mereka sudah sepuh malah kita sibuk dengan urusannya masing-masing. Orangtua
masih sanggup merawat 10 anaknya dengan
baik, namun sayang 10 anak belum tentu mampu merawat satu orangtuanya yang
masih hidup. Sebuah renungan!
Cirebon,
25 Desember 2019