Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Selasa, 28 Januari 2020

Sepuh (Cerpen)


Cerpen

S   E   P   U   H
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Langit jingga dengan awan bagaikan kumpulan domba terlihat indah dibalik Gunung Ciremai. Ketukan tongkat dengan langkah kaki yang terbata-bata terdengar iba. Menjelang kemunculan rembulan  terdengar orang yang meminta dibukakan gerbang. Markum yang sedang asik mengetik di laptop menengok kearah datangnya suara. Dilihat sosok tua yang sudah tak asing lagi. Wajah tua yang mengharap secepatnya sang tuan rumah membukakan pintu gerbang.
            “Lama sekali...”
Dengan langkah yang tertatih-tatih terasa berat menopang tubuh yang tak seperti dulu lagi. Tongkat ular naga yang membuat Mbah Dirja masih terlihat tangguh.
            “Kebiasaan....”
            “Mana minumnya?”
“Kalau mbah habis olahraga sediakan teh manis”
Mendengar ada suara tamu didepan  Rokamah menghampiri sang suami. Terlihat mbah Dirja sudah duduk di sofa. Rokamah mengerti lalu membuatkan air teh manis.
            “Berapa putaran mbah?”
            “Sudah 8 putaran mbah hari ini”
Rokamah hanya mesem mendengarkan penuturan mbah Dirja. Rokamah tahu kalau ingatan mbah Dirja sudah tak sehebat dahulu lagi. Kemarin saja waktu bertamu masih dalam hitungan menit ia minta makan. Padahal sebelumnya sudah diberi  nasi bungkus. Kali ini  olahraga jalan kaki mengelilingi perumahan yang culup luas katanya sudah selesai 8 putaran. Sang sami saja paling kuat hanya 4 atau 5 putaran lalu minta pulang.
            Sosok mbah Dirja bagi keluarga Markum sudah bukan orang lain lagi. Mbah Dirja seangkatan dengan ayahnya Markum sewaktu beliau masih hidup. Menghargai pertemanan antara orangtuanya dengan mbah Dirja maka mbah Dirja diperlakulan istimewa. Tak seperti tamu yang lainnya si mbah kadang sudah seperti orangtua sendiri. Setiap usai olahraga mengelilingi komplek perumahan pulangnya pasti ke rumah Markum. Antara rumah Markum dengan rumah mbah Dirja terhalang beberapa blok saja tapi masih dalam satu komplek.
            Ngobrol kesana kemari walau sering diantaranya diulang-ulang. Maklumlah kalau orang sudah sepuh pembicaraan yang sudah pernah diceritakan sehari atau dua hari sebelumnya diulang dan diulang lagi. Kadang bagi Markum terasa tak berkembang kalau ngobrol dengan mbah Dirja. Namun karena menghargai kalau beliau adalah sepuh yang seangkatan dengan bapaknya maka obrolan dengan mbah selalu dilayani.
            Ingatan mbah Dirja terasa mulai berkurang semenjak beliau terpeleset di kamar mandi. Mungkin terkena benturan dengan lantai yang membuat si mbah kini suka bertanya  kalau sedang ngobrol.
            “Ini dengan siapa ya...?”
Padahal ngobrol sudah lama. Markum yang menyadari kalau mbah adalah gurunya ketika masih di Sekolah Dasar dahulu masih bisa sabar. Markum masih ingat si mbah adalah walikelas ketika masih di kelas 5 SD.
            “Markum ...mbah”
            “Eh....mbah lupa”
Markum mesem melihat si mbah mulai teringat dirinya.
            “Kemana saja mbah beberapa hari tidak kelihatan?”
Si mbah tak menjawab apa yang ditanyakan Markum. Ia asik melihat kedepan jalan yang sibuk dengan mobil yang datang silih berganti.
            “Mbah...”
            “Ya...tanya apa tadi?”
            “Beberapa hari ini mbah tak terlihat suka olahraga lagi?”
Si mbah malah menatap wajah Markum seolah sedang mengingat sesuatu. Tertunduk tak lantas menjawab apa yang ditanyakan Markum. Pikirannya malah melanggangbuana mengingat masa-masa muda dahulu.
            “Kamu inikan anaknya si Herlambang bukan?”
            “Mbah....masih ingat kalau saya anaknya Herlambang?”, tanyaku
            “Iya...kadang si mbah suka ingat...”
Dulu ketika masih sama-sama muda mbah Dirja pernah sekantor dengan bapak sama-sama sebagai guru. Itu puluhan  tahun lalu ketika bapak masih ada. Bapak meninggal 10 tahun yang lalu setelah 4 tahun pensiun dari guru. Teman seangkatan bapak rata-rata sudah meninggal, hanya mbah Dirja yang usianya awet. Sesekali mbah Dirja memijat-mijat kepalanya.
            “Masih terasa sikit mbah?”
Si mbah hanya menggukkan kepala. Terlihat beban yang berat  yang masih dirasakan. Di rumah hanya sendirian sementara sang istri sudah meninggal 3 tahun yang lalu. Anak satu-satunya tinggal di luar kota.
            Markum kadang menyengajakan diri melihat kondisi si mbah kalau sehari tak nongol. Maklumlah ia seperti orangtua sendiri. Khawatir seperti di berita beberapa mingggu yang lalu di tv ada berita yang sangat memilukan. Ada orangtua yang sudah manula hidup hanya berdua pasangan suami-istri. Lima anaknya hidup di luar kota semua sukses mempunyai rumah masing-masing. Manula yang lelaki sakit hanya istrinya yang membantu. Rupaya tak lama kemudian sang istri juga sakit. Tetangga tak ada yang tahu kalau kedua orangtua yang hidupnya dibalik rumah gedong dengan tembok tinggi itu sedang sakit. Sampai diketahui keduanya sudah menjadi tengkoraknya saja. Rupanya manula itu meningggal diperkirakan antara 2 minggu dan tiga minggu yang lalu. Dari berita ini Markum selalu lewat depan rumah mbah Dirja memastikan kalau beliau sehat-sehat saja.
            “Mbah sudah makan siang?”
Dilihat memang ada piring bekas makan namun apakah piring itu bekas makan siang atau makan pagi belum tahu. Untuk urusan makan memang anaknya sudah menghubungi warung nasi yang ada dipinggir rumah. Utuk urusan makan si mbah memang tidak perlu repot. Anaknya tinggal bayar pada tetangga yang juga kebetulan buka warung nasi.
            Kadang suka terpikirkan kalau punya orangtua yang jauh dari anak-anaknya. Seperti mbah Dirja yang hidupnya sebatang kara walau punya anak dan cucu. Jarak dan kesibukan kadang suka membuat jarak makin terasa jauh. Walau sekarang ada HP namun tetap saja intensitas untuk bertatap muka kadang diperlukan.
                                                                        ***
            Terdengar dari kejauhan suara terompet bangun pagi. Markum hanya mesem kalau sudah mendengar suara terompet bangun pagi di gedung sebelah tempatnya sedang mengikuti penataran. Kebetulam tempat penataran di kota Batu- Malang berdekatan dengan asrama  Arhanudse TNI AU. Setiap jam 5 pagi tentara sudah apel pagi yang dilanjutkan dengan kegiatan olah raga. Begitu dan begitu yang dilakukan setiap harinya di asrama sebelah. Suasana seperti berada di kamp tentara walau tepatnya hanya bertetangga saja.
            Suara hp bergetar beberapa kali. Markum tak langsung mengangkatnya karena sedang pos test. Karena terus bergetar akhirnya Markum buka juga. Terlihat nama teman kecilnya yang juga anak mbah Dirja. Markum keluar ruangan sebentar untuk mengangkat telpon.
            “Maaf Kum...”
            “Bagaimana khabar bapak saya...?”
Markum lupa kalau dirinya sedang mengikuti penataran dan tak  memberitahukan Wahyudi anak mbah Dirja.
            “Maaf Di...saya sedang penataran di Kota Batu”
            “Memang ada apa?”
Wahyudi lalu menjelaskan ia sudah menghubungi bapaknya namun tak diangkat-angkat.
            “Kalau begitu nanti saya  hubungi istri saya”
            “Oh...tidak usah biar saya minta nomer istri kamu saja”
            “Biar saya yang nelpon biar kamu tidak terganggu...”
Syukurlah kalau Wahyudi  yang nanti menelpon sang istri. Ujian sedang dilaksanakan Markum tak ingin jika pos testnya mendapatkan nilai rendah.
            Di kamar tempatnya diklat Markum hanya berdiam diri. Masih terbayangkan betapa baiknya mbah Dirja pada dirinya dan anak-anak. Sang istri tadi memberitahu kalau mbah Dirja sudah meninggal dunia. Menurut dokter yang menangani katanya si mbah meninggal 2 hari yang lalu. Markum sedih betapa orang yang ia cintai meningggal tanpa ada yang mengatahui. Sudah dapat dibayangkan orang seperti Wahyudi yang  jauh diluar kota mendengar kalau orangtuanya meninggal tidak ada yang mengetahui. Orang yang sudah sepuh memang harus ada yang menjaga.  Sesibuk apapun yang menjadi anaknya jangan sampai meninggalkan orang yang sudah sepuh seorang diri.
            Keberhasilan anak-anak bukan karena ia menjadi ini dan itu. Punya barang mewah ini dan punya barang mewah itu. Apalah artinya dengan jabatan atau pangkat yang tinggi dengan rumah yang terbilang mewah sekalipun kalau orangtuanya sendiri tinggal sendirian tak ada yang menemani. Lebih sedih lagi manakala mereka meninggal dunia tetanggapun tak tahu kapan meninggalnya. Ketika masih anak-anak mereka merawat kita  dengan tulus. Tinggal ketika mereka sudah sepuh malah kita sibuk dengan urusannya masing-masing. Orangtua masih sanggup merawat  10 anaknya dengan baik, namun sayang 10 anak belum tentu mampu merawat satu orangtuanya yang masih hidup. Sebuah renungan!

                                                                                                                 
Cirebon, 25 Desember 2019


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar