Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Minggu, 14 Juli 2019

MEMAHAMI SISTEM ZONASI (Artikel)


Artikel

MEMAHAMI SISTEM ZONASI
Oleh : Nurdin Kurniawan, S.Pd.

Belum lama sistem zonasi diterapkan dalam  Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) namun sudah menuai protes dari masyarakat.  Pemerintah mulai menetapkan Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru berdasarkan zonasi sejak Tahun 2018. Aturan baru PPDB 2019 juga  dituang dalam Peraturan Mendikbud  No. 51 Tahun 2018 tentang PPDB.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan sistem zonasi itu salah satu tujuannya adalah guna memberikan akses dan keadilan terhadap pendidikan bagi semua kalangan masyarakat.
Kewajiban pemerintah dan sekolah adalah memastikan semua anak mendapat pendidikan dengan memperhatikan anak harus masuk ke sekolah terdekat dari rumahnya. Namun demikian karena sistem ini baru berjalan 2 tahun sekarang masih banyak yang mempertanyakan terutama orangtua yang anaknya tahun ini  melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sistem zonasi itu sendiri memiliki 3 jalur, yakni jalur zonasi (minimal 90%, termasuk siswa tidak mampu dan disabilitas), jalur prestasi (maksimal 5%), dan jalur perpindahan orang tua (maksimal 5%).
Masih menurut Mendikbud sistem zonasi ini tidak hanya berlaku dalam PPDB. Nantinya sistem ini juga akan dipakai untuk redistribusi tenaga pendidik. Hal ini diharapkan untuk mempercepat pemerataan kualitas pendidikan. Pemerataan guru diprioritaskan di dalam setiap zona itu. Apabila ternyata masih ada kekurangan, guru akan dirotasi antarzona. Rotasi guru antarkabupaten/kota baru dilakukan jika penyebaran guru benar-benar tidak imbang dan tidak ada guru dari dalam kabupaten itu yang tersedia untuk dirotasi.
Kelangkaan guru masih menjadi kendala tersendiri. Moraturium pemerimaan PNS hampir 4 tahun. Itu artinya jumlah guru banyak mengalami kekurangan. Belum lagi guru-guru SD inpres yang sudah beberapa periode memasuki masa pensiun ditambah  lagi guru-guru yang meninggal dunia. Bila datang ke sekolah-sekolah jumlah guru PNS dengan guru honorer hampir seimbang bahkan di sekolah-sekolah  tertentu malah lebih banyak honorernya daripada guru yang PNS.  
Plus Minus
Sebagai suatu sistem yang baru berjalan tentu saja banyak menimbulkan kontroversi di masyarakat. Ada yang setuju dan adapula yang kurang setuju. Mendikbud sendiri beranggapan sistem zonasi diterapkan karena pada dasarnya anak bangsa memiliki hak yang sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi, hak eksklusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah.
Sekolah negeri itu memproduksi layanan publik. Cirinya harus non excludable, non rivarly, dan non discrimination. Dengan begitu, keluarga yang kurang mampu dapat menyekolahkan anaknya di sekitar rumah, sehingga tidak perlu lagi memikirkan biaya transportasi. Sistem zonasi dalam PPDB bertujuan untuk mempercepat pemerataan layanan dan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia dan mendekatkan anak dengan lingkungan sekolahnya.
Mereka yang kurang setuju beranggapan anak tidak diberi kesempatan untuk memilih sekolah yang disukainya (favorit). Kemampuan si anak dengan nilai yang tinggi seolah tidak dihargai. Dengan prestasi yang bagus hanya mendapat sekolah yang biasa-biasa saja. Rasa bangga dengan prestasi yang diraih hanya direward dengan sekolah yang biasa-basa saja.
Penulis banyak sekali menerima meme dari beberapa group di WA. Terkadang kalau dibaca membuat geli atau setidaknya bisa tertawa. Memang seperti itulah realita yang ada dimasyarakat. Setiap  ada aturan baru pasti saja menimbulkan pro dam kontra. Hal biasa sebenarnya , hanya perlu waktu untuk bisa menerimanya. Kalau kurang sosialisasinya bahkan menimbulkan ketidaktahuan masyarakat. Seperti halnya tahun kemarin banyak orangtua siswa kelas 6 yang marah-marah ke walikelas 6 hanya karena anaknya tidak diterima di SMP pilihan padahal kalau dilihat dari jumlah SKHUN nilainya terbilang  tinggi. Orangtua masih beranggapan SKHUN-lah yang menjadi penentu diterima atau tidaknya anak di sekolah yang dituju. Ternyata aturannya berubah, jaraklah yang lebih menentukan. Sosialisasi Tahun 2018 tidak gencar sehingga banyak orangtua siswa yang tidak tahu aturan baru ini. Berharap di tahun 2019 ini sosisalisasi tentang sistem zonasi jauh lebih bagus sehinggga orangtua siswa menyadari kalau sistem zonasi sudah diterapkan dalam PPDB.
Berikut beberapa meme tentang PPDB yang masuk melalui WA penulis.
“Guru  : Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina!!!” 
“Murid: gak bisa, kan ada sistem zonasi!!!”
Ada lagi...
Setelah memberlakukan sistem zonasi di sekolah maka pemerintah akan memberlakukan sistem zonasi di KUA.... Jadi orang Padalarang tidak bisa menikah dengan orang Antapani atau orang Andir tidak bisa menikah dengan orang Sukajadi karena tidak masuk zonasi KUA....
            Bahkan ada meme yang berupa gambar dimana orang ramai-ramai menggotong rumahnya pindah agar bisa dekat dengan sekolah. Begitulah reaksi masyarakat dibawah apabila ada suatu kebijakan yang dipandang kurang sesuai dengan pikiran mereka. Tidak bisa protes langsung pada pemerintah kini banyak media sosial yang bisa dijadikan ajang untuk mengeluarkan keluhkesah. Sah-sah saja dialam demokrasi asal jangan diajadikan ajang pembenaran. Ada UU ITE yang bisa menjerat siapa saja yang keliru atau salah dalam memanfaatkan media sosial.
            Sistem zonasi ini masih baru, Mendikbud sendiri mengakui pada pelaksanaan PPDB tahun lalu, sistem zonasi masih kurang baik, sehingga masih perlu evaluasi dan perbaikan. Sekarang juga masih menuai protes. Sambil menunggu perbaikan-perbaikan berikutnya kita doakan agar hasilnya yang terbaik sehingga setiap  masyarakat bisa menerimanya dengan lapang dada. Tak ada pihak yang dirugikan dengan sistem PPDB di Tahun 2019.

                                                                                                              *) Praktisi Pendidikan
                                                                                                                  Domisili di Gebang











NGENDOG (Cerpen)


Cerpen

NGENDOG
Oleh : Mang Iwan

            Riuh suara anak-anak dalam kelas yang tak ada gurunya memang hal yang disenangi oleh anak-anak jaman now. Justru kalau ada guru yang tidak hadir di kelas malah membuat anak-anak merasa senang. Entah gejala apa dengan pendidikan anak-anak sekarang. Tak seperti jaman old dimana kalau ada guru yang tidak masuk kelas seperti kehilangan sekali.
            Guru piket kontrol ke setiap kelas. Seperti biasa mengabsen anak-anak yang hari ini tidak masuk kelas. Tercatat ada beberapa anak yang tidak masuk sekolah.  Diabsen satu per satu sampai pada suatu nama anak yang bernama Farhan.
            “Kemana Farhan?”
            “Tadi berangkat ...”
“Saya lihat Farhan di jalan bu”
            “Kok sekarang tidak ada?”
            “Tidak tahu bu...”
Guru piket melanjutkan ke kalas berikutnya untuk mendata nama-nama anak yang hari ini tidak masuk sekolah.
            Mendapat laporan dari guru piket kalau anak yang bernama Farhan absennya sudah banyak membuat  Pak Nanang   merencanakan kunjungan ke rumah si anak. Kalau dalam bahasa kerennya disebut home visit. Nanang tahu kalau anak ini menurut beberapa laporan anak yang lain kalau dari rumah berangkat namun entah kemana kalau dicek dikelas anak ini suka tidak ada.
            Saat tak ada jam mengajar Pak Nanang sengaja menyempatkan diri untuk melakukan home visit. Masuk ke kelas dimana Farhan  belajar.
            “Hari ini Farhan masuk kelas tidak?”
Dilihat sekeliling kelas untuk mencari anak yang bernama Farhan.
            “Tidak masuk pa...”
            “Ada yang lihat tidak kalau Farhan berangkat dari rumah?”
Anak-anak diam, rupaya memang hari ini tidak menjumpai farhan.
            “Yang rumahnya dekat dengan rumah Farhan siapa?”
Beberapa anak ditanya dari desa mana dan dari daerah mana. Setelah  itu barulah diketahui ada beberapa anak yang memang bertetangga dengan Farhan.
            “Kalau begitu Dedi ikut bapak ke rumahnya Farhan”
Dedi tampak gembira bisa ikut dengan wali kelas untuk mengunjungi rumah Farhan. Disaat anak-anak yang lain tak bisa keluar meninggalkan kelas Dedi bisa ikut pak guru bisa mengunjungi rumah Farhan.
            “Kamu duluan tunggu di halaman parkir”
            “Bapak menyusul kemudian”
Si anak mengiyakan apa yang diperintahkan sang guru.
            Mempersiapkan beberapa surat yang kiranya perlu disampaikan pada kedua orangtua Farhan. Setidaknya  Pak Nanang sudah punya bukti kalau selama ini Farhan sudah beberapa kali tidak masuk sekolah. Hal ini penting disampaikan pada orangtua agar bisa memperhatikan sang anak lebih serius lagi.
            Menyusuri jalanan kampung untuk bisa sampai di rumah Farhan.
            “Belok kanan pak...”
            “Itu rumah yang bercat  putih pak”
Pak Nanang membelokkan motornya menuju rumah bercat putih yang ditunjukkan oleh Dedi.
            Halaman rumah yang  masih luas. Ada  tanaman serikaya, pepaya dan pohon mangga yang belum berbuah. Rumah yang belum sepenuhnya selesai. Rupanya baru dibangun namun belum rampung semua. Terlihat ada beberapa sisa bahan bangunan yang belum sepenuhnya digunakan menumpuk dihalaman rumah. Berucap salam lalu munculah dari dalam rumah seorang pemuda yang diperkirakan adalah kakaknya Farhan.
            “Farhannya ada...”
            “Saya wali kelasnya Farhan”
Anak ini terlihat kaku mendengar yang datang adalah wali kelas Farhan.
            “Anaknya sedang keluar pak...”
            “Keluar kemana?”
            “Coba cari bapak ingin ngobrol dengan Farhan”
Sang kakak ini lalu mencari keberadaan sang adik. Di rumah tak ada siapa-siapa lagi kecuali sang kakak tadi. Ibu Farhan sedang bekerja di perusahaan bawang sementara sang bapak bekerja di Jakarta.
            Setelah cukup lama sang kakak datang lagi.
            “Ada anaknya?”
            “Tidak ada pak...”
            “Entah kemana...!”
Pak Nanang akhirnya hanya bisa titip pesan pada sang kaka agar kalau si Farhan datang tolong beritahukan kalau walikelasnya datang ke rumah. Titip pesan pula buat orangtuanya agar lebih ketat lagi dalam mengawasi sang anak. Sang kakak yang bernama Gino ini mengiyakan apa yang dititipkan Pak Nanang.
            “Ayo ke sekolah lagi”
            “Farhannya juga tidak di rumah”
Kali ini memang Farhan tidak ke sekolah hal itu diakui oleh sang kakak. Sepertinya anak ini main dengan temannya yang lain  sekolah.
                                                                        ***
            Udara terasa dingin namun yang dirasakan terasa gersang. Ada angin namun tidak membawa uap air membuat hidung teraga gatal. Disamping itu kulit terasa busik yang membuat badan terasa kurang nyaman untuk berlama-lama berada di alam terbuka. Cirebon memang sedang berhembus angin kumbang. Karakteristik angin kumbang adalah angin yang tidak membawa uap air. Perasaan badan terasa kering disamping itu mudah sekali  membawa penyakit flu.
            Pak Nanang mencoba menghitung absensi siswanya yang bernama  Farhan. Cukup banyak juga untuk ukuran anak-anak yang rajin ke sekolah. Ini tanda-tanda yang tidak beres kalau dibiarkan begitu saja apalagi berlarut-larut. Mencoba menghitung belum selesai kali ini Nanang mendapat laporan kalau Farhan yang selama ini menjadi perbincangan kabur dengan cara memanjat dinding sekolah.
            “Saya kejar-kejaran  namun lebih gesit sang anak”, ujar Pak Hamdan yang guru matematika.
            “Banyak yang bolos Pak Nanang , namun yang saya hapal betul diantaranya ada Farhan”
Pak Nanang hanya menghela nafas dalam-dalam. Ada saja kelakuan sang anak. Pakai loncat tembok segala  bila ingin bolos dari sekolah. Memang pagar sekeliling sekolah tidak semuanya terbuat dari tembok. Ada beberapa bagian tembok yang sudah runtuh. Bagian yang runtuh ini lalu ditambal dengan pagar bambu. Namanya pagar dari bambu mudah sekali oleh anak untuk menyelinap kabur.
            Seolah ada satu pekerjaan rumah menangani anak yang bernama Farhan. Keluhan ternyata tidak datang dari kesiswaan saja namun dari beberapa guru juga ada yang masuk. Memang anak ini perlu penanganan walau dari tingkahnya kalau sudah ada di kelas terbilang pendiam.
            Dilihat biasa-biasa saja dari sosok anak yang bernama Farhan. Kalau dikelas tidak super aktif seperti anak yang terbilang nakal dikelasnya. Tapi kalau dalam hal bolos anak ini cukup lihai juga. Dikejar beberapa guru namun tidak membuahkan hasil. Maklumlah tenaga anak jauh lebih          gesit dalam hal urusan lari. Guru-guru yang sudah sepuh bagaimana mau mengejar anak seusia anak SMP yang sedang lincah-lincahnya berlari.
            Didalam kelas tak banyak membuat ulah namun anehnya kalau sudah diluar kelas anak ini selalu saja ingin keluar dari lingkungan sekolah. Ketika Penilaian Akhir semester (PAS) anak-anak yang lain istirahat didalam lingkungan sekolah yang namanya Farhan  membuat masalah lagi. Anak ini loncat pagar sekolah. Kontan membuat guru piket mencari-cari anak yang bernama Farhan. Dicari tak  ketemu namun  pada saat ujian kedua akan dimulai anak ini sudah berada di dalam halaman sekolah. Mendengar kalau yang namanya Farhan sudah berada di dalam kelas membuat wakasek kesiswaan langsung menuju kelas dimana Farhan akan mengikuti ujian. Dengan gampangnya anak ini keca ciduk.
            “Dari mana saja kamu?”
            “Mana sepatu kamu?”
Rupanya Farhan  tadi naik lagi tembok sekolah. Namun sayang sepatunya ditinggalan diluar pagar. Masuk sembunyi-sembunyi namun tetap saja keberadaannya mudah diketahui. Selama ini memang Farhan sedang dicari. Dinasehati dengan berbagai cara . Anak ini memang diam saja tak membantah ataupun menjawab apa yang ditanyakan guru. Seperti mengerti kalau ia sedang dalam posisi salah.
            “Kamu ini bagaimana...”
            “Mau seperti ini terus?”
Farhan hanya diam membisu tak memberikan sepatah katapun kalau ia selama ini memjadi pembicaraan guru-guru.
            Sampai suatu masa akan dibagikan buku raport. Ada 3 guru yang memberikan nilai masih berada dibawah KKM. Sementara sarat kenaikan kelas selalin rajin anak tidak boleh ada 3 mata pelajaran  yang berada dibawah KKM. Jadilah Farhan termasuk anak yang dibahas dalam rapat kenaikan kelas.
            Lumayan panjang juga waktu nama Farhan diajukan dalam sidang kenaikan kelas. Pak Nanang sebagai walikelas  dimintai tanggapan juga bagaimana nilai  sang anak disetiap mata pelajaran . Termasuk juga ditanyakan tentang kehadiran.
            Melalui perdebatan dan diskusi yang cukup panjang akhirnya Farhan dinyatakan tidak naik kelas. Tugas tambahan Pak Nanang untuk menjelaskan nanti pada orangtua siswa kalau anak yang bernama Farhan tak naik kelas. Sudah berusaha maksimal namun anak ini memang sudah banyak melakukan kesalahan. Absensinya yang lebih dari 30 hari, ada 3 mata pelajaran yang nilainya berada di bawah KKM dan tingkahlakunya selama disekolah terbilang  mengkhawatirkan. Jadilah Farhan diputuskan dalam rapat tidak naik kelas.
            Ibunya Farhan hanya bisa menangis ketika mendengar kalau sang anak tidak naik kelas. Dilihat buku rapor memang ada beberapa mata pelajaran yang tidak sempurna. Dilihat ada pula absesinya yang terlihat banyak. Disaat yang bersamaan anak-anak yang lain diluar kelas terlihat gembira bisa naik ke kelas 9. Farhan yang kebetulan pada saat bagi raport tidak hadir tak bisa menyaksikan teman-temannnya bergembira. Seolah tak peduli apakah mereka gembira atau tidak. Datang ke sekolah saja tidak.
            Raport dibagikan semua ke orangtua anak didik. Berhembuslah sas-sus kalau Farhan adalah anak di kelas 8 yang tidak naik sekolah. Ada perasaan gembira namun ada pula perasaan sedih mendengar kalau salah seorang temannya tidak naik kelas.
            “Hai...Farhan ngendog ya...?”
            “Apa iya?”
            “Iya Farhan ngendog....!”
Pembicaraan yang terdengar wali kelas dari anak-anak yang baru menerima buku raport. Kalau sudah begini mau apa lagi? Berusaha mendidik sudah, mendisiplinkan anak sudah. Kalau harus tinggal kelas, kenapa tidak. Mudah-mudahan hal ini bisa menjadi pelajaran buat yang lain kalau sekolah harus sungguh-sungguh. Namanya penyesalan selalu saja adanya dibelakang.

                                                                                                                      Cirebon, 29 Juni 2019


           

GAGAL ZONASI (Cerpen)


Cerpen

GAGAL  ZONASI
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Semilir angin kumbang yang kering dan dingin menambah sesak yang dirasakan Hambali. Terpikirkan 8 anak didiknya yang tak satupun diterima di salah satu SMP negeri yang dipilih anak-anak. Bukan kerena Ujian Nasional (UN) yang telah dilalui oleh anak-anak  nilainya kecil. Mereka anak-anak cerdas dan semangat bila sudah berada didalam kelas.  Sosok anak-anak yang selalu ceria dalam setiap kesempatan. Hanya karena domisili orangtuanya jauh dari sekolah yang dituju yang membuat anak-anak pintar dan cerdas ini terlempar dari sekolah negeri. Satu desa dari sekolah yang sama tidak  diterima di sekolah negeri.
            Sebagai walikelas Hambali ingin anak didiknya bisa belajar di sekolah yang lebih tinggi. Sudah berapa generasi saja anak didiknya tak ada yang mengecewakan. Selalu diterima disekolah negeri. Adanya aturan mengenai zonasi dalam PPDB sangat merugikan sekolah dimana ia mengajar. Desa Leuwidamar yang masuk dalam Kecamatan Kertasana merupakan desa yang paling jauh dari pusat kota kecamatan. Walau di Kecamatan Kertasana ada 2 SMP negeri namun kedua sekolah tersebut sama-sama jauh dari Desa Leuwidamar. SMPN 1 Kertasana meupakan sekolah negeri yang paling dekat dengan Desa Leuwidamar bila dibanding dengan SMPN 2 Kertasana.
            Ada 19  anak yang tahun ini lulus dari SDN Leuwidamar. Satu-satunya sekolah dasar yang ada di Leuwidamar. Delapan diantaranya melanjutkan ke sekolah umum, 8 melanjutkan ke peseantren dan sisanya tidak melanjutkan dengan berbagai alasan. Sebelum-sebelumnya lulusan SD Leuwidamar selalu diterima di SMPN  1 Kertasana. Bagi Hambali sebagai guru yang mengajar kelas 6 hal ini sudah merupakan hal yang bisa dan tak aneh lagi. Baru kali ini Hambali sulit untuk tidur karena memikirkan perasaan anak didiknya yang satu kelas tak ada yang masuk diterima di sekolah negeri. Aturan tentang zonasi sekolah telah merenggut hak anak untuk bisa diterima di sekolah negeri pilihan.
            Dilihat selembar kertas yang berisi keterangan diterima atau ditolak. Mereka yang diterima  berada diradius 3,3 km dari tempat tinggal si anak. Sementara Desa Leuiwidamar dengan SMP terdekat lebih dari 6 km. Hal inilah yang membuat 8 anak didiknya terhempas oleh aturan yang sangat merugikan. Kenapa setiap membuat regulasi tidak dipikirkan terlebih dahulu hal-hal seperti ini gumam Hambali dalam hati. Kalaulah setiap sarana dan prasarana ditiap sekolah yang ada dalam satu kecamatan hampir sama (tidak usah sama) barangkali terlalu sulit kalau harus sama, bolehlah  aturan zonasi ini diterapkan. Akibat dari adanya zonasi  beberapa sekolah dasar negeri yang jauh dari sekolah yang ada diatasnya tak bisa merasakan indahnya aturan zonasi. Malah aturan zonasi memberikan pelajaran menyakitkan bagi anak didik yang benar-benar ingin melanjutkan.
            Tumpukan map warna merah dan warna biru masih tersimpan di meja reot sang guru. Hambali tak ingin menatapnya lama-lama. Teringat perjuangan anak-anak ketika mereka merayakan kelulusan di sekolah. Senyum-senyum sumringah dari anak-anak petani yang jauh dari bisingnya kehidupan kota. Kesederhanaan anak-anak inilah yang membuat Hambali betah tinggal di Leuwidamar.
            Bagaimana map ini akan dikembalikan pada orangtuanya sementara tak satupun dari map ini anaknya diterima. Kalau hanya mengembalikan saja tentu sangatlah enteng, tapi ini bagaimana menjelaskan pada orangtua siswa kalau dari 8 anak Leuwidamar tak satupun yang masuk di SMP negeri. Bagaimana perasaan orangtua siswa nanti?
            Baru kali ini sebagai walikalas 6 gagal dalam membimbing anak. Reputasi sebagai walikelas baru kali ini dipermalukan. Bukan kerena tak  bisa mendidik anak-anak dengan baik dan benar, bukan... tapi karena aturan yang tak berpihak pada mereka yang berada di pelosok sana.  Entah idenya dari mana mereka yang diatas itu, seolah tak memikirkan kami yang berada jauh dekat hutan.  Masih untung anak-anak disini masih mau sekolah. Kini adanya aturan seperti zonasi justru khawatir anak-anak tak ada yang mau sekolah. Hambali merenung terus dalam kerisauan. Sesak terasa dada namun apa boleh buat map-map itu harus diserahkan pada orangtua.
            Bismillah ujar Hambali dalam hati. Para orangtua yang sudah menunggu dihalaman sekolah. Di sekolah ini memang hanya ada 3 orang guru negeri dan 2 guru honorer. Sejak diangkat dan ditempatkan di SDN Leuwidamar Hambali selalu mendapat tugas mengajar dikelas 6. Menjelang pensiun seperti sekarang yang 2 tahun lagi masih saja dikelas 6 walau kini mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah.
            Disambut senyuman orangtua murid yang berharap banyak anaknya bisa masuk ke sekolah yang lebih tinggi. Walau agak jauh dikota kecamatan namun setidaknya bisa bangga punya anak bisa melanjutkan ke sekolah di SMP.
            “Bapak dan ibu disilahkan masuk...”
Bapak dan ibu yang dari pagi sudah bergerombol dihalaman sekolah masuk disalah satu ruangan kelas. Satu per satu mata orangtua siswa ditatap. Penuh harapan akan memajuan sang anak kelak. Ada perasaan sesak dalam dada membuat Hambali sedikit tersedak. Suatu kenyataan yang harus dihadapi menghadapi orangtua siswa yang nantinya pasti akan kecewa. Sudah pasti mereka akan kecewa dengan  sebuah aturan yang tidak bisa dipahami. Orang tua siswa ini hanya tahu kalau dari dahulu kalau ada orang dari Leuwidamar yang sekolah ke SMP pasti adalah sekolah negeri.
            Tak langsung pada pokok permasalahan tapi dibawa dulu kepengalaman beberapa tahun yang lalu dalam mendidik dan membangun karakter anak. Enak sekali kalau sudah bicara masalah ini karena orangtua juga paham kalau dengan pendidikan yang lebih tinggi akan menolong sang anak dikemudian hari. Masuklah pada acara pengumuman yang sedikit banyak membuat dada terasa sesak.
            “Bapak dan ibu yang saya hormati...”
            “Pada tahun 2019 ini penerimaan siswa baru menggunakan sistem zonasi”
Untuk masuk membicarakan zonasi juga cukup lama karena orangtua siswa baru kali ini mendengar kata zonasi. Apa itu zoasi? Apakah seperti nasi pada umumnya?  Kejo jeung nasi? Atau sejenis makanan campuran antara kelapa dengam jengkol? Entahlah.... hal yang belum  banyak dimengerti oleh orangtua siswa. Hambali berusaha menjelaskan sedetail mungkin pengertian zonasi.
            “Karena kampung kita jauh dari sekolah negeri...”
            “Pada tahun ini tak satupun anak-anak bapak dan ibu diterima di sekolah terdekat”
            “Karena yang diterima masuk yang jaraknya kurang lebih 3 km.....”
            “Sedangkan anak  bapak dan  ibu  jaraknya lebih dari 6 km”
Dari sini mulai gaduh kelas yang dihadiri orangtua siswa. Walau baru kali ini mendengar kata zonasi namun begitu marahnya   dengan kalimat zonasi. Karena si zonasi ini ada 8 anak yang ingin melanjutkan di sekolah negeri tak bisa masuk. Zonasi adalah sosok yang sangat menakutkan dan membredel keinginan sang anak untuk bisa diterima di sekolah negeri.
                                                                        ***
            Tak boleh patah semangat dengan keteguhan  anak-anak yang ingin belajar. Hambali terus memutar otak agar anak didiknya bisa melanjutkan disekolah negeri. Walau sudah ditolak di SMPN1 yang terdekat dengan kampungnya namun bukan halangan untuk mencari sekolah lain asal sekolah negeri.
            Di Kecamatan tetangga ada sekolah negeri yang masih kurang anak didik. Konon masih kurang  2 kelas lagi dari daya tampung 6 kelas. Dilihat dari kampung Leuwidamar memang terbilang jauh. Kalau mau ditempuh dengan angdes bisa 3 kali ganti angdes.  Namun tak menjadi masalah asal anak-anak ini bisa diterima di sekolah negeri. Sekali lagi anak-anak ini adalah anak-anak yang punya potensi besar. Mereka mendapatkan nilai yang baik, semangat belajar yang tinggi, namun sayangnya regulasinya tak berpihak pada anak-anak yang jauh dipelosok. Dikiranya ditiap kecamatan sarana dan prasarananya sama semua, dikiranya jalan yang ada di kecamatan aspal  semua, dikiranya jumlah  sekolah fasilitasnya sama semua, dikiranya jumlah gurunya juga sama. Penyamarataan sekolah didesa dengan di kota inilah yang membuat gagal paham mereka yang diatas. Jadilah anak-anak yang ada di Leuwidamar sebagai anak yang gagal zonasi.
            Di Kecamatan tetangga yang agak jauh dari Leuwidamar anak-anak ini diterima. Perasaam Hambali sedikit lega karena bisa menghantarkan anak-anak untuk bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Zonasi yang digadang-gadang mendekatkan sekolah dengan tempat tinggal, ternyata tidak semuanya benar. Justru yang terjadi malah adanya zonasi anak-anak ini sekolah lebih jauh lagi dari tempat tinggalnya hanya untuk  bisa disekolah negeri. Zonasi...oh zonasi..., akankah hal ini dipertahankan tahun berikutnya?


                                                                                                                  Gebang, 9 Juli 2019