Cerpen
MBOK KARYEM
Oleh : Nurdin Kurniawan
Ramadhan adalah bulan penuh berkah semua mengakui hal itu tak terkecuali
Mbok Karyem. Dari asalnya di Jawa sengaja ia datang ke Jakarta
memehuhi keinginan agar lebaran tahun ini bisa membelikan sesuatu buat sang cucu tercinta. Datang tak sendirian
karena banyak pula orang-orang seusianya
yang ikut. Mbok Karyem tahu pasti profesi apa yang akan ia geluti di
Jakarta. Orang seusia dirinya tak mungkin untuk kerja yang berat-berat. Apa yang dikemukakan oleh
Kardiman sebagai orang yang mengkoordinir Mbok Karyem tahu jelas. Pekerjaan yang
sudah menjadi tak asing lagi bagi penduduk di desa Mbok Karyem manakala
memasuki Bulan Ramadhan. Pengemis musiman, ya… menjadi pengemis musiman disaat
Bulan Ramadhan.
Menggunakan mobil bak terbuka yang
ditutupi terpal ada lebih dari 12 orang
seusia Mbok Karyem yang ikut dalam rombongan. Pintar sekali si Kardiman bisa
mendatangkan orang-orang seusia Mbok Karyem. Tentunya dari beberapa desa
Kardiman mengumpulkan orang-orang tua seusia Mbok Karyem.
“Nanti di Jakarta akan menempati
rumah kontrakan”
“Disana juga sudah
dipasang-pasangkan dengan anak kecil yang akan menemani”
“Pokoknya jangan khawatir tidak
dapat tempat”
“Yang betah saja!”
Untuk urusan
setoran maka sudah disepakati sebelumnya . Dari sekian uang yang didapat maka
akan disetorkan pada pengepul atau boleh disebut bos macam Kardiman.
Lima jam perjalanan barulah rombongan
yang berangkat dari Brebes sampai di Jakarta. Dipilihnya daerah Ramawangun
sebagai tempat penampungan. Di daerah itu ada suatu lokasi yang sedang terkena
proyek. Di salah satu sudut proyek itulah para rombongan ini ditempatkan. Ternyata
hanya sebuah bedeng sederhana milik penduduk yang oleh proyek belum dirobohkan.
“Mbok Karyem nanti berpasangan
dengan Jajang”
Kardiman
menunjuk anak kecil berusia 4 tahun yang disewa Kardiman dari orangtuanya di
Cirebon. Urusan pasang-memasangkan orang ternyata rumit juga. Kadang yang dipasangkan
suka menolak dengan alasan baru kenal.
“Sudah
Mbok Karyem ngobrol dulu dengan si Jajang”
Jajang yang datang
sudah 2 hari yang lalu mulai mengenal lingkungan dimana ia tingggal. Di
kampungnya anak ini juga tidak terurus. Ibunya baru saja cerai sehingga begitu
ada orang yang mencari anak untuk bekerja
di Jakarta maka kesempatan itu tidak disia-siakan. Tuminah langsung
mengiyakan apa yang diinginkan Kardiman.
“Pokoknya nanti ada bayarannya”
“Sementara saya hanya bisa
memberikan panjernya saja dulu”
“Sisanya nanti uang akan dikirim
kalau saya datang lagi”
Tuminah langsung
menghitung uang pemberian Kardiman. Lumayan juga pikirnya sebab disaat lagi
sulit mendapatkan uang tiba-tiba ada orang yang membawa uang yang cukup
lumayan.
Bagi Mbok Karyem keberadaan Jajang
seperti mengingatkan pada sang cucu. Di kampungnya Mbok Karyem punya cucu yang
seusia Jajang. Dengan adaya Jajang kebetulan sekali rasa rindu akan sang cucu bisa terobati.
“Dah kamu Jang”
“Dengan Mbok Karyem kamu jangan
jauh-jauh”
Anak ini
mengiyakan apa yang diucapkan si Mbok. Kemana-mana Jajang akan ikut dengan
mbok.
***
Perempatan Rawasari yang menjadi
tempat mangkal Mbok Karyem dengan Jajang. Di lampu merah inilah Mbok Karyem
mengais rejeki. Ada saja pengguna jalan yang merasa iba melihat si mbok yang
sudah tak muda lagi. Dituntun oleh Jajang yang masih anak-anak membuat iba pengguna
jalan makin tersentuh. Rupiah demi rupiah
didapatkan pasangan cucu dengan nenek.
Mengemis di lampu merah memang harus
cepat langkah. Kalau sudah lampu hijau sedang Mbok Karyem dan Jajang masih
berada di tengah jalan maka harus cepat-cepat minggir. Begitu dan begitu apa yang
dilakukan Mbok Karyem dan pasangan mengemisnya.
“Sudah siang kita makan dulu”
Dari pagi tak
terasa mengemis di lampu merah membuat perut kedua orang ini terasa lapar.
Memilih dibawah tiang jalan layang yang besar ambil
melahap jatah nasi yang tadi dibawa dari sang pengepul. Walau di bulan Ramadhan
namun Mbok Karyem dan Jajang tidak puasa. Biarlah yang kuat-kuat saja yang
melaksanakan puasa sementara dirinya tetap mengemis sampai pundi-pundi di bedeng
sederhana itu bisa terisi penuh.
Menjelang maghrib kendaraan
penjemput mendatangi Mbok Karyem. Dari berangkat memang sudah diberitahu jangan
pulang sebelum mobil jemputan datang. Lega rasanya setelah berada di mobil bak
terbuka yang menjemput. Usia tua si Mbok yang membuat mata terasa lelah. Baru
saja mata terlelap si mbok sudah dibangunkan karena mobil sudah sampai di
penampungan.
Para pengemis itu lalu dikumpulkan
oleh Kardiman. Seperti biasa Kardiman menagih uang hasil mengenis yang
didapat anak buahnya. Uang setoran Rp.
50.000 dengan mudah ia peroleh dari satu kepala pengemis sisanya untuk pengemis
itu sendiri. Mbok Karyem menerima semua ini sebab dari awal-awal berangkat
memang sudah dibuat kesepakatan antara pengepul dengan para pengemis yang
direkrutnya dari Jawa.
Di bedeng sederhana itu Mbok Karyem
menghitung uang jerihpayahnya hari ini. Lumayan
juga bisa mengumpulkan Rp. 63.000 itu sudah termasuk yang diberikan pada Jajang
Rp. 20.000 dan setor ke bos. Baru kali ini bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
Kalau saja ia masih di desa mendapatkan uang sebanyak ini tentunya hal yang sangat
susah. Beruntung Kardiman mengajaknya bekerja walau hanya mengemis. Hal seperti
ini sudah menjadi hal yang lumrah sebab satu kampung ini sudah sangat terkenal
sebagai kampungnya pengemis.
***
Mbok Karyem sangat ketakutan ketika
Satpol PP berusaha mengangkut dirinya pada mobil bak. Dengan sekuat tenaga Mbok
Karyem berusaha meloloskan diri. Walau kakinya terasa sakit namun Mbok Karyem terus
dan terus berlari. Namun sayang Jajang yang tak tahu kalau ada razia tak bisa
lari jauh. Jajang terangkat petugas dari trantib Satpol PP. Dari kejauhan Mbok
Karyem hanya bisa menyaksikan Jajang menangis.
Mbok Karyem tak berani lagi mendekat
ke lampu merah. Jantungnya masih terasa berdebar-debar melihat kejadian tadi. Matanya
juga belum bisa melepaskan dari pandangan Jajang. Sedang apa anak itu sekarang?
Mbok Karyem juga bertanya-tanya bagaimana agar si Jajang bisa kembali lagi.
Bersembunyi di salah satu warteg yang tak jauh dari perempatan. Setelah dirasa
aman barulah Mbok Karyem berani nongol
lagi. Melihat disekeliling lampu merah memang sepi tak ada pengemis ataupun pengamen.
Razia yang dilakukan Satpol PP membuat pengemis dan pengamen berhamburan melarikan
diri.
Informasi ada razia rupanya sampai juga
ke telinga Kardiman. Ia langsung mengeluarkan mobilnya untuk menjemput Mbok Karyem
. Berita Jajang yang tertangkap Satpol PP juga sudah sampai ke telinga Kardiman.
“Sudah Mbok Karyem jangan bersedih”
“Nanti orang saya yang akan
menjemput Jajang lagi”
Sudah terbilang
lihai juga Kardiman kalau sudah berurusan dengan petugas. Rupanya pengalaman dari tahun ke tahun sudah
menjadikan hal yang seperti ini biasa. Kalau ada anak buahnya yang terkena
razia maka Kardiman akan berusaha mengeluarkannya lagi. Rupamya ia punya
jaringan dengan petugas juga sebab setiap ada anak buahnya yang terkena razia
maka tak berapa lama kemudian sang anak buah bisa bebas kembali.
Keesokan paginya benar saja Jajang
sudah ada di barak lagi. Anak ini masih terlihat ada rasa takut. Tidur semalam
dipanti sosial membuat dirinya tak bisa tidur. Ternyata banyak juga anak
gelandangan, pengemis dan pengamen yang terkena razia. Justru banyaknya orang
inilah yang membuat Jajang tak bisa tidur. Melihat Jajang sangat cemas Mbok
Karyem berusaha mendiamkan Jajang.
“Sudah besok kita pindah tempat
mangkalnya”
“Kamu jangan menangis lagi”
“Kalau ada yang seperti itu lagi
kamu harus lari dengan cepat”
Jajang
menganggukkan kepala tanda mengerti walau raut takutnya tak bisa dihilangkan.
Bagi Mbok Karyem dan Jajang kehidupan di Jakarta memang sangatlah keras. Tanpa
kerja keras orang akan susah mendapatkan uang. Apalagi macam Mbok Karyem yang
sudah makin sepuh. Tenaga yang ada berusaha
ia kumpulkan hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Bagi Mbok Karyem Ramadhan
adalah bulan yang penuh berkah, bulan yang didalamnya orang dengan mudah
memberikan sodakoh pada orang-orang macam dirinya.
Hari-hari panjang yang cukup
melalahkan. Keinginannya untuk pulang kampung sampai lebaran tertunda dengan
kejar target Kardiman. Para pengemis yang dikordinator Kardiman pulangnya usai
lebaran dengan alasan akan makin banyak orang yang akan memberikan sodakoh pas
hari raya. Mata Mbok Karyem menatap jauh membayangkan kampung halamannya.
Rupanya seperti inilah pekerjaan orang-orang dikampungnya yang dikordinator
Kardiman. Mengejar rupiah demi kelangsungan hidup yang tak berapa lama lagi.
Tatapan kosong seorang Mbok Karyem kosong menerawang hiruk pikuknya kota Jakarta yang memang dirasa
tidak bersahabat.
Cirebon, 23 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar