Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Senin, 01 Juli 2019

MBOK KARYEM (Cerpen)


Cerpen
MBOK KARYEM
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Ramadhan adalah bulan penuh  berkah semua mengakui hal itu tak terkecuali Mbok Karyem. Dari asalnya di Jawa sengaja ia datang  ke Jakarta  memehuhi keinginan agar lebaran tahun ini bisa membelikan sesuatu  buat sang cucu tercinta. Datang tak sendirian karena banyak pula orang-orang seusianya  yang ikut. Mbok Karyem tahu pasti profesi apa yang akan ia geluti di Jakarta. Orang seusia dirinya tak mungkin untuk kerja yang  berat-berat. Apa yang dikemukakan oleh Kardiman sebagai orang yang mengkoordinir Mbok Karyem tahu jelas. Pekerjaan yang sudah menjadi tak asing lagi bagi penduduk di desa Mbok Karyem manakala memasuki Bulan Ramadhan. Pengemis musiman, ya… menjadi pengemis musiman disaat Bulan Ramadhan.
            Menggunakan mobil bak terbuka yang ditutupi terpal  ada lebih dari 12 orang seusia Mbok Karyem yang ikut dalam rombongan. Pintar sekali si Kardiman bisa mendatangkan orang-orang seusia Mbok Karyem. Tentunya dari beberapa desa Kardiman mengumpulkan orang-orang tua seusia Mbok Karyem.
            “Nanti di Jakarta akan menempati rumah kontrakan”
            “Disana juga sudah dipasang-pasangkan dengan anak kecil yang akan menemani”
            “Pokoknya jangan khawatir tidak dapat tempat”
            “Yang betah saja!”
Untuk urusan setoran maka sudah disepakati sebelumnya . Dari sekian uang yang didapat maka akan disetorkan pada pengepul atau boleh disebut bos macam Kardiman.
            Lima jam perjalanan barulah rombongan yang berangkat dari Brebes sampai di Jakarta. Dipilihnya daerah Ramawangun sebagai tempat penampungan. Di daerah itu ada suatu lokasi yang sedang terkena proyek. Di salah satu sudut proyek itulah para rombongan ini ditempatkan. Ternyata hanya sebuah bedeng sederhana milik penduduk yang oleh proyek belum dirobohkan.
            “Mbok Karyem nanti berpasangan dengan Jajang”
Kardiman menunjuk anak kecil berusia 4 tahun yang disewa Kardiman dari orangtuanya di Cirebon. Urusan pasang-memasangkan orang ternyata rumit juga. Kadang yang dipasangkan suka menolak dengan alasan baru kenal.
“Sudah Mbok Karyem ngobrol dulu dengan si Jajang”
Jajang yang datang sudah 2 hari yang lalu mulai mengenal lingkungan dimana ia tingggal. Di kampungnya anak ini juga tidak terurus. Ibunya baru saja cerai sehingga begitu ada orang yang mencari anak untuk bekerja  di Jakarta maka kesempatan itu tidak disia-siakan. Tuminah langsung mengiyakan apa yang diinginkan Kardiman.
            “Pokoknya nanti ada bayarannya”
            “Sementara saya hanya bisa memberikan panjernya saja dulu”
            “Sisanya nanti uang akan dikirim kalau saya datang lagi”
Tuminah langsung menghitung uang pemberian Kardiman. Lumayan juga pikirnya sebab disaat lagi sulit mendapatkan uang tiba-tiba ada orang yang membawa uang yang cukup lumayan.
            Bagi Mbok Karyem keberadaan Jajang seperti mengingatkan pada sang cucu. Di kampungnya Mbok Karyem punya cucu yang seusia Jajang. Dengan adaya Jajang kebetulan sekali  rasa rindu akan sang cucu bisa terobati.
            “Dah kamu Jang”
            “Dengan Mbok Karyem kamu jangan jauh-jauh”
Anak ini mengiyakan apa yang diucapkan si Mbok. Kemana-mana Jajang akan ikut dengan mbok.
                                                                        ***
            Perempatan Rawasari yang menjadi tempat mangkal Mbok Karyem dengan Jajang. Di lampu merah inilah Mbok Karyem mengais rejeki. Ada saja pengguna jalan yang merasa iba melihat si mbok yang sudah tak muda lagi. Dituntun oleh Jajang yang masih anak-anak membuat iba pengguna jalan makin tersentuh. Rupiah  demi rupiah didapatkan pasangan cucu dengan nenek.
            Mengemis di lampu merah memang harus cepat langkah. Kalau sudah lampu hijau sedang Mbok Karyem dan Jajang masih berada di tengah jalan maka harus cepat-cepat minggir. Begitu dan begitu apa yang dilakukan Mbok Karyem dan pasangan mengemisnya.
            “Sudah siang kita makan dulu”
Dari pagi tak terasa mengemis di lampu merah membuat perut kedua orang ini terasa lapar. Memilih dibawah tiang jalan layang yang besar   ambil melahap jatah nasi yang tadi dibawa dari sang pengepul. Walau di bulan Ramadhan namun Mbok Karyem dan Jajang tidak puasa. Biarlah yang kuat-kuat saja yang melaksanakan puasa sementara dirinya tetap mengemis sampai pundi-pundi di bedeng sederhana itu bisa terisi penuh.
            Menjelang maghrib kendaraan penjemput mendatangi Mbok Karyem. Dari berangkat memang sudah diberitahu jangan pulang sebelum mobil jemputan datang. Lega rasanya setelah berada di mobil bak terbuka yang menjemput. Usia tua si Mbok yang membuat mata terasa lelah. Baru saja mata terlelap si mbok sudah dibangunkan karena mobil sudah sampai di penampungan.
            Para pengemis itu lalu dikumpulkan oleh Kardiman. Seperti biasa Kardiman menagih uang hasil mengenis yang didapat  anak buahnya. Uang setoran Rp. 50.000 dengan mudah ia peroleh dari satu kepala pengemis sisanya untuk pengemis itu sendiri. Mbok Karyem menerima semua ini sebab dari awal-awal berangkat memang sudah dibuat kesepakatan antara pengepul dengan para pengemis yang direkrutnya dari Jawa.
            Di bedeng sederhana itu Mbok Karyem menghitung uang jerihpayahnya hari ini.  Lumayan juga bisa mengumpulkan Rp. 63.000 itu sudah termasuk yang diberikan pada Jajang Rp. 20.000 dan setor ke bos. Baru kali ini bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Kalau saja ia masih di desa mendapatkan uang sebanyak ini tentunya hal yang sangat susah. Beruntung Kardiman mengajaknya bekerja walau hanya mengemis. Hal seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah sebab satu kampung ini sudah sangat terkenal sebagai kampungnya pengemis.
                                                                        ***
            Mbok Karyem sangat ketakutan ketika Satpol PP berusaha mengangkut dirinya pada mobil bak. Dengan sekuat tenaga Mbok Karyem berusaha meloloskan diri. Walau kakinya terasa sakit namun Mbok Karyem terus dan terus berlari. Namun sayang Jajang yang tak tahu kalau ada razia tak bisa lari jauh. Jajang terangkat petugas dari trantib Satpol PP. Dari kejauhan Mbok Karyem hanya bisa menyaksikan Jajang menangis.
            Mbok Karyem tak berani lagi mendekat ke lampu merah. Jantungnya masih terasa berdebar-debar melihat kejadian tadi. Matanya juga belum bisa melepaskan dari pandangan Jajang. Sedang apa anak itu sekarang? Mbok Karyem juga bertanya-tanya bagaimana agar si Jajang bisa kembali lagi. Bersembunyi di salah satu warteg yang tak jauh dari perempatan. Setelah dirasa aman barulah Mbok Karyem berani   nongol lagi. Melihat disekeliling lampu merah memang sepi tak ada pengemis ataupun pengamen. Razia yang dilakukan Satpol PP membuat pengemis dan pengamen berhamburan melarikan diri.
            Informasi ada razia rupanya sampai juga ke telinga Kardiman. Ia langsung mengeluarkan mobilnya untuk menjemput Mbok Karyem . Berita Jajang yang tertangkap Satpol PP juga sudah sampai ke telinga  Kardiman.
            “Sudah Mbok Karyem jangan bersedih”
            “Nanti orang saya yang akan menjemput Jajang lagi”
Sudah terbilang lihai juga Kardiman kalau sudah berurusan dengan petugas. Rupanya  pengalaman dari tahun ke tahun sudah menjadikan hal yang seperti ini biasa. Kalau ada anak buahnya yang terkena razia maka Kardiman akan berusaha mengeluarkannya lagi. Rupamya ia punya jaringan dengan petugas juga sebab setiap ada anak buahnya yang terkena razia maka tak berapa lama kemudian sang anak buah bisa bebas kembali.
            Keesokan paginya benar saja Jajang sudah ada di barak lagi. Anak ini masih terlihat ada rasa takut. Tidur semalam dipanti sosial membuat dirinya tak bisa tidur. Ternyata banyak juga anak gelandangan, pengemis dan pengamen yang terkena razia. Justru banyaknya orang inilah yang membuat Jajang tak bisa tidur. Melihat Jajang sangat cemas Mbok Karyem berusaha mendiamkan Jajang.
            “Sudah besok kita pindah tempat mangkalnya”
            “Kamu jangan menangis lagi”
            “Kalau ada yang seperti itu lagi kamu harus lari dengan cepat”
Jajang menganggukkan kepala tanda mengerti walau raut takutnya tak bisa dihilangkan. Bagi Mbok Karyem dan Jajang kehidupan di Jakarta memang sangatlah keras. Tanpa kerja keras orang akan susah mendapatkan uang. Apalagi macam Mbok Karyem yang sudah makin sepuh. Tenaga yang ada  berusaha ia kumpulkan hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Bagi Mbok Karyem Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, bulan yang didalamnya orang dengan mudah memberikan sodakoh pada orang-orang macam dirinya.
            Hari-hari panjang yang cukup melalahkan. Keinginannya untuk pulang kampung sampai lebaran tertunda dengan kejar target Kardiman. Para pengemis yang dikordinator Kardiman pulangnya usai lebaran dengan alasan akan makin banyak orang yang akan memberikan sodakoh pas hari raya. Mata Mbok Karyem menatap jauh membayangkan kampung halamannya. Rupanya seperti inilah pekerjaan orang-orang dikampungnya yang dikordinator Kardiman. Mengejar rupiah demi kelangsungan hidup yang tak berapa lama lagi. Tatapan kosong seorang Mbok Karyem kosong menerawang  hiruk pikuknya kota Jakarta yang memang dirasa tidak bersahabat.

                                                                                                                   Cirebon, 23 Juli 2013                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar