Cerpen
GAGAL ZONASI
Oleh : Nurdin Kurniawan
Semilir
angin kumbang yang kering dan dingin menambah sesak yang dirasakan Hambali.
Terpikirkan 8 anak didiknya yang tak satupun diterima di salah satu SMP negeri
yang dipilih anak-anak. Bukan kerena Ujian Nasional (UN) yang telah dilalui
oleh anak-anak nilainya kecil. Mereka
anak-anak cerdas dan semangat bila sudah berada didalam kelas. Sosok anak-anak yang selalu ceria dalam
setiap kesempatan. Hanya karena domisili orangtuanya jauh dari sekolah yang
dituju yang membuat anak-anak pintar dan cerdas ini terlempar dari sekolah
negeri. Satu desa dari sekolah yang sama tidak
diterima di sekolah negeri.
Sebagai
walikelas Hambali ingin anak didiknya bisa belajar di sekolah yang lebih
tinggi. Sudah berapa generasi saja anak didiknya tak ada yang mengecewakan.
Selalu diterima disekolah negeri. Adanya aturan mengenai zonasi dalam PPDB
sangat merugikan sekolah dimana ia mengajar. Desa Leuwidamar yang masuk dalam Kecamatan
Kertasana merupakan desa yang paling jauh dari pusat kota kecamatan. Walau di
Kecamatan Kertasana ada 2 SMP negeri namun kedua sekolah tersebut sama-sama
jauh dari Desa Leuwidamar. SMPN 1 Kertasana meupakan sekolah negeri yang paling
dekat dengan Desa Leuwidamar bila dibanding dengan SMPN 2 Kertasana.
Ada
19 anak yang tahun ini lulus dari SDN
Leuwidamar. Satu-satunya sekolah dasar yang ada di Leuwidamar. Delapan
diantaranya melanjutkan ke sekolah umum, 8 melanjutkan ke peseantren dan
sisanya tidak melanjutkan dengan berbagai alasan. Sebelum-sebelumnya lulusan SD
Leuwidamar selalu diterima di SMPN 1
Kertasana. Bagi Hambali sebagai guru yang mengajar kelas 6 hal ini sudah merupakan
hal yang bisa dan tak aneh lagi. Baru kali ini Hambali sulit untuk tidur karena
memikirkan perasaan anak didiknya yang satu kelas tak ada yang masuk diterima
di sekolah negeri. Aturan tentang zonasi sekolah telah merenggut hak anak untuk
bisa diterima di sekolah negeri pilihan.
Dilihat
selembar kertas yang berisi keterangan diterima atau ditolak. Mereka yang
diterima berada diradius 3,3 km dari
tempat tinggal si anak. Sementara Desa Leuiwidamar dengan SMP terdekat lebih
dari 6 km. Hal inilah yang membuat 8 anak didiknya terhempas oleh aturan yang
sangat merugikan. Kenapa setiap membuat regulasi tidak dipikirkan terlebih
dahulu hal-hal seperti ini gumam Hambali dalam hati. Kalaulah setiap sarana dan
prasarana ditiap sekolah yang ada dalam satu kecamatan hampir sama (tidak usah
sama) barangkali terlalu sulit kalau harus sama, bolehlah aturan zonasi ini diterapkan. Akibat dari
adanya zonasi beberapa sekolah dasar
negeri yang jauh dari sekolah yang ada diatasnya tak bisa merasakan indahnya
aturan zonasi. Malah aturan zonasi memberikan pelajaran menyakitkan bagi anak
didik yang benar-benar ingin melanjutkan.
Tumpukan
map warna merah dan warna biru masih tersimpan di meja reot sang guru. Hambali
tak ingin menatapnya lama-lama. Teringat perjuangan anak-anak ketika mereka
merayakan kelulusan di sekolah. Senyum-senyum sumringah dari anak-anak petani
yang jauh dari bisingnya kehidupan kota. Kesederhanaan anak-anak inilah yang membuat
Hambali betah tinggal di Leuwidamar.
Bagaimana
map ini akan dikembalikan pada orangtuanya sementara tak satupun dari map ini
anaknya diterima. Kalau hanya mengembalikan saja tentu sangatlah enteng, tapi
ini bagaimana menjelaskan pada orangtua siswa kalau dari 8 anak Leuwidamar tak
satupun yang masuk di SMP negeri. Bagaimana perasaan orangtua siswa nanti?
Baru
kali ini sebagai walikalas 6 gagal dalam membimbing anak. Reputasi sebagai
walikelas baru kali ini dipermalukan. Bukan kerena tak bisa mendidik anak-anak dengan baik dan
benar, bukan... tapi karena aturan yang tak berpihak pada mereka yang berada di
pelosok sana. Entah idenya dari mana
mereka yang diatas itu, seolah tak memikirkan kami yang berada jauh dekat
hutan. Masih untung anak-anak disini
masih mau sekolah. Kini adanya aturan seperti zonasi justru khawatir anak-anak
tak ada yang mau sekolah. Hambali merenung terus dalam kerisauan. Sesak terasa
dada namun apa boleh buat map-map itu harus diserahkan pada orangtua.
Bismillah ujar Hambali dalam hati. Para
orangtua yang sudah menunggu dihalaman sekolah. Di sekolah ini memang hanya ada
3 orang guru negeri dan 2 guru honorer. Sejak diangkat dan ditempatkan di SDN
Leuwidamar Hambali selalu mendapat tugas mengajar dikelas 6. Menjelang pensiun
seperti sekarang yang 2 tahun lagi masih saja dikelas 6 walau kini mendapat
tugas tambahan sebagai kepala sekolah.
Disambut
senyuman orangtua murid yang berharap banyak anaknya bisa masuk ke sekolah yang
lebih tinggi. Walau agak jauh dikota kecamatan namun setidaknya bisa bangga
punya anak bisa melanjutkan ke sekolah di SMP.
“Bapak
dan ibu disilahkan masuk...”
Bapak dan ibu yang dari pagi sudah
bergerombol dihalaman sekolah masuk disalah satu ruangan kelas. Satu per satu
mata orangtua siswa ditatap. Penuh harapan akan memajuan sang anak kelak. Ada
perasaan sesak dalam dada membuat Hambali sedikit tersedak. Suatu kenyataan yang
harus dihadapi menghadapi orangtua siswa yang nantinya pasti akan kecewa. Sudah
pasti mereka akan kecewa dengan sebuah
aturan yang tidak bisa dipahami. Orang tua siswa ini hanya tahu kalau dari
dahulu kalau ada orang dari Leuwidamar yang sekolah ke SMP pasti adalah sekolah
negeri.
Tak
langsung pada pokok permasalahan tapi dibawa dulu kepengalaman beberapa tahun
yang lalu dalam mendidik dan membangun karakter anak. Enak sekali kalau sudah
bicara masalah ini karena orangtua juga paham kalau dengan pendidikan yang
lebih tinggi akan menolong sang anak dikemudian hari. Masuklah pada acara
pengumuman yang sedikit banyak membuat dada terasa sesak.
“Bapak
dan ibu yang saya hormati...”
“Pada
tahun 2019 ini penerimaan siswa baru menggunakan sistem zonasi”
Untuk masuk membicarakan zonasi juga
cukup lama karena orangtua siswa baru kali ini mendengar kata zonasi. Apa itu
zoasi? Apakah seperti nasi pada umumnya?
Kejo jeung nasi? Atau sejenis makanan campuran antara kelapa dengam
jengkol? Entahlah.... hal yang belum banyak
dimengerti oleh orangtua siswa. Hambali berusaha menjelaskan sedetail mungkin
pengertian zonasi.
“Karena
kampung kita jauh dari sekolah negeri...”
“Pada
tahun ini tak satupun anak-anak bapak dan ibu diterima di sekolah terdekat”
“Karena
yang diterima masuk yang jaraknya kurang lebih 3 km.....”
“Sedangkan
anak bapak dan ibu
jaraknya lebih dari 6 km”
Dari sini mulai gaduh kelas yang
dihadiri orangtua siswa. Walau baru kali ini mendengar kata zonasi namun begitu
marahnya dengan kalimat zonasi. Karena
si zonasi ini ada 8 anak yang ingin melanjutkan di sekolah negeri tak bisa
masuk. Zonasi adalah sosok yang sangat menakutkan dan membredel keinginan sang
anak untuk bisa diterima di sekolah negeri.
***
Tak
boleh patah semangat dengan keteguhan
anak-anak yang ingin belajar. Hambali terus memutar otak agar anak
didiknya bisa melanjutkan disekolah negeri. Walau sudah ditolak di SMPN1 yang
terdekat dengan kampungnya namun bukan halangan untuk mencari sekolah lain asal
sekolah negeri.
Di
Kecamatan tetangga ada sekolah negeri yang masih kurang anak didik. Konon masih
kurang 2 kelas lagi dari daya tampung 6
kelas. Dilihat dari kampung Leuwidamar memang terbilang jauh. Kalau mau
ditempuh dengan angdes bisa 3 kali ganti angdes. Namun tak menjadi masalah asal anak-anak ini
bisa diterima di sekolah negeri. Sekali lagi anak-anak ini adalah anak-anak
yang punya potensi besar. Mereka mendapatkan nilai yang baik, semangat belajar
yang tinggi, namun sayangnya regulasinya tak berpihak pada anak-anak yang jauh
dipelosok. Dikiranya ditiap kecamatan sarana dan prasarananya sama semua,
dikiranya jalan yang ada di kecamatan aspal semua, dikiranya jumlah sekolah fasilitasnya sama semua, dikiranya
jumlah gurunya juga sama. Penyamarataan sekolah didesa dengan di kota inilah
yang membuat gagal paham mereka yang diatas. Jadilah anak-anak yang ada di
Leuwidamar sebagai anak yang gagal zonasi.
Di
Kecamatan tetangga yang agak jauh dari Leuwidamar anak-anak ini diterima.
Perasaam Hambali sedikit lega karena bisa menghantarkan anak-anak untuk bisa
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Zonasi yang
digadang-gadang mendekatkan sekolah dengan tempat tinggal, ternyata tidak
semuanya benar. Justru yang terjadi malah adanya zonasi anak-anak ini sekolah
lebih jauh lagi dari tempat tinggalnya hanya untuk bisa disekolah negeri. Zonasi...oh zonasi...,
akankah hal ini dipertahankan tahun berikutnya?
Gebang, 9 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar