Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Minggu, 14 Juli 2019

GAGAL ZONASI (Cerpen)


Cerpen

GAGAL  ZONASI
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Semilir angin kumbang yang kering dan dingin menambah sesak yang dirasakan Hambali. Terpikirkan 8 anak didiknya yang tak satupun diterima di salah satu SMP negeri yang dipilih anak-anak. Bukan kerena Ujian Nasional (UN) yang telah dilalui oleh anak-anak  nilainya kecil. Mereka anak-anak cerdas dan semangat bila sudah berada didalam kelas.  Sosok anak-anak yang selalu ceria dalam setiap kesempatan. Hanya karena domisili orangtuanya jauh dari sekolah yang dituju yang membuat anak-anak pintar dan cerdas ini terlempar dari sekolah negeri. Satu desa dari sekolah yang sama tidak  diterima di sekolah negeri.
            Sebagai walikelas Hambali ingin anak didiknya bisa belajar di sekolah yang lebih tinggi. Sudah berapa generasi saja anak didiknya tak ada yang mengecewakan. Selalu diterima disekolah negeri. Adanya aturan mengenai zonasi dalam PPDB sangat merugikan sekolah dimana ia mengajar. Desa Leuwidamar yang masuk dalam Kecamatan Kertasana merupakan desa yang paling jauh dari pusat kota kecamatan. Walau di Kecamatan Kertasana ada 2 SMP negeri namun kedua sekolah tersebut sama-sama jauh dari Desa Leuwidamar. SMPN 1 Kertasana meupakan sekolah negeri yang paling dekat dengan Desa Leuwidamar bila dibanding dengan SMPN 2 Kertasana.
            Ada 19  anak yang tahun ini lulus dari SDN Leuwidamar. Satu-satunya sekolah dasar yang ada di Leuwidamar. Delapan diantaranya melanjutkan ke sekolah umum, 8 melanjutkan ke peseantren dan sisanya tidak melanjutkan dengan berbagai alasan. Sebelum-sebelumnya lulusan SD Leuwidamar selalu diterima di SMPN  1 Kertasana. Bagi Hambali sebagai guru yang mengajar kelas 6 hal ini sudah merupakan hal yang bisa dan tak aneh lagi. Baru kali ini Hambali sulit untuk tidur karena memikirkan perasaan anak didiknya yang satu kelas tak ada yang masuk diterima di sekolah negeri. Aturan tentang zonasi sekolah telah merenggut hak anak untuk bisa diterima di sekolah negeri pilihan.
            Dilihat selembar kertas yang berisi keterangan diterima atau ditolak. Mereka yang diterima  berada diradius 3,3 km dari tempat tinggal si anak. Sementara Desa Leuiwidamar dengan SMP terdekat lebih dari 6 km. Hal inilah yang membuat 8 anak didiknya terhempas oleh aturan yang sangat merugikan. Kenapa setiap membuat regulasi tidak dipikirkan terlebih dahulu hal-hal seperti ini gumam Hambali dalam hati. Kalaulah setiap sarana dan prasarana ditiap sekolah yang ada dalam satu kecamatan hampir sama (tidak usah sama) barangkali terlalu sulit kalau harus sama, bolehlah  aturan zonasi ini diterapkan. Akibat dari adanya zonasi  beberapa sekolah dasar negeri yang jauh dari sekolah yang ada diatasnya tak bisa merasakan indahnya aturan zonasi. Malah aturan zonasi memberikan pelajaran menyakitkan bagi anak didik yang benar-benar ingin melanjutkan.
            Tumpukan map warna merah dan warna biru masih tersimpan di meja reot sang guru. Hambali tak ingin menatapnya lama-lama. Teringat perjuangan anak-anak ketika mereka merayakan kelulusan di sekolah. Senyum-senyum sumringah dari anak-anak petani yang jauh dari bisingnya kehidupan kota. Kesederhanaan anak-anak inilah yang membuat Hambali betah tinggal di Leuwidamar.
            Bagaimana map ini akan dikembalikan pada orangtuanya sementara tak satupun dari map ini anaknya diterima. Kalau hanya mengembalikan saja tentu sangatlah enteng, tapi ini bagaimana menjelaskan pada orangtua siswa kalau dari 8 anak Leuwidamar tak satupun yang masuk di SMP negeri. Bagaimana perasaan orangtua siswa nanti?
            Baru kali ini sebagai walikalas 6 gagal dalam membimbing anak. Reputasi sebagai walikelas baru kali ini dipermalukan. Bukan kerena tak  bisa mendidik anak-anak dengan baik dan benar, bukan... tapi karena aturan yang tak berpihak pada mereka yang berada di pelosok sana.  Entah idenya dari mana mereka yang diatas itu, seolah tak memikirkan kami yang berada jauh dekat hutan.  Masih untung anak-anak disini masih mau sekolah. Kini adanya aturan seperti zonasi justru khawatir anak-anak tak ada yang mau sekolah. Hambali merenung terus dalam kerisauan. Sesak terasa dada namun apa boleh buat map-map itu harus diserahkan pada orangtua.
            Bismillah ujar Hambali dalam hati. Para orangtua yang sudah menunggu dihalaman sekolah. Di sekolah ini memang hanya ada 3 orang guru negeri dan 2 guru honorer. Sejak diangkat dan ditempatkan di SDN Leuwidamar Hambali selalu mendapat tugas mengajar dikelas 6. Menjelang pensiun seperti sekarang yang 2 tahun lagi masih saja dikelas 6 walau kini mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah.
            Disambut senyuman orangtua murid yang berharap banyak anaknya bisa masuk ke sekolah yang lebih tinggi. Walau agak jauh dikota kecamatan namun setidaknya bisa bangga punya anak bisa melanjutkan ke sekolah di SMP.
            “Bapak dan ibu disilahkan masuk...”
Bapak dan ibu yang dari pagi sudah bergerombol dihalaman sekolah masuk disalah satu ruangan kelas. Satu per satu mata orangtua siswa ditatap. Penuh harapan akan memajuan sang anak kelak. Ada perasaan sesak dalam dada membuat Hambali sedikit tersedak. Suatu kenyataan yang harus dihadapi menghadapi orangtua siswa yang nantinya pasti akan kecewa. Sudah pasti mereka akan kecewa dengan  sebuah aturan yang tidak bisa dipahami. Orang tua siswa ini hanya tahu kalau dari dahulu kalau ada orang dari Leuwidamar yang sekolah ke SMP pasti adalah sekolah negeri.
            Tak langsung pada pokok permasalahan tapi dibawa dulu kepengalaman beberapa tahun yang lalu dalam mendidik dan membangun karakter anak. Enak sekali kalau sudah bicara masalah ini karena orangtua juga paham kalau dengan pendidikan yang lebih tinggi akan menolong sang anak dikemudian hari. Masuklah pada acara pengumuman yang sedikit banyak membuat dada terasa sesak.
            “Bapak dan ibu yang saya hormati...”
            “Pada tahun 2019 ini penerimaan siswa baru menggunakan sistem zonasi”
Untuk masuk membicarakan zonasi juga cukup lama karena orangtua siswa baru kali ini mendengar kata zonasi. Apa itu zoasi? Apakah seperti nasi pada umumnya?  Kejo jeung nasi? Atau sejenis makanan campuran antara kelapa dengam jengkol? Entahlah.... hal yang belum  banyak dimengerti oleh orangtua siswa. Hambali berusaha menjelaskan sedetail mungkin pengertian zonasi.
            “Karena kampung kita jauh dari sekolah negeri...”
            “Pada tahun ini tak satupun anak-anak bapak dan ibu diterima di sekolah terdekat”
            “Karena yang diterima masuk yang jaraknya kurang lebih 3 km.....”
            “Sedangkan anak  bapak dan  ibu  jaraknya lebih dari 6 km”
Dari sini mulai gaduh kelas yang dihadiri orangtua siswa. Walau baru kali ini mendengar kata zonasi namun begitu marahnya   dengan kalimat zonasi. Karena si zonasi ini ada 8 anak yang ingin melanjutkan di sekolah negeri tak bisa masuk. Zonasi adalah sosok yang sangat menakutkan dan membredel keinginan sang anak untuk bisa diterima di sekolah negeri.
                                                                        ***
            Tak boleh patah semangat dengan keteguhan  anak-anak yang ingin belajar. Hambali terus memutar otak agar anak didiknya bisa melanjutkan disekolah negeri. Walau sudah ditolak di SMPN1 yang terdekat dengan kampungnya namun bukan halangan untuk mencari sekolah lain asal sekolah negeri.
            Di Kecamatan tetangga ada sekolah negeri yang masih kurang anak didik. Konon masih kurang  2 kelas lagi dari daya tampung 6 kelas. Dilihat dari kampung Leuwidamar memang terbilang jauh. Kalau mau ditempuh dengan angdes bisa 3 kali ganti angdes.  Namun tak menjadi masalah asal anak-anak ini bisa diterima di sekolah negeri. Sekali lagi anak-anak ini adalah anak-anak yang punya potensi besar. Mereka mendapatkan nilai yang baik, semangat belajar yang tinggi, namun sayangnya regulasinya tak berpihak pada anak-anak yang jauh dipelosok. Dikiranya ditiap kecamatan sarana dan prasarananya sama semua, dikiranya jalan yang ada di kecamatan aspal  semua, dikiranya jumlah  sekolah fasilitasnya sama semua, dikiranya jumlah gurunya juga sama. Penyamarataan sekolah didesa dengan di kota inilah yang membuat gagal paham mereka yang diatas. Jadilah anak-anak yang ada di Leuwidamar sebagai anak yang gagal zonasi.
            Di Kecamatan tetangga yang agak jauh dari Leuwidamar anak-anak ini diterima. Perasaam Hambali sedikit lega karena bisa menghantarkan anak-anak untuk bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Zonasi yang digadang-gadang mendekatkan sekolah dengan tempat tinggal, ternyata tidak semuanya benar. Justru yang terjadi malah adanya zonasi anak-anak ini sekolah lebih jauh lagi dari tempat tinggalnya hanya untuk  bisa disekolah negeri. Zonasi...oh zonasi..., akankah hal ini dipertahankan tahun berikutnya?


                                                                                                                  Gebang, 9 Juli 2019


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar