Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Jumat, 05 Juli 2019

Wisudawan Pertama Muqoddasi Thuwa (Cerpen)


Cerpen
Wisudawan Pertama
Muqoddasi    Thuwa
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Badan   masih terasa pegal-pegal. Sebagai mahasiswa senior kemarin Kusno ditugasi untuk membimbing anak-anak yang akan melakukan Praktek Pengabdian Masyarakat (PPM). Ada 6 orang yang harus dibimbing selama 6 hari di Ciamis. Alhamdulillah sampai hari akhir bisa dilaksanakan dengan baik. Tinggal menyusun laporan untuk dilaporkan pada Dosen Pembimbing.
            Selama ada di Ciamis kegiatan dzikirnya sementara diganti dengan yang lain. Maklumlah waktu seperti terasa sibuk sekali. Kalau masih dzikir disana khawatir bisa menembak teman-teman yang lain. Jadi sebahai gantinya dzikir digandi dengan melaksanakan puasa. Alhamdulillah pusa bisa dikhatamkan dengan baik. Setelah beres-beres akhirnya rombongan pulang lagi ke Jakarta. Bada maghrib  sudah sampai lagi di kampus.
            Hari ini  perasaan Kusno seperti tidak tenang. Setelah sampai di kampus ingin saja terus pulang lagi ke Cirebon. Entah kenapa pula barang-barang yang ada di kamar ini dibawa semunya dalam tas. Tidak biasanya puka ada bus Dedi Jaya yang nongkrong depan kampus padahal bus ini tidak melalui trayek depan kampus. Langsung  saja Kusno masuk bus untuk pulang kampung. Jam sudah menunjukkan pukul  19.00 WIB. Walau badan terasa capai dari Ciamis tapi keinganan kuat untuk  pulang kampung tak bisa dihindari.
            Sampai di rmah suda pagi. Menginap semalan dirumah orangtua esok paginya langsung menuju Masjid Majmu Syarif. Benar saja apa yang menurut hati ini ada sesuatu. Ternyata ada tugas yang harus diselesaikan selama ada di Cirebon. Setelah bertemu dengan Pak Kyai  beliu memberitahu kalau Kusno harus menyelesaiakan mengaji Al Qur’an selama 4 kali khataman di Muqoddasi Thuwa.
Apa pula itu Muqoddasi Thuwa lalu dijelaskan oleh Pak Kyai. Kalau kita sering ngaji maka dalam kisah perjalanan Musa ada yang disebut dengan Muqoddasi Thuwa. Suatu lembah Thuwa dimana Musa digembleng dari sifat-sifat takut dan rasa khawatir yang tidak-tidak. Tempatnya untuk santri-santri Majmu Syarif adalah di kompek pemakaman yang disebut orang-orang disana dengan sebutan Makam Mbah Jewo. Selama di Muqoddasi Thuwa setidaknya harus menyelesaikan 4 kali khataman.
            Pantesan selama di Jakarta selalu ada saja keingian untuk pulang ke Cirebon. Rupanya sudah ada panggilan lagi kalau dirinya harus menyelesaikan pembacaan Al Qur’an di Muqoddasi Thuwa. Dan baru tempat yang untuk pertama kali ada  dan diamanatkan untuk dilaksanakan. Ternyata Muqoddasi Thuwa hanyalah sebuah sampel penggemblengan jiwa. Kalau di masa Musa benar-benar namanya Muqoddasi Thuwa maka kali ini bagi santri Majmu Syarif yang namanya Muqoddasi Thuwa bisa diartikan suatu tempat. Tempatnya bisa dimana saja yang jelas merupakan suatu tempat penggemblengan manusia dari sifat-sifat takut dan mengusir sifat-sifat khawatir.
            Tidak sendiri keberadaan Kusno di Muqoddasi Thuwa karena disitu sudah ada Ustad Dasuki. Tadinya Ustad Dasuki yang membaca Al Qur’an. Dengan masuknya Kusno maka posisi membaca Al Qur’an diserahkan ke Kusno dan ustad Dasuki yang membaca Surat Al Fatihah.
            Malam pertama di Muqoddasi Thuwa memang tak ada gangguan yang berarti. Membaca Al Qur’an juz demi juz bisa diselesikan dengan baik. Baru pada malam-malam barikutnya mulailah ada ulah dari mahkluk yang ada disitu. Seperti ada bau rebusan kacang. Kalau bau yang seperti ini menurut Pak Kyai adalah datang dari bangsa jin. Biarlah mereka kalau mau lewat tinggal lewat jangan mengganggu orang-orang yang sedang mengaji.
            Tugas membaca Al Qur’an terus dilaksanakan dengan baik. Kalau belum pukul 03.00 pagi maka jangan pergi dahulu. Ketentuan ini selalu dipegang teguh oleh Kusno. Walau diantara santri yang lain ada yang sudah meninggalkan Muqoddasi Thuwa namun Kusno tetap di Muqoddasi Thuwa. Patokannya tetap sebelum pukul 03.00 jangan dahulu meninggalkan Muqoddasi Thuwa.
            Ditengah sedang membaca Al Qur’an ada orang yang mengaku dirinya sebagai Abah Baidowi. Orang itu mengatakan kalau dirinya boleh secepatnya meninggalakan Muqodasi Thuwa.
            “Kalau mau pulang ke Majmu Syarif silahkan”
Melihat teman-teman yang lain juga sudah pada pulang sebelum pukul 03.00 maka Kusno terbawa-bawa ingin pulang. Lagi pula Abah Baidowi sudah mengijinkan dirinya untuk kembali lagi ke Masjid Majmu Syarif.
            Dilihat jam di Masjid memang belum menunjukkan pukul 03.00. Rasa kantuk yang sungguh berat membuat Kusno akhirnya melanjutkan tidur di masjid. Disinilah nikmatnya kalau orang diberi rasa kantuk. Waktu yang ada benar-benar bisa digunakan untuk istirahat.
            Kumandang adzan shubuh terdengar nyaring. Kuso membereskan barang-barang yang tadi digunakan untuk tidur. Diberes-beres dirinya sempat heran. Kok sarung yang ia kenakan basah semua? Apakah dirinya ngompol? Dipegang bagian celana dalam tak ada yang basah. Tapi kenapa sarung ini basah? Kusno baru menyadari ternyata ini sama dengan ujian. Tadi selama di Muqoddasi Thuwa dirinya pulang lebih awal. Ini sudah menyalahi dari aturan. Kalau begitu dalam dirinya masih ada rasa takut. Kepikiran juga sebab nanti kalau pulang lagi ke Jakarta aku ini harus menginap dimana? Barang-barang yang ada dirumah Pak Kyai pemilik Yayasan sudah diangkut semua. Kusno keluar dari rumah itu juga tidak bilang-bilang dahulu alias kabur. Hal inilah yang rupanya terbawa selama dirinya berada di Muqoddasi Thwa. Dalam dirinya berarti masih ada rasa takut, takut kalau tidak bisa mencari rumah buat kos-kosan selama kuliah di Darunnajah.
            Apa yang dilhatnya sebagai Abah Baidowi selama di Muqoddasi Thuwa ternyata setelah dikonfirmasikan ke Pak Kyai ternyata bukan Abah  Baidowi. Itu adalah jin yang mengaku-ngaku sebagai Abah Baidowi. Jadi baru tahu kalau selama di Muqoddasi Thuwa siapa saja bisa terjadi. Ada yang mengaku-ngaku sebagai Abah segala. Ini semua tentunya agar santri yang ada di Muqoddasi Thuwa gagal dalam melaksanakan tugasnya.  Kini harus lebih hati-hati kalau ada di Muqoddasi Thuwa.  Ujian yang dilakukan bisa gagal hanya karena kita tidak tanggap dangan situasi. Makanya lain kali bila ada hal-hal yang menyuruh untuk pulang cepat ataupun yang mengaku-ngaku sebagai  Abah Baidowi harus hati-hati disikapinya. Jangan-jangan jin yang seperti kemarin yang tujuannya agar apa yang dibaca buyar.
                                                                        ***
            Datang terlihat muka pulag terlihat punggung demikian adat ketimuran mengajarkan kalau kita bertamu harus tahu tata tertibnya. Lama tak ada khabar beritanya membuat Pak Kyai dari Darunnajah mengutus seseorang utusan menanyakan khabar tentang Kusno. Utusan itu datang menemui Ibunya Kusno karena memang Kusno masih berada di Majmu Syarif.
Ada perasaan tak enak juga menghadapi kedatangan utusan Pak Kyai.
            “Kemana saja Kusno?”
            “Kok begitu usai PPM langsung pulang tanpa memberitahu Pak Kyai!”
            “Terus sudah beberapa hari tidak datang-datang lagi?”
            “Apa mau seterusnya atau bagaimana?”
Ibu Kusno sudah juga untuk menjelaskan hal ini. Kusno sudah berketetapan untuk tidak tinggal lagi di rumahnhya Pak Kyai. Seperti ada pertentangan bathin yang tidak bisa dijelaskan dengan pikiran orang biasa. Dari pemikiran yang seperti inilah yang membuat Kusno terpaksa harus hengkang dari rumah Pak Kyai. Padahal kalau dipikir-pikir selama tingggal di rumah Pak Kyai dirinya digaji Rp. 350.000 sebulan. Tugasnya hanya mengurus anaknya Pak Kyai yang mengalami kelainan mental.  Makan tidur disitu  dan tidak membedakannya kalau dirinya adalah orang lain.
Susah juga untuk menjelaskannya dangan berbagai kebaikan yang telah diberikan oleh Pak Kyai. Ibu Kusno akhirnya hanya memberikan keteragan kalau anaknya ada tugas yang harus diselesaikan di Majmu Syarif. Kepergiannya dari rumah Pak Kyai tidak ada alasan apa-apa jadi mohon maaf kalau tidak memberitahukan langsung kepergianya  pada Pak Kyai. Utusan yang datangpun akhirnya mulai mengerti dengan alasan yang dikemukakan Ibunya Kusno.
            Sudah sejak beberapa minggu menginap di rumah Pak Kyai memang Kusno tidak makan dirumah beliau. Ada perang bathin yang membuatnya tidak bisa menerima makanan yang ada dirumah Pak Kyai. Entah hal itu susah untuk diberitakan dalam tulisan ini. Yang jelas dirinya sudah beberapa minggu kalau mau makan beli diluar Ponpes. Sampai akhirnya ada panggilam  ke Majmu Syarif yang menandai diakhirinya ia menginap di rumah Pak Kyai pemilik Yayasan.
            Mudah-mudahan dengan penjelasan Ibunya utusan dari Darunnajah tadi mengerti sebab dirinya tak mau lagi berada disalah satu rumah pengurus. Biarlah dirinya hanya kuliah semata dengan tidak ikut membantu-bantu bekerja didalam Yayasan. Kalau sudah menyangkut perasaan yang ada didalam bathin memang agak susah untuk dijelaskannya juga. Sama-sama berbaik sangka saja agar pengunduran dirinya bisa dimengerti oleh yang lainnya juga.
                                                                        ***
            Ada yang membuat dirinya senang selama berada di Muqoddasi Thuwa. Bebarapa pengalaman yang diterimanya selama di Muqoddasi Thuwa merupakan suatu penghargaan yang sangat berarti. Bisa menyaksikan apa yang tidak semua orang bisa menyaksikannya. Satu hal yang membuat Kusno tak pernah lupa kalau dirinya mendapat julukan Muhammad Hilai As Syarif Hidayatullah sebagi wisudawan pertama di Muqodasi Thuwa.
            Hari-hari di Muqoddasi Thuwa akhirnya bisa terlaksana dengan baik. Tugasnya untuk bisa menyelesaikan membaca Al Qur’an selama 4 kali khataman akhirnya bisa  diselesaikan. Waktu-waktu yang tentunya tidak mudah dengan begitu saja bisa menyelesaikan membacanya. Dengan penerangan yang seadanya bisa menyelesaikan pembacaan itu.
            Tibalah saatnjya untuk diwisuda di Masjid Majmu Syarif. Tradisi yang hampir tidak ada dimasjid-masjid manapun. Kembali hal ini dihidup-hidupkan lagi oleh Pak Kyai Sibag dimana beliau mengadopsi dari apa yang pernah diajarakan oleh para Wali dahulu.
            Wisudawan berjalan dari Msjid Majmu Syarif berjalan perlahan-lahan menuju Baitul Makmur. Jamaah yang ada di masjid selalu membacakan puji-pujian yang dipimpin oleh Pak Kyai. Makin keras saja apa yang dibacanya membuat suasana ruangan begitu terasa hidmat. Oleh jamaah yang lain saja terasa berdebar-debar apalagi oleh yang mengalaminya langsung. Wisudawan terus berjalan menuju Arsy yang diiringi puji-pujian yang tak pernah berhenti. Akhirnya widudawan berada di Sidratul Muntaha lalu bersalaman dengan Imam di Mihrab. Di mihrab inilah wisudawan kembali membaca 2 kalimat syahadat. Sunguh terasa hidmat sekali acara ini. Semua yang hadir terpana bahkan ada yang menangis dengan ritual yang untuk pertama kalinya dilakukan di Masjid Majmu Syarif.
            Tentu sebagai wisudawan dengan kejadian yang baru pertamakali dialami ini sunguh luar biasa. Sukacita, menangis kerena haru bisa menyelesikan pembacaan di Muqoddasi Tuhwa selama 10 hari dengan 4 kali khataman. Diberikan suatu kemudahan kalau Kusno bisa meyelesaikan semua ini dengan baik. Langkahnya ini berarti untuk membuka jalan bagi santri-santri lainnya di Majmu Syarif yang sedang berada di Muqoddasi Thuwa .
            Harus lebih hati-hati lagi setelah berhasil di wisuda. Setidaknya sebagai orang pertama yang diwisuda harus bisa memberikan contoh pada santri Majmu Syarif yang lain. Kini badannya mulai peka dengan apa yang terjadi disekitarnya. Kalau ada tugas yang harus dilaksanakan tapi dirinya belum mengerjakan maka akan membuat  badannya seperti sakit. Jadi kini dirinya harus lebi berhati-hati lagi. Sanksi sudah menunggu kalau apa yang diperintahkan tidak dilaksanakan. Untungnya badannya ini  mulai peka dengan apa yang diperintahkan. Bila ada perintah secepatnya untuk bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
            Bila ada waktu libur maka kesempatan itu langsung digunakan untuk secepatnya berada di Masjid Majmu Syarif. Kuliah dan mencari ilmu merupakan dua hal yang sama-sama pentingnya. Ilmu yang diperoleh di Majmu Syarif  memang tidak bisa dicari dibangku kuliah. Makanya kalau ada kesempatan luang cepat-cepat untuk bisa berkumpul dengan jamaah Majmu Syarif yang lain.
            Duduk dibarisan paling depan sambil membaca Al Qur’an. Hadup tak jauh dari Al Qur’an sebab itulah sebaik-baiknya petunjuk yang dimiliki umat Islam. Berapa kali saja khatam lalu diulangi lagi sampai khatam lagi. Alumni wisudawan Majmu Syarif yang pertama  ini terus saja mengumandangkan Al Qur’an dalam hidupnya. Ada suatu kenikmatan tersendiri kalau sudah duduk membaca Al Qur’an.

                                                                                           Cirebon, 24 Pebruari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar