Cerpen
Wisudawan Pertama
Muqoddasi
Thuwa
Oleh : Nurdin Kurniawan
Badan masih
terasa pegal-pegal. Sebagai mahasiswa senior kemarin Kusno ditugasi untuk membimbing
anak-anak yang akan melakukan Praktek Pengabdian Masyarakat (PPM). Ada 6 orang
yang harus dibimbing selama 6 hari di Ciamis. Alhamdulillah sampai hari akhir bisa dilaksanakan dengan baik.
Tinggal menyusun laporan untuk dilaporkan pada Dosen Pembimbing.
Selama
ada di Ciamis kegiatan dzikirnya sementara diganti dengan yang lain. Maklumlah
waktu seperti terasa sibuk sekali. Kalau masih dzikir disana khawatir bisa
menembak teman-teman yang lain. Jadi sebahai gantinya dzikir digandi dengan melaksanakan
puasa. Alhamdulillah pusa bisa
dikhatamkan dengan baik. Setelah beres-beres akhirnya rombongan pulang lagi ke
Jakarta. Bada maghrib sudah sampai lagi
di kampus.
Hari
ini perasaan Kusno seperti tidak tenang.
Setelah sampai di kampus ingin saja terus pulang lagi ke Cirebon. Entah kenapa
pula barang-barang yang ada di kamar ini dibawa semunya dalam tas. Tidak biasanya
puka ada bus Dedi Jaya yang nongkrong depan kampus padahal bus ini tidak melalui
trayek depan kampus. Langsung saja Kusno
masuk bus untuk pulang kampung. Jam sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Walau badan terasa capai dari
Ciamis tapi keinganan kuat untuk pulang
kampung tak bisa dihindari.
Sampai
di rmah suda pagi. Menginap semalan dirumah orangtua esok paginya langsung menuju
Masjid Majmu Syarif. Benar saja apa yang menurut hati ini ada sesuatu. Ternyata
ada tugas yang harus diselesaikan selama ada di Cirebon. Setelah bertemu dengan
Pak Kyai beliu memberitahu kalau Kusno harus
menyelesaiakan mengaji Al Qur’an selama 4 kali khataman di Muqoddasi Thuwa.
Apa pula itu Muqoddasi Thuwa lalu dijelaskan
oleh Pak Kyai. Kalau kita sering ngaji maka dalam kisah perjalanan Musa ada
yang disebut dengan Muqoddasi Thuwa. Suatu lembah Thuwa dimana Musa digembleng
dari sifat-sifat takut dan rasa khawatir yang tidak-tidak. Tempatnya untuk
santri-santri Majmu Syarif adalah di kompek pemakaman yang disebut orang-orang
disana dengan sebutan Makam Mbah Jewo. Selama di Muqoddasi Thuwa setidaknya harus
menyelesaikan 4 kali khataman.
Pantesan
selama di Jakarta selalu ada saja keingian untuk pulang ke Cirebon. Rupanya
sudah ada panggilan lagi kalau dirinya harus menyelesaikan pembacaan Al Qur’an
di Muqoddasi Thuwa. Dan baru tempat yang untuk pertama kali ada dan diamanatkan untuk dilaksanakan. Ternyata
Muqoddasi Thuwa hanyalah sebuah sampel penggemblengan jiwa. Kalau di masa Musa
benar-benar namanya Muqoddasi Thuwa maka kali ini bagi santri Majmu Syarif yang
namanya Muqoddasi Thuwa bisa diartikan suatu tempat. Tempatnya bisa dimana saja
yang jelas merupakan suatu tempat penggemblengan manusia dari sifat-sifat takut
dan mengusir sifat-sifat khawatir.
Tidak
sendiri keberadaan Kusno di Muqoddasi Thuwa karena disitu sudah ada Ustad
Dasuki. Tadinya Ustad Dasuki yang membaca Al Qur’an. Dengan masuknya
Kusno maka posisi membaca Al Qur’an diserahkan ke Kusno dan ustad Dasuki yang membaca Surat
Al Fatihah.
Malam pertama di Muqoddasi Thuwa memang tak ada gangguan yang berarti. Membaca Al Qur’an juz demi juz bisa diselesikan dengan baik. Baru pada malam-malam barikutnya mulailah ada ulah dari mahkluk yang ada disitu. Seperti ada bau rebusan kacang. Kalau bau yang seperti ini menurut Pak Kyai adalah datang dari bangsa jin. Biarlah mereka kalau mau lewat tinggal lewat jangan mengganggu orang-orang yang sedang mengaji.
Tugas membaca Al Qur’an
terus dilaksanakan dengan baik. Kalau belum pukul 03.00 pagi maka jangan pergi dahulu. Ketentuan ini selalu dipegang
teguh oleh Kusno. Walau diantara santri yang
lain ada yang sudah meninggalkan Muqoddasi Thuwa namun Kusno tetap di Muqoddasi Thuwa. Patokannya tetap
sebelum pukul 03.00 jangan dahulu meninggalkan Muqoddasi Thuwa.
Ditengah sedang membaca Al Qur’an ada orang yang mengaku dirinya sebagai
Abah Baidowi. Orang itu mengatakan kalau dirinya boleh secepatnya meninggalakan Muqodasi Thuwa.
“Kalau mau pulang ke Majmu Syarif silahkan”
Melihat teman-teman yang lain juga sudah pada pulang sebelum pukul 03.00 maka Kusno terbawa-bawa ingin pulang. Lagi pula Abah Baidowi sudah mengijinkan dirinya untuk kembali lagi ke Masjid Majmu Syarif.
Dilihat jam di Masjid memang belum menunjukkan pukul 03.00. Rasa kantuk yang sungguh berat membuat Kusno akhirnya melanjutkan
tidur di masjid. Disinilah nikmatnya kalau orang diberi rasa kantuk. Waktu yang ada benar-benar bisa digunakan untuk istirahat.
Kumandang adzan shubuh terdengar nyaring. Kuso membereskan barang-barang yang tadi digunakan untuk tidur. Diberes-beres dirinya sempat heran. Kok
sarung yang ia kenakan basah semua? Apakah dirinya ngompol? Dipegang bagian celana dalam tak ada yang
basah. Tapi kenapa sarung ini basah? Kusno baru menyadari ternyata ini sama dengan ujian. Tadi selama di Muqoddasi Thuwa dirinya pulang lebih awal. Ini
sudah menyalahi dari aturan. Kalau begitu dalam dirinya masih ada rasa takut. Kepikiran juga sebab nanti kalau
pulang lagi ke Jakarta aku ini harus menginap dimana? Barang-barang yang ada
dirumah Pak Kyai pemilik Yayasan sudah diangkut semua. Kusno keluar dari rumah
itu juga tidak bilang-bilang dahulu alias kabur. Hal inilah yang rupanya terbawa selama dirinya berada di Muqoddasi Thwa. Dalam dirinya berarti
masih ada rasa
takut, takut kalau tidak bisa mencari rumah buat kos-kosan selama kuliah di
Darunnajah.
Apa yang dilhatnya sebagai Abah Baidowi selama di Muqoddasi Thuwa ternyata setelah dikonfirmasikan ke Pak
Kyai ternyata bukan Abah Baidowi. Itu adalah jin yang mengaku-ngaku
sebagai Abah Baidowi. Jadi baru tahu kalau selama di Muqoddasi Thuwa siapa saja bisa terjadi. Ada yang mengaku-ngaku sebagai Abah segala. Ini semua tentunya agar santri yang ada di Muqoddasi Thuwa gagal dalam melaksanakan tugasnya. Kini harus lebih hati-hati kalau ada di Muqoddasi Thuwa.
Ujian yang dilakukan bisa gagal hanya
karena kita tidak tanggap dangan situasi. Makanya lain kali bila ada hal-hal yang menyuruh untuk
pulang cepat ataupun yang mengaku-ngaku sebagai Abah
Baidowi harus hati-hati disikapinya. Jangan-jangan jin yang seperti kemarin yang tujuannya agar apa yang
dibaca buyar.
***
Datang terlihat muka pulag terlihat punggung demikian adat ketimuran mengajarkan kalau kita bertamu harus tahu tata tertibnya. Lama tak ada khabar beritanya membuat Pak Kyai dari Darunnajah mengutus seseorang
utusan menanyakan khabar tentang Kusno. Utusan itu datang menemui Ibunya Kusno karena memang Kusno masih berada di Majmu Syarif.
Ada perasaan tak enak juga menghadapi kedatangan utusan Pak Kyai.
“Kemana saja Kusno?”
“Kok begitu usai PPM
langsung pulang tanpa
memberitahu Pak Kyai!”
“Terus sudah beberapa
hari tidak datang-datang lagi?”
“Apa mau seterusnya
atau bagaimana?”
Ibu Kusno sudah juga untuk menjelaskan hal ini. Kusno sudah berketetapan untuk tidak tinggal lagi di
rumahnhya Pak Kyai. Seperti ada pertentangan bathin yang
tidak bisa dijelaskan dengan pikiran orang biasa. Dari pemikiran yang seperti
inilah yang membuat Kusno terpaksa harus hengkang dari rumah Pak Kyai. Padahal kalau dipikir-pikir selama tingggal di rumah Pak Kyai dirinya digaji Rp. 350.000 sebulan. Tugasnya hanya mengurus anaknya Pak Kyai yang mengalami kelainan
mental. Makan tidur disitu dan tidak membedakannya kalau dirinya adalah orang
lain.
Susah juga untuk menjelaskannya dangan berbagai kebaikan yang telah diberikan oleh Pak Kyai. Ibu Kusno akhirnya hanya memberikan keteragan kalau anaknya ada tugas yang harus diselesaikan di Majmu Syarif. Kepergiannya dari rumah Pak Kyai tidak ada alasan apa-apa jadi mohon maaf kalau tidak memberitahukan langsung kepergianya
pada Pak Kyai.
Utusan yang datangpun akhirnya mulai mengerti dengan alasan yang dikemukakan
Ibunya Kusno.
Sudah sejak beberapa
minggu menginap di rumah Pak Kyai memang Kusno tidak makan dirumah beliau. Ada perang bathin yang membuatnya tidak bisa menerima makanan yang ada dirumah Pak Kyai. Entah hal itu susah untuk diberitakan dalam tulisan ini. Yang jelas dirinya sudah
beberapa minggu kalau mau makan beli diluar Ponpes. Sampai akhirnya ada panggilam
ke Majmu Syarif yang menandai diakhirinya ia menginap di rumah Pak Kyai
pemilik Yayasan.
Mudah-mudahan dengan penjelasan Ibunya utusan dari Darunnajah tadi
mengerti sebab dirinya tak mau lagi
berada disalah satu rumah pengurus. Biarlah dirinya hanya kuliah semata dengan tidak ikut membantu-bantu bekerja didalam Yayasan. Kalau sudah menyangkut perasaan yang
ada didalam bathin memang agak susah untuk dijelaskannya juga. Sama-sama berbaik sangka saja agar pengunduran dirinya bisa dimengerti oleh yang lainnya juga.
***
Ada yang membuat dirinya senang selama berada di Muqoddasi Thuwa. Bebarapa pengalaman yang diterimanya selama di Muqoddasi Thuwa merupakan suatu penghargaan yang sangat berarti. Bisa menyaksikan apa yang tidak semua orang bisa menyaksikannya. Satu hal
yang membuat Kusno tak pernah lupa kalau dirinya mendapat
julukan Muhammad Hilai As Syarif Hidayatullah sebagi wisudawan pertama di
Muqodasi Thuwa.
Hari-hari di Muqoddasi
Thuwa akhirnya bisa terlaksana dengan baik. Tugasnya untuk bisa menyelesaikan membaca Al Qur’an selama 4 kali khataman akhirnya bisa diselesaikan.
Waktu-waktu yang tentunya tidak mudah
dengan begitu saja bisa menyelesaikan membacanya. Dengan penerangan yang seadanya bisa menyelesaikan pembacaan itu.
Tibalah saatnjya untuk
diwisuda di Masjid Majmu Syarif. Tradisi yang hampir tidak ada
dimasjid-masjid manapun. Kembali hal ini dihidup-hidupkan lagi oleh Pak Kyai
Sibag dimana
beliau mengadopsi dari apa yang pernah diajarakan oleh para Wali dahulu.
Wisudawan berjalan dari
Msjid Majmu Syarif berjalan perlahan-lahan menuju Baitul Makmur. Jamaah yang
ada di masjid selalu membacakan puji-pujian yang dipimpin oleh
Pak Kyai. Makin keras saja apa yang
dibacanya membuat suasana
ruangan begitu terasa hidmat. Oleh jamaah yang lain saja terasa berdebar-debar apalagi oleh yang mengalaminya
langsung. Wisudawan terus berjalan menuju Arsy yang diiringi puji-pujian yang tak pernah berhenti. Akhirnya widudawan
berada di Sidratul Muntaha lalu bersalaman dengan Imam di Mihrab. Di mihrab inilah wisudawan
kembali membaca 2 kalimat syahadat. Sunguh terasa hidmat sekali acara ini.
Semua yang hadir terpana bahkan ada yang menangis dengan ritual yang untuk pertama kalinya dilakukan di
Masjid Majmu Syarif.
Tentu sebagai wisudawan dengan kejadian yang baru pertamakali dialami ini sunguh luar biasa. Sukacita, menangis kerena haru bisa menyelesikan pembacaan di Muqoddasi Tuhwa selama 10 hari dengan 4 kali khataman. Diberikan
suatu kemudahan kalau Kusno bisa meyelesaikan semua ini dengan baik. Langkahnya ini berarti untuk membuka jalan bagi santri-santri lainnya di Majmu Syarif yang sedang berada di Muqoddasi Thuwa .
Harus lebih hati-hati lagi setelah berhasil di wisuda. Setidaknya
sebagai orang pertama yang
diwisuda harus bisa memberikan contoh pada santri Majmu Syarif yang lain. Kini badannya
mulai peka dengan apa yang terjadi disekitarnya. Kalau ada tugas yang harus dilaksanakan tapi dirinya belum mengerjakan maka akan membuat
badannya seperti sakit. Jadi kini dirinya harus lebi berhati-hati lagi. Sanksi sudah menunggu kalau apa yang diperintahkan tidak dilaksanakan. Untungnya badannya ini mulai peka dengan apa yang diperintahkan. Bila ada perintah secepatnya
untuk bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Bila ada waktu libur
maka kesempatan itu langsung digunakan untuk secepatnya berada di Masjid Majmu Syarif. Kuliah dan mencari ilmu merupakan dua hal yang sama-sama pentingnya. Ilmu yang diperoleh di Majmu Syarif memang
tidak bisa dicari dibangku kuliah. Makanya kalau ada kesempatan
luang cepat-cepat untuk bisa berkumpul
dengan jamaah Majmu Syarif yang lain.
Duduk dibarisan paling
depan sambil membaca Al Qur’an. Hadup tak jauh dari Al Qur’an sebab
itulah sebaik-baiknya petunjuk yang dimiliki umat Islam. Berapa kali saja khatam lalu diulangi lagi sampai
khatam lagi. Alumni wisudawan Majmu Syarif yang pertama ini terus saja mengumandangkan Al Qur’an dalam hidupnya. Ada suatu kenikmatan tersendiri kalau sudah duduk membaca Al Qur’an.
Cirebon, 24 Pebruari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar