Cerpen
JALAN
TERBAIK
Oleh : Nurdin Kurniawan
Batin ini menjerit mendengarkan
penuturan anak keduanya yang begitu dirasakan menusuk relung hati yang paling dalam.
“Biarlah Neng berhenti kuliah saja”
“Kasihan Teteh yang sebentar lagi
selesai kuliahnya”
“Kalau Neng masih terlalu lama”
“Biar Neng ikut bantu Ayah saja
mencari uang”
Dipeluknya si
buah hati yang begitu tulus mengemukakan kalimat yang Mang Dadang tidak
menyangka akan keluar dari mulut anaknya. Mang Dadang mengakui kalau saat
ini dirinya sedang dihadapkan pada persoalan ekonomi. Tapi sebagai orangtua ia
tak ingin harus ada yang dikorbankan. Ia ingin anak-anaknya bisa selesai semua
kuliahnya.
Barang-barang sang anak yang sudah
dikemas dalam tas besar akhirnya ia bawa. Kamar kost-kosan si anak di Tasikmalaya
segera ia tinggalkan. Mang Dadang tak ingin melihat kebelakang yang membuatnya
makin sedih. Tadi saja ketika ia mau menjemput Neng anak keduanya ini tertunduk
lesu. Ia duduk dilantai sambil merapatkan kedua kakinya. Neng memeluk kedua
kakinya sambil menunggu Ayah datang.
Terenyuh sekali hati Dadang melihat
si buah hati duduk di lantai memeluk lututnya sementara tas besar ada disampingnya.
Ini sungguh dirasakan amat berat oleh anaknya. Tak seharusnya ia cuti kalau
saja Mang Dadang ada uang untuk melanjutkan kuliah Neng.
“Sudah siap?"
Neng
menganggukkan kepala tanda siap untuk pulang ke Cirebon. Mang Dadang membuka
sekali lagi lemari yang dipinjamkan si ibu kost. Dibuka dan memang sudah tidak
ada apa-apanya lagi. Lemarinya sudah kosong. Permisi pada Ibu kost kalau ada
acara di rumah yang mengharuskan Neng pulang. Mang Dadang tak mau mengatakan hal yang sesungguhnya karena akan
menyakitkan perasaan anak keduanya .
Di perjalanan juga tak banyak yang
diungkapkan Mang Dadang pada Neng anak keduanya ini. Sepanjang jalan seperti terasa
sepi. Entah kenapa pula sepertinya mulut ini terkunci. Tapi Mang Dadang
sesekali memeluk anaknya. Perasaan sang Ayah yang tidak tega melihat si buah
hati harus pulang ke kampung halamannya lagi sementara kuliahnya belum selesai.
“Kalau Ayah ada rejeki lagi kuliah Neng harus berlanjut”
Neng hanya diam
tak memberikan jawaban dengan apa yang
diungkapkan sang Ayah. Dirinya mengerti benar kalau keputusan ini termasuk
berat.
Anak keduanya ini memang beda dengan
anak-anak Mang Dadang yang lain. Ia mengerti benar dengan apa yang
sedang dirasakan keluarga. Sudah banyak kejadian yang membuat Mang Dadang salut pada anak keduanya ini. Dulu ketika
anaknya masih SMA, Neng rupanya menjadi bendahara kelas. Entah ia pegang uang
apa dari sekolah. Pada saat yang bersamaan Mang Dadang membutuhkan uang.
Mencari kesana kemari tidak mendapatkan. Tahu kalau Ayahnya sedang galau
mencari sesuatu maka Neng menghadap.
“Ayah seperti sedang bingung?”
Mang Dadang kaget lalu meperbaiki posisi seperti tak ada
apa-apa. Rupanya Neng ini bisa membaca pikiran orang lain. Apa yang dialami sang
Ayah seperti bisa ditebak. Akhirya Mang Dadang menceritakan apa sebab dirinya
gelisah seperti ini.
“Ayah lagi butuh uang”
Mang Dadang lalu
menyebutkan keperluan mendadak yang harus segera ditutup. Neng lalu masuk kamar
dan membawa kantung keresek hitam yang berisi uang kertas ribuan.
“Neng ada uang tapi ini uang
teman-teman Neng!”
“Kalau Ayah mau pinjam silahkan saja
tapi harus diganti dengan segera”
Tak enak
perasaan Dadang sebagai seorang ayah. Malu harus meminjam uang dari anaknya
yang jelas-jelas bukan uang miliki sendiri. Tapi karena butuh harus bagaimana
lagi? Ya dengan terpaksa akhirnya uang teman-teman Neng ia terima. Konsekwensinya
Dadang sangat paham. Ia harus mengganti dengan jumlah yang sama disaat anaknya
ini membutuhkan uang itu lagi.
Kejadian itu sudah berlangsung cukup
lama sampai akhirnya Mang Dadang lupa kalau ia pinjam uang kas kelas anaknya .
Neng pun tak pernah mengingatkan Mang Dadang kalau dirinya pinjam uang. Sampai
suatu saat Neng terlihat lembab matanya seperti habis menangis. Mang Dadang
penasaran ada apa dengan anaknya ini.
“Neng malu”
“Pak
Guru menagih uang kas yang dipegang Neng”
“Memang kemanakan uang kas itu?”, tanya
Mang Dadang keheranan.
“Uangnya kan dipakai Ayah!”
Mang Dadang memejamkan
mata. Istigfar beberapa kali. Ia tak
sadar kalau uang itu dulu pernah ia pinjam. Ia lupa sampai anaknya ini mengingatkan
dengan suatu peristiwa yang menurut Mang Dadang tidak seharusnya terjadi. Neng lalu
dipeluk ayahnya erat-erat.
“Maafkan Ayah…”
“Ayah lupa kalau Ayah yang meminjam
uang itu”
Mang Dadang
akhirnya mengeluarkan uang seperti yang dahulu ia pinjam pada anaknya ini.
Bahkan Mang Dadang lebihkan agar anaknya ini bisa tersenyum lagi. Tetap saja
sebagai orangtua ada perasaan dosa yang begitu besar terhadap anaknya. Kalau
sudah lupa dirinya memang tak ingat apa-apa. Bagi Mang Dadang sebagai seorang
Ayah uang itu tidaklah seberapa, tapi bagi Neng sudah tentu sangatlah berharga.
Dari peristiwa itu Mang Dadang selalu perhatian pada anaknya yang nomer dua
ini. Rasa sosialnya begitu tingggi, ia peduli sekali dengan kesulitan yang
dihadapi orang lain termasuk dirinya sebagai Ayah.
Berhentinya Neng dari kuliah memang
hal yang berat bagi Mang Dadang. Inilah jalan yang terbaik untuk saat ini.
Terasa berat bagi seorang Ayah memutuskan hal yang seperti ini. Namun apa daya
ketika dirinya harus dihadapkan pada sebuah pilihan. Yang sementara waktu
inilah jalan terbaik buat putrinya. Keputusan yang sangat berat yang harus
dilakukan. Mang Dadang berharap putrinya ini mengerti dengan kondisi yang sedang
dihadapi. Siapa sih yang ingin anaknya berhenti kuliah di tengah jalan?
***
Di keheningan malam Mang Dadang curahkan segala isi hati pada Yang Maha Kuasa.
Mang Dadang memohon petunjuk dengan
semua apa yang sedang ia rasakan. Hidup ini sepertinya sedang berada di
titik kulminasi yang paling bawah. Bagaimana tidak? Dahulu ia yang sering membantu
adik-adiknya sampai sekolahnya selesai. Kini? Mang Dadang sampai menggeleng-gelengkan
kepala. Kok dirinya yang ditolong sang adik. Ada adiknya yang menjelang Idul
Fitri kemarin datang ke rumah. Adiknya itu datang dengan membawa beras dan telur ayam. Bagi Mang Dadang ini adalah perbuatan yang tidak
lazim . Biasanya dirinyalah yang memberikan hal seperti itu apa beberapa
adiknya.
Mang Dadang beserta istri dan
anak-anak menangis melihat semua ini. Baru kali ini peristiwa yang seperti ini
terjadi. Lebaran yang seharusnya disambut gembira namun untuk tahun ini banyak
sekali cerita sedihnya.
Bila meningat kejadian yang seperti
ini Mang Dadang buru-buru istigfar.
Dirinya lalu teringat akan nasihat guru spiritualnya. Kyai Sibag selalu
memberikan nasihat-nasihat yang selalu menggugah jiwa.
“Mang Dadang ini sedang dibersihkan”
“Harus bayak bersabar dan sholatlah”
“Wastainu
bis sobri was sholah”
Plong rasanya
kalau sudah Pak Kyai memberikan beberapa ayat yang menyatakan kalau dirinya memang
sedang dibersihkan. Dirinya harus banyak-banyak bersabar.
“Insya Allah Mang Dadang termasuk golongan
orang-orang yang ditinggikan derajatnya”
Kalau sudah
mendengarkan nasihat seperti ini Mang Dadang makin yakin kalau memang apa yang
dialami di rumah hanyalah merupakan ujian. Mang Dadang yakin pula kalau Allah
tak akan menguji kaumnya melebihi dari kemampuan.
Mang Dadang lebih yakin lagi kalau
apa yang dialami dirinya ini akan berakhir dengan kemenangan. Salah seorang
jamaah yang jarang ngomong justru berani menasehati Mang Dadang.
“Tenang saja Mang Dadang”
“Dulu juga Pak Kyai habis-habisan
hartanya…”
“Lihat sekarang?”
“Setelah dibersihkan apa yang dulu
hilang kini kembali lagi!”
Mang Dadang
tersenyum. Tumben si Wata anak baru kemarin bisa menasehati dirinya. Tapi Mang
Dadang buru-buru istigfar. Jangan
melihat siapa yang bicara! Tapi lihatlah apa yang ia ucapkan itu. Kini Mang Dadang makin yakin setelah si Wata
ngomong demikian. Dirinya memang sedang memasuki suatu fase dimana orang yang akan diangkat
derajatnya maka ia akan dibersihkan terlebih dahulu. Mang Dadang yakin inilah jalan yang terbaik untuk dirinya.
Jalan yang sudah diprogram oleh Yang Maha Kuasa. Dirinya harus banyak bersabar
dan sholat.
Makin larut maka makin nikmat yang
dirasakan Mang Dadang. Tangannya masih saja memilah-milah biji tasbeh. Mengagungkan
asma Allah dikeheningan malam. Sebagai manusia biasa dirinya berharapa agar apa
yang sedang dialami anak, istri dan keluarga minta diberikan jalan yang
terbaik. Suatu jalan yang didalamnya ada rahmat dan rahman, jalan pencarian menuju ridho Allah SWT.
Cirebon, 2 Oktober
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar