Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Jumat, 05 Juli 2019

JALAN TERBAIK (Cerpen)


Cerpen
JALAN  TERBAIK
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Batin ini menjerit mendengarkan penuturan anak keduanya yang begitu dirasakan menusuk relung  hati yang paling dalam.
            “Biarlah Neng berhenti kuliah saja”
            “Kasihan Teteh yang sebentar lagi selesai kuliahnya”
            “Kalau Neng masih terlalu lama”
            “Biar Neng ikut bantu Ayah saja mencari uang”
Dipeluknya si buah hati yang begitu tulus mengemukakan kalimat yang Mang Dadang tidak menyangka akan  keluar dari mulut      anaknya. Mang Dadang mengakui kalau saat ini dirinya sedang dihadapkan pada persoalan ekonomi. Tapi sebagai orangtua ia tak ingin harus ada yang dikorbankan. Ia ingin anak-anaknya bisa selesai semua kuliahnya.
            Barang-barang sang anak yang sudah dikemas dalam tas besar akhirnya ia bawa. Kamar kost-kosan si anak di Tasikmalaya segera ia tinggalkan. Mang Dadang tak ingin melihat kebelakang yang membuatnya makin sedih. Tadi saja ketika ia mau menjemput Neng anak keduanya ini tertunduk lesu. Ia duduk dilantai sambil merapatkan kedua kakinya. Neng memeluk kedua kakinya sambil menunggu Ayah datang.
            Terenyuh sekali hati Dadang melihat si buah hati duduk di lantai memeluk lututnya sementara tas besar ada disampingnya. Ini sungguh dirasakan amat berat oleh anaknya. Tak seharusnya ia cuti kalau saja Mang Dadang ada uang untuk melanjutkan kuliah  Neng.
            “Sudah siap?"
Neng menganggukkan kepala tanda siap untuk pulang ke Cirebon. Mang Dadang membuka sekali lagi lemari yang dipinjamkan si ibu kost. Dibuka dan memang sudah tidak ada apa-apanya lagi. Lemarinya sudah kosong. Permisi pada Ibu kost kalau ada acara di rumah yang mengharuskan Neng pulang. Mang Dadang tak mau mengatakan      hal yang sesungguhnya karena akan menyakitkan perasaan anak keduanya .
            Di perjalanan juga tak banyak yang diungkapkan Mang Dadang pada Neng anak keduanya ini. Sepanjang jalan seperti terasa sepi. Entah kenapa pula sepertinya mulut ini terkunci. Tapi Mang Dadang sesekali memeluk anaknya. Perasaan sang Ayah yang tidak tega melihat si buah hati harus pulang ke kampung halamannya lagi sementara kuliahnya belum selesai.
            “Kalau Ayah ada rejeki lagi  kuliah Neng harus berlanjut”
Neng hanya diam tak memberikan  jawaban dengan apa yang diungkapkan sang Ayah. Dirinya mengerti benar kalau keputusan ini termasuk berat.
            Anak keduanya ini memang beda  dengan  anak-anak Mang Dadang yang lain. Ia mengerti benar dengan apa yang sedang dirasakan keluarga. Sudah banyak kejadian yang membuat Mang Dadang  salut pada anak keduanya ini. Dulu ketika anaknya masih SMA, Neng rupanya menjadi bendahara kelas. Entah ia pegang uang apa dari sekolah. Pada saat yang bersamaan Mang Dadang membutuhkan uang. Mencari kesana kemari tidak mendapatkan. Tahu kalau Ayahnya sedang galau mencari sesuatu maka Neng menghadap.
            “Ayah seperti sedang bingung?”
Mang Dadang  kaget lalu meperbaiki posisi seperti tak ada apa-apa. Rupanya Neng ini bisa membaca pikiran orang lain. Apa yang dialami sang Ayah seperti bisa ditebak. Akhirya Mang Dadang menceritakan apa sebab dirinya gelisah seperti ini.
            “Ayah lagi butuh uang”
Mang Dadang lalu menyebutkan keperluan mendadak yang harus segera ditutup. Neng lalu masuk kamar dan membawa kantung keresek hitam yang berisi uang  kertas ribuan.
            “Neng ada uang tapi ini uang teman-teman Neng!”
            “Kalau Ayah mau pinjam silahkan saja tapi harus diganti dengan segera”
Tak enak perasaan Dadang sebagai seorang ayah. Malu harus meminjam uang dari anaknya yang jelas-jelas bukan uang miliki sendiri. Tapi karena butuh harus bagaimana lagi? Ya dengan terpaksa akhirnya uang teman-teman Neng ia terima. Konsekwensinya Dadang sangat paham. Ia harus mengganti dengan jumlah yang sama disaat anaknya ini membutuhkan uang itu lagi.
            Kejadian itu sudah berlangsung cukup lama sampai akhirnya Mang Dadang lupa kalau ia pinjam uang kas kelas anaknya . Neng pun tak pernah mengingatkan Mang Dadang kalau dirinya pinjam uang. Sampai suatu saat Neng terlihat lembab matanya seperti habis menangis. Mang Dadang penasaran ada apa dengan anaknya ini.
            “Neng malu”
“Pak Guru menagih uang kas yang dipegang Neng”
            “Memang kemanakan uang kas itu?”, tanya Mang Dadang  keheranan.
            “Uangnya kan dipakai Ayah!”
Mang Dadang memejamkan mata. Istigfar beberapa kali. Ia tak sadar kalau uang itu dulu pernah ia pinjam. Ia lupa sampai anaknya ini mengingatkan dengan suatu peristiwa yang menurut Mang Dadang tidak seharusnya terjadi. Neng lalu dipeluk ayahnya erat-erat.
            “Maafkan Ayah…”
            “Ayah lupa kalau Ayah yang meminjam uang itu”
Mang Dadang akhirnya mengeluarkan uang seperti yang dahulu ia pinjam pada anaknya ini. Bahkan Mang Dadang lebihkan agar anaknya ini bisa tersenyum lagi. Tetap saja sebagai orangtua ada perasaan dosa yang begitu besar terhadap anaknya. Kalau sudah lupa dirinya memang tak ingat apa-apa. Bagi Mang Dadang sebagai seorang Ayah uang itu tidaklah seberapa, tapi bagi Neng sudah tentu sangatlah berharga. Dari peristiwa itu Mang Dadang selalu perhatian pada anaknya yang nomer dua ini. Rasa sosialnya begitu tingggi, ia peduli sekali dengan kesulitan yang dihadapi orang lain termasuk dirinya sebagai Ayah.
            Berhentinya Neng dari kuliah memang hal yang berat bagi Mang Dadang. Inilah jalan yang terbaik untuk saat ini. Terasa berat bagi seorang Ayah memutuskan hal yang seperti ini. Namun apa daya ketika dirinya harus dihadapkan pada sebuah pilihan. Yang sementara waktu inilah jalan terbaik buat putrinya. Keputusan yang sangat berat yang harus dilakukan. Mang Dadang berharap putrinya ini mengerti dengan kondisi yang sedang dihadapi. Siapa sih yang ingin anaknya berhenti kuliah di tengah jalan?
                                                                        ***
            Di keheningan malam Mang Dadang  curahkan segala isi hati pada Yang Maha Kuasa. Mang Dadang memohon petunjuk dengan     semua apa yang sedang ia rasakan. Hidup ini sepertinya sedang berada di titik kulminasi yang paling bawah. Bagaimana tidak? Dahulu ia yang sering membantu adik-adiknya sampai sekolahnya selesai. Kini? Mang Dadang sampai menggeleng-gelengkan kepala. Kok dirinya yang ditolong sang adik. Ada adiknya yang menjelang Idul Fitri kemarin datang ke rumah. Adiknya itu datang dengan  membawa beras dan telur ayam. Bagi  Mang Dadang ini adalah perbuatan yang tidak lazim . Biasanya dirinyalah yang memberikan hal seperti itu apa beberapa adiknya.
            Mang Dadang beserta istri dan anak-anak menangis melihat semua ini. Baru kali ini peristiwa yang seperti ini terjadi. Lebaran yang seharusnya disambut gembira namun untuk tahun ini banyak sekali cerita sedihnya.
            Bila meningat kejadian yang seperti ini Mang Dadang buru-buru istigfar. Dirinya lalu teringat akan nasihat guru spiritualnya. Kyai Sibag selalu memberikan nasihat-nasihat yang selalu menggugah jiwa.
            “Mang Dadang ini sedang dibersihkan”
            “Harus bayak bersabar dan sholatlah”
            Wastainu bis sobri was sholah”
Plong rasanya kalau sudah Pak Kyai memberikan beberapa ayat yang menyatakan kalau dirinya memang sedang dibersihkan. Dirinya harus banyak-banyak bersabar.
Insya Allah Mang Dadang termasuk golongan orang-orang yang ditinggikan derajatnya”
Kalau sudah mendengarkan nasihat seperti ini Mang Dadang makin yakin kalau memang apa yang dialami di rumah hanyalah merupakan ujian. Mang Dadang yakin pula kalau Allah tak akan menguji kaumnya melebihi dari kemampuan.
            Mang Dadang lebih yakin lagi kalau apa yang dialami dirinya ini akan berakhir dengan kemenangan. Salah seorang jamaah yang jarang ngomong justru berani menasehati Mang Dadang.
            “Tenang saja Mang Dadang”
            “Dulu juga Pak Kyai habis-habisan hartanya…”
            “Lihat sekarang?”
            “Setelah dibersihkan apa yang dulu hilang kini kembali lagi!”
Mang Dadang tersenyum. Tumben si Wata anak baru kemarin bisa menasehati dirinya. Tapi Mang Dadang buru-buru istigfar. Jangan melihat siapa yang bicara! Tapi lihatlah apa yang ia ucapkan itu.  Kini Mang Dadang makin yakin setelah si Wata ngomong demikian. Dirinya memang sedang memasuki suatu fase dimana              orang yang akan diangkat derajatnya maka ia akan dibersihkan terlebih dahulu. Mang Dadang  yakin inilah jalan yang terbaik untuk dirinya. Jalan yang sudah diprogram oleh Yang Maha Kuasa. Dirinya harus banyak bersabar dan sholat.
            Makin larut maka makin nikmat yang dirasakan Mang Dadang. Tangannya masih saja memilah-milah biji tasbeh. Mengagungkan asma Allah dikeheningan malam. Sebagai manusia biasa dirinya berharapa agar apa yang sedang dialami anak, istri dan keluarga minta diberikan jalan yang terbaik. Suatu jalan yang didalamnya ada rahmat dan rahman, jalan pencarian  menuju ridho Allah SWT.

                                                                                                              Cirebon, 2 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar