Cerpen
HELMI
FAJAR
Oleh : Nurdin Kurniawan
Kasihan juga melihat
sang adik tergolek lemas. Panasnya tak mau turun sementara kedua orangtuanya sedang tidak ada. Helmi
sebagai kakak nomer dua harus menjaga sang adik. Maklumlah Ibu dan Bapak sedang
menunaikan ibadah haji. Helmi masih ingat ketika Bapaknya menasehati sebelum ia
berangkat haji.
“Sholat
yang rajin”
“Jaga
kesehatan”
“Jangan
buat masalah di masyarakat”
Kalimat itu
begitu terasa terngiang dalam telinga. Ingat akan nasihat kedua orangtuanya
maka Helmi selalu menjalankan perintahnya.
Kasihan bila melihat sang adik.
Panasnya hanya panas biasa namun karena kebetulan kedua orangtua sedang tidak
ada jadi seperti ada sesutu yang sangat memprihatinkan.
“Jangan terlau dipikirkan”
“Adikmu ini hanya panas biasa”, ujar
sang paman ngedem-ngademi.
“Nanti
juga kalau obatnya habis akan sembuh”
Syukurlah
setelah minum obat kesehatan Irgi berangsur pulih kembali. Tadinya Helmi akan
memberitahukan kondisi adik ke Ibu dan Bapak. Tapi setelah dipikir-pikir hanya
akan membuat konsentrasi ibadah Ibu dan Bapak buyar saja. Biarlah apa-apa yang
terjafi di tanah air tak akan diceritakan pada Ibu dan Bapak. Biarkan Ibu dan
Bapak konsentrasi saja pada ibadah.
Helmi Fajar demikian nama anak ini.
Kelahiran Cirebon, 19 Mei 1998 terlahir tak terlalu jauh dari gonjang-ganjing
reformasi negeri ini. Masa diakhir Orde Baru. Dilahirkan ketika barang-barang
sulit dijumpai karena kerusuhan massal. Namun berkat perolongan Allah anak ini
tumbuh menjadi anak yang sehat. Lihat saja badannya yang gemuk, seolah bertolak
belakang dengan kondisi reformasi yang ditandai sulitnya sembako dijumpai
dipasar-pasar. Namun Helmi Fajar dapat tumbuh menjadi anak yang sehat.
Anak kedua dari 3 bersaudara.
Kakaknya juga dahulu adalah alumni sekolah ini. Sekolah dimana sekarang Fajar menuntut
ilmu. Jarak dari sekolah ke rumah hanya beberapa langkah saja. Inilah yang membuat
anak ini sering bolak-balik rumah ke sekolah kalau ada hal-hal yang perlu
diambil.
Saat kedua orangtuanya menjalankan
ibadah haji adalah saat-saat yang selaku terkenang oleh Fajar. Maklumlah di
rumah hanya ada kakak dan adik serta paman dan bibi yang ikut serta menjaga
rumah. Perasan sedih sekali ketika ditinggal orangtua menjalankan ibadah haji. Waktu-waktu yang ada terasa begitu lama sekali.
Malam dan siang selalu digunakan untuk mengharap secepatnya kehadiran Ibu dan
Bapak di tanah air lagi.
Selama kedua orangtua naik haji maka
dirumah diadakan acara ngaji rutin. Ngaji ini sengaja dilakukan agar kedua
orangtua dapat dengan tenang menjalankan ibadah haji. Waktunya usai sholat
isya. Ada sekitar 30 orang yang ngaji di rumah selam waktu yang 40 hari. Ini sengaja diundang selama 40 hari karena memang jadwal dari berangkat
dari rumah sampai kembali lagi ke rumah adalah 40 hari. Orang-orang disini menyebutnya
dengan acara Yasinan. Dipimpin langsung oleh Bapak Ustad Mui.
Suatu
hati Bapak ngebel ke tanah air. Waktu itu adik sedang sakit panas.
“Halo apa khabarnya semua?”
Fajar tahu kalau
di rumah adik sedang sakit namun untuk menjaga agar Ibu dan Bapak tenang dalam melaksanakan
ibadah maka Fajar katakan kalau semua yang ada di rumah sehat-sehat saja. Terdengar
senang sekali Bapak mendengarkan kalau
keadaan di tanah air sehat-sehat saja. Rindu memang mendengar suara Bapak dari
kejauhan. Syukurlah kalau kedua orangtua disana sehat selalu. Itulah yang Fajar
inginkan. Ingin agar Bapak dan Ibu selama di Arab
Saudi dalam
keadaan sehat selalu.
Bila Surat Yasin sudah terdengar
selalu saja teringat pada orangtua. Sedang apa disana? Apa yang sedang ia
lakukan bila malam-malam seperti ini? Pokoknya gambaran Ibu dan Bapak terasa
sekali. Ingin secepatnya kembali bersama lagi. Ingin waktu-waktu yang ada bisa
dihabiskan bersama-sama.
Terasa sekali kalau yang namanya
menunggu adalah waktu-waktu yang sangat membosankan. Setelah sekian lama berlalu
akhirnya sampai juga khabar berita kalau orangtua sudah berada di Jakarta. Hati
ini makin tak menentu. Ingin secepatnya bisa bertemu dengan Ibu dan Bapak.
Akhirnya khabar penantian itu terjawab sudah. Pukul 14.00 Bapak dan Ibu datang
lagi di rumah. Air mata ini sulit dibendung melihat kedua orangtua yang hampir
40 hari tidak bertemu dan kini berada di depan mata.
“Bagaimana sehat?”
Itulah
pertanyaan yang dikemukann Bapak melihat kami bertiga. Dirangkul satu per satu
seperti ketika beliau akan berangkat dahulu.
Alhamdulillah kini semuanya bisa
berkumpul bersama lagi.
Senang sekali dengan kehadiran
orangtua yang kini bisa berkumpul lagi. Satu hal lagi yang membuat kami tambah bersyukur adalah ketika
Bapak dan Ibu mulai mengeluarkan barang-barang bawaan dari Arab. Bapak dan Ibu
tak lupa dengan membeli oleh-oleh khas Arab.
“Ini tasbeh buat Fajar”
Aku diberi
tasbeh yang terbuat dari tulang onta. Sungguh bagus bentuknya bulat putih
mengkilat. Pemberian ini menandakan kalaun aku juga harus banyak- banyak
menyebut nama Allah. Biar aku tambah rajin dalam hal berdzikir. Ada lagi
oleh-oleh yang lainnya yang juga akan dibagikan pada para tetangga. Rumah ini
jadi ramai lagi dengan kehadiran orangtua.
Seperti itulah anak yang ditinggalkan
kedua orangtuanya menunaikan ibadah haji. Ada perasaan yang selalu
dinanti-nantikan akan kehadiran orang yang dijadikan panutan . Maklumlah kami
bertiga semuanya masih membutuhkan kasih sayang kedua orangtua. Waktu yang 40
hari terasa lama sekali. Namun itu semuanya telah berakhir dengan kembalinya
kedua orangtuaku bersama-sama lagi.
***
Jarak dari sekolah ke rumah tidak
terlalu jauh. Bahkan untuk anak-anak sekolah disini mungkin inilah jarak yang
paling dekat. Bagi Fajar tinggal jalan kaki saja. Dalam kurang dari 5 menit
sudah berada di halaman sekolah. Meski demkian yang namanya ongkos tetap harus ada. Setiap harinya
Fajar minta ke orangtua Rp. 4.000 uang itu habis semuanya buat jajan. Walau di rumah
buka toko yang didalamnya penuh dengan jajanan pasar nanun tetap saja di
sekolah jajan lagi.
“Jajan yang ada di rumah bosan”
“Ingin merasakan sesuatu yang
berbeda lagi!”
Pantas saja
kalau diberi uang oleh orangtuanya selalu habis buat jajan.
Sempat ketika masih kelas 8 Fajar
ikut aktif di OSIS. Lumayan juga satu tahun aktif di OSIS merasakan ikut
berorganisasi. Setidaknya tahu tata cara orang berorganisasi.
Kini Fajar sudah duduk di kelas 9 D.
Tinggal menunggu waktu ikut UN yang sebentar lagi, setelah itu tentu tinggal menunggu
kelulusan. Namun sayang ada saja gangguan yang suka membuat otak juga kadang
tidak mengerti. Makin tinggi sekolah maka makin tinggi pula hambatan dan
gangguannya. Suka ada saja teman yang
mengajaknya membolos. Kalau sudah seperti ini suka sulit dihindari.
“Kenapa kamu bolos?”tanya salah
seorang Guru
Helmi Fajar
memang tertangkap tangan sedang berada di salah satu warung yang ada di
sekolah.
“Inikan masih jam belajar!”
Duh… mau alasan
apa lagi kalau sudah seperti ini?
“Pelajaran siapa sekarang?”
Fajar kemukanan
saja apa sebenarnya yang sedang terjadi. Kalau pelajaran matematika memang oleh
gurunya tidak harus ikut pelajarannya pun boleh. Namanya Pak Boleng yang mengajarkan
matematika. Beliau pada anak-anak memberikan kebebasan untuk tidak mengikuti pelajaraan
kalau memang si anak tidak suka. Kontan saja anak-anak yang kurang menyenangi
pelajaran matematika pada keluar kelas. Salah satunya adalah Fajar.
“Habis jarang menerangkan Pak”
“Kalau ulangan anak-anak jarang yang bisa!”
Tetap saja alasan
yang seperti ini tidak dibenarkan. Fajar akhirnya terkena hukuman oleh guru
piket.
Sampai sekarang Fajar belum
mempunyai cita-cita yang tetap. Kalau didesak lagi apa-cita-citanya seperti
merenung terlalu lama karena belum menemukan cita-cita yang pas. Setelah
merenung yang cukup lama akhirnya terlontar ucapan spontan.
“Ingin jadi PNS”
“Eee…. sepertinya jadi guru enak ya
Pak?”
Entahlah! Yang
jelas masih sangat panjang perjalanan yang harus dilalui Helmi Fajar. Masih panjang
lakon hidupnya. Cita-citanya yang ingin jadi seorang guru alangkah mulianya.
Mudah-mudahan apa yang dicita-citakan itu dapat terwujud. Butuh waktu dan
tenaga untuk bisa mewujudkan hal seperti itu. Tinggal waktu yang akan menjawab
apakah bisa terwujud ataukah tidak. Kita tunggu , semoga apa yang
dicita-citakan Helmi Fajar menjadi sebuah kenyataan.
Cirebon, 9 Desember 2012