Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Selasa, 27 Agustus 2019

HELMI FAJAR (Cerpen)


Cerpen
HELMI  FAJAR
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Kasihan juga melihat sang adik tergolek lemas. Panasnya tak mau turun sementara  kedua orangtuanya sedang tidak ada. Helmi sebagai kakak nomer dua harus menjaga sang adik. Maklumlah Ibu dan Bapak sedang menunaikan ibadah haji. Helmi masih ingat ketika Bapaknya menasehati sebelum ia berangkat haji.
            “Sholat yang rajin”
            “Jaga kesehatan”
            “Jangan buat masalah di masyarakat”
Kalimat itu begitu terasa terngiang dalam telinga. Ingat akan nasihat kedua orangtuanya maka Helmi selalu menjalankan perintahnya.
            Kasihan bila melihat sang adik. Panasnya hanya panas biasa namun karena kebetulan kedua orangtua sedang tidak ada jadi seperti ada sesutu yang sangat memprihatinkan.
            “Jangan terlau dipikirkan”
            “Adikmu ini hanya panas biasa”, ujar sang paman ngedem-ngademi.
“Nanti juga kalau obatnya habis akan sembuh”
Syukurlah setelah minum obat kesehatan Irgi berangsur pulih kembali. Tadinya Helmi akan memberitahukan kondisi adik ke Ibu dan Bapak. Tapi setelah dipikir-pikir hanya akan membuat konsentrasi ibadah Ibu dan Bapak buyar saja. Biarlah apa-apa yang terjafi di tanah air tak akan diceritakan pada Ibu dan Bapak. Biarkan Ibu dan Bapak konsentrasi saja pada ibadah.
            Helmi Fajar demikian nama anak ini. Kelahiran Cirebon, 19 Mei 1998 terlahir tak terlalu jauh dari gonjang-ganjing reformasi negeri ini. Masa diakhir Orde Baru. Dilahirkan ketika barang-barang sulit dijumpai karena kerusuhan massal. Namun berkat perolongan Allah anak ini tumbuh menjadi anak yang sehat. Lihat saja badannya yang gemuk, seolah bertolak belakang dengan kondisi reformasi yang ditandai sulitnya sembako dijumpai dipasar-pasar. Namun Helmi Fajar dapat tumbuh menjadi anak yang sehat.
            Anak kedua dari 3 bersaudara. Kakaknya juga dahulu adalah alumni sekolah ini. Sekolah dimana sekarang Fajar menuntut ilmu. Jarak dari sekolah ke rumah hanya beberapa langkah saja. Inilah yang membuat anak ini sering bolak-balik rumah ke sekolah kalau ada hal-hal yang perlu diambil.
            Saat kedua orangtuanya menjalankan ibadah haji adalah saat-saat yang selaku terkenang oleh Fajar. Maklumlah di rumah hanya ada kakak dan adik serta paman dan bibi yang ikut serta menjaga rumah. Perasan sedih sekali ketika ditinggal orangtua menjalankan ibadah haji.  Waktu-waktu yang ada terasa begitu lama sekali. Malam dan siang selalu digunakan untuk mengharap secepatnya kehadiran Ibu dan Bapak di tanah air lagi.
            Selama kedua orangtua naik haji maka dirumah diadakan acara ngaji rutin. Ngaji ini sengaja dilakukan agar kedua orangtua dapat dengan tenang menjalankan ibadah haji. Waktunya usai sholat isya. Ada sekitar 30 orang yang ngaji di rumah selam  waktu yang  40 hari. Ini sengaja diundang selama  40 hari karena memang jadwal dari berangkat dari rumah sampai kembali lagi ke rumah adalah 40 hari. Orang-orang disini menyebutnya dengan acara Yasinan. Dipimpin langsung oleh Bapak Ustad Mui.
Suatu hati Bapak ngebel ke tanah air. Waktu itu adik sedang sakit panas.
            “Halo apa khabarnya semua?”
Fajar tahu kalau di rumah adik sedang sakit namun untuk menjaga agar Ibu dan Bapak tenang dalam melaksanakan ibadah maka Fajar katakan kalau semua yang ada di rumah sehat-sehat saja. Terdengar senang sekali Bapak mendengarkan  kalau keadaan di tanah air sehat-sehat saja. Rindu memang mendengar suara Bapak dari kejauhan. Syukurlah kalau kedua orangtua disana sehat selalu. Itulah yang Fajar inginkan. Ingin agar Bapak dan Ibu selama di Arab   
Saudi dalam keadaan sehat selalu.
            Bila Surat Yasin sudah terdengar selalu saja teringat pada orangtua. Sedang apa disana? Apa yang sedang ia lakukan bila malam-malam seperti ini? Pokoknya gambaran Ibu dan Bapak terasa sekali. Ingin secepatnya kembali bersama lagi. Ingin waktu-waktu yang ada bisa dihabiskan bersama-sama.
            Terasa sekali kalau yang namanya menunggu adalah waktu-waktu yang sangat membosankan. Setelah sekian lama berlalu akhirnya sampai juga khabar berita kalau orangtua sudah berada di Jakarta. Hati ini makin tak menentu. Ingin secepatnya bisa bertemu dengan Ibu dan Bapak. Akhirnya khabar penantian itu terjawab sudah. Pukul 14.00 Bapak dan Ibu datang lagi di rumah. Air mata ini sulit dibendung melihat kedua orangtua yang hampir 40 hari tidak bertemu dan kini berada di depan mata.
            “Bagaimana sehat?”
Itulah pertanyaan yang dikemukann Bapak melihat kami bertiga. Dirangkul satu per satu seperti ketika beliau akan  berangkat dahulu. Alhamdulillah kini semuanya bisa berkumpul bersama lagi.
            Senang sekali dengan kehadiran orangtua yang kini bisa berkumpul lagi. Satu hal lagi yang  membuat kami tambah bersyukur adalah ketika Bapak dan Ibu mulai mengeluarkan barang-barang bawaan dari Arab. Bapak dan Ibu tak lupa dengan membeli oleh-oleh khas Arab.
            “Ini tasbeh buat Fajar”
Aku diberi tasbeh yang terbuat dari tulang onta. Sungguh bagus bentuknya bulat putih mengkilat. Pemberian ini menandakan kalaun aku juga harus banyak- banyak menyebut nama Allah. Biar aku tambah rajin dalam hal berdzikir. Ada lagi oleh-oleh yang lainnya yang juga akan dibagikan pada para tetangga. Rumah ini jadi ramai lagi dengan kehadiran  orangtua.
            Seperti itulah anak yang ditinggalkan kedua orangtuanya menunaikan ibadah haji. Ada perasaan yang selalu dinanti-nantikan akan kehadiran orang yang dijadikan panutan . Maklumlah kami bertiga semuanya masih membutuhkan kasih sayang kedua orangtua. Waktu yang 40 hari terasa lama sekali. Namun itu semuanya telah berakhir dengan kembalinya kedua orangtuaku bersama-sama lagi.
                                                                        ***
            Jarak dari sekolah ke rumah tidak terlalu jauh. Bahkan untuk anak-anak sekolah disini mungkin inilah jarak yang paling dekat. Bagi Fajar tinggal jalan kaki saja. Dalam kurang dari 5 menit sudah berada di halaman sekolah. Meski demkian yang  namanya ongkos tetap harus ada. Setiap harinya Fajar minta ke orangtua Rp. 4.000 uang itu habis semuanya buat jajan. Walau di rumah buka toko yang didalamnya penuh dengan jajanan pasar nanun tetap saja di sekolah jajan lagi.
            “Jajan yang ada di rumah bosan”
            “Ingin merasakan sesuatu yang berbeda lagi!”
Pantas saja kalau diberi uang oleh orangtuanya selalu habis buat jajan.
            Sempat ketika masih kelas 8 Fajar ikut aktif di OSIS. Lumayan juga satu tahun aktif di OSIS merasakan ikut berorganisasi. Setidaknya tahu tata cara orang berorganisasi.
            Kini Fajar sudah duduk di kelas 9 D. Tinggal menunggu waktu ikut UN yang sebentar lagi, setelah itu tentu tinggal menunggu kelulusan. Namun sayang ada saja gangguan yang suka membuat otak juga kadang tidak mengerti. Makin tinggi sekolah maka makin tinggi pula hambatan dan gangguannya.  Suka ada saja teman yang mengajaknya membolos. Kalau sudah seperti ini suka sulit dihindari.
            “Kenapa kamu bolos?”tanya salah seorang Guru
Helmi Fajar memang tertangkap tangan sedang berada di salah satu warung yang ada di sekolah.
            “Inikan masih jam belajar!”
Duh… mau alasan apa lagi kalau sudah seperti ini?
            “Pelajaran siapa sekarang?”
Fajar kemukanan saja apa sebenarnya yang sedang terjadi. Kalau pelajaran matematika memang oleh gurunya tidak harus ikut pelajarannya pun boleh. Namanya Pak Boleng yang mengajarkan matematika. Beliau pada anak-anak memberikan kebebasan untuk tidak mengikuti pelajaraan kalau memang si anak tidak suka. Kontan saja anak-anak yang kurang menyenangi pelajaran matematika pada keluar kelas. Salah satunya adalah Fajar.
            “Habis jarang menerangkan Pak”
            “Kalau ulangan anak-anak  jarang yang bisa!”
Tetap saja alasan yang seperti ini tidak dibenarkan. Fajar akhirnya terkena hukuman oleh guru piket.
            Sampai sekarang Fajar belum mempunyai cita-cita yang tetap. Kalau didesak lagi apa-cita-citanya seperti merenung terlalu lama karena belum menemukan cita-cita yang pas. Setelah merenung yang cukup lama akhirnya terlontar ucapan spontan.
            “Ingin jadi PNS”
            “Eee…. sepertinya jadi guru enak ya Pak?”
Entahlah! Yang jelas masih sangat panjang perjalanan yang harus dilalui Helmi Fajar. Masih panjang lakon hidupnya. Cita-citanya yang ingin jadi seorang guru alangkah mulianya. Mudah-mudahan apa yang dicita-citakan itu dapat terwujud. Butuh waktu dan tenaga untuk bisa mewujudkan hal seperti itu. Tinggal waktu yang akan menjawab apakah bisa terwujud ataukah tidak. Kita tunggu , semoga apa yang dicita-citakan Helmi Fajar menjadi sebuah kenyataan.

                                                                                                          Cirebon, 9 Desember 2012

DEDE PRIYONO Part 2 (Cerpen)


Cerpen
DEDE PRIYONO
Bagian Kedua
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Namanya sempat melejit di sekolah ini ketika anak ini akhirnya bisa naik ke kelas 8. Ternyata hanya segelintir Guru saja yang tahu dengan anak ini yang baru diketahui setelah muncul di rapat verifikasi kenaikan kelas. Anak ini dinyatakan naik kelas. Ada yang aneh dengan Dede Priyono? Ya…ternyata Dede sudah duduk di kelas 8 namun nyatanya anak ini tidak bisa membaca. Barulah beberapa Guru yang sempat memberikan nilai besar untuk anak ini geleng-geleng kepala. Ternyata mereka baru tahu kalau yang namanya Dede tidak bisa membaca.
            Semuanya dibikin tidak percaya. Akhirnya saling menyalahkan kok bisa-bisanya Guru memberikan nilai yang tinggi untuk anak yang tidak bisa membaca? Karena nilai sudah jadi dan setelah didalam rapat verifikasi anak ini tidak mempunyai masalah dengan nilai akhirnya Dede Priyono dinyatakan naik ke kelas 8. Guru yang memberikan nilai kurang dari KKM hanya satu orang. Karena rapat menyatakan anak ini harus naik maka nilai yang dibawah KKM otomatis disesuaikan dengan KKM minimal.
            Baru menjadi perhatian Guru kalau memberikan nilai harus tahu proses. Selama ini memberikan nilai dari hasil ulangan saja. Anak yang tidak bisa membacapun ternyata bisa naik kelas. Ini sungguh memalukan. Kalaulah belum bisa membacanya di kelas 1 SD atau kelas 2 SD mungkin masih dalam toleransi. Ini sudah di kelas 7 dan dinyatakan naik ke kelas 8. Wah…. sungguh kecolongan yang amat sangat .
            “Masa sih Pak anak ini tidak bisa membaca?”
Ada beberapa Guru yang memang tidak mengajar Dede mempertanyakan benar tidak kalau anak ini tidak bisa membaca. Salah seorang Guru yang pernah mengetes langsung Dede ketika ulangan lalu memberikan penjelasannya.
            “Anak ini saya suruh menuliskan beberapa nama Guru dan TU yang kebetulan namanya hanya satu kata”
            “Soal yang pertama disuruh menulis SOLEMAN”
            “Ditunggu beberapa menit anak ini belum juga menyelesaikan jawaban”
            “Setelah waktu dinyatakan habis ternyata jawabannya tidak sesuai”
            “Pertanyaan kedua disuruh menulis nama KASMALI”
            “Pertayaan kedua pun sama anak membutuhkan waktu yang cukup lama”
            “Setelah dilihat jawabannya ternyata salah”
            “Pertanyaan berikutnya ZAETUN”
            “Pertayaan ini pun tidak bisa dituliskan dengan benar”
            “Dua soal yang lainnya dijawab dengan salah pula”
            “Jadi bisa disimpulkan kalau anak ini tidak bisa membaca sama sekai”
Guru yang tadi sempat mempertanyakan kini  menjadi mengerti. Kalau begitu anak memang bisa disimpulkan tidak bisa membaca.
            Lalu dari mana ia menjawab soal-soal essay dengan benar? Inilah yang menjadi pertanyaan. Sebab kalau anak tidak bisa membaca maka ia juga tidak akan bisa menulis. Selama ini kalau ada soal essay si anak dengan gampang bisa menjawabnya. Mulailah beberapa Guru menelaah dari mana si anak bisa menjawab soal-soal essay. Kalau menjawab pilihan ganda si anak pasti bisa karena hanya memilih salah satunya. Dari teori peluang maka ada kemungkinan si anak bisa menjawab dengan benar . Sementara kalau essay? Inilah yang sempat menjadi pertanyaan Guru.
            Diteliti dari mulut ke mulut akhirnya diketahui kalau Dede ternyata mendapatkan jawaban essay dari temannya. Temannya ini disuruh menulis di lembar jawaban si Dede. Sebagai imbalannya si anak yang membantu Dede suka diberi jajan . Dari sinilah mulai ketahuan kalau Dede ternyata pintar sekali memanfaatkan  kemampuannnya. Beberapa anak dengan senang membantu Dede Priyono. Siapa sih yang tidak senang kalau waktu istirahat diberi jajan?
                                                                        ***
            Tahun Pelajaran 2012-2013 sempat libur panjang karena memasuki bulan puasa dan Idul Fitri. Dede mulai gelisah setelah beberapa Guru mulai memperhatikan. Rupanya ketidak mampuan Dede dalam hal baca tulis sudah diketahui beberapa Guru. Guru-guru tertentu kalau ada kesempatan untuk membaca maka  kegiatan membaca itu digilirkan pada beberapa murid. Dari sini Dede mulai gelisah. Ada saja alasan yang dikemukakan anak iani mulai dari sakitlah, angin ke WC-lah dsb.
            “Sudah kamu jangan banyak alasan”
            “Baca dulu satu paragraf!”
Dede memegangi perutnya seolah-olah sedang menahan sakit yang sangat berat.
            “Pak mulas perutnya”
Melihat Dede yang mulai berkeringat akhirnya si Guru percaya kalau anak ini mulas. Geleng-geleng kepala akhirnya Dede diperbolehkan ke WC. Sudah bisa dipastikan kalau anak ini masuknya nanti kalau Guru yang tadi memberikan pelajaran habis jamnya.
                        Kini  kesempatan Guru yang kemarin sempat memberikan Dede kelonggaran dengan pergi ke WC mengulangi lagi kegiatan yang sempat tertunda. Kegiatan membaca secara bergiliran dari anak yang satu ke anak yang lainnya. Begitu tiba giliran Dede, maka anak ini pun berlaku seperti yang sudah-sudah. Tak mau diakali lagi oleh si Dede maka Guru tadi mendekati Dede.
                        “Kamu sebenarnya bisa membaca tidak?”
Dede diam saja tidak berani menatap wajah sang Guru. Pertanyaan tadi diulangi lagi oleh Pak Guru.
            “Jujur saja!”
“Kamu sebenarnya bisa membaca tidak?”
Dede lalu menggelengkan kepala. Pak Guru yang sempat memberikan pertanyaan akhirnya diam. Inilah pengakuan yang paling jujur yang diberikan Dede Priyono. Kalau sudah seperti ini harus diapakan?
            Usai Idul Fitri kegiatan KBM berjalan sebagaimana biasanya lagi. Anak-anak belajar setelah liburan yang cukup panjang. Dede Priyono mulia jarang masuk sekolah. Wali Kelas lalu berinisiatip untuk mendatangi rumahnya. Ingin tahu apakah yang menyababkan Dede Priyono tidak masuk-masuk lagi.
            Tidak terlalu jauh jarak dari rumah Dede ke sekolah. Hanya beberapa menit sudah sampai di rumah orangtuanya. Sungguh memprihatinkan kondisi rumah orangtuanya ini. Rumah yang sungguh tak layak untuk dihuni. Beberapa bagian lantainya masih tanah. Sekeliling bangunan hanya terbuat dari anyaman bambu yang tidak tertutup semua. Boleh dikatakan rumah yang seperti ini adalah rumah pra sejahtera.
            Dede Priyono sedang tidak ada di rumah. Selama ini kegiatannya hanyalah main. Dicari-cari akhirnya Dede mau menemui Wali Kelasnya.
            “Dari mana saja kamu?”
Dede seperti biasa diam tak  mau menatap wajah Wali Kelasnya. Bibinya yang akhirnya menjawab pertanyaan sang Wali Kelas.
            “Anak ini memamg main saja Pak Guru!”
            “Loh kok tidak ke sekolah?”
Sang Bibi yang akhirnya bercerita panjang lebar mengenai Dede Priyono.
            “Orangtuanya memang tidak mampu Pak”
            “Jangankan untuk belajar mendatangkan Guru  privat wong untuk makan saja susah!”
Bapak Wali Kelasnya melihat sekeliling rumah Dede Priyono. Memang sungguh sangat memprihatinkan. Dari Bibinya ini pula sebenarnya ketidakmampuan Dede dalam hal membaca terungkap.
            “Waktu di SD juga Pak Gurunya sudah pernah memberitahu kalau Dede tidak bisa membaca”
            “Tapi mau bagaimana lagi!”
Inilah yang kadang tidak dimengerti. Dari SD saja Gurunya sebenarnya tahu kalau Dede tidak bisa membaca, tapi kenapa lalu anak ini bisa naik kelas bahkan lulus hingga bisa sampai di SMP? Entahlah barangkali inilah yang disebut faktor keberuntungan.
            “Jadi bagimana Dede mau terus melanjutkan lagi atau tidak?”
Ditanya seperti itu Dede malah melihat wajah Sang Bibi. Rupanya ada bahasa sandi antara keponakan dengan sang Bibi. Bibinya mengerti apa yang diinginkan Dede Priyono.
            “Sudahlah Pak”
            “Dede keluar saja sekolahnya”
            “Anak ini  tidak mampu!”
Tidak bisa membantu lebih jauh dengan keputusan yang dilakukan keluarga Dede Priyono. Dengan sangat menyesal akhirnya selembar kertas pernyataan mengundurkan diri disodorkan. Oleh Bibinya surat itu lalu ditandatangani. Dede akhirnya dikembalikan pada orangtuanya.
            Sangat pilu mendengarkan nasib anak yang satu ini. Entah harus bagimana agar anak yang masih sangat muda ini bisa membaca.  Banyak faktor yang menyebabkan anak ini belum bisa juga membaca sampai anak ini bisa duduk di kelas 8 SMP. Rasa minder dan ketidakberdayaan keluarga dalam hal ekonomi membuat Dede menyerah dengan keadaan. Sangat disayangkan perjalanan hidupnya harus seperti ini.
            Jalan masih sangat panjang buat anak seusia Dede Priyono. Sisi gelap yang tidak mudah untuk bisa dipecahkan. Hanya suatu keajaiban untuk bisa mengubah apa yang sedang dialami Dede Priyono. Kiranya Allah selalu memberikan bimbingan agar perjalanan hidupnya ini dimudahkan. Suatu perjalanan seorang anak yang masih jauh dan amat sangat panjang di  belantara kehidupan.

                                                                                                              Cirebon, 4 Oktober 2012

C U S A N T O (Cerpen)


Cerpen
C  U  S  A  N  T  O
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Kokok ayam jantan mulai terdengar dari kejauhan. Matahari mulai memancarkan sinarnya. Usai adzan shubuh  Jaunin  bergegas menuju pinggir Sungai Cisanggarung.  Selama musim kemarau ini ada suatu kesibukan yang justru kini ditekuninya sebagai mata pencaharian. Memanfaatkan tanah timbul akibat endapan lumpur Cisanggarung yang bisa dimanfaatkan untuk membuat batu bata. Umsari istri tercinta menyusul kemudian setelah pekerjaan di rumah beres. Setidaknya setelah anak-anak berangkat sekolah barulah Umsari menyusul sang suami yang sudah duluan mengerjakan mencetak batu bata.
            Pekerjaan mencetak bata bukanlah tanpa alasan Jaunin tekuni. Pekerjaan ini tadinya hanya sebatas  mengisi waktu luang selama pekerjaan yang mapan belum didapatkan. Setelah menemukan kecocokan  maka mencetak bata merah ini dijadikan pekerjaan tetap.
            “Siapasih yang ingin berlama-lama dikubangan kumpur?”
            “Waktunya dihabiskan terus di pinggir sungai?”
Tak adanya pekerjaan yang bisa dikerjakan selain mencetak bata maka pekerjaan inilah yang akhirnya ditekuni Jaunin dalam kesehariannya.
            Umsari kaget ketika ada surat yang datang ke rumahnya. Dibaca dibolak-balik ternyata mengenai sang anak . Bapaknya tidak       bicara banyak setelah diberitahu ada surat panggilan dari pihak sekolah.
            “Sudah ibu saja yang datang”
            “Bapak malu kalau datang ke sekolah!”
Walau diantara   guru-guru yang ada diantaranya ada  yang dikenal namun Jaunin malu kalau-kalau pemanggilan anaknya  ini berkaitan dengan suatu  masalah. Biasanya yang dipanggil pihak sekolah adalah yang berkenaan dengan hal-hal pelanggaran. Kalau sudah seperti ini maka rasa malu yang didapat. Daripada rasa malu yang didapat maka Jaunin lebih suka kalau sang istri yang biar masuk ke sekolah.
            “Ya sudah biarlah Ibu yang datang ke sekolah”
            Jaunin seperti biasa mengerjakan pekerjaan kesehariannya sebagai pencetak batu bata. Umsari bersiap-siap menghadap pihak sekolah dengan surat panggilan yang sudah ia terima. Usai Cusanto berangkat ke sekolah maka tak terlalu lama Umsari menyusul ke sekolah.
            Bersama si bungsu Umsari menghadap ke pihak yang mengundang. Tertera di surat undangan bahwa yang  mengundang adalah Wali Kelas 8.C. Disambut oleh Bapak Kasmali yang tahu banyak tentang kasus yang dihadapi sang anak.
            “Mau ketemu dengan Wali Kelas 8.C”
Salah seorang guru yang ada kemudian mempersilahkan Umsari untuk duduk. Wali kelas lalu diundang agar bisa tahu apa masalah yang dihadapi Cusanto. Cusanto yang duduk di kelas 8.C lalu ikut juga dipanggil.
            “Ibu tahu kenapa Ibu dipanggil?”
Umsari jelas tak tahu apa yang menyebabkan ia dipanggil. Ia hanya bisa menggelengkan kepala. Lalu Pak Kasmali menjelaskan kalau Cusanto ini alpanya sudah lebih dari 28 hari. Umsari kaget setelah diberitahu kalau sang anak  absennya lebih dari 28 hari.
            “Kamu kemana saja?”
Mulanya Cusanto hanya mengaku bolos . Kelihaian Pak Kasmali dalam mengorek informasi akhirnya tahu selain bolos ternyata Cusanto main PS di suatu lokasi yang tak jauh dari sekolah juga anak ini mulai minum-minuman keras.
            “Apa jenisnya?”
            “Ciu”
            “Dioplos dengan apa?”
            “Kuku Bima Pak”
Dilingkungan sekolah ini memang peredaran minuman seperti ciu dan tuak bisa diperoleh dengan mudah walau hanya orang-orang tertentu saja yang tahu dimana yang jualan seperti itu. Hanya dengan Rp. 15.000 satu botol ciu seukuran botol minuman mineral maka sudah didapat.
            “Kamu mabok dengan satu gelas minuman Ciu?”
            “Tidak Pak”
            “Kalau begitu kamu sudah terbisa?”
            “Sungguh Pak!”
            “Ini baru pertama kali saya minum”
Rupanya ada rasa takut Cusanto kalau dibilang ia sudah ketagihan dengan minum-minuman keras.
            Ada rasa ketidakpedulian Cusanto dengan kerja keras dari pihak orangtua. Kalau saja anak ini bisa mengerti dengan kondisi orangtua tentunya tidak akan melakukan hal seperti ini. Orangtuanya seharian bekerja di tegalan di pinggir Cisanggarung mengerjakan mencetak bata seharusnya ia bisa merasakan betapa susahnya yang namanya ortu mencari uang.
            “Apa kamu tidak kasihan melihat orangtuamu seperti itu?”
Anak ini hanya  menggelengkan kepala. Tak ada rasa kasihan seperti itu melihat orangtuanya kerja keras di bantaran sungai. Kalau ada rasa kasihan tentunya ia akan membantu orangtuanya di tegalan ikut mencetak bata.
            “Boro-boro kasihan Pak!”
            “Bila disuruh mengantarkan makanan buat Bapaknya di tegalan juga tidak mau”
            “Anak ini malah pergi entah kemana”
Repot juga punya anak seperti Cusanto. Belum bisa mengerti dengan  kesulitan yang dihadapi pihak orangtua.
               Cusanto tertunduk diam. Apa yang dikerjakannya diluar sekolah sudah diketahui orangtua. Yang jelas ibunya sudah wanti-wanti kalau sekali lagi berbuat lagi seperti ini maka akan segera diberi tindakan. Entah tindakan seperti apa yang bakal dilakukan Umsari sebagai seorang ibu terhadap anaknya.
            “Saya berjanji Mih”
            “Tidak akan mengulanginya lagi”
Umsari hanya menarik nafas dalam-dalam, ia berharap kalau anaknya ini sadar dengan apa yang sedang ia lakukan. Berjanji tak akan mengulanginya lagi.
                                                                        ***
            Pagi-pagi buta Umsari sudah berada di bantaran sungai untuk ikut membantu sang suami mencetak batu bata. Kerja kerasnya ini tak lain hanya untuk anak-anaknya. Cusanto yang merupakan  anak ke-3setidaknya menjadi harapan keluarga. Si sulung sudah bekerja  dari 4 bersaudara   di kumidi putar yang kerjanya selalu bepindah-pindah antara kota yang satu dengan kota yang lain. Anaknya yang kedua sekarang ini bekerja di Singapura dan Cusanto yang kini duduk di kelas 8.C, selain si bungsu yang belum sekolah.
            Sebagai seorang Ibu tentu Umsari berharap agar Cusanto dapat menjadi anak yang baik, anak yang menurut pada orangtuanya. Jangan sampai anak ini mandeg sekolahnya. Setidaknya sang kakak yang bekerja di Singapura sudah sanggup untuk membiayai sang adik agar anak ini terus langsung sekolah.
            “Kakaknya siap membiayai”
            “Tinggal bagaimana Cusantonya saja”
Akhirnya Cusanto berjanji dihadapan ibunya untuk tidak mengulangi lagi melakukan kesalahan yang pernah ia perbuat. Malu kalau yang seperti ini terulang lagi. Setidaknya ia pernah membohongi sang Ibu dengan mengatakan hal yang tidak sesungguhnya. Membolos adalah perilaku yang selama ini tidak diketahui oleh sang Ibu.
            “Sebagai Ibu saya ingin Cusanto bisa maju”
            “Ingin anak-anak saya maju”
            “Kakak-kakaknya yang akan membiayai”
 Tatapan tajam seorang Ibu yang menginginkan anaknya maju. Tatapan seorang Ibu yang ingin anaknya punya masa depan yang cerah. Kalaupun dalam perjalanannya Cusanto berbuat seperti itu dan ini maka sebagai sesuatu yang masih dalam batas-batas tolelir. Kalupun nakal Umsari masih berharap anaknya ini masih bisa ditolong. Ingin anaknya ini bisa kembali normal seperti anak-anak yang lainnya. Ingin anaknya ini tidak tersangkut masalah yang membuat pusing pikiran orangtua.
            Perjalanan yang masih sangat panjang. Cusanto  kini terikat dengan janji yang diucapkannya dihadapan sang Ibu. Suatu janji yang tentunya tidak bisa dibuat-buat. Keinginan maju yang seharusnya datang dari hati sanubari si anak. Seorang Cusanto yang masih labil dalam hal berfikir dan bertindak. Tapi mudah-mudahan kesalahannya ini jangan sampai terulang lagi. Cukuplah sudah apa yang sudah terjadi ini dan menjadi perhatian bagi kita semua. Menjadi perhatian bagi semuanya agar kasus yang seperti ini tidak terjadi lagi. Suatu harapan yang sangat wajar. Kita kembalilan lagi pada semua yang berkepentingan. Mudah-mudahan hari esok akan jauh lebih baik lagi. Suatu perjalanan yang amat melelahkan, suatu perjalanan yang masih sangat panjang.

                                                                                                           Cirebon, 3 November 2012