Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Minggu, 25 Agustus 2019

KESALAHAN KOLEKTIF (Cerpen)


Cerpen
KESALAHAN KOLEKTIF
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Semua wali kelas dibikin sibuk menjelang kenaikan kelas. Lobi melobi urusan anak didik yang menjadi asuhannya. Setahun hampir rampung dan kini saatnya mereka memperjuangkan anak didik dibawah asuhanya apakah bisa naik kelas  atau tinggal kelas. Memperjuangkan anak asuhannya sudah jelas merupakan tanggungjawab yang harus dipikul. Masih ada perasaan malu rasanya kalau punya anak asuh yang tidak naik kelas.
            Perolehan nilai anak baik yang langsung diperoleh anak dengan tidak minta lobi sana-lobi sini dan dengan yang hasil lobi walikelas tentu sangatlah berbeda. Proses ini memang oleh anak tidak diketahui tapi bagi wali kelas yang seperti ini sudah merupakan hal yang biasa.
            Tiap-tiap wali kelas mengajukan nama-nama anak yang bermasalah di forum. Dicatatlah mereka yang mempunyai masalah baik nilai ataupun kehadiran. Hanya beberapa kelas yang menyatakan tak ada masalah sama sekali. Dibahaslah satu per satu anak yang bermasalah tadi sampai akhirnya bisa diputuskan mana yang bisa naik dan mana yang harus tidak naik.
            Kejujuran walikelas disini dipertaruhkan. Pada rapat verifikasi tahun ini memang terbilang sedikit beda. Kenapa dikatakann beda? Sebagai pengajar dikelas 7 ada salah satu anak yang tidak bisa membaca. Anehnya hanya  satu Guru saja yang memberikan nilai dibawah KKM selebihnhya memberikan nilai diatas KKM dan bagus-bagus. Kasus yang seperti ini hampir tidak diangkat oleh wali kelas dalam ferivikasi jadi hampir tak ada pembicaraan. Setelah bisik-bisik barulah wali kelas memberikan catatan tersendiri. Masuklah nama si X menjadi pembicaraan.
            Forum menjadi ramai setelah anak yang bernama Dede Haryono masuk dituliskan di papan tulis menjadi anak yang bermasalah. Tapi ini kurang mendapatkan respon karena hampir semua Guru bahkan memberikan nilai yang bagus-bagus. Kalaupun ada seorang Guru yang memberikan nilai yang dibawah KKM tak mempengaruhi karena hanyalah seorang diri. Masalah anak ini bisa membaca atau tidak rupanya tak menjadi perhatian utama. Inilah pendidikan dinegara ini! Guru masih  bisa memberikan nilai bagus untuk anak kelas 7 yang belum bisa membaca.
            Kedengartannya memang aneh! Tapi untuk meyakinkan berikut ini sedikit cerita ketika anak yang bernama Dede Haryono melakukan perbaikan (her).
            “Bapak tidak ingin menguji kamu yang macam-macam”
            “Kamu kerjakan nanti apa yang Bapak perintahkan”
            “Kamu hanya menulis nama 5 orang Guru dan TU yang namanya pendek”
Anak ini laku diberi kertas untuk lembar jawabannya. Manulis nama sendiri memang sudah bisa mungkin sudah dihapal untuk nama sendiri sih. Kebenaran disekolah ini ada beberapa Guru yang namanya cukup pendek dan mudah untuk dituliskan. Inilah yang dijadikan soal untuk anak yang bernama Dede Haryono apakah ia bisa membaca atau tidak.
            “Soal yang pertama”
“ Tulis S O L E M A N”
Kalau anak yang bisa membaca tentu akan dengan cepat menulis nama yang cukup pendek hanya satu kata ini, namun Dede dengan keluguannya hanya corat-coret yang tidak berarti. Bahkan ia mengajak ngobrol Gurunya yang sedang memberikan nilai seolah mengalihkan perhatian pada soal yang sedang ia kerjakan.
            “Sudah belum?”
            “Waktunya satu soal 3 menit!”
Untuk soal seperti itu waktu 3 menit sudah merupakan batas toleransi yang sangat panjang. Anak kelas 1 SD saja soal yang seperti ini pasti dilibas dengan cepatnya. Berhubung yang mengerjakan ini anak yang belum bisa membaca ya 3 menit adalah waktu yang sangat sempit sekali. Setelah 3 menit berlalu Dede hanya menulis sesuatu yang tidak berarti dan jawabannya jauh dari nama Soleman.
            “Soal yag kedua”
“Tulis K A S M A L I”
Hampir sama dengan ketika menjawab soal nomer satu. Anak ini mencoba corat-coret seperti ketika menjawab soal pertama. Namun sayang apa yang ditulisnya tak mendekati kalimat Kasmali seperti yang diminta Guru.
            “Soal yang ketiga”
            “Coba tulis Z A E T U N”
Beda sekali roman orang yang benar-benar bisa membaca dan menulis dengan yang pura-pura bisa membaca dan menulis. Seperti soal yang pertama dan yang kedua, untuk soal yang ketiga juga tak bisa dijawab dengan benar. Kalau begitu soal nomer 4 dan lima juga sepertinya tak akan beda jauh.
            “Soal nomer 4”
            “Tulis S U M A R!”
Tiga menit berlalu ternyata apa yang ditulisnya tak mendekati sedikitpun kalimat Sumar.
            “Soal terakhir coba tulis S U R Y O T O”
Soal yang paling terakhir juga tidak bisa diisi dengan baik. Waktu   aku mengajukan soal ini kebetulan di perpustakaan ada juga Pak Udin Nazmudin yang ikut menyaksikan. Jadi apa yang diujikan ini bukanlah rekayasa. Tapi anehnya yang seperti ini bisa naik di kelas 8!   Ajaib!
            Konsekwensi dari sebuah rapat yang menyatakan kalau di Dede naik maka tak ada pilihan lain kecuali mengiyakan. Mudah-mudahan kasus yang seperti ini jangan sampai terulang lagi. Alangkah malunya kalau anak kelas 7 bahkan kini naik kelas 8 tidak bisa membaca. Anak kelas 1 SD saja sekarang sudah pandai membaca, bahkan ada anak di TK banyak yang sudah bisa membaca. Kalau yang ini… wow kelas 7 bahkan kini naik di kelas 8 belum juga bisa membaca
                                                                        ***
            Penilaian yang hanya melulu melihat hasil ulangan kadang menyesatkan. Apalagi bentuk soal yang hanya pilihan ganda hanya dengan menyilang. Siapapun tanpa dengan membaca soal terlebih dahulu pasti bisa menyilang. Barangkali inilah kelemahan dari soal yang namanya pilhan ganda. Anak-anak yang mempunyai kekurangan dalam hal intelegensi suka melihat hasil temannya dan dengan mudah menyilang disoal yang sama. Pantas saja kalau orang seperti Dede dengan mudah mengerjakan soal. Hasilnya? Wow…jangan tanya,   hasilnya ternyata bagus-bagus.
            Lalu bagimana orang seperti Dede kalau menghadapi soal essay? Inilah yang harus kita cermati. Ternyata anak ini suka royal terhadap teman-temannya. Kalau menghadapi soal essay ia suka meminta bantuan teman-temannya untuk menjawab. Hasil kerjasama dengan teman ini tentu tidaklah gratis. Dede suka mentraktir anak-anak yang telah memberikan jawabannya itu. Beberapa temannya yang dimintai bantuan juga tak merasa keberatan wong sehabis keluar dari kelas  ia bisa jajan. Bukanlah yang seperti ini namanya untung sama untung  atau dengan prinsip biologi disebutnya simbiosis mutualisma.
            Bila memikirkana anak orang lain memang suka runyam. Kita ingin idealis menegakkan tentang suatu nilai tapi tak akan banyak menolong. Boleh dikata justru yang ngotot mempertahankan nilai akan dituding yang macam-macam. Cari aman dan tak mau mikir lama-lama akhirnya biarkan saja tokh anak orang lain ini. Mau pintar ataupun bodoh ya…masa bodoh! Dibela mati-matian juga tak akan menguntungkan apa-apa. Seperti hasil verifikasi kemarin yang akhirnya anak itu bisa naik karena memang nilainya spektakuler. Satu lawan sebelas tak akan membawa perubahan apa-apa. Akhirnya terima sajalah!
                                                                        ***
            Bayak suka dan duka menghadapi anak dengan berbagai karakternya. Akan tercatat dalam sejarah menghadapi anak yang           seperti Dede . Dengan kemampuan yang dimiliki tentunya anak ini juga ingin memberikan hasil yang terbaik bagi belajarnya yang sudah berlangsung lama. Namun apa daya yang namanya belajar tidak hanya dari satu sisi saja. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi dalam proses belajar itu sendiri. Keluarga dan lingkungan salah satu diantaranya.  Di rumah anak tak mendapatkan bimbingan sebagaimana mestinya di sekolah juga sepertinya tak beda jauh. Hanya beberapa Guru saja yang tahu kalau anak ini tidak bisa membaca.
            Keadaan ekonomi keluarga juga salah satu pemicunya. Para orangtuanya sibuk mencari rejeki sampai harus berada di negara orang. Anak di rumah seperti tak mendapatkan perhatian. Bagaimana mau belajar yang namanya ruangan untuk belajar saja tidak ada. Bagaimana mau menanyakan tentang pelajaran yang dihadapi disekolah kalau orang-orang yang ada disekitarnya juga tak tahu apa yang ditanyakan si anak. Komplek-komplek sekali masalah yang dihadapi.
            Sampai akhirnya pada pengambilan kesimpulan dalam hal pemberian nilai. Guru terkecoh oleh jawaban anak yang bagus. Essaipun dikerjakan dengan baik. Lalu keluarlah nilai dengan angka yang besar-besar. Sampai pada rapat kenaikan kelas nama anak ini tadinya tidak muncul kalau tak ada yang bisik-bisik. Jadilah suatu kesalahan kolektif. Semua  bisa benar dan semua bisa salah. Benarnya karena memang anak memperoleh nilai yang bagus-bagus dari gurunya. Salahnya tak   bisa dipungkiri kalau anak ini memang tidak bisa membaca. Darimana ia meperoleh jawaban? Kalau sudah begini? Namanya juga kesalahan kolektif jadi dosanya        tentu dibagi-bagi. Siapa yang mau?
            Satu kisah di sekolah yang berlangsung sungguh menarik . Inilah realita hidup. Banyak sekali hikmahnya, mudah-mudahan apa yang dituangkan dalam cerpen ini bisa diambil hikmahnya. Suatu kesalahan adalah manusiawi tapi jangan sampai fatal akibatnya yang akan membuat kita bisa menjadi pembicaraan orang banyak. Astagfirullahaladzim mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmahnya dari peristiwa ini.

                                                                                                                   Cirebon, 22 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar