Cerpen
KESALAHAN KOLEKTIF
Oleh : Nurdin Kurniawan
Semua wali kelas dibikin sibuk menjelang
kenaikan kelas. Lobi melobi urusan anak didik yang menjadi asuhannya. Setahun hampir
rampung dan kini saatnya mereka memperjuangkan anak didik dibawah asuhanya apakah
bisa naik kelas atau tinggal kelas.
Memperjuangkan anak asuhannya sudah jelas merupakan tanggungjawab yang harus
dipikul. Masih ada perasaan malu rasanya kalau punya anak asuh yang tidak naik
kelas.
Perolehan nilai anak baik yang
langsung diperoleh anak dengan tidak minta lobi sana-lobi sini dan dengan yang
hasil lobi walikelas tentu sangatlah berbeda. Proses ini memang oleh anak tidak
diketahui tapi bagi wali kelas yang seperti ini sudah merupakan hal yang biasa.
Tiap-tiap wali kelas mengajukan nama-nama
anak yang bermasalah di forum. Dicatatlah mereka yang mempunyai masalah baik
nilai ataupun kehadiran. Hanya beberapa kelas yang menyatakan tak ada masalah
sama sekali. Dibahaslah satu per satu anak yang bermasalah tadi sampai akhirnya
bisa diputuskan mana yang bisa naik dan mana yang harus tidak naik.
Kejujuran walikelas disini
dipertaruhkan. Pada rapat verifikasi tahun ini memang terbilang sedikit beda.
Kenapa dikatakann beda? Sebagai pengajar dikelas 7 ada salah satu anak yang tidak
bisa membaca. Anehnya hanya satu Guru
saja yang memberikan nilai dibawah KKM selebihnhya memberikan nilai diatas KKM
dan bagus-bagus. Kasus yang seperti ini hampir tidak diangkat oleh wali kelas dalam
ferivikasi jadi hampir tak ada pembicaraan. Setelah bisik-bisik barulah wali
kelas memberikan catatan tersendiri. Masuklah nama si X menjadi pembicaraan.
Forum menjadi ramai setelah anak
yang bernama Dede Haryono masuk dituliskan di papan tulis menjadi anak yang
bermasalah. Tapi ini kurang mendapatkan respon karena hampir semua Guru bahkan
memberikan nilai yang bagus-bagus. Kalaupun ada seorang Guru yang memberikan
nilai yang dibawah KKM tak mempengaruhi karena hanyalah seorang diri. Masalah
anak ini bisa membaca atau tidak rupanya tak menjadi perhatian utama. Inilah
pendidikan dinegara ini! Guru masih bisa
memberikan nilai bagus untuk anak kelas 7 yang belum bisa membaca.
Kedengartannya memang aneh! Tapi
untuk meyakinkan berikut ini sedikit cerita ketika anak yang bernama Dede
Haryono melakukan perbaikan (her).
“Bapak tidak ingin menguji kamu yang
macam-macam”
“Kamu kerjakan nanti apa yang Bapak
perintahkan”
“Kamu hanya menulis nama 5 orang
Guru dan TU yang namanya pendek”
Anak ini laku
diberi kertas untuk lembar jawabannya. Manulis nama sendiri memang sudah bisa
mungkin sudah dihapal untuk nama sendiri sih. Kebenaran disekolah ini ada
beberapa Guru yang namanya cukup pendek dan mudah untuk dituliskan. Inilah yang
dijadikan soal untuk anak yang bernama Dede Haryono apakah ia bisa membaca atau
tidak.
“Soal yang pertama”
“
Tulis S O L E M A N”
Kalau anak yang bisa
membaca tentu akan dengan cepat menulis nama yang cukup pendek hanya satu kata
ini, namun Dede dengan keluguannya hanya corat-coret yang tidak berarti. Bahkan
ia mengajak ngobrol Gurunya yang sedang memberikan nilai seolah mengalihkan
perhatian pada soal yang sedang ia kerjakan.
“Sudah belum?”
“Waktunya satu soal 3 menit!”
Untuk soal
seperti itu waktu 3 menit sudah merupakan batas toleransi yang sangat panjang.
Anak kelas 1 SD saja soal yang seperti ini pasti dilibas dengan cepatnya.
Berhubung yang mengerjakan ini anak yang belum bisa membaca ya 3 menit adalah
waktu yang sangat sempit sekali. Setelah 3 menit berlalu Dede hanya menulis
sesuatu yang tidak berarti dan jawabannya jauh dari nama Soleman.
“Soal yag kedua”
“Tulis
K A S M A L I”
Hampir sama
dengan ketika menjawab soal nomer satu. Anak ini mencoba corat-coret seperti
ketika menjawab soal pertama. Namun sayang apa yang ditulisnya tak mendekati
kalimat Kasmali seperti yang diminta Guru.
“Soal yang ketiga”
“Coba tulis Z A E T U N”
Beda sekali
roman orang yang benar-benar bisa membaca dan menulis dengan yang pura-pura bisa
membaca dan menulis. Seperti soal yang pertama dan yang kedua, untuk soal yang
ketiga juga tak bisa dijawab dengan benar. Kalau begitu soal nomer 4 dan lima
juga sepertinya tak akan beda jauh.
“Soal nomer 4”
“Tulis S U M A R!”
Tiga menit
berlalu ternyata apa yang ditulisnya tak mendekati sedikitpun kalimat Sumar.
“Soal terakhir coba tulis S U R Y O
T O”
Soal yang paling
terakhir juga tidak bisa diisi dengan baik. Waktu aku mengajukan soal ini kebetulan di
perpustakaan ada juga Pak Udin Nazmudin yang ikut menyaksikan. Jadi apa yang
diujikan ini bukanlah rekayasa. Tapi anehnya yang seperti ini bisa naik di
kelas 8! Ajaib!
Konsekwensi dari sebuah rapat yang
menyatakan kalau di Dede naik maka tak ada pilihan lain kecuali mengiyakan.
Mudah-mudahan kasus yang seperti ini jangan sampai terulang lagi. Alangkah
malunya kalau anak kelas 7 bahkan kini naik kelas 8 tidak bisa membaca. Anak
kelas 1 SD saja sekarang sudah pandai membaca, bahkan ada anak di TK banyak yang
sudah bisa membaca. Kalau yang ini… wow kelas 7 bahkan kini naik di kelas 8
belum juga bisa membaca
***
Penilaian yang hanya melulu melihat
hasil ulangan kadang menyesatkan. Apalagi bentuk soal yang hanya pilihan ganda
hanya dengan menyilang. Siapapun tanpa dengan membaca soal terlebih dahulu
pasti bisa menyilang. Barangkali inilah kelemahan dari soal yang namanya pilhan
ganda. Anak-anak yang mempunyai kekurangan dalam hal intelegensi suka melihat
hasil temannya dan dengan mudah menyilang disoal yang sama. Pantas saja kalau
orang seperti Dede dengan mudah mengerjakan soal. Hasilnya? Wow…jangan tanya, hasilnya ternyata bagus-bagus.
Lalu bagimana orang seperti Dede
kalau menghadapi soal essay? Inilah yang harus kita cermati. Ternyata anak ini
suka royal terhadap teman-temannya. Kalau menghadapi soal essay ia suka meminta
bantuan teman-temannya untuk menjawab. Hasil kerjasama dengan teman ini tentu
tidaklah gratis. Dede suka mentraktir anak-anak yang telah memberikan
jawabannya itu. Beberapa temannya yang dimintai bantuan juga tak merasa
keberatan wong sehabis keluar dari kelas
ia bisa jajan. Bukanlah yang seperti ini namanya untung sama untung atau dengan prinsip biologi disebutnya simbiosis mutualisma.
Bila memikirkana
anak orang lain memang suka runyam. Kita ingin idealis menegakkan tentang suatu nilai tapi tak akan banyak
menolong. Boleh dikata justru yang ngotot mempertahankan nilai akan dituding
yang macam-macam. Cari aman dan tak mau mikir lama-lama akhirnya biarkan saja
tokh anak orang lain ini. Mau pintar ataupun bodoh ya…masa bodoh! Dibela
mati-matian juga tak akan menguntungkan apa-apa. Seperti hasil verifikasi
kemarin yang akhirnya anak itu bisa naik karena memang nilainya spektakuler. Satu lawan sebelas tak akan
membawa perubahan apa-apa. Akhirnya terima sajalah!
***
Bayak suka dan duka menghadapi anak
dengan berbagai karakternya. Akan tercatat dalam sejarah menghadapi anak yang seperti Dede . Dengan kemampuan yang
dimiliki tentunya anak ini juga ingin memberikan hasil yang terbaik bagi
belajarnya yang sudah berlangsung lama. Namun apa daya yang namanya belajar
tidak hanya dari satu sisi saja. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi dalam
proses belajar itu sendiri. Keluarga dan lingkungan salah satu
diantaranya. Di rumah anak tak
mendapatkan bimbingan sebagaimana mestinya di sekolah juga sepertinya tak beda
jauh. Hanya beberapa Guru saja yang tahu kalau anak ini tidak bisa membaca.
Keadaan ekonomi keluarga juga salah
satu pemicunya. Para orangtuanya sibuk mencari rejeki sampai harus berada di negara
orang. Anak di rumah seperti tak mendapatkan perhatian. Bagaimana mau belajar
yang namanya ruangan untuk belajar saja tidak ada. Bagaimana mau menanyakan
tentang pelajaran yang dihadapi disekolah kalau orang-orang yang ada
disekitarnya juga tak tahu apa yang ditanyakan si anak. Komplek-komplek sekali
masalah yang dihadapi.
Sampai akhirnya pada pengambilan
kesimpulan dalam hal pemberian nilai. Guru terkecoh oleh jawaban anak yang
bagus. Essaipun dikerjakan dengan baik. Lalu keluarlah nilai dengan angka yang
besar-besar. Sampai pada rapat kenaikan kelas nama anak ini tadinya tidak muncul
kalau tak ada yang bisik-bisik. Jadilah suatu kesalahan kolektif. Semua bisa benar dan semua bisa salah. Benarnya
karena memang anak memperoleh nilai yang bagus-bagus dari gurunya. Salahnya
tak bisa dipungkiri kalau anak ini
memang tidak bisa membaca. Darimana ia meperoleh jawaban? Kalau sudah begini? Namanya
juga kesalahan kolektif jadi dosanya
tentu dibagi-bagi. Siapa yang mau?
Satu kisah di sekolah yang
berlangsung sungguh menarik . Inilah realita hidup. Banyak sekali hikmahnya,
mudah-mudahan apa yang dituangkan dalam cerpen ini bisa diambil hikmahnya. Suatu
kesalahan adalah manusiawi tapi jangan sampai fatal akibatnya yang akan membuat
kita bisa menjadi pembicaraan orang banyak. Astagfirullahaladzim
mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmahnya dari peristiwa ini.
Cirebon, 22 Juni
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar