Cerpen
C
U S A
N T O
Oleh : Nurdin Kurniawan
Kokok ayam jantan mulai terdengar
dari kejauhan. Matahari mulai memancarkan sinarnya. Usai adzan shubuh Jaunin
bergegas menuju pinggir Sungai Cisanggarung. Selama musim kemarau ini ada suatu kesibukan
yang justru kini ditekuninya sebagai mata pencaharian. Memanfaatkan tanah
timbul akibat endapan lumpur Cisanggarung yang bisa dimanfaatkan untuk membuat
batu bata. Umsari istri tercinta menyusul kemudian setelah pekerjaan di rumah
beres. Setidaknya setelah anak-anak berangkat sekolah barulah Umsari menyusul sang
suami yang sudah duluan mengerjakan mencetak batu bata.
Pekerjaan mencetak bata bukanlah
tanpa alasan Jaunin tekuni. Pekerjaan ini tadinya hanya sebatas mengisi waktu luang selama pekerjaan yang mapan
belum didapatkan. Setelah menemukan kecocokan maka mencetak bata merah ini dijadikan
pekerjaan tetap.
“Siapasih yang ingin berlama-lama
dikubangan kumpur?”
“Waktunya dihabiskan terus di pinggir
sungai?”
Tak adanya
pekerjaan yang bisa dikerjakan selain mencetak bata maka pekerjaan inilah yang
akhirnya ditekuni Jaunin dalam kesehariannya.
Umsari kaget ketika ada surat yang
datang ke rumahnya. Dibaca dibolak-balik ternyata mengenai sang anak . Bapaknya
tidak bicara banyak setelah diberitahu
ada surat panggilan dari pihak sekolah.
“Sudah ibu saja yang datang”
“Bapak malu kalau datang ke
sekolah!”
Walau
diantara guru-guru yang ada diantaranya
ada yang dikenal namun Jaunin malu
kalau-kalau pemanggilan anaknya ini
berkaitan dengan suatu masalah. Biasanya
yang dipanggil pihak sekolah adalah yang berkenaan dengan hal-hal pelanggaran.
Kalau sudah seperti ini maka rasa malu yang didapat. Daripada rasa malu yang
didapat maka Jaunin lebih suka kalau sang istri yang biar masuk ke sekolah.
“Ya sudah biarlah Ibu yang datang ke
sekolah”
Jaunin seperti biasa mengerjakan
pekerjaan kesehariannya sebagai pencetak batu bata. Umsari bersiap-siap
menghadap pihak sekolah dengan surat panggilan yang sudah ia terima. Usai
Cusanto berangkat ke sekolah maka tak terlalu lama Umsari menyusul ke sekolah.
Bersama si bungsu Umsari menghadap
ke pihak yang mengundang. Tertera di surat undangan bahwa yang mengundang adalah Wali Kelas 8.C. Disambut
oleh Bapak Kasmali yang tahu banyak tentang kasus yang dihadapi sang anak.
“Mau ketemu dengan Wali Kelas 8.C”
Salah seorang guru
yang ada kemudian mempersilahkan Umsari untuk duduk. Wali kelas lalu diundang
agar bisa tahu apa masalah yang dihadapi Cusanto. Cusanto yang duduk di kelas
8.C lalu ikut juga dipanggil.
“Ibu tahu kenapa Ibu dipanggil?”
Umsari jelas tak
tahu apa yang menyebabkan ia dipanggil. Ia hanya bisa menggelengkan kepala.
Lalu Pak Kasmali menjelaskan kalau Cusanto ini alpanya sudah lebih dari 28
hari. Umsari kaget setelah diberitahu kalau sang anak absennya lebih dari 28 hari.
“Kamu kemana saja?”
Mulanya Cusanto
hanya mengaku bolos . Kelihaian Pak Kasmali dalam mengorek informasi akhirnya
tahu selain bolos ternyata Cusanto main PS di suatu lokasi yang tak jauh dari sekolah
juga anak ini mulai minum-minuman keras.
“Apa jenisnya?”
“Ciu”
“Dioplos dengan apa?”
“Kuku Bima Pak”
Dilingkungan sekolah
ini memang peredaran minuman seperti ciu dan tuak bisa diperoleh dengan mudah
walau hanya orang-orang tertentu saja yang tahu dimana yang jualan seperti itu.
Hanya dengan Rp. 15.000 satu botol ciu seukuran botol minuman mineral maka
sudah didapat.
“Kamu mabok dengan satu gelas
minuman Ciu?”
“Tidak Pak”
“Kalau begitu kamu sudah terbisa?”
“Sungguh Pak!”
“Ini baru pertama kali saya minum”
Rupanya ada rasa
takut Cusanto kalau dibilang ia sudah ketagihan dengan minum-minuman keras.
Ada rasa ketidakpedulian Cusanto dengan
kerja keras dari pihak orangtua. Kalau saja anak ini bisa mengerti dengan
kondisi orangtua tentunya tidak akan melakukan hal seperti ini. Orangtuanya
seharian bekerja di tegalan di pinggir Cisanggarung mengerjakan mencetak bata
seharusnya ia bisa merasakan betapa susahnya yang namanya ortu mencari uang.
“Apa kamu tidak kasihan melihat
orangtuamu seperti itu?”
Anak ini hanya menggelengkan kepala. Tak ada rasa kasihan
seperti itu melihat orangtuanya kerja keras di bantaran sungai. Kalau ada rasa
kasihan tentunya ia akan membantu orangtuanya di tegalan ikut mencetak bata.
“Boro-boro kasihan Pak!”
“Bila disuruh mengantarkan makanan
buat Bapaknya di tegalan juga tidak mau”
“Anak ini malah pergi entah kemana”
Repot juga punya
anak seperti Cusanto. Belum bisa mengerti dengan kesulitan yang dihadapi pihak orangtua.
Cusanto tertunduk diam. Apa yang
dikerjakannya diluar sekolah sudah diketahui orangtua. Yang jelas ibunya sudah
wanti-wanti kalau sekali lagi berbuat lagi seperti ini maka akan segera diberi
tindakan. Entah tindakan seperti apa yang bakal dilakukan Umsari sebagai
seorang ibu terhadap anaknya.
“Saya berjanji Mih”
“Tidak akan mengulanginya lagi”
Umsari hanya
menarik nafas dalam-dalam, ia berharap kalau anaknya ini sadar dengan apa yang
sedang ia lakukan. Berjanji tak akan mengulanginya lagi.
***
Pagi-pagi buta Umsari sudah berada
di bantaran sungai untuk ikut membantu sang suami mencetak batu bata. Kerja
kerasnya ini tak lain hanya untuk anak-anaknya. Cusanto yang merupakan anak ke-3setidaknya menjadi harapan keluarga.
Si sulung sudah bekerja dari 4
bersaudara di kumidi putar yang
kerjanya selalu bepindah-pindah antara kota yang satu dengan kota yang lain.
Anaknya yang kedua sekarang ini bekerja di Singapura dan Cusanto yang kini
duduk di kelas 8.C, selain si bungsu yang belum sekolah.
Sebagai seorang Ibu tentu Umsari
berharap agar Cusanto dapat menjadi anak yang baik, anak yang menurut pada
orangtuanya. Jangan sampai anak ini mandeg sekolahnya. Setidaknya sang kakak yang
bekerja di Singapura sudah sanggup untuk membiayai sang adik agar anak ini terus
langsung sekolah.
“Kakaknya siap membiayai”
“Tinggal bagaimana Cusantonya saja”
Akhirnya Cusanto
berjanji dihadapan ibunya untuk tidak mengulangi lagi melakukan kesalahan yang
pernah ia perbuat. Malu kalau yang seperti ini terulang lagi. Setidaknya ia
pernah membohongi sang Ibu dengan mengatakan hal yang tidak sesungguhnya.
Membolos adalah perilaku yang selama ini tidak diketahui oleh sang Ibu.
“Sebagai Ibu saya ingin Cusanto bisa
maju”
“Ingin anak-anak saya maju”
“Kakak-kakaknya yang akan membiayai”
Tatapan tajam seorang Ibu yang menginginkan
anaknya maju. Tatapan seorang Ibu yang ingin anaknya punya masa depan yang
cerah. Kalaupun dalam perjalanannya Cusanto berbuat seperti itu dan ini maka
sebagai sesuatu yang masih dalam batas-batas tolelir. Kalupun nakal Umsari masih
berharap anaknya ini masih bisa ditolong. Ingin anaknya ini bisa kembali normal
seperti anak-anak yang lainnya. Ingin anaknya ini tidak tersangkut masalah yang
membuat pusing pikiran orangtua.
Perjalanan yang masih sangat panjang.
Cusanto kini terikat dengan janji yang
diucapkannya dihadapan sang Ibu. Suatu janji yang tentunya tidak bisa
dibuat-buat. Keinginan maju yang seharusnya datang dari hati sanubari si anak.
Seorang Cusanto yang masih labil dalam hal berfikir dan bertindak. Tapi
mudah-mudahan kesalahannya ini jangan sampai terulang lagi. Cukuplah sudah apa
yang sudah terjadi ini dan menjadi perhatian bagi kita semua. Menjadi perhatian
bagi semuanya agar kasus yang seperti ini tidak terjadi lagi. Suatu harapan
yang sangat wajar. Kita kembalilan lagi pada semua yang berkepentingan.
Mudah-mudahan hari esok akan jauh lebih baik lagi. Suatu perjalanan yang amat
melelahkan, suatu perjalanan yang masih sangat panjang.
Cirebon, 3 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar