Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Selasa, 27 Agustus 2019

C U S A N T O (Cerpen)


Cerpen
C  U  S  A  N  T  O
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Kokok ayam jantan mulai terdengar dari kejauhan. Matahari mulai memancarkan sinarnya. Usai adzan shubuh  Jaunin  bergegas menuju pinggir Sungai Cisanggarung.  Selama musim kemarau ini ada suatu kesibukan yang justru kini ditekuninya sebagai mata pencaharian. Memanfaatkan tanah timbul akibat endapan lumpur Cisanggarung yang bisa dimanfaatkan untuk membuat batu bata. Umsari istri tercinta menyusul kemudian setelah pekerjaan di rumah beres. Setidaknya setelah anak-anak berangkat sekolah barulah Umsari menyusul sang suami yang sudah duluan mengerjakan mencetak batu bata.
            Pekerjaan mencetak bata bukanlah tanpa alasan Jaunin tekuni. Pekerjaan ini tadinya hanya sebatas  mengisi waktu luang selama pekerjaan yang mapan belum didapatkan. Setelah menemukan kecocokan  maka mencetak bata merah ini dijadikan pekerjaan tetap.
            “Siapasih yang ingin berlama-lama dikubangan kumpur?”
            “Waktunya dihabiskan terus di pinggir sungai?”
Tak adanya pekerjaan yang bisa dikerjakan selain mencetak bata maka pekerjaan inilah yang akhirnya ditekuni Jaunin dalam kesehariannya.
            Umsari kaget ketika ada surat yang datang ke rumahnya. Dibaca dibolak-balik ternyata mengenai sang anak . Bapaknya tidak       bicara banyak setelah diberitahu ada surat panggilan dari pihak sekolah.
            “Sudah ibu saja yang datang”
            “Bapak malu kalau datang ke sekolah!”
Walau diantara   guru-guru yang ada diantaranya ada  yang dikenal namun Jaunin malu kalau-kalau pemanggilan anaknya  ini berkaitan dengan suatu  masalah. Biasanya yang dipanggil pihak sekolah adalah yang berkenaan dengan hal-hal pelanggaran. Kalau sudah seperti ini maka rasa malu yang didapat. Daripada rasa malu yang didapat maka Jaunin lebih suka kalau sang istri yang biar masuk ke sekolah.
            “Ya sudah biarlah Ibu yang datang ke sekolah”
            Jaunin seperti biasa mengerjakan pekerjaan kesehariannya sebagai pencetak batu bata. Umsari bersiap-siap menghadap pihak sekolah dengan surat panggilan yang sudah ia terima. Usai Cusanto berangkat ke sekolah maka tak terlalu lama Umsari menyusul ke sekolah.
            Bersama si bungsu Umsari menghadap ke pihak yang mengundang. Tertera di surat undangan bahwa yang  mengundang adalah Wali Kelas 8.C. Disambut oleh Bapak Kasmali yang tahu banyak tentang kasus yang dihadapi sang anak.
            “Mau ketemu dengan Wali Kelas 8.C”
Salah seorang guru yang ada kemudian mempersilahkan Umsari untuk duduk. Wali kelas lalu diundang agar bisa tahu apa masalah yang dihadapi Cusanto. Cusanto yang duduk di kelas 8.C lalu ikut juga dipanggil.
            “Ibu tahu kenapa Ibu dipanggil?”
Umsari jelas tak tahu apa yang menyebabkan ia dipanggil. Ia hanya bisa menggelengkan kepala. Lalu Pak Kasmali menjelaskan kalau Cusanto ini alpanya sudah lebih dari 28 hari. Umsari kaget setelah diberitahu kalau sang anak  absennya lebih dari 28 hari.
            “Kamu kemana saja?”
Mulanya Cusanto hanya mengaku bolos . Kelihaian Pak Kasmali dalam mengorek informasi akhirnya tahu selain bolos ternyata Cusanto main PS di suatu lokasi yang tak jauh dari sekolah juga anak ini mulai minum-minuman keras.
            “Apa jenisnya?”
            “Ciu”
            “Dioplos dengan apa?”
            “Kuku Bima Pak”
Dilingkungan sekolah ini memang peredaran minuman seperti ciu dan tuak bisa diperoleh dengan mudah walau hanya orang-orang tertentu saja yang tahu dimana yang jualan seperti itu. Hanya dengan Rp. 15.000 satu botol ciu seukuran botol minuman mineral maka sudah didapat.
            “Kamu mabok dengan satu gelas minuman Ciu?”
            “Tidak Pak”
            “Kalau begitu kamu sudah terbisa?”
            “Sungguh Pak!”
            “Ini baru pertama kali saya minum”
Rupanya ada rasa takut Cusanto kalau dibilang ia sudah ketagihan dengan minum-minuman keras.
            Ada rasa ketidakpedulian Cusanto dengan kerja keras dari pihak orangtua. Kalau saja anak ini bisa mengerti dengan kondisi orangtua tentunya tidak akan melakukan hal seperti ini. Orangtuanya seharian bekerja di tegalan di pinggir Cisanggarung mengerjakan mencetak bata seharusnya ia bisa merasakan betapa susahnya yang namanya ortu mencari uang.
            “Apa kamu tidak kasihan melihat orangtuamu seperti itu?”
Anak ini hanya  menggelengkan kepala. Tak ada rasa kasihan seperti itu melihat orangtuanya kerja keras di bantaran sungai. Kalau ada rasa kasihan tentunya ia akan membantu orangtuanya di tegalan ikut mencetak bata.
            “Boro-boro kasihan Pak!”
            “Bila disuruh mengantarkan makanan buat Bapaknya di tegalan juga tidak mau”
            “Anak ini malah pergi entah kemana”
Repot juga punya anak seperti Cusanto. Belum bisa mengerti dengan  kesulitan yang dihadapi pihak orangtua.
               Cusanto tertunduk diam. Apa yang dikerjakannya diluar sekolah sudah diketahui orangtua. Yang jelas ibunya sudah wanti-wanti kalau sekali lagi berbuat lagi seperti ini maka akan segera diberi tindakan. Entah tindakan seperti apa yang bakal dilakukan Umsari sebagai seorang ibu terhadap anaknya.
            “Saya berjanji Mih”
            “Tidak akan mengulanginya lagi”
Umsari hanya menarik nafas dalam-dalam, ia berharap kalau anaknya ini sadar dengan apa yang sedang ia lakukan. Berjanji tak akan mengulanginya lagi.
                                                                        ***
            Pagi-pagi buta Umsari sudah berada di bantaran sungai untuk ikut membantu sang suami mencetak batu bata. Kerja kerasnya ini tak lain hanya untuk anak-anaknya. Cusanto yang merupakan  anak ke-3setidaknya menjadi harapan keluarga. Si sulung sudah bekerja  dari 4 bersaudara   di kumidi putar yang kerjanya selalu bepindah-pindah antara kota yang satu dengan kota yang lain. Anaknya yang kedua sekarang ini bekerja di Singapura dan Cusanto yang kini duduk di kelas 8.C, selain si bungsu yang belum sekolah.
            Sebagai seorang Ibu tentu Umsari berharap agar Cusanto dapat menjadi anak yang baik, anak yang menurut pada orangtuanya. Jangan sampai anak ini mandeg sekolahnya. Setidaknya sang kakak yang bekerja di Singapura sudah sanggup untuk membiayai sang adik agar anak ini terus langsung sekolah.
            “Kakaknya siap membiayai”
            “Tinggal bagaimana Cusantonya saja”
Akhirnya Cusanto berjanji dihadapan ibunya untuk tidak mengulangi lagi melakukan kesalahan yang pernah ia perbuat. Malu kalau yang seperti ini terulang lagi. Setidaknya ia pernah membohongi sang Ibu dengan mengatakan hal yang tidak sesungguhnya. Membolos adalah perilaku yang selama ini tidak diketahui oleh sang Ibu.
            “Sebagai Ibu saya ingin Cusanto bisa maju”
            “Ingin anak-anak saya maju”
            “Kakak-kakaknya yang akan membiayai”
 Tatapan tajam seorang Ibu yang menginginkan anaknya maju. Tatapan seorang Ibu yang ingin anaknya punya masa depan yang cerah. Kalaupun dalam perjalanannya Cusanto berbuat seperti itu dan ini maka sebagai sesuatu yang masih dalam batas-batas tolelir. Kalupun nakal Umsari masih berharap anaknya ini masih bisa ditolong. Ingin anaknya ini bisa kembali normal seperti anak-anak yang lainnya. Ingin anaknya ini tidak tersangkut masalah yang membuat pusing pikiran orangtua.
            Perjalanan yang masih sangat panjang. Cusanto  kini terikat dengan janji yang diucapkannya dihadapan sang Ibu. Suatu janji yang tentunya tidak bisa dibuat-buat. Keinginan maju yang seharusnya datang dari hati sanubari si anak. Seorang Cusanto yang masih labil dalam hal berfikir dan bertindak. Tapi mudah-mudahan kesalahannya ini jangan sampai terulang lagi. Cukuplah sudah apa yang sudah terjadi ini dan menjadi perhatian bagi kita semua. Menjadi perhatian bagi semuanya agar kasus yang seperti ini tidak terjadi lagi. Suatu harapan yang sangat wajar. Kita kembalilan lagi pada semua yang berkepentingan. Mudah-mudahan hari esok akan jauh lebih baik lagi. Suatu perjalanan yang amat melelahkan, suatu perjalanan yang masih sangat panjang.

                                                                                                           Cirebon, 3 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar