Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Selasa, 27 Agustus 2019

DEDE PRIYONO Part 2 (Cerpen)


Cerpen
DEDE PRIYONO
Bagian Kedua
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Namanya sempat melejit di sekolah ini ketika anak ini akhirnya bisa naik ke kelas 8. Ternyata hanya segelintir Guru saja yang tahu dengan anak ini yang baru diketahui setelah muncul di rapat verifikasi kenaikan kelas. Anak ini dinyatakan naik kelas. Ada yang aneh dengan Dede Priyono? Ya…ternyata Dede sudah duduk di kelas 8 namun nyatanya anak ini tidak bisa membaca. Barulah beberapa Guru yang sempat memberikan nilai besar untuk anak ini geleng-geleng kepala. Ternyata mereka baru tahu kalau yang namanya Dede tidak bisa membaca.
            Semuanya dibikin tidak percaya. Akhirnya saling menyalahkan kok bisa-bisanya Guru memberikan nilai yang tinggi untuk anak yang tidak bisa membaca? Karena nilai sudah jadi dan setelah didalam rapat verifikasi anak ini tidak mempunyai masalah dengan nilai akhirnya Dede Priyono dinyatakan naik ke kelas 8. Guru yang memberikan nilai kurang dari KKM hanya satu orang. Karena rapat menyatakan anak ini harus naik maka nilai yang dibawah KKM otomatis disesuaikan dengan KKM minimal.
            Baru menjadi perhatian Guru kalau memberikan nilai harus tahu proses. Selama ini memberikan nilai dari hasil ulangan saja. Anak yang tidak bisa membacapun ternyata bisa naik kelas. Ini sungguh memalukan. Kalaulah belum bisa membacanya di kelas 1 SD atau kelas 2 SD mungkin masih dalam toleransi. Ini sudah di kelas 7 dan dinyatakan naik ke kelas 8. Wah…. sungguh kecolongan yang amat sangat .
            “Masa sih Pak anak ini tidak bisa membaca?”
Ada beberapa Guru yang memang tidak mengajar Dede mempertanyakan benar tidak kalau anak ini tidak bisa membaca. Salah seorang Guru yang pernah mengetes langsung Dede ketika ulangan lalu memberikan penjelasannya.
            “Anak ini saya suruh menuliskan beberapa nama Guru dan TU yang kebetulan namanya hanya satu kata”
            “Soal yang pertama disuruh menulis SOLEMAN”
            “Ditunggu beberapa menit anak ini belum juga menyelesaikan jawaban”
            “Setelah waktu dinyatakan habis ternyata jawabannya tidak sesuai”
            “Pertanyaan kedua disuruh menulis nama KASMALI”
            “Pertayaan kedua pun sama anak membutuhkan waktu yang cukup lama”
            “Setelah dilihat jawabannya ternyata salah”
            “Pertanyaan berikutnya ZAETUN”
            “Pertayaan ini pun tidak bisa dituliskan dengan benar”
            “Dua soal yang lainnya dijawab dengan salah pula”
            “Jadi bisa disimpulkan kalau anak ini tidak bisa membaca sama sekai”
Guru yang tadi sempat mempertanyakan kini  menjadi mengerti. Kalau begitu anak memang bisa disimpulkan tidak bisa membaca.
            Lalu dari mana ia menjawab soal-soal essay dengan benar? Inilah yang menjadi pertanyaan. Sebab kalau anak tidak bisa membaca maka ia juga tidak akan bisa menulis. Selama ini kalau ada soal essay si anak dengan gampang bisa menjawabnya. Mulailah beberapa Guru menelaah dari mana si anak bisa menjawab soal-soal essay. Kalau menjawab pilihan ganda si anak pasti bisa karena hanya memilih salah satunya. Dari teori peluang maka ada kemungkinan si anak bisa menjawab dengan benar . Sementara kalau essay? Inilah yang sempat menjadi pertanyaan Guru.
            Diteliti dari mulut ke mulut akhirnya diketahui kalau Dede ternyata mendapatkan jawaban essay dari temannya. Temannya ini disuruh menulis di lembar jawaban si Dede. Sebagai imbalannya si anak yang membantu Dede suka diberi jajan . Dari sinilah mulai ketahuan kalau Dede ternyata pintar sekali memanfaatkan  kemampuannnya. Beberapa anak dengan senang membantu Dede Priyono. Siapa sih yang tidak senang kalau waktu istirahat diberi jajan?
                                                                        ***
            Tahun Pelajaran 2012-2013 sempat libur panjang karena memasuki bulan puasa dan Idul Fitri. Dede mulai gelisah setelah beberapa Guru mulai memperhatikan. Rupanya ketidak mampuan Dede dalam hal baca tulis sudah diketahui beberapa Guru. Guru-guru tertentu kalau ada kesempatan untuk membaca maka  kegiatan membaca itu digilirkan pada beberapa murid. Dari sini Dede mulai gelisah. Ada saja alasan yang dikemukakan anak iani mulai dari sakitlah, angin ke WC-lah dsb.
            “Sudah kamu jangan banyak alasan”
            “Baca dulu satu paragraf!”
Dede memegangi perutnya seolah-olah sedang menahan sakit yang sangat berat.
            “Pak mulas perutnya”
Melihat Dede yang mulai berkeringat akhirnya si Guru percaya kalau anak ini mulas. Geleng-geleng kepala akhirnya Dede diperbolehkan ke WC. Sudah bisa dipastikan kalau anak ini masuknya nanti kalau Guru yang tadi memberikan pelajaran habis jamnya.
                        Kini  kesempatan Guru yang kemarin sempat memberikan Dede kelonggaran dengan pergi ke WC mengulangi lagi kegiatan yang sempat tertunda. Kegiatan membaca secara bergiliran dari anak yang satu ke anak yang lainnya. Begitu tiba giliran Dede, maka anak ini pun berlaku seperti yang sudah-sudah. Tak mau diakali lagi oleh si Dede maka Guru tadi mendekati Dede.
                        “Kamu sebenarnya bisa membaca tidak?”
Dede diam saja tidak berani menatap wajah sang Guru. Pertanyaan tadi diulangi lagi oleh Pak Guru.
            “Jujur saja!”
“Kamu sebenarnya bisa membaca tidak?”
Dede lalu menggelengkan kepala. Pak Guru yang sempat memberikan pertanyaan akhirnya diam. Inilah pengakuan yang paling jujur yang diberikan Dede Priyono. Kalau sudah seperti ini harus diapakan?
            Usai Idul Fitri kegiatan KBM berjalan sebagaimana biasanya lagi. Anak-anak belajar setelah liburan yang cukup panjang. Dede Priyono mulia jarang masuk sekolah. Wali Kelas lalu berinisiatip untuk mendatangi rumahnya. Ingin tahu apakah yang menyababkan Dede Priyono tidak masuk-masuk lagi.
            Tidak terlalu jauh jarak dari rumah Dede ke sekolah. Hanya beberapa menit sudah sampai di rumah orangtuanya. Sungguh memprihatinkan kondisi rumah orangtuanya ini. Rumah yang sungguh tak layak untuk dihuni. Beberapa bagian lantainya masih tanah. Sekeliling bangunan hanya terbuat dari anyaman bambu yang tidak tertutup semua. Boleh dikatakan rumah yang seperti ini adalah rumah pra sejahtera.
            Dede Priyono sedang tidak ada di rumah. Selama ini kegiatannya hanyalah main. Dicari-cari akhirnya Dede mau menemui Wali Kelasnya.
            “Dari mana saja kamu?”
Dede seperti biasa diam tak  mau menatap wajah Wali Kelasnya. Bibinya yang akhirnya menjawab pertanyaan sang Wali Kelas.
            “Anak ini memamg main saja Pak Guru!”
            “Loh kok tidak ke sekolah?”
Sang Bibi yang akhirnya bercerita panjang lebar mengenai Dede Priyono.
            “Orangtuanya memang tidak mampu Pak”
            “Jangankan untuk belajar mendatangkan Guru  privat wong untuk makan saja susah!”
Bapak Wali Kelasnya melihat sekeliling rumah Dede Priyono. Memang sungguh sangat memprihatinkan. Dari Bibinya ini pula sebenarnya ketidakmampuan Dede dalam hal membaca terungkap.
            “Waktu di SD juga Pak Gurunya sudah pernah memberitahu kalau Dede tidak bisa membaca”
            “Tapi mau bagaimana lagi!”
Inilah yang kadang tidak dimengerti. Dari SD saja Gurunya sebenarnya tahu kalau Dede tidak bisa membaca, tapi kenapa lalu anak ini bisa naik kelas bahkan lulus hingga bisa sampai di SMP? Entahlah barangkali inilah yang disebut faktor keberuntungan.
            “Jadi bagimana Dede mau terus melanjutkan lagi atau tidak?”
Ditanya seperti itu Dede malah melihat wajah Sang Bibi. Rupanya ada bahasa sandi antara keponakan dengan sang Bibi. Bibinya mengerti apa yang diinginkan Dede Priyono.
            “Sudahlah Pak”
            “Dede keluar saja sekolahnya”
            “Anak ini  tidak mampu!”
Tidak bisa membantu lebih jauh dengan keputusan yang dilakukan keluarga Dede Priyono. Dengan sangat menyesal akhirnya selembar kertas pernyataan mengundurkan diri disodorkan. Oleh Bibinya surat itu lalu ditandatangani. Dede akhirnya dikembalikan pada orangtuanya.
            Sangat pilu mendengarkan nasib anak yang satu ini. Entah harus bagimana agar anak yang masih sangat muda ini bisa membaca.  Banyak faktor yang menyebabkan anak ini belum bisa juga membaca sampai anak ini bisa duduk di kelas 8 SMP. Rasa minder dan ketidakberdayaan keluarga dalam hal ekonomi membuat Dede menyerah dengan keadaan. Sangat disayangkan perjalanan hidupnya harus seperti ini.
            Jalan masih sangat panjang buat anak seusia Dede Priyono. Sisi gelap yang tidak mudah untuk bisa dipecahkan. Hanya suatu keajaiban untuk bisa mengubah apa yang sedang dialami Dede Priyono. Kiranya Allah selalu memberikan bimbingan agar perjalanan hidupnya ini dimudahkan. Suatu perjalanan seorang anak yang masih jauh dan amat sangat panjang di  belantara kehidupan.

                                                                                                              Cirebon, 4 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar