Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Minggu, 04 Agustus 2019

AKU INGIN SEKOLAH (Cerpen)


Cerpen

AKU INGIN SEKOLAH
Oleh : Mang Iwan

            Lorong antar ruang kelas itu tak ramai seperti dulu lagi dimana anak berlarian kesana kemari. Tak terdengar lagi gelak tawa anak-anak yang kemarin merayakan kelulusan.  Tak ada lagi terjangan bola yang masuk ke ruang kelas. Semuanya terasa sepi apalagi dengan keadaan sekarang dimana siswa satu sekolah yang mendaftarkan ke sekolah negeri tak ada satupun yang diterima. Keadaan ini membuat kondisi sekolah tak lagi kondusif. Orangtua menyalahkan sekolah, kepala desa menyalahkan guru. Guru dan kepala sekolah saling curiga. Kondisi saling menyalahkan dengan anak-anak yang menangis tak menentu nasibnya dimasa mendatang.
            SMPN Mandala yang merupakan sekolah terdekat dengan beberapa sekolah dasar yang mengelilinginya juga sedang bingung. Dari pembagian zonasi seperti aturan menteri ada beberapa                          desa yang tidak tercover. Ini artinya ada beberapa siswa dari desa tertentu yang tidak masuk dalam lingkaran siswa yang diterima. Tentu hal ini akan menjadi masalah sebab baru pada tahun pelajaran 2019-2020 ada siswa yang berasal dari desa tertentu seluruhnya tidak diterima.
            Tak hanya Drs. Karman yang pusing dengan aturan yang baru beberapa tahun diterapkan. Hal senada dilarasan oleh Jamhari sang kepala desa. Baru pada tahun sekarang anak-anak yang berasal dari desa Plabuhan yang berjumlah 8 orang tidak diterima. Orangtua si anak didik datang ke balai desa mengajukan permasalahan yang mereka alami. Mereka sebelumnya mengadu ke kepala sekolah dasar   dimana anak-anak belajar. Mendapat penjelasan yang juga tak jelas-jelas maka beberapa  dari orangtua ini datang ke balai desa. Mereka menuntut agar anak-anaknya bisa belajar sama seperti anak-anak dari desa lain yang diterima.
            “Anak-anak kami nilainya bagus-bagus...”
            “Anak-anak kami berkelakuan baik...”
            “Anak-anak kami ingin sekolah seperti yang lain”
            “Kenapa satu desa anak kami yang akan melanjutkan  tidak diterima di sekolah negeri?”
            “Apa yang salah dengan kami?”
Jamhari hanya bisa menampung apa yang dikeluhkan beberapa orangtua yang datang ke balai desa. Jamhari sendiri kurang paham dengan yang namanya zonasi dalam PPDB. Aturan macam apa yang menyebabkan sang anak tidak bisa masuk ke sekolah negeri seperti tahun-tahun sebelumnya yang tidak ada masalah
            “Kami sudah dari sekolah asal pak kuwu...”
            “Jawaban mereka tidak memuaskan!”
            “Kami hanya ingin anak-nak kami sekolah...”
            “Tolong jangan hambat anak kami yang sedang ingin sekolah!”
Jamhari tak bisa memberikan banyak jawaban, dipanggilnya sekdes untuk mendatangkan sang kepala sekolah yang kantornya hanya berjarak 50 meter dari balai desa. Persoalan anak-anak dari desa Plabuhan tidak bisa diselesaikan sendirian. Harus juga melibatkan sang kepala sekolah yang tentunya tahu jelas duduk permasalahan kenapa 8 anak didiknya yang mendaftar di SMPN Mandala tak ada satupun yang diterima.
            Drs. Karman menjelaskan sistem zonasi yang berlaku saat PPDB tahun sekarang.
            “Tak hanya bapak yang kecewa....”
            “Kami dari sekolah juga sangat kecewa...”
            “Baru tahun ini anak-anak sekolah kami semuanya tidak diterima”
            “Pemerataan pendidikan yang digelontorkan pemerintah nol besar”
            “Ini buktinya....”
            “Satu sekolah tidak ada yang diterima!”
Dihadapan orangtua peserta didik yang mengadu Drs. Karman meminta maaf. Bahwa dirinya sudah berusaha mengantarkan anak didik untuk bisa sekolah dengan baik. Namun di sekolah yang lebih tinggi nyatanya keinginan untuk belajar terhambat oleh aturan yang namanya zonasi. Kedua pimpinan ini berunding yang akan menghadap ke kepala sekolah SMP untuk mengadukan nasib anak-anak yang sedang ingin belajar tapi terhambat oleh aturan zonasi.
                                                                        ***
            Memperjuangkan nasib anak bangsa yang sedang berkembang merupakan suatu kodrat alami bagi guru kelas 6.  Sugiman menjadi terpikirkan dengan anak didiknya yang terjegal tak bisa masuk ke sekolah negeri. Semenjak ia diangkat jadi guru selalu mengajar di kelas 6. Baru tahun 2019 ini anak didiknya tidak diterima di sekolah negeri. Bukan karena mereka bodoh ataupun goblok! Bukan....mereka ini anak-anak cerdas yang tidak bisa tertolong oleh aturan yang tidak pernah diujicobakan terlebih dahulu. Sebuah aturan yang hanya menyamaratakan sekolah baik yang ada di desa dengan di kota, menyamaratakan  falisits sekolah yang ada di desa dengan di kota, menyamaratakan jumlah guru yang ada di sekolah kota dengan desa. Jadilah seperti sekarang ini dimana ada anak-anak yang tidak tertampung di sekolah negeri hanya karena jaraknya jauh dari sekolah yang dituju.
            Kalaulah semua sekolah fasilitasnya sudah sama semua, kalaulah semua sekolah sudah sama saprasnya , kalaulah jumlah gurunya sama setiap sekolah tentu aturan seperti zonasi tak masalah diterapkan. Ini.... ada sekolah dasar yang sangat jauh dari sekolah yang ada dipusat kota kecamatan merasakan akibatnya. Kalah jarak oleh beberapa sekolah dasar yang mengelompok dengan sekolah SMP. Mereka inilah yang mendapat posisi yang lebih diuntungkan. Nah... Desa Plabuhan yang jauh tentu sangat tak diuntungkan. Mau diapakan anak didik yang jauh dari sekolah yang ada di pusat kota kecamatan? Tak hanya Plabuhan, ada beberapa desa lain yang juga nasibnya sama. Anak didiknya tak bisa sekolah negeri hanya karena kalah jarak.  Kejadian seperti inilah yang belum terekam oleh para pengambil kebijakan di pusat.
            Kepala sekolah dari Plabuhan disertai kepala desa akhirnya menemui kepala sekolah SMP. Disalah satu ruangan rupanya ada juga kepala sekolah dari desa lain. Sepertinya permasalahn yang dihadapinya adalah sama. Mereka ini anak didiknya tidak bisa masuk di sekolah negeri seperti yang diharapkan anak-anak.
            “Permasalahan yang bapak sampaikan kami tempung”
            “Kami akan menghadap kepala dinas”
            “Mudah-mudahan ada solusinya...”
Rapat terbatas ini akhirnya membubarkan diri. Jamhari tentu mengintruksikan pada Drs. Karman agar bisa menyampaikan pada orangtua si anak didik. Mudah-mudahan 8 anak didiknya bisa sekolah di sekolah negeri.
            Aturan yang terbilang masih baru dengan berbagai konsekwensinya terkadang membuat bingung. Kalau yang diatas mengatakan semuanya sudah jelas diatur tapi mereka tak paham situasi sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Tahunya  sudah di SK-kan dalam sebuah aturan. Mereka yang dibawah harus menjalankan aturan dengan sebaik-bailknya. Jangan coba-coba main mata apalagi main api dengan PPDB.
            Aturan baru harus disikapi dengan pemahaman yang baru pula. Tidak semata-mata ada sebuah aturan kalau tidak ada yang dituju. Zonasi memang bagus, hanya saja perlu sosilalisasi yang begitu mendalam. Sekolah yang belum tercover oleh zonasi yang  begitu jauh jaraknya dari pusat kota menjadi hal baru yang baru ditemukan dalam PPDB. Inilah yang sedang dan harus diusahakan agar ada penyelesaiannya. Jangan ada anak didik yang sedang giat-giatnya ingin sekolah terhambat hanya karena alasan jarak. Masa Ujian Nasionalnya sudah bagus menggunakan sistem online dengan komputer tapi kenapa PPDB-nya ukurannya meteran! Inilah yang kadang tidak masuk akal, namun terjadi di negeri ini. Evaluasinya sudah keren eh...PPDBnya masih meteran. Seolah prestasi akademik hanya nomer sekian...kalah oleh radius dari rumah (meteran).
            Melalui perjuangan yang keras anak-anak yang tadinya tidak bisa diterima di sekolah yang dituju akhirnya harus rela sekolah lain, di sekolah yang justru lebih jauh dari zonasi. Anak-anak ini diberi pengertian oleh guru kelas 6 dan oleh kepala desa kalau memang seperti itu aturan yang sedang berlaku. Suatu pendholiman bagi mereka yang rumahnya jauh dari sekolah.
            “Bersabar saja anak-anak...”
            “Yang penting kalian masih bisa sekolah di sekolah negeri”
            “Masalah jauh itu relatif...”
            “Jalani saja dahulu gampang kalau kalian capai di tengah perjalanan bisa pindah”
Sebagian orangtua mengerti dengan aturan PPDB yang sekarang, namun yang lainnya tetap merasa kecewa dengan aturan zonasi. Zonasi ternyata tak selamanya mendekatkan anak dengan orangtua justru adanya zonasi anak makin jauh sekolahnya dari rumah orangtua. Semoga ada regulasi baru sehingga anak-anak yang domisilinya jauh dari sekolah bisa diterima di sekolah negeri tanpa harus kalah jarak dengan mereka yang domisilinya didepan gerbang sekolah persis. Jangan patahkan semangat anak yang ingin sekolah.
                                                                                                                      Gebang, 13 Juli 2019
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar