Cerpen
AKU INGIN SEKOLAH
Oleh : Mang Iwan
Lorong
antar ruang kelas itu tak ramai seperti dulu lagi dimana anak berlarian kesana
kemari. Tak terdengar lagi gelak tawa anak-anak yang kemarin merayakan kelulusan. Tak ada lagi terjangan bola yang masuk ke
ruang kelas. Semuanya terasa sepi apalagi dengan keadaan sekarang dimana siswa satu
sekolah yang mendaftarkan ke sekolah negeri tak ada satupun yang diterima.
Keadaan ini membuat kondisi sekolah tak lagi kondusif. Orangtua menyalahkan
sekolah, kepala desa menyalahkan guru. Guru dan kepala sekolah saling curiga. Kondisi
saling menyalahkan dengan anak-anak yang menangis tak menentu nasibnya dimasa
mendatang.
SMPN
Mandala yang merupakan sekolah terdekat dengan beberapa sekolah dasar yang
mengelilinginya juga sedang bingung. Dari pembagian zonasi seperti aturan
menteri ada beberapa
desa yang tidak tercover. Ini artinya ada beberapa siswa dari desa tertentu
yang tidak masuk dalam lingkaran siswa yang diterima. Tentu hal ini akan
menjadi masalah sebab baru pada tahun pelajaran 2019-2020 ada siswa yang
berasal dari desa tertentu seluruhnya tidak diterima.
Tak
hanya Drs. Karman yang pusing dengan aturan yang baru beberapa tahun
diterapkan. Hal senada dilarasan oleh Jamhari sang kepala desa. Baru pada tahun
sekarang anak-anak yang berasal dari desa Plabuhan yang berjumlah 8 orang tidak
diterima. Orangtua si anak didik datang ke balai desa mengajukan permasalahan yang
mereka alami. Mereka sebelumnya mengadu ke kepala sekolah dasar dimana anak-anak belajar. Mendapat penjelasan
yang juga tak jelas-jelas maka beberapa dari orangtua ini datang ke balai desa. Mereka
menuntut agar anak-anaknya bisa belajar sama seperti anak-anak dari desa lain
yang diterima.
“Anak-anak
kami nilainya bagus-bagus...”
“Anak-anak
kami berkelakuan baik...”
“Anak-anak
kami ingin sekolah seperti yang lain”
“Kenapa
satu desa anak kami yang akan melanjutkan tidak diterima di sekolah negeri?”
“Apa
yang salah dengan kami?”
Jamhari hanya bisa menampung apa yang
dikeluhkan beberapa orangtua yang datang ke balai desa. Jamhari sendiri kurang
paham dengan yang namanya zonasi dalam PPDB. Aturan macam apa yang menyebabkan
sang anak tidak bisa masuk ke sekolah negeri seperti tahun-tahun sebelumnya
yang tidak ada masalah
“Kami
sudah dari sekolah asal pak kuwu...”
“Jawaban
mereka tidak memuaskan!”
“Kami
hanya ingin anak-nak kami sekolah...”
“Tolong
jangan hambat anak kami yang sedang ingin sekolah!”
Jamhari tak bisa memberikan banyak
jawaban, dipanggilnya sekdes untuk mendatangkan sang kepala sekolah yang
kantornya hanya berjarak 50 meter dari balai desa. Persoalan anak-anak dari desa
Plabuhan tidak bisa diselesaikan sendirian. Harus juga melibatkan sang kepala
sekolah yang tentunya tahu jelas duduk permasalahan kenapa 8 anak didiknya yang
mendaftar di SMPN Mandala tak ada satupun yang diterima.
Drs.
Karman menjelaskan sistem zonasi yang berlaku saat PPDB tahun sekarang.
“Tak
hanya bapak yang kecewa....”
“Kami
dari sekolah juga sangat kecewa...”
“Baru
tahun ini anak-anak sekolah kami semuanya tidak diterima”
“Pemerataan
pendidikan yang digelontorkan pemerintah nol besar”
“Ini
buktinya....”
“Satu
sekolah tidak ada yang diterima!”
Dihadapan orangtua peserta didik yang
mengadu Drs. Karman meminta maaf. Bahwa dirinya sudah berusaha mengantarkan
anak didik untuk bisa sekolah dengan baik. Namun di sekolah yang lebih tinggi
nyatanya keinginan untuk belajar terhambat oleh aturan yang namanya zonasi.
Kedua pimpinan ini berunding yang akan menghadap ke kepala sekolah SMP untuk
mengadukan nasib anak-anak yang sedang ingin belajar tapi terhambat oleh aturan
zonasi.
***
Memperjuangkan
nasib anak bangsa yang sedang berkembang merupakan suatu kodrat alami bagi guru
kelas 6. Sugiman menjadi terpikirkan
dengan anak didiknya yang terjegal tak bisa masuk ke sekolah negeri. Semenjak
ia diangkat jadi guru selalu mengajar di kelas 6. Baru tahun 2019 ini anak
didiknya tidak diterima di sekolah negeri. Bukan karena mereka bodoh ataupun
goblok! Bukan....mereka ini anak-anak cerdas yang tidak bisa tertolong oleh
aturan yang tidak pernah diujicobakan terlebih dahulu. Sebuah aturan yang hanya
menyamaratakan sekolah baik yang ada di desa dengan di kota,
menyamaratakan falisits sekolah yang ada
di desa dengan di kota, menyamaratakan jumlah guru yang ada di sekolah kota
dengan desa. Jadilah seperti sekarang ini dimana ada anak-anak yang tidak
tertampung di sekolah negeri hanya karena jaraknya jauh dari sekolah yang
dituju.
Kalaulah
semua sekolah fasilitasnya sudah sama semua, kalaulah semua sekolah sudah sama
saprasnya , kalaulah jumlah gurunya sama setiap sekolah tentu aturan seperti
zonasi tak masalah diterapkan. Ini.... ada sekolah dasar yang sangat jauh dari
sekolah yang ada dipusat kota kecamatan merasakan akibatnya. Kalah jarak oleh
beberapa sekolah dasar yang mengelompok dengan sekolah SMP. Mereka inilah yang
mendapat posisi yang lebih diuntungkan. Nah... Desa Plabuhan yang jauh tentu
sangat tak diuntungkan. Mau diapakan anak didik yang jauh dari sekolah yang ada
di pusat kota kecamatan? Tak hanya Plabuhan, ada beberapa desa lain yang juga
nasibnya sama. Anak didiknya tak bisa sekolah negeri hanya karena kalah
jarak. Kejadian seperti inilah yang belum
terekam oleh para pengambil kebijakan di pusat.
Kepala
sekolah dari Plabuhan disertai kepala desa akhirnya menemui kepala sekolah SMP.
Disalah satu ruangan rupanya ada juga kepala sekolah dari desa lain. Sepertinya
permasalahn yang dihadapinya adalah sama. Mereka ini anak didiknya tidak bisa
masuk di sekolah negeri seperti yang diharapkan anak-anak.
“Permasalahan
yang bapak sampaikan kami tempung”
“Kami
akan menghadap kepala dinas”
“Mudah-mudahan
ada solusinya...”
Rapat terbatas ini akhirnya membubarkan
diri. Jamhari tentu mengintruksikan pada Drs. Karman agar bisa menyampaikan
pada orangtua si anak didik. Mudah-mudahan 8 anak didiknya bisa sekolah di
sekolah negeri.
Aturan
yang terbilang masih baru dengan berbagai konsekwensinya terkadang membuat
bingung. Kalau yang diatas mengatakan semuanya sudah jelas diatur tapi mereka
tak paham situasi sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Tahunya sudah di SK-kan dalam sebuah aturan. Mereka
yang dibawah harus menjalankan aturan dengan sebaik-bailknya. Jangan coba-coba
main mata apalagi main api dengan PPDB.
Aturan
baru harus disikapi dengan pemahaman yang baru pula. Tidak semata-mata ada
sebuah aturan kalau tidak ada yang dituju. Zonasi memang bagus, hanya saja
perlu sosilalisasi yang begitu mendalam. Sekolah yang belum tercover oleh zonasi yang begitu jauh jaraknya dari pusat kota menjadi
hal baru yang baru ditemukan dalam PPDB. Inilah yang sedang dan harus
diusahakan agar ada penyelesaiannya. Jangan ada anak didik yang sedang
giat-giatnya ingin sekolah terhambat hanya karena alasan jarak. Masa Ujian Nasionalnya
sudah bagus menggunakan sistem online
dengan komputer tapi kenapa PPDB-nya ukurannya meteran! Inilah yang kadang
tidak masuk akal, namun terjadi di negeri ini. Evaluasinya sudah keren
eh...PPDBnya masih meteran. Seolah prestasi akademik hanya nomer sekian...kalah
oleh radius dari rumah (meteran).
Melalui
perjuangan yang keras anak-anak yang tadinya tidak bisa diterima di sekolah yang
dituju akhirnya harus rela sekolah lain, di sekolah yang justru lebih jauh dari
zonasi. Anak-anak ini diberi pengertian oleh guru kelas 6 dan oleh kepala desa
kalau memang seperti itu aturan yang sedang berlaku. Suatu pendholiman bagi
mereka yang rumahnya jauh dari sekolah.
“Bersabar
saja anak-anak...”
“Yang
penting kalian masih bisa sekolah di sekolah negeri”
“Masalah
jauh itu relatif...”
“Jalani
saja dahulu gampang kalau kalian capai di tengah perjalanan bisa pindah”
Sebagian orangtua mengerti dengan aturan
PPDB yang sekarang, namun yang lainnya tetap merasa kecewa dengan aturan
zonasi. Zonasi ternyata tak selamanya mendekatkan anak dengan orangtua justru adanya
zonasi anak makin jauh sekolahnya dari rumah orangtua. Semoga ada regulasi baru
sehingga anak-anak yang domisilinya jauh dari sekolah bisa diterima di sekolah
negeri tanpa harus kalah jarak dengan mereka yang domisilinya didepan gerbang
sekolah persis. Jangan patahkan semangat anak yang ingin sekolah.
Gebang, 13 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar