Cerpen
ASEP
DUHANA
Bagian Kedua
Oleh : Nurdin Kurniawan
Angkot darin arah Ciledug melaju dengan
pelan. Maklumlah hanya ada beberapa
gelintir orang didalamnya. Bila sudah siang seperti ini makin jarang orang yang
naik angkot. Pada jam-jam tertentu saja yang namanya angkot penuh. Asep duduk
di salah satu sudut angkot. Matanya memperhatikan warung di pinggir jalan yang menjual buah-buahan. Diperhatikan sepi
tak ada yang menjaganya. Mata Asep makin tajam memperhatikan apakah di warung itu ada orangnya atau tidak.
Mata Asep tertuju pada sosok yang sedang tidur di ranjang bambu. Asep menarik
nafas dalam-dalam setelah tahu apa yang dilihatnya. Dadanya bernafas lega
setelah mengetahui kalau ada orang di warung itu.
Sore itu Asep habis membeli beberapa barang yang akan dipergunakan untuk
keperluan tugas di sekolah. Dari rumah ke Ciledug memang tak seberapa jauhnya. Tadi
memang dirinya tak berhenti dahulu di
warung Bapaknya. Warung yang menjual buah-buahan di pingggir jalan. Kalaulah
mampir tentu tugas sekolah belum juga tergarap. Biarlah sang Bapak tidur dengan nyeyaknya
sambil menungggu pembeli yang datang.
Kadang tak tega bila melihat Bapak
sendirian di warung. Apalagi tadi ketika angkot lewat Asep melihat sendiri
Bapaknya sedang tertidur. Kasihan memang bila melihat kerja keras Bapak. Dari
pagi sampai ketemu pagi lagi Bapak selalu berada di warung. Kalau bukan dirinya
yang akan menggantikan menjaga warung lalu siapa lagi? Dua kakak Asep sudah bekerja
di Jakarta dan di rumah ini hanya Asep dengan Ibu. Ibu kadang menggantikan
Bapak kalau pekerjaan di rumah
sudah selesai.
Usai mengerjakan tugas sekolah Asep
buru-buru ke warung . Ia ingin menggantikan Bapak. Biarlah Bapak bisa tidur di
rumah. Kasihan tadi ketika Asep melihat Bapak sedang tertidur. Bagaimana nanti
kalau barang dagangannya ada yang mencuri? Bagaimana pula perasaannya ketika
sedang tidur pulas lalu ada orang yang membeli? Asep merasakan sendiri kalau
sedang tidur pulas lalu dibangunkan. Kepala jadi pusing dan terasa berat. Hal
seperti itu dialami Bapaknya hampir tiap hari ketika sang Bapak menjaga warung
buah-buahan yang dijaganya.
Hanya bangunan sederhana di mingggir
jalan milik pemerintah. Dikelilingi pagar bambu tak kurang dari 3 X 3 meter.
Penerangan listrik yang digunakan dapat nyambung dari toko sebelah. Tiap
bulannya Bapak harus nyetor listrik yang ia gunakan 2 titik Rp. 40.000.
Disamping kiri dan kanan warung Bapak adalah warung-warung kaki lima yang juga
sama-sama mengais rejeki. Berderet menjual macam-macam keperluan
sehar-hari. Warung-warung yang berderet
itu menjual barang yang berbeda-beda. Jadi walaupun penuh dengan pedagang kaki-
lima namun rejeki masing-masing. Tak ada persaingan disini karena memang barang
yang dijual juga berbeda-beda.
“Sudah Pak biar Asep yang menjaga”
Tangan Asep
merapihkan buah-buahan yang dipajang didepan. Ada berbagai macam buah seperti
apel, jeruk, salak, belimbing, angggur, semangka, buah naga, papaya. Asep sudah hapal betul harga masing-masing
buah yang dijualnya. Tentu itu semua ia dapat dari sang Bapak yang mengajarinya.
Buah-buahan yang dijual itu bisa turun
sampai 3.000 rupiah. Jadi kalau ditawarkan pada pembeli harga normal. Setelah
tawar-menawar barulah turun hinggga
mencapai angka 3.000 rupiah.
Biasanya kalau giliran menjaga warung
ini dari pukul 14.00 sampai pukul 19.00.
Setelah itu Bapak datang lagi untuk menggantikan Asep sampai pagi. Bapak memang suka tidur di
warung . Begitu keseharian yang dilakukan Bapak mengisi masa tuanya dengan berjualan aneka macam
buah-buahan. Semua itu dilakukan karena ia ingin sana anak bisa sekolah
tingggi. Memang ada dua anaknya yang sudah pada bekerja, tapi Bapak tak terlalu
mengharap banyak. Kedua anaknya itu juga sama-sama prihatin hidupnya. Jangankan
untuk memberi orangtua, untuk anaknya sendiri saja susah. Orangtuanya sudah merasa
senang kalau anak-anaknya terlihat sehat. Masalah kirim mengirim sih kalau ada.
Bila tidak ada jangan dipaksa-paksakan yang akhirnya akan membebani anak-anaknya.
***
Ada perasaan bersalah yang tak bisa Asep
lupakan. Dilihatnya beberapa papaya bonyok karena berbenturan dengan benda
keras lainnya . Tadi pagi Bapak menyuruh Asep belanja pepaya ke pasar Gebang.
Pagi-pagi benar hal itu sudah Asep lakukan. Di Gebang motor seperti biasa
diparkir di pingggir jalan. Asep masuk pasar dan motor dikunci sebagaimana biasanya. Pepaya yang
dicari sudah dapat. Besar-besar ukurannya dan harganya bisa terjangkau kalau
dijual lagi. Sekembali dari membeli papaya betapa terkejutnya Asep setelah
mengetahui keranjang yang tadi terletak di jok bagian belakang tak ada
ditempatnya lagi. Asep penasaran lalu mencari-cari disekitarnya barangkali ada
orang yang iseng bergurau dengan menyembunyikan tas seharga Rp. 200.000 yang
sengaja dibuat untuk membawa buah-buahan dan barang belanjaan lainnya.
Putar-puter dicari disekeliling tempat parkir tak juga diketemukan. Ditariknya
nafas dalam-dalam. Asep geleng-geleng kepala. Sudah bisa diyakinkan kalau tas
itu ada yang mencuri.
Kini dipikirkan bagaimana caranya
papaya yang besar-besar itu bisa terangkut semua di motor? Dadakan Asep membeli
karung beras . Hanya beberapa
papaya yang bisa masuk, sisanya masih harus dipikirkan agar terbawa
semua. Terpaksa ia taruh disela-sela kaki biar dijepit kaki sekalian. Ditumpuk
dengan pepaya yang lainnya. Pokoknya pepaya ini harus terangkut semua.
Jarak dari Gebang ke Ciledug cukup
lumayan juga. Ditambah lagi jalan kabupaten yang dilalui rusak. Gejlag-gejlug sepanjang perjalanan.
Sudah juga sangat hati-hati menghindari lubang yang menganga besar-besar. Tetap saja ada lubang yang tak bisa
dihindari diterjang juga. Baru ketahuan pepayanya banyak yang rusak setelah
dikeluarkan satu per satu dari karung. Banyak yang bonyok.
“Pepaya yang seperti inisih tidak bisa
dijual kiloan”
“Haris dijual sudah dalam keadaan
dikupas dan dipotong-potong”
Asep menyadari
apa yang dilakukannya sudah membuat kecawa sang Bapak. Namun harus bagaimana
lagi sebab kejadian seperti ini tidak diduga. Siapa lagi yang dengan sengaja mengambil tas yang ia bawa? Gara-gara
pencuri itulah akhirnya papaya yang tadinya bagus-bagus kini banyak yang
bonyok.
“Asep minta maaf Pak!”
“Sudah tidak apa-apa”
“Nanti juga akan terganti”
Beruntung punya
Bapak yang sangat pengertian. Bapak memang dari Asep kecil sampai sekarang tidak
pernah marah seperti yang Asep lihat pada orang lain kalau orang tua suka
memarahi anaknya kalau salah. Bapak orangnya penuh dengan kelembutan. Cukup dengan
kata-kata Asep bisa memahami apa yang diingini sang Bapak.
Kalau sudah rejeki tak seorangpun yang
dapat menolaknya. Beberapa pepaya yang masih utuh ternyata cepat juga laku
terjual. Yang bonyok tadi akhirya
dikupas dan dijual sudah dalam potongan kecil-kecil kedaan siap santap. Sisanya dibawa pulang untuk dimakan di rumah.
Kadang tetangga juga diberi biar ikut sama-sama merasakan apa yang dijual di
jalan.
***
Menjelang lebaran ada keinginan
untuk mencari uang tambahan buat membeli baju baru. Asep tak ingin merepotkan
orangtuanya dengan meminta ini dan itu. Kebetulan pula sekolah sudah pada libur.
Kesempatan yang sangat bagus memanfaatkan waktu yang seperti ini dengan berjualan.
Dipikir-pikir jualan apa yang cocok
menghadapi situasi menjelang lebaran. Jualan baju? Jualan sembako? Ah…
rasa-rasanya kalau jualan seperti kedua barang itu membutuhkan modal yang cukup besar. Mata ini susah juga dipejamkan
memikirkan apa yang hendak dilakukan untuk mewujudkan keinginannya itu.
Sudah lama tak main ke rumah Paman.
Kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh, hanya dengan naik sepeda beberapa menit
sudah bisa di rumah sang Paman. Paman dan bibinya ini sudah lama berjualan di
pasar. Menjelang lebarang ini yang namanya orang pasti butuh akan ketupat. Maka ini harus dipikirkan. Kira-kira jualan
kulit ketupat saja pasti akan banyak orang yang mencarinya.
“Asep kamu bantuin Paman saja”
“Ikut Paman jualan bungkus ketupat!”
Kebetulan
sekali, dari dulu ada keingiann untuk ikut berjualan dan kini sang Paman
menawarinya. Tanpa berpikir lama akhirnya apa yang ditawarkan sanga Paman oleh Asep
sanggupi.
“Kapan jualannya Paman?”
“Besok”
Tangan sang Paman memang ahli sekali
dalam merangkai janur menjadi ketupat. Dalam hitungan menit sudah jadi apa yang
disebutnya sebagai kerangka ketupat. Asep oleh sang Paman dimodali pula jualan balon. Dari jualan di pasar ini
lumayan juga hasil yang didapat. Hampir tiap hari Asep ikut pamannya. Jualan di
pasar tanpa sepengetahuan orangtuanya.
Bahagia sekali ketika sang Paman memberikan
hasil jerih payah Asep.
“Ini hasil jualan kamu”
Pamannya memberikan
uang Rp. 100.000. Uang yang sangat besar yang pernah Asep terima. Hati ini sangat
senang sekali. Baru kali ini Asep mendapatkan uang hasil jerih payahnya sendiri
tanpa harus minta ke orangtuanya.
Tangan sana Paman langsung Asep cium. Hari ini juga uang itu akan dibelanjakan
baju dan celana.
Bergegas menuju Supermarket yang tak
jauh dari tempat Pamannya mangkal. Banyak orang yang juga sedang mencari
pakaian buat anak dan istrinya. Asep terlihat diantara banyak kerumunan yang
sedang memilih-milih baju. Setelah mendapatkan yang cocok barulah Asep keluar
dari kasir. Uang Rp. 100.000 itu habis semuanya digunakan untuk membeli pakaian.
Rp. 20.000 untuk membeli baju dan yang Rp. 80.000 untuk membeli celana. Sungguh
puas hati ini dengan kedua barang yang baru dibelinya. Pakaian yang diperoleh
dari hasil keringat sendiri. Lebaran kali ini sungguh sangat berarti. Tak
terasa air mata hampir menetes dari sela-sela mata Asep. Suatu perjuangan yang
tidak mudah. Perjuangan anak kelas 9 SMP untuk memperoleh baju dan celana dari
hasil keringatnya sendiri.
Cirebon, 5 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar