Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Minggu, 04 Agustus 2019

BUKAN TAK BOLEH (Cerpen)


Cerpen

BUKAN TAK BOLEH
Oleh : Nurdin Kurniawan


            Ketukan suara pintu membuka lamunan Duladi yang dari tadi sedang memikirkan perjalanan hidup yang sedang berliku. Rasanya baru kali ini persoalan hidup yang harus dijalani terasa berat. Bagaimana tidak di bulan yang hampir bersamaan ini banyak sekali yang harus dibayar. Terakhir yang harus dihadapi adalah mendahulukan mana yang harus ditutup. Lamunan ini terhenti gara-gara didepan ada yang mengetuk pintu.
            Berharap ada jalan yang bisa membuka kebekuan pikiran. Kalau yang satu ini beku tentunya akan menimbulkan kemacetan dimana-mana. Ya kemacetan pembayaran yang seharusnya  bisa ditutup untuk  membuka celah bagi pinjaman yang lain. Selama ini harus diakui bila hanya mengandalkan gaji tidaklah seberapa. Namun karena kebutuhan yang mendesak harus bayar ini dan itu maka yang namanya gali dan tutup lubang adalah hal yang biasa.
            Perasaan baru bulan kemarin menutup biaya kontrakan sang anak yang kuliah di Jogja. Kini sudah muncul lagi keluhan dari sang anak yang akan menghadapi ujian praktik. Kuliah di kedokteran swasta bisa dibayangkan sendiri. Biayanya mahal, setiap ada kegiatan praktik harus bayar. Seperti itu yang membuat keuangan Duladi makin dalam jauh sekali untuk merogohnya. Banyak menggalinya daripada menutup lubang.
            Pintu dibuka ingin tahu tahu siapa yang datang. Terlihat sosok yang dahulu terlihat tegap namun kini tak bisa dihilangkan sosoknya yang tegap karena mulai menua dimakan umur.
            “Silahkan masuk Pak Mujakir”
Terlihat senyuman dari sahabat yang dahulu sama-sama  mengajar di sekolah yang sama. Mujakir pensiun lebih awal sementara Duladi masih mengajar. Duladi memang sempat menjadi kepala sekolah selama dua periode. Kini harus merelakan jabatan kepala sekolah karena sudah 2 kali menjabat. Dari lengser sebagai kepala sekolah ini sebagian pundi-pundi dirasakan mulai berkurang. Kedatangan Mujakir ini tak lepas dari masalah keuangan. Barangkali teman dekat ini masih bisa membantu keuangan Duladi yang sedang kembang kempis.
Bla...bla...bla... Duladi menjelaskan persoalan pada sang sahabat. Siapa tahu sang sahabat merasa iba bisa membantu persoalan yang sedang dihadapi. Mujakir manggut-manggut sepertinya tahu banyak persoalan yang sedang dihadapi sang sahabat.
“Dulu waktu Fajar mau kuliah dikedokteran saya sudah menyarankan...”
“Kalau diterima di negeri silahkan diteruskan tapi kalau swasta dipikirkan dulu!”
“Kan tahu... biaya kuliah kedokteran di swasta mahal”
Terdengar suara hirupan nafas yang terasa sangat dalam. Duladi menatap wajah sang sahabat yang berharap sedikit banyak dapat membantu masalah keuangan.
            “Fajar mau KOAS”
            “Masih harus menyediakan beberapa juta lagi”
Duladi menyebutkan angka pada sang sahabat. Masih kisaran puluhan juta lagi. Mujakir yang datang menggunakan sepeda motor mengkalkulasikan uang yang tadi disebut sang sahabat pada kelipatan harga motor.
            “Sama dengan 4 kali motor yang saya pakai...”
            “Mahal juga ya...”
Duladi manggut-manggut seolah mengiyakan apa yang dikatakan sang sahabat.
            “Begitulah”
            “Setidaknya uang itu harus tersedia minggu depan”
            Bukannnya tidak boleh kita bercita-cita tinggi, bukannya tidak boleh kita sebagai orang biasa mengkuliahkan anak diperguruan tinggi swasta. Boleh-boleh saja dan tak ada larangan, tapi...harus diingat dengan keuangan yang ada. Baru kali ini Duladi menghadapi masalah keuangan yang sangat hebat. Gaji hanya tulisan angka yang tidak bermakna sebab isinya juga sudah tidak ada. Pinjaman disana-sini yang jatuh tempo sudah sangat banyak. Sementara ucapan mulai tak setajam dahulu ketika masih menjadi kepala sekolah. Sekarang dengan hanya mengandalkan gaji guru sepertinya sudah terasa  berat sekali. Suatu resiko yang harus dihadapi.
            Duladi berharap Mujakir ada uang tabungan yang nganggur yang sekiranya bisa dipinjam.
            “Barangkali masih ada sisa tabungan....”
            “Saya pinjam dahulu...”
Mujakir hanya mesem mendengarkan penuturan sang sahabat. Ia tahu teman baiknya ini sedang membutuhkan dana yang cepat tapi... apa yang diungkapkan Duladi juga hampir persis sama dengan kebutuhan yang sedang Mujakir hadapi.
            “Orang memang sawang pinyawang
            “Saling melihat satu dengan yang lain...”
            “Tak beda jauh sebenarnya apa yang bapak hadapi dengan yang saya hadapi...”
            “Masalah keuangan...”
            “Saya juga barusan membayar uang kontrakan sang anak di Bandung”
Duladi juga tahu kalau Mujakir punya anak yang sama-sama sedang kuliah. Tapi kebutuhan dirinya terasa lebih banyak dan harus segera ditutup.
            Sepertinya persoalan yang satu belum selesai muncul yang lainnya. Kemarin baru saja dirundingkan dengan kepala sekolah membahas masalah tabungan yang belum kelar. Dari urusan tabungan ini Duladi sempat diultimatum pimpinan kalau belum juga bisa membereskan masalah tabungan dirinya akan dimutasi. Sudah menjadi  peraturan yang tak tertulis kalau di Sekolah Dasar (SD) Mahardika bila tak bisa mengatasi masalah tabungan diakhir pembagian  pada siswa akan mengalami sanksi dimutasi. Walau akhirnya bisa tertutup namun Duladi harus pinjam sana pinjam sini. Kini terasa gaji tak bermakna lagi sebab  apa yang harus dibayarkan dalam setiap bulannya melampuai jumlah  uang yang tertera dalam daftar gaji. Minus amat banyak yang membuat kepala Duladi tak pernah merasakan dingin dan segar seperti yang dalu.
            “Jadi saya harus bagaimana ini?”
Mujakir ikut memikirkan apa yang sedang dialami sang sahabat.
            “Kalau  gadaikan kendaraan bagaimana?”
Duladi melirik ke motor dan mobil yang ada di halaman depan. Berusaha untuk tersenyum karena memang itu kendaraan yang masih ia punya.
            “Kendaraan yang saya punya sudah tidak ada BPKBnya”
            “Semuanya sudah saya gadaikan”
            “Kemarin....kemarin waktu mau membagikan tabungan”
Mujakir haya bisa geleng-geleg kepala, apa yang ia alami  sepertinya tak seberat apa yang dialami sang sahabat.
            “Kalau rumah....?”
            “Justru ini yang saya takuti...”
            “Saya takut tak bisa membayar angsuran kalau rumah ini ikut digadaikan”
Ditengah keheningan Rokayah istri Dulkadi muncul membawakan minuman dingin.
            “Minum dulu Pak Mujakir...”
Mujakir langsung mensruput  sirop jeruk yang terasa nikmat. Setidaknya pikiran sedikit tenang ikut memikirkan persoalan yang sedang dihadapi sang sahabat. Betapa runyamnya kalau gaji habis bahkan minus sementara setiap bulannya harus membayar cicilan ini dan itu yang jumlahnya dalam setiap bulan jauh melebihi angka gaji yang ada dalam struk gaji. Belum lagi yang dibayar itu berbunga alias ada anaknya. Inilah yang membuat Duladi tak bisa tidur nyenyak dalam setiap malamnya.
            Tak bisa membantu  terlalu banyak akhirnya Mujakir mohon pamit pasa sang sahabat. Sambil terus memberikan semangat agar sang sahabat  pantang  menyerah. Masih banyak yang bisa dilakukan untuk pendidikan sang anak.       
            Setelah melalui perenungan yang lama akhirnya Duladi berkesimpulan rumah yang ditinggali dengan  anak istri harus diagunkan ke salah satu bank.Untuk menyelamatkan kuliah sang anak yang tinggal sebentar lagi. Duladi berkeyakinan kalau untuk pendidikan anak-anak Allah juga akan memberikan rejekinya. Untuk mencari ilmu pasti akan ada jalan keluarnya. Kalau sekarang bersusah-susah dahulu memang tak mengapa hal ini masih wajar. Akan datang saatnya nanti susahnya ini akan mendapat balasan.
                                                                        ***
            Hawa segar setidaknya membawa angin yang segar pula. Berada  ditempat tugas yang baru membuat penyesuaian yang baru lagi. Bila melihat kebelakang memang pahit rasanya harus menjalani hal seperti ini. Namun syukuri saja sebab tak akan banyak gunanya dipikirkan terlalu mendalam kalau tak bisa mengembalikan keadaan dengan cepat.
            Semenjak kasus tabungan belum dianggap selesai Duladi mendapatkan tugas ditempat yang baru. Mulanya tak bisa diterima dengan dimutasi dengan cara seperti ini, namun mau apa lagi kalau terus dipaksakan juga hanya akan menjadi pembicaraan ditempat yang lama. Sudah ada beberapa kali guru yang terkena mutasi hanya karena tak mampu menyelesaikan masalah tabungan. Sebagai konsekwensinya memang guru yang bersangkutan dimutasi. Tentunya hal ini setelah segala urusan dibereskan terlebih dahulu ditempat yang lama.
            Dipikirkan terlau mendalam juga tak akan menyelesaikan suatu persoalan. Yang sudah, ya sudahlah jalani saja. Duladi masih yakin kalau hutang yang ia pikul sekarang ini akan menukan jalannya sendiri. Pengorbanan memang harus dilakukan untuk mendapatkan sebuah buah yang harum dan wangi. Jalan yang penuh onak dan duri harus dilalui. Omongan di kanan dan kiri sekarang ini hanya bisa didengarkan.  Bisa jadi hal ini sebagai penambah semangat. Habis-habisan untuk membiayai kuliah sang anak. Terasa berat harus gali dan gali lubang dengan sesekali menutup. Pada akhirnya nanti kalau sudah waktunya akan ada manisnya juga. Waktulah yang nanti akan bicara.
            Diatas langit masih ada langit. Masih bisa untuk berdoa walau beberapa kali hampir putus asa. Tenang saja tak semata-mata Allah menguji hamba-Nya  kalau si hamba tak kuasa untuk menerimanya. Mudah-mudahan masih ada jalan yang masih bisa dilalui dengan apa yang sedang dihadapi. Boleh, boleh dan boleh berfikir mengejar cita-cita setinggi langit. Dibalik kesulitan akan ada kemudahan.

                                                                                                                          Cirebon, 31 Juli 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar