Cerpen
BUKAN TAK BOLEH
Oleh
: Nurdin Kurniawan
Ketukan
suara pintu membuka lamunan Duladi yang dari tadi sedang memikirkan perjalanan hidup
yang sedang berliku. Rasanya baru kali ini persoalan hidup yang harus dijalani
terasa berat. Bagaimana tidak di bulan yang hampir bersamaan ini banyak sekali
yang harus dibayar. Terakhir yang harus dihadapi adalah mendahulukan mana yang
harus ditutup. Lamunan ini terhenti gara-gara didepan ada yang mengetuk pintu.
Berharap
ada jalan yang bisa membuka kebekuan pikiran. Kalau yang satu ini beku tentunya
akan menimbulkan kemacetan dimana-mana. Ya kemacetan pembayaran yang seharusnya bisa ditutup untuk membuka celah bagi pinjaman yang lain. Selama
ini harus diakui bila hanya mengandalkan gaji tidaklah seberapa. Namun karena
kebutuhan yang mendesak harus bayar ini dan itu maka yang namanya gali dan tutup
lubang adalah hal yang biasa.
Perasaan
baru bulan kemarin menutup biaya kontrakan sang anak yang kuliah di Jogja. Kini
sudah muncul lagi keluhan dari sang anak yang akan menghadapi ujian praktik.
Kuliah di kedokteran swasta bisa dibayangkan sendiri. Biayanya mahal, setiap
ada kegiatan praktik harus bayar. Seperti itu yang membuat keuangan Duladi
makin dalam jauh sekali untuk merogohnya. Banyak menggalinya daripada menutup
lubang.
Pintu
dibuka ingin tahu tahu siapa yang datang. Terlihat sosok yang dahulu terlihat
tegap namun kini tak bisa dihilangkan sosoknya yang tegap karena mulai menua
dimakan umur.
“Silahkan
masuk Pak Mujakir”
Terlihat senyuman dari sahabat yang
dahulu sama-sama mengajar di sekolah yang
sama. Mujakir pensiun lebih awal sementara Duladi masih mengajar. Duladi memang
sempat menjadi kepala sekolah selama dua periode. Kini harus merelakan jabatan
kepala sekolah karena sudah 2 kali menjabat. Dari lengser sebagai kepala
sekolah ini sebagian pundi-pundi dirasakan mulai berkurang. Kedatangan Mujakir
ini tak lepas dari masalah keuangan. Barangkali teman dekat ini masih bisa membantu
keuangan Duladi yang sedang kembang kempis.
Bla...bla...bla... Duladi
menjelaskan persoalan pada sang sahabat. Siapa tahu sang sahabat merasa iba
bisa membantu persoalan yang sedang dihadapi. Mujakir manggut-manggut
sepertinya tahu banyak persoalan yang sedang dihadapi sang sahabat.
“Dulu waktu Fajar mau
kuliah dikedokteran saya sudah menyarankan...”
“Kalau diterima di
negeri silahkan diteruskan tapi kalau swasta dipikirkan dulu!”
“Kan tahu... biaya
kuliah kedokteran di swasta mahal”
Terdengar suara hirupan nafas yang
terasa sangat dalam. Duladi menatap wajah sang sahabat yang berharap sedikit
banyak dapat membantu masalah keuangan.
“Fajar
mau KOAS”
“Masih
harus menyediakan beberapa juta lagi”
Duladi menyebutkan angka pada
sang sahabat. Masih kisaran puluhan juta lagi. Mujakir yang datang menggunakan
sepeda motor mengkalkulasikan uang yang tadi disebut sang sahabat pada
kelipatan harga motor.
“Sama
dengan 4 kali motor yang saya pakai...”
“Mahal
juga ya...”
Duladi manggut-manggut seolah
mengiyakan apa yang dikatakan sang sahabat.
“Begitulah”
“Setidaknya
uang itu harus tersedia minggu depan”
Bukannnya
tidak boleh kita bercita-cita tinggi, bukannya tidak boleh kita sebagai orang
biasa mengkuliahkan anak diperguruan tinggi swasta. Boleh-boleh saja dan tak ada
larangan, tapi...harus diingat dengan keuangan yang ada. Baru kali ini Duladi
menghadapi masalah keuangan yang sangat hebat. Gaji hanya tulisan angka yang
tidak bermakna sebab isinya juga sudah tidak ada. Pinjaman disana-sini yang
jatuh tempo sudah sangat banyak. Sementara ucapan mulai tak setajam dahulu
ketika masih menjadi kepala sekolah. Sekarang dengan hanya mengandalkan gaji
guru sepertinya sudah terasa berat
sekali. Suatu resiko yang harus dihadapi.
Duladi
berharap Mujakir ada uang tabungan yang nganggur yang sekiranya bisa dipinjam.
“Barangkali
masih ada sisa tabungan....”
“Saya
pinjam dahulu...”
Mujakir hanya mesem mendengarkan
penuturan sang sahabat. Ia tahu teman baiknya ini sedang membutuhkan dana yang
cepat tapi... apa yang diungkapkan Duladi juga hampir persis sama dengan
kebutuhan yang sedang Mujakir hadapi.
“Orang
memang sawang pinyawang”
“Saling
melihat satu dengan yang lain...”
“Tak
beda jauh sebenarnya apa yang bapak hadapi dengan yang saya hadapi...”
“Masalah
keuangan...”
“Saya
juga barusan membayar uang kontrakan sang anak di Bandung”
Duladi juga tahu kalau Mujakir
punya anak yang sama-sama sedang kuliah. Tapi kebutuhan dirinya terasa lebih
banyak dan harus segera ditutup.
Sepertinya
persoalan yang satu belum selesai muncul yang lainnya. Kemarin baru saja
dirundingkan dengan kepala sekolah membahas masalah tabungan yang belum kelar.
Dari urusan tabungan ini Duladi sempat diultimatum pimpinan kalau belum juga
bisa membereskan masalah tabungan dirinya akan dimutasi. Sudah menjadi peraturan yang tak tertulis kalau di Sekolah
Dasar (SD) Mahardika bila tak bisa mengatasi masalah tabungan diakhir pembagian pada siswa akan mengalami sanksi dimutasi.
Walau akhirnya bisa tertutup namun Duladi harus pinjam sana pinjam sini. Kini
terasa gaji tak bermakna lagi sebab apa
yang harus dibayarkan dalam setiap bulannya melampuai jumlah uang yang tertera dalam daftar gaji. Minus
amat banyak yang membuat kepala Duladi tak pernah merasakan dingin dan segar seperti
yang dalu.
“Jadi
saya harus bagaimana ini?”
Mujakir ikut memikirkan apa yang
sedang dialami sang sahabat.
“Kalau gadaikan kendaraan bagaimana?”
Duladi melirik ke motor dan mobil
yang ada di halaman depan. Berusaha untuk tersenyum karena memang itu kendaraan
yang masih ia punya.
“Kendaraan
yang saya punya sudah tidak ada BPKBnya”
“Semuanya
sudah saya gadaikan”
“Kemarin....kemarin
waktu mau membagikan tabungan”
Mujakir haya bisa geleng-geleg
kepala, apa yang ia alami sepertinya tak
seberat apa yang dialami sang sahabat.
“Kalau
rumah....?”
“Justru
ini yang saya takuti...”
“Saya
takut tak bisa membayar angsuran kalau rumah ini ikut digadaikan”
Ditengah keheningan Rokayah istri
Dulkadi muncul membawakan minuman dingin.
“Minum
dulu Pak Mujakir...”
Mujakir langsung mensruput sirop jeruk yang terasa nikmat. Setidaknya
pikiran sedikit tenang ikut memikirkan persoalan yang sedang dihadapi sang
sahabat. Betapa runyamnya kalau gaji habis bahkan minus sementara setiap
bulannya harus membayar cicilan ini dan itu yang jumlahnya dalam setiap bulan
jauh melebihi angka gaji yang ada dalam struk gaji. Belum lagi yang dibayar itu
berbunga alias ada anaknya. Inilah yang membuat Duladi tak bisa tidur nyenyak
dalam setiap malamnya.
Tak
bisa membantu terlalu banyak akhirnya
Mujakir mohon pamit pasa sang sahabat. Sambil terus memberikan semangat agar sang
sahabat pantang menyerah. Masih banyak yang bisa dilakukan
untuk pendidikan sang anak.
Setelah
melalui perenungan yang lama akhirnya Duladi berkesimpulan rumah yang
ditinggali dengan anak istri harus
diagunkan ke salah satu bank.Untuk menyelamatkan kuliah sang anak yang tinggal
sebentar lagi. Duladi berkeyakinan kalau untuk pendidikan anak-anak Allah juga
akan memberikan rejekinya. Untuk mencari ilmu pasti akan ada jalan keluarnya.
Kalau sekarang bersusah-susah dahulu memang tak mengapa hal ini masih wajar.
Akan datang saatnya nanti susahnya ini akan mendapat balasan.
***
Hawa
segar setidaknya membawa angin yang segar pula. Berada ditempat tugas yang baru membuat penyesuaian
yang baru lagi. Bila melihat kebelakang memang pahit rasanya harus menjalani
hal seperti ini. Namun syukuri saja sebab tak akan banyak gunanya dipikirkan
terlalu mendalam kalau tak bisa mengembalikan keadaan dengan cepat.
Semenjak
kasus tabungan belum dianggap selesai Duladi mendapatkan tugas ditempat yang
baru. Mulanya tak bisa diterima dengan dimutasi dengan cara seperti ini, namun
mau apa lagi kalau terus dipaksakan juga hanya akan menjadi pembicaraan ditempat
yang lama. Sudah ada beberapa kali guru yang terkena mutasi hanya karena tak
mampu menyelesaikan masalah tabungan. Sebagai konsekwensinya memang guru yang
bersangkutan dimutasi. Tentunya hal ini setelah segala urusan dibereskan
terlebih dahulu ditempat yang lama.
Dipikirkan
terlau mendalam juga tak akan menyelesaikan suatu persoalan. Yang sudah, ya
sudahlah jalani saja. Duladi masih yakin kalau hutang yang ia pikul sekarang
ini akan menukan jalannya sendiri. Pengorbanan memang harus dilakukan untuk
mendapatkan sebuah buah yang harum dan wangi. Jalan yang penuh onak dan duri
harus dilalui. Omongan di kanan dan kiri sekarang ini hanya bisa didengarkan. Bisa jadi hal ini sebagai penambah semangat.
Habis-habisan untuk membiayai kuliah sang anak. Terasa berat harus gali dan
gali lubang dengan sesekali menutup. Pada akhirnya nanti kalau sudah waktunya
akan ada manisnya juga. Waktulah yang nanti akan bicara.
Diatas
langit masih ada langit. Masih bisa untuk berdoa walau beberapa kali hampir
putus asa. Tenang saja tak semata-mata Allah menguji hamba-Nya kalau si hamba tak kuasa untuk menerimanya.
Mudah-mudahan masih ada jalan yang masih bisa dilalui dengan apa yang sedang
dihadapi. Boleh, boleh dan boleh berfikir mengejar cita-cita setinggi langit.
Dibalik kesulitan akan ada kemudahan.
Cirebon, 31 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar