Mengenai Saya
- Paedagogog Mang Iwan
- Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
- Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon
Minggu, 30 Juni 2019
Jumat, 28 Juni 2019
LINA PATMAWATI (Cerpen)
Cerpen
LINA PATMAWATI
Oleh : Nurdin Kurniawan
Pagi sebelum ayam berkokok Ibu sudah
bangun untuk mempersiapkan dagangan yang
akan diedarkan di pagi hari. Ibu memang punya kesibukan sebagai penjual nasi
kuning. Beliau tidak memilih disalah satu tempat untuk menjualkannya tapi Ibu memilih
keliling menjual nasi kuning bungkus. Tak terlau jauh memang kelilingnya hanya
sekitar tempat tingggal saja.
Lina bangun tidur semua masakan yang dibuat
Ibu sudah matang semua dan siap diedarkan. Kadang suka kasihan juga bila
melihat apa yang dikerjakan Ibu tiap harinya. Lina tidak bisa membantu banyak.
“Sudah
kamu jangan repot-repot bantu Ibu”
“Tugas Lina hanyalah belajar”
“Yang
rajin sekolahnya”
“Jangan
kecewakan Ibu!”
Lina sudah
mengerti tugas apa yang harus dikerjakan bilamana Ibu berangkat menjajakan nasi
kuning keliling kampung. Diantara tugas Lina adalah mencuci piring dan menyapu
rumah dan halaman. Lina berangkat sekolah Ibu masih saja berputar-putar
menjajakan nasi kuning yang dibuatnya. Sekitar pukul 08.00 biasanya Ibu sudah pulang lagi. Masakan yang
dibuatnya hampir tak tersisa.
Semenjak Bapak meningggal dunia jauh
sebelum Lina dilahirkan, Ibu harus banting tulang mencari penghasilan tambahan.
Sudah mencoba usaha-usaha yang lain namun tak bertahan lama. Maka berjualan nasi
kuning inilah yang cukup lama ditekuni Ibu.
“Kalau Bapak kamu masih ada nasib
kita tak akan seperti ini!”
“Kamu harus prihatin Lin”
Lina tak kuat
menahan air mata. Kalau Ibu sudah bicara
tentang Bapak ingin rasanya wajah sang Bapak bisa dilihatnya. Ada tatapan
kosong yang ia bayangkan untuk sosok yang satu ini. Lina hanya bisa melihat
photo manakala ia rindu akan figur sang Bapak.
Terkadang kalau mendengar cerita Ibu
tentang kematian Bapak hampir tak percaya juga.
Menurut Ibu, Bapak meninggal dunia bukan karena hal yang sewajarnya.
Bapak ada yang menyantet. Pernah ketika masih sakit Bapak dibawa ke dokter dan
menurut hasil diagnose dokter tak ada penyakit yang diderita di tubuh Bapak. Bapak
diperiksa melalui komputer juga tidak memperlihatkan hal-hal yang aneh. Bapak
merasakan sakit yang berlebihan. Penasaran dengan apa yang sedang diderita
Bapak maka Bapak lalu dibawa ke Kyai yang tahu akan hal-hal klenik. Dari
informasi Pak Kyai inilah baru diketahui kalau Bapak ada yang menyantet.
Bapak muntah-muntah dan menahan
sakit yang berkepanjangan. Sampai akhirnya Bapak muntah darah dan dalam
muntahnya itu ada paku, jarum serta rambut. Setelah kejadian itu Bapak langsung
meningggal dunia. Dari sinilah Ibu yakin kalau Bapak meningggal dunia karena
terkena santet.
Lalu siapakah yang menyantet Bapak?
Ibu tak pernah meneliti sejauh itu. Namun diperkirakan hal ini berkenaan dengan
kedudukan Bapak yang kini mulai menanjak. Bapak bekerja di sebuah proyek di
Bagor sebagai pekerja bangunan. Lama bekerja di proyek sampai akhirnya Bapak
mendapat kepercayaan dari pimpinan proyek.
Kedudukannya yang bagus inilah yang diperkirakan menjadikan orang-orang
tertentu tak senang dengan Bapak. Bapak mulai sering sakit-sakitan. Kalau
diperiksakan ke dokter tak diketemukan penyakit yang membahayakan , bahkan
dokter kadang tak mendiagnosa apa-apa dari keluhan yang diderita Bapak. Baru
setelah Bapak muntah yang membawanya sampai
meninggal dunia barulah Ibu percaya dunia santet-menyantet. Dunia yang dulu
tidak terpikirkan sama sekali.
Kondisi ekonomi keluarga jadi
goyang. Ibu yang tadinya hanya ibu rumahtangga kini harus berbalik arah.
Mancari penghasilan tambahan untuk mencukupi keluarga. Walau aku waktu itu
masih sangat kecil namun sering diajak-ajak Ibu berjualan. Tak terasa kini aku
sudah duduk di kelas 9. Ibu masih saja menekuni usaha yang satu ini hanya untuk
membantu keuangan. Ibu berharap
aku masih bisa sekolah sampai ke perguruan tingggi.
“Selama Ibu masih kuat akan Ibu
coba”
“Maka doakan Ibu agar diberi
kesehatan”
Kadang kalau Ibu
sudah mengatakan yang seperti itu hati ini begitu terenyuh . Lina ingin membahagiakan
Ibu. Lina ingin bila
Lina kelak berhasil nanti Ibu masih ada. Lina ingin Ibu bisa menikmati jerih payah
Lina.
***
Lina Patmawati adalah anak bungsu
dari 3 bersaudara. Kakak Lina yang pertama sudah bekerja di Kalimantan dan
mendapatkan istri orang sana. Keadaan ekonomi yang belum mapan yang menyebabkan
kakak Lina yang pertama ini belum bisa membantu Ibu. Bahkan bila pulang ke
Jawa, Ibulah yang memberi ongkos untuk pulang ke Kalimantan. Kakak Lina yang
kedua perempuan dan sudah menikah. Suaminya bekerja sebagai pedagang bubur di
Banten. Kakak Lina yang kedua ini ikut membantu Ibu di rumah.
Segala keuangan sekolah Ibu berusaha
untuk menutupinya. Pihak sekolah tahu kalau Lina sudah yatim. Di sekolah Lina
mendapatkan beasiswa Bantuan Siswa Miskin (BSM). Keuangan sekolah Lina jadi
ikut terbantu dengan adanya BSM.
Di kelas 9 ini Lina harus lebih sungguh-sunggguh
lagi. Waktu di kelas 8 alhamdulillah
Lina juara satu di kelas. Kini setidaknya ranking itu harus dipertahankan.
Bukankah kalau mempertahankan jauh lebih sulit lagi? Makanya Lina tidak gegabah
dengan prestasi yang pernah Lina raih. Segalanya harus dipertanggungjawabkan.
Lina harus lebih bersungguh-sungguh lagi.
Kedua kakak Lina memang sekolahnya
tidak ada yang tingggi. Lina ingin agar Ibu punya kekuatan dan rejeki sehingga
bisa mensekolahkan Lina jauh lebih tingggi lagi. Lina punya cita-cita ingin
jadi bidan. Lina senang akan profesi yang satu ini. Bisa membantu orang yang
akan melahirkan. Mulia sekali kalau bisa membantu orang yang sedang kesulitan.
Terbayang oleh Lina bagaimana Ibu melahirkan Lina sementara Bapak sudah meninggal
ketika Lina masih dalam kandungan berusia 7 bulan. Hal inilah yang menginspirasi
Lina bercita-cita jadi bidan.
Lina di sekolah ikut kegiatan OSIS.
Di kepengurusan OSIS Lina menduduki
Seksi Budi Pekerti salah satu seksi yang ada di kepengurusan OSIS SMPN 2
Pabedilan. Sekolah sambil ikut belajar berorganisasi. Bukankah orang yang
berorganisasi itu sangat baik? Bisa berbaur dengan sesama siswa dan juga bisa
bergaul dengan siswa yang dari luar sekolah. Pokoknya banyak hal yang bisa diambil
manfaatnya kalau kita masuk dalam sebuah organisasi.
Kondisi yang seperti inilah yang menbuat
Lina berfikir jauh kedepan. Apa yang dialami Ibu Lina merupakan pendorong bagi
Lina untuk hidup lebih prihatin. Banyak yang dipikirkan dalam hidup ini bagaimana
agar bisa mensejahterakan Ibu. Inilah PR
yang sampai sekarang belum bisa dipecahkan. Ingin, ingin sekali Lina bisa
membahagiakan Ibu. Ingin usia Ibu panjang sehingga bisa menyaksikan apa yang
telah Lina raih kelak. Banyak sekali yang terpikirkan untuk bisa membalas jasa Ibu, namun rasa-rasanya tak sanggup
untuk dibalasnya. Jasa Ibu amatlah besar. Banyak hal yang tidak bisa dibalas walau dengan pengorbanan yang sangat
besar. Ibu merupakan segalanya bagi Lina.
***
Terdengar dari kejauhan suara orang
yang sedang menawarkan nasi kuning. Kadang terenyuh bila mendengarkan sekilas. Suaranya
makin lama makin jelas. Lina sudah sangat mengenal suara yang satu ini. Nasib
orang memang siapa tahu. Ingin hidup makmur dengan tanpa kekurangan apapun
namun siapa yang menyangka kalau akhirnya akan seperti ini. Banyak misteri yang
tak terpecahkan dengan kejadian-kejadian yang dialami tempo dulu. Namun biarlah
hal itu bergulir apa adanya. Semua sudah
merupakan kehendak dari Yang Maha Kuasa.
Roda kehidupan akan terus bergulir
dan terus berjalan. Waktu ini harus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat. Terasa sekali masih jauh langkah yang harus ditempuh. Kuperhatikan
Ibu dengan kesibukan sehari-harinya. Usianya tak muda lagi. Sudah ribuan
kilometer jalan yang beliau tempuh untuk menjajakan nasi kuning. Sudah banyak
pula asam garam kehidupan yang beliau rasakan. Ingin waktu itu bergulir dengan
cepatnya, namun sayang aku masih seperti
ini. Aku masih duduk di kelas 9 SMP. Masih sangat jauh sekali perjalanan yang
akan aku tempuh.
Rasa-rasaya baru kemarin aku
dibangunkan Ibu untuk mandi pagi. Rasa-rasanya baru kemarin Ibu meninabobokan
diriku. Kubuka mata ini secara perlahan. Ibu masih saja asyik dengan pekerjaan
di dapur. Kesibukan sehari-hari yang belum juga dilepaskan. Kapankan aku akan
membahagiakan Ibu? Kapankan aku akan menyenangkan Ibu? Oh… rindu rasanya kalau
aku bisa membalas jasa Ibu. Dengan segala perjuangannya rasa-rasanya aku tak
akan bakal mampu membalasnya walau dengan
keringat darah sekalipun. Ibu… maafkan Lina yang masih menyusahkan Ibu.
Cirebon, 8 September
2012
L A N I (Cerpen)
Cerpen
L
A N I
Oleh : Nurdin Kurniawan
Terdiam seisi kamar yang terdiri
dari 4 orang penghuninya. Rumah petak yang terdiri dari 4 pintu ini memang
dihuni oleh 4 penyewa yang berbeda. Satu pintu hanya ada 2 kamar yaitu satu kamar
tamu dan satu kamar tidur. Kadang yang namanya ruang tamupun untuk tidur kalau
sudah malam. Lani menghuni salah satu kamar dengan 3 orang temannya. Semuanya sama
bekerja sebagai pedagang asongan di kereta api. Keempat orang ini saling curiga
ketika Lani kehilangan uang.
“Uang itu sudah dua bulan saya
kumpulkan”
“Masa sih ada yang mengambil”
Lani tidak
menuduh pada teman sekamarnya yang mengambil namun fakta uangnya telah hilang dari tas tidak
terbantahkan. Dibuka bolak-balik isi tas
tak ada uang sepeserpun yang tersisa. Sampai malam Lani murung karena misteri
hilangnya uang belum juga terpecahkan. Ridwan yang dituakan di kamar ini juga
tidak mau berprasangka yang tidak-tidak pada yang lainnya. Ia yakin kalau orang
yang masih satu kampung ini tidak akan melakukan hal sejauh itu pada teman
sekamar.
Masih ada modal berupa barang
dagangan yang kemarin belum laku.
Dagangan sekotak inilah yang menjadi
harapan bagi Lani untuk bisa mengais kembali lagi rejekinya yang hilang. Teman
sekamarpun pada mengerti dengan ikut mentraktir makan Lani dalam beberapa hari
ini. Itulah pentingnya arti sebuah persaudaraan. Uang hilang barangkali masih
bisa dicari lagi. Sama-sama dirantau harus saling memahami dan saling membantu.
Sakit salah satunya maka sakit semua penghuni kamar ini.
“Ayo kita berangkat”
Empat anak muda
yang semuanya berprofesi sebagai pedagang asongan jalan bersama-sama. Stasiun
Jatinegara memang tak jauh dari rumah kontrakan Lani dan kawan-kawan. Mengambil
posisi menyebar menerapkan strategi dagang agar bisa mengais rejeki dengan
cepat.
Stasiun di hari Senin terlihat ramai bila dengan hari-hari yang
lainnya. Penumpang yang keluar dan masuk Jakarta lebih padat dari hari-hari
biasanya. Walau pedagang asongan dilarang masuk areal stasiun namun bagi Lani dan Nasihin sudah bukan hal
yang aneh lagi. Berbagai celah ternyata masih bisa ditembus. Memang sih
beberapa kali razia yang namanya pedangang asongan kalau lagi apes terjaring
juga. Berbekal pengalaman inilah pedagang asongan suka pinter-pinternya
mengatur stategi agar jangan sampai terkena trantib.
Berat dagangan yang digendong
didepan mulia terasa berkurang, ini artinya beberapa dagangan seperti minuman
mineral, susu, teh kotak, rokok mulai berkurang. Sungguh senang dagangannya
sudah habis setengahnya. Kadang di pinggir stasiun Bang Boim si pedagang yang
suka mensuplai barang dagangan suka menawari lagi barang-barang yang akan
dijual. Tinggal ambil semauanya tinggal nanti pembayaran diakhir. Namun kali
ini Lani tidak mau diambil pusing oleh tawaran Bang Boim. Ia lebih memilih menghabiskan
sisa dagangannya.
Pedagang asongan yang ada digerbong depan memberikan
kode pada pedagang asongan yang lain. Kode itu bisa diterjemahkan sebagai kode
adanya razia. Tak heran pedagang asongan yang ada digerbong berhamburan meninggalkan
kereta api yang jalannya mulai melambat karena memasuki stasiun. Lani yang
masih meladeni pembeli masih juga menghitung uang kembalian yang akan diberikan
. Transaksinya yang belum selesai ini menjadi petaka buat Lani. Di gerbong
kereta yang ia naiki sudah ada beberapa polisi khusus kereta api dan satpol PP yang naik. Mau lari
ke gerbong yang ada dibelakangnya juga sedemikian karena sudah ada Satpol PP
yang naik. Lani digiring ke kantor Polisi
Khusus kereta api. Barang dagangannya semuanya disita sebagai bukti pelanggaran.
Walau Lani sudah mengajukan berbagai keberatan namun usahanya ini sia-sia.
“Pak ini barang dagangan buat
menyambung hidup”
“Kembalikan barang dagangan saya
pak?”
Mengiba-iba juga
tak membuat polsus kereta api tak menghiraukan.
“Diam kamu!”
Sentakan itulah
yang membuat Lani diam . ia tak ingin masuk kurungan hanya karena melanggar berjualan
didalam kereta api. Setelah didata siapa
namanya barulah Lani dibebaskan. Hanya saja barang dagangannya tidak bisa diberikan
. Lani berjalan lunglai menuju kontrakannya. Jalannya seperti berada di awang-awang.
Belum lama kehilangan uang yang sudah dikumpulkannya berbulan-bulan kini nasib
naas menghampiri lagi. Jadi tak karuan
apa yang dipikirkan Lani.
Diam hanya menatap sudut kamar
kontrakan. Teman-temannya belum pada pulang. Menangis, teriak keraspun tak ada
gunanya lagi. Kejadian apes seperti ini seolah hanya menimpa dirinya. Ketika
teman-temannya mulai berdatanganpun Lani masih saja melamun. Walau tidak
bertanya kenapa namun Ridwan , Nasihin dan Kurdi sudah tahu kalau Lani hari ini
terkena razia. Ini mereka peroleh khabar dari si Bimbim yang telah memberitahu
sebelumnya. Ridwan sebagai yang tertua dikontrakan ini memberikan semangat pada
Lani agar tabah dalam menghadapi ujian.
“Sabar Lan”
“Inilah ujian hidup yang harus kita
hadapi”
Lani seolah tak
mendengar apa yang diucapkan oleh Ridwan. Pikirannya tak menentu dengan apa yang
barusan dihadapi. Mau usaha apa lagi yang kiranya bisa memberikan uang yang
banyak? Belum lama mengumpulkan uang hasil
jualan di kereta api hilang! Kini barang dagangannya dirampas petugas.
Mau apa lagi? Mata terpejam sambil tangannnya meninju tembok rumah kontrakan.
Ketiga sahabatnya mengerti perasaan yang sedang dihadapi Lani.
“Sudah Lan…”
`”Nanti
kami patungan untuk menyumbang lagi agar kamu tetap bisa jualan lagi”,ujar
Nasihin memberikan semangat.
Kejadian yang menimpa Lani memang
memberikan dampak bagi ketiga penghuni kamar yang cukup pengap . Kadang nasib
susah untuk ditentukan ujungnya. Kalau saja razia kemarin bisa diantisipasi
tentunya mereka akan selamat. Namun apa
daya manusia hanya bisa merencanakan namun harus seperti ini kejadiannya. Lani
yang tadinya murah senyum kini lebih banyak diam. Sahabatnya sering memberikan
semangat agar bangkit lagi namun tetap
saja Lani banyak murungnya. Yang membuat teman-temannya makin khawatir ternyata
kejadian beberapa hari yang lalu tetap saja susah untuk Lani lupakan. Lani
malah kini sering ngomong sendirian.
“Lan kamu pulang dulu saja ke kampung
ya?”
“Nanti kami yang akan mengongkosi!”
Lani diam saja
tak merespon apa yang diungkapkan Kurdi. Ketiga orang ini jadi ikut bimbang
dengan apa yang sedang dialami Lani. Sudah dua hari Lani memang tidak berjualan
lagi. Ketiga kawannya makin khawatir setelah tetangganya memberitahu kalau Lani tadi waktu
mandi kembalinya ke kamar tidak mengenakan baju apapun. Hal inilah yang menjadi
kebingungan teman-temannya. Apakah karena hilangnya uang lalu hilangnya
dagangan yang dirazia membuat Lani terpukul? Entahlah yang jelas akibat
kejadian itu Lani murung bahkan dalam beberapa hari tidak ngomong.
Ridwan, Kurdi dan Nasihin akhirnya
berembug untuk memulangkan Lani ke kampungnya di Cirebon. Rencananya hari ini
mereka semua akan pulang. Bentuk solidaritas agar Lani bisa tenang dahulu di
kampung biar nanti kalau beban pikirannya mulai normal tentunya Lani akan diajak kembali lagi ke Jakarta.
Sepanjang perjalanan keempat orang
ini tidak banyak berbicara. Dilihat lagi
temannya yang satu ternyata tidak satu patah katapun yang keluar dari mulutnya.
Lani masih menatap pinggir kaca bus entah apa yang dilihatnya. Sampai di
kampungpun Lani tetap membisu dengan
pikiran yang entah bercabang kemana. Orangtua Lani yang hanya tinggal
ibunya sangat mengkhawatirkan nasib anaknya. Ridwan berusaha menjelaskan duduk persoalannya
sampai akhirnya Lani seperti itu.
Sebagai orangtua Kasirah membawa Lani
ke orang pintar. Mulanya Lani mau ngomong walau hanya satu dua patah kata.
Setelah pulang dari orang pintar kelakuannya seperti yang dulu lagi. Tak ada
satupun kata yang keluar dari mulut Lani. Hari-harinya diiisi dengan diam diri
seribu basa.
***
Kasirah teriak-teriak mencari
keberadaan Lani. Tadi malam ia yang mengunci pintu rumah, tapi esok paginya pintu sudah terbuka. Tertangga
yang merasa kasihan ikut pula mencari keberadaan Lani.
“Kira-kira jam berapa
perginya?”
Kasirah hanya
menggelengkan kepala. Ia tak tuhu persis kapan pintu dibuka anaknya untuk
keluar rumah. Di rumah ini memang hanya Kasirah dan Lani saja penghuninya.
Kakak Lani hanya satu dan itupun sudah pisah rumah. Pencarian terus dilakukan sampai
akhirnya dapat khabar kalau anaknya ini sedang berjalan di daerah Brebes.
Dikirimlah mobil sewaan untuk menjemput Lani yang jalannya makin jauh. Kasirah
hanya bisa menangis melihat anaknya yang
seperti itu.
Hanya selang sehari Lani minggat
dari rumah kini terulang lagi. Lani sudah pergi meninggalkan rumah. Tetangga yang iba dibuat sibuk untuk
mencari keberadaan Lani. Barulah sore harinya Lani diketemukan dan ini sudah
meninggalkan jauh sekali dari rumah. Seringnya Lani meninggalkan rumah membuat Kasirah
berinisiatip agar sang anak ini dikurung saja dalam kamar. Lani tak ubahnya
tahanan yang hanya diizinkan keluar rumah kalau mau BAB dan kencing.
Kasirah hanyalah buruh cuci yang penghasilannya tidak seberapa. Untuk
mengobati Lani ke dokter jelas ia tak sanggup untuk membiayai. Usaha sudah
kesana kemari ia lakukan namun hasilnya tetap nihil. Sampai akhirnya tetangga
semua sudah pada tahu kalau Lani dikatakannya stess.
Lani pemuda tanggung yang belum stabil
dalam hal kemandirian sudah menghadapi
berbagai macam cobaan hidup. Batinnya belum kuat menerima kenyataan sampai
akhirnya terpikirkan terus. Lani stress yang berkepanjangan dan makin hari
makin parah. Ibunya yang makin tua sudah tak sanggup lagi menahan Lani ketika
anak ini pergi tak ketahuan perginya. Lani lontang-lantung di jalan sampai
orang sekampungpun bosan menjemput pemuda yang satu ini.
Cirebon, 5 Januari 2013
K U S M I Y A T I (Cerpen)
Cerpen
K U S M I Y A T I
Oleh : Nurdin Kurniawan
Langkah tegap memasuki lapangan
upacara. Memberikan laporan pada Pembina upacara bahwa upacara akan segera
dimulai. Usai memberikan laporan Kusmiyati kembali ke tempatnya semua. Itulah
sosok Kusmiyati anak bungsu dari 2 bersaudara. Terlahir dari pasangan Bapak
Durgi dan Ibu Osih.
Kesehariannya sangat sederhana dan
tak ada yang berbeda dengan siswa lain umumnya. Hanya saja Kusmiyati tergolong
berani tampil dihadapan umum. Entah ketika jadi pemimpin upacara, maju ke kelas
bila disuruh guru atau berani tampil mewakili teman-temannya dalam acara pekan
kreativitas siswa. Anaknya tidak pernah malu bila suruh tampil. Penuh percaya
diri bila dibandingkan dengan teman-teman wanita lainnya. Keberaniannya inilah yang membuat Kusmiyati
mudah dihapal oleh guru-guru.
Tokoh Iwan Fals merupakan salah
idola dari Kusmiyati. Lagu Ibu yang dipopulerkan Iwan Fals menginspirasi
Kusmiyati agar selalu berbakti terhadap orangtua seperti halnya ibu. Dulu
pernah ada kejadian Yati sampai pulang larut malam. Habis main bersama anak cowok
yang bernama Heru. Bahkan Ibu sempat menasehati agar kalau pulang jangan
terlalu malam. Malah Heru yang ingin mengajak Yati kabur saja kalau dimarahi
orang-orang di rumah. Ibu sempat melarang kalau Yati kabur. Dari peristiwa
inilah Yati sangat terkesan sekali dengan Ibu. Ibu adalah orang yang sangat
bijaksana. Bahkan dari persitiwa ini kalau ada cowok yang mau main oleh Ibu
disuruh datang saja ke rumah.
Selain itu Ibu adalah sosok yang
tegar. Bagi Bapak , Ibu adalah hasil pernikahan keduanya. Dari sinilah Ibu teruji sekali tentang kesabarannya.
Setidaklnya sebagai istri kedua bisa
mengimbangi apa yang dilakukan Bapak dalam hal pembangian waktu gilir. Tokoh
ibu memang susah dilupakan dari kehidupan Kusmiyati.
Bapak juga bukanlah orang berada.
Kesehariannya sangat sederhana dengan mencari rejeki tak jauh dari rumah. Namun
demikian Bapak punya prinsip tak mau
merepotkan anak-anaknya. Ketika kakak punya rejeki hasil kerjanya di Tangerang
namun Bapak tidaklah mengharapkan
anak-anaknya ngirim. Biarlah rejeki anak untuk anak jangan sampai merepotkan
Bapak.
“Bapak tahu kamu ingin membahagiakan
Bapak”
“Tapi biarlah uang itu kalian
tabungkan saja”
“Jangan terlalu memikirkan Bapak”
Bapak tahu benar
kalau kehidupan di kota besar sangatlah keras. Bapak tak ingin anak-anaknya
susah hanya karena ikut memikirkan Bapak yang ada di kampung. Jadi biarlah apa
yang diperoleh anak-anaknya untuk mencukupi kehidupan disana. Masalah Bapak
sudah jangan terlalu dipikirkan. Bapak sebisa-bisa mencari rejeki dengan cara
Bapak sendiri.
Dari hasil pekerjaannya Bapak bisa
memberikan ongkos untuk Kusmiyati Rp. 5.000. Uang ini yang Rp. 2.000 digunakan
Yati untuk menabung sedang sisanya digunakan untuk jajan. Kadang kalau rejekinya
lagi bagus maka Bapak siangnya memberi lagi Rp. 2.000. Pokoknya hidup ini
jangan dibuat susah. Walau kehidupan nyata-nyata sudah susah maka jangan
dibesar-besarkan agar jangan terasa sekali susahnya. Nikmatilah hidup itu apa
adanya.
***
Sebagai anak gadis yang mulai
memasuki usia remaja Kusmiyati juga mulai menganal yang namaya cinta. Walau
masih disebutnya dengan cinta monyet atau cinta gorila sekalipun. Senang dengan
pria yang bernama Yahya. Namun sayang Yahya jutsru senang sama Mala. Sampai
sekarang eh…malah Mala yang dijadikan teman dekatnya. Barangkali bukan miliknya
akhirnya Yati menjaga jarak. Biarlah
Yahya sama Mala saja.
Waktu kelas 8 Yati sempat punya
teman dekat yang bernama Ajo. Tapi ada sebalnya dengan pria yang bernama Ajo. Ketika
itu Yati ada suatu keperluan. Yati minta bantuan pada Ajo, eh… Ajonya banyak
alasan. Tapi ketika Ariz minta bantuan sama Ajo malah mau. Siapa yang tidak
sebal kalau sudah begini! Persahabatan yang dibina dengan Ajo jadi renggang.
Kini dengan berlalunya waktu malah kalau ketemu sama Ajo jadi biasa-biasa saja.
Habis mau bagaiman lagi? Yati pikir
sudahlah yang sudah sih sudah saja. Barangkali bukan milik Yati. Tak ada
perasaan apa-apa kalau sekarang bertemu dengan Ajo. Ajonya juga demikian
seperti tak terjadi apa-apa.
Perjalanan hidup masih sangat
panjang. Kusmiyati punya cita-cita ingin jadi penyanyi. Ingin bisa tampil
seperti halnya anak-anak yang lain. Kalau alat musik yang dikuasai memang belum
ada namun Yati hobi sekali dengan yang namanya menyanyi. Bila ada acara pentas
musik maka Yati tak segan-segan untuk tampil diatas pentas. Sudah beberapa kali
saja ada pentas musik maka Yati ikut tampil. Apalagi kalau ada acara perpisahan
kelas maka Yati berusaha untuk bisa menampilkan setidaknya satu buah lagu di
pentas. Hobi yang satu ini memang susah sekali dilupakan. Ingin agar hobi yang
satu ini bisa tersalurkan dengan baik.
Beruntung sekali sekolah punya beberapa alat musik. Yati sempatkan
diri latihan sama Pak Memed di sekolah. Bersama teman-teman yang lain juga
berusaha untuk menampilkan apa yang bisa diperbuat. Sebenarnya potensi
anak-anak disekolah ini banyak sekali namun sayang belum ada yang berani menampilkannya,
ada pula yang berani tapi malu-malu. Bagi Yati yang seperti ini adalah suatu
kesempatan. Kapan lagi bisa menampilkan apa yang kita bisa kalau tidak dari
sekarang.
Masalah pelajaran di sekolah tidak
beda dengan anak-anak yang lain. Hanya saja pelajaran matematika adalah salah
satu pelajaran yang sulit untuk ditangkap. Habis gurunya jarang menerangkan.
Kalau menerangkan hanya untuk anak-anak yang mengerti saja sementara anak-anak yang tidak bisa justru
dibiarkan sendiri. Malah yang paling banyak adalah memberikan tugas. Bagaimana bisa
mengerti kalau cara mengajarnya seperti ini? Apa yang dialami Yati ternyata juga hampir sama dengan pendapat
yang lain. Ya… memang matematika membuat mati! Susah untuk bisa dimengerti kalau
tidak mengerti dari awalnya. Haya saja
Yati berharap agar pelajaran yang satu
ini bisa memberikan manfaat bagi Yati. Kalau ada yang tidak mengerti setidaknya
bisa diulangi lagi agar apa yang tidak bisa itu menjadi bisa.
Semenjak kelas 9 Yati tidak ikut
kegiatan estrakurikuler lagi. Kelas 9 memang waktunya dikhususkan untuk menghadapi
Ujian Nasional. Kalaupun Yati sore hari suka ada di sekolah itu hanya untuk
main. Tidak ada kaitannya degan kegiatan sekolah. Ya seperti menyalurkan hobi akan menyanyi, olahraga. Di
sekolah memang sarananya ada sehingga bisa menyalurkan hobi yang satu ini.
***
Pagi-pagi sudah harus mempersiapkan segala sesuatunya
untuk berangkat sekolah. Jarak dari
rumah ke sekolah tidaklah terlalu jauh. Kusmiyati cukup dengan jalan
kaki saja. Dibawa jalan kaki dan ngobrol sepanjang perjalanan membuat tak
terasa jarak yang harus ditempuh. Kadang saling menunggu antara teman yang satu
dengan teman yang lain lalu jalan bersama-sama. Sepanjang perjalanan ngobrol eh
tak terasa akhirnya sampai juga di sekolah.
Perjalanan sekolah ini masihlah sangat
jauh. Sebab sehabis SMP tentu harus dilanjutkan ke sekolah yang lebih tingggi
lagi. Ini pekerjaan baru bagi Yati. SetidaknyaYati juga ingin bisa melanjutkan
ke sekolah yang lebih tingggi lagi. Yati hanya berharap Bapak masih mampu untuk
melanjutkan biaya sekolah Yati. Yati ingin
bisa mengenyam pendidikan yang lebih tingggi lagi. Sekolah merupakan
keharusan bagi siapa saja untuk menuntut ilmu. Kalau sekarang banyak kendalanya
mudah-mudahan pada masa mendatang tak seperti ini lagi. Ingin ada kemudahan
dalam mengenyam pendidikan.
Menatap indah Gunung Ciremai dari
kejauhan, hamparan sawah yang menghijau. Perjalanan ini masihlah sangat panjang. Kaki ini masih terus mengajak
berjalan. Masihkan panjang jalan yang
harus ditempuh? Mentari masih memancarkan sinarnya pertanda masih ada hari esok
yang lebih baik. Kehidapun akan terus berjalan dan ini merupakan tantangan
tersendiri. Segala sesuatunya Yati pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. Jalan
terbaiklah yang mudah-mudahan ditunjukkan oleh Yang Maha Kuasa.
Cirebon, 22 Oktober 2012
Langganan:
Postingan (Atom)