Cerpen
ZIARAH
Sunan Bonang
Bagian Ketujuh
Oleh : Nurdin Kurniawan
Ziarah pada masa-masa kerasulan memang pernah dilarang oleh
Rosulullah. Hal ini dikarenakan keyakinan umat dalam hal ini penanaman akidah
belum tegak benar. Namun setelah penanaman akidah benar dan tak diragukan akan
kenuju ke hal-hal yang membuat kita musrik
maka ziarah dianjurkan lagi. Ini dimaksudkan agar manusia yang hidup jangan
terlalu sombong seolah-olah mereka akan
hidup selama-lamanya. Manusia diingatkan akan sebuah kematian yang pasti akan
datang menjemput. Makanya ziarah diperbolehkan bagi mereka atau siapa saja yang
kuat imannya, mereka diingatkan akan datangnya suatu masa yang disebut dengan kematian.
Dari Sunana Gunung Djati, ke Sunan
Kalijaga, dilanjutkan ke Sunan Kudus, terus berangkat lagi ke Sunan Muria dan
kini kita ke Sunan Bonang. Dari Sunan Muria ke Sunan Boang alhamdulillah merupakan perjalanan siang hari. Pemandangan Kota
Tuban di siang hari tampak jelas. Aku bisa
menikmati pemandangan sekitar pantai
yang cukup indah. Tahu juga kota yang bernama Tuban.
Sebelum ke Makam Sunan Bonang
peziarah dimampirkan dahulu ke suatu masjid bawah tanah. Masjid Syekh Maghribi atau
yang lebih dikenal dengan nama Masjid Puser Bumi. Penasaran dengan masjid bawah
tanah? Mari kita cari tahu apakah memang lokasi masjidnya berada di bawah
tanah!
Dari depan memang tak terlihat ada
sebuah masjid. Dari gapuraya hanya tertulis Pondok Pesantren Puser Bumi. Setelah
memasuki didalamnya mulailah terlihat kalau di dalam area pesantren memang ada
sebuah masjid yang lokasinya ada di bawah tanah.
Menelusuri lorong demi lorong
ternyata memang sangat indah. Rupanya daerah sekitar masjid bawah tanah ini
adalah lokasi batu-batu kapur. Oleh salah seorang Kyai yang juga pengelola
Ponpes lalu digali. Daerah gersang yang tadinya merupakan tempat pembuangan sampah
ini dibenahi. Bagian demi bagiannya ia pugar sampai memperlihatkan bentuk yang
sangat indah. Jadilah sebuah masjid bawah tanah yang sangat indah.
Penerangan lampunya yang sangat
indah ditambah dengan tata letak yang bagus membuat masjid ini sangatlah
cantik. Masjid yang dibangun tanpa mengandalkan uluran tangan dari pemerintah.
Pemiliknya yakin sampai mengharamkan kalau menerima dana dari pemerintah. Lalu
darimana dana itu didapat? Semuanya murni dari sumbangan jamaah yang datang ke
masjid dan dari pihak Pondok Pesantren itu sendiri.
Di daerah karst atau kapur yang namanya sumber air kalau tidak kebetulan
dekat dengan sungai bawah tanah atau sendang
yang namanya air sangatlah sulit. Demikian pula dengan masjid bawah tanah
Puser Bumi yang sampai puluhan meter untuk
bisa mendapartkan air bersih. Ngebor puluhan meter akhirnya tak sia-sia.
Air akhirnya didapatkan. Disinilah orang mulai memanfaatkan. Katanya air yang
diperoleh bisa untuk pengobatan. Wallahu
Allam. Tapi pihak pengelola akhirnya menjual air yang katanya membawa
berkah itu seharga Rp. 10.000 per botol ukuran 1 liter. Bagi yang percaya
silahkan membeli bagi yang tidak percaya
toh tak ada kewajiban untuk membelinya. Yang jelas air itu bisa untuk diminum
menghilangkan rasa haus.
Solat Dhuhur dan Ashar yang dijama
qoshor di Masjid Puser Bumi. Sunggguh nikmat bisa melaksanakan sholat
berjamaah. Selama ziarah memang sholatnya berjamaah terus. Sayang bagiku karena
ada beberapa kali yang tertingggal dengan Kyai sehingga sholatnya sendirian.
Tapi selebihnya dilakukan selalu dengan cara berjamaah.
Lorong demi lorong bawah tanah
dilalui akhirnya sampai juga di permukaan. Cukup luas juga komplek Ponpes Puser
Bumi yang ada di Tuban. Pak Kyainya juga adalah orang kaya. Lihat saja mobilnya
berderet dengan merek-merek yang sangat terkenal. Bukan Kyai sembarangan
tentunya.
***
Makam Sunan Bonang adanya di tengah kota
Tuban. Bus parkir di tengah kota yang ramai. Untuk sampai dilokasi harus
menggunakan becak terlebih dahulu. Ongkos yang diminta hanya Rp. 5.000 sekali
jalan. Tadinya aku kira jauh eh…setelah aku naik becak jaraknya tak seberapa.
Disinilah kalau orang tidak tahu. Banyak peziarah yang suka jalan kaki maka
mereka menggunakannya dengan jalan kaki. Karena aku membawa seorang nenek yang
juga harus aku antar maka naik becak
jadi alternatif.
Seperti biasanya memasuki lorong yang
panjang ke lokasi dipenuhi dengan para pedagang. Berbagai pernak-pernik yang
menandakan dilokasi ziarah Sunan Bonang mudah dijumpai. Mereka yang ingin punya
kenang-kenangan dengan apa yang ada dilokasi Sunan Bonang tentunya belanja
berbagi pernak-pernik itu.
Subhanallah!
Inilah barangkali yang disebut dengan keajaiban. Melihat sekeliling makan Sunan
Bonang sepertinya aku pernah ke tempat ini. Kapan? Inilah yang aku
tanya-tanyakan dalam diri ini. Pernahkah aku datang ke tempat ini sebelumnya?
Setelah aku ingat-ingat ternyata memang aku pernah mengunjungi tempat ini.
Dimana? Dalam mimpi! Ya… setelah aku cocok-cocokkan ternyata aku memang pernah mengalami
atau berkunjung ke tempat ini. Inilah yang aku sebut sangat luar biasa. Aku diperjalankan
dalam sebuah mimpi untuk mengunjungi tempat yang seperti ini. Aku lihat
masjidnya memang seperti yang aku lihat dalam mimpi, aku lihat tempat wudhunya
memang persis dengan apa yang aku lihat dalam mimpi. Hanya saja aku belum
melihat makam Sunan Boang itu sendiri. Jadi ketika aku berada di Makam Sunan
Bonang banyak yang cocok. Seolah-olah aku reuni dengan suatu tempat. Subhanallah! Kok bisa seperti ini? Inilah
yang barangkali suatu keajaiban. Kok bisanya mimpi sama persis dengan apa yang
kini aku lihat. Suatu perjalanan yang sangat menakjubkan.
Komplek pemakaman Sunan Bonang
ketika aku berkunjung sedang dipugar bagian cungkupnya. Kini bagian cungkup
dipertingggi sehingga jamaah lebih leluasa lagi kalau berada didalamnya.
Sekeliling makam ada areal yang cukup kosong untuk para peziarah berdoa. Ada
beberapa rombongan yang sedang tahlilan ketika rombonganku baru datang. Seperti
biasa untuk berdoa saja harus antri. Inilah keistimewaan yang dimiliki para
Wali. Makamnya tak pernah sepi dari para peziarah.
Usai berdoa seperti biasa para
peziarah kembali menuju bus yang lokasi parkirnya cukup jauh dari lokasi makam.
Jalan kaki dahulu sebelum menuju tempat para abang becak ngumpul dekat lampu
merah. Diperjalanan aku diberhentikan oleh pemuda setempat yang ternyata
berjualan minyak wangi.
“Terserah
bapak saja sebagai tanda jadinya”
Aku binggung
juga sebab tadinya tak berkeinginann untuk membeli minyak wangi. Ukuran kecil
mungkin kalau di cc hanya 5 cc. Pemuda tadi terus mengikuti diriku sementara
minyak wangi yang ia tawarkan sudah ada dalam genggaman diriku. Tak enak juga
dengan apa yang sudah aku pegang maka aku keluarkan uang Rp. 5.000.
“Terimakasih Mas”
Aku angggukkan
kepala lalu si pemuda tadi balik lagi ke tempatnya mangkal. Strategi dagang
yang cukup bagus. Dengan cara yang seperti ini peziarah sungkan sekali untuk
menolak sebab barangnya sudah dipegang lebih dahulu oleh peziarah.
Kembali
lagi harus naik becak. Aku yang sudah ditungggu ibu-ibu yang sudah tua harus
pula mengantarkannya kembali ke bus. Beca yang mengantarkanpun sudah tertatata
rapih menungggu orang-orang yang akan kembali ke tempat parkir. Cukup panjang
juga deretan becak yang diparkir itu. Mereka menungggu peziarah yang baru
selesai dari makam Sunan Bonang.
Di
lokasi parkir banyak penjaja makanan dan tukang photo yang beraksi. Mereka
ceprat-cepret mencari sasaran. Aku yang tadi sempat kena photo mereka kini
harus menebus photo itu. Sebetulnya tak ada keharusan untuk membeli namun
kasihan pada tukang photo yang susah payah mencari orang yang wajahnya
terpampang di photo. Hanya dengan Rp. 5.000 photo itu akhirnya bisa aku miliki.
Ada berapa rekan yang sengaja tak mau menebus photonya. Si tukang photo tak mau
kehabisan akal. Photo itu selalu ditawar-tawarkan sampai akhirnya turun harga
menjadi Rp. 3.000. Daripada jadi sampah maka photo itu lebih baik diberikan
pada si empunya.
Penunpang
akhirnya sudah lengkap semua. Perjalanan siap dilanjutkan kembali menuju
Komplek Pemakaman Sunan Drajat. Perjalanan yang masih jauh. Suara-suara berisik
yang ngobrol mulai tak terdengar lagi. Perjalanan yang masih membutuhkan banyak
tenaga. Peziarah tertidur di kursinya masing-masing. Hanya bapak supir yang
selalu siaga mengantarkan para peziarah ke komplek pemakaman berikutnya.
Cirebon, 25 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar