Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Senin, 24 Juni 2019

ZIARAH Sunan Bonang Bagian Ketujuh (Cerpen)


Cerpen
ZIARAH
Sunan Bonang
Bagian Ketujuh
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Ziarah pada masa-masa  kerasulan memang pernah dilarang oleh Rosulullah. Hal ini dikarenakan keyakinan umat dalam hal ini penanaman akidah belum tegak benar. Namun setelah penanaman akidah benar dan tak diragukan akan kenuju ke  hal-hal yang membuat kita musrik maka ziarah dianjurkan lagi. Ini dimaksudkan agar manusia yang hidup jangan terlalu sombong seolah-olah mereka  akan hidup selama-lamanya. Manusia diingatkan akan sebuah kematian yang pasti akan datang menjemput. Makanya ziarah diperbolehkan bagi mereka atau siapa saja yang kuat imannya, mereka diingatkan akan datangnya suatu masa yang disebut dengan kematian.
            Dari Sunana Gunung Djati, ke Sunan Kalijaga, dilanjutkan ke Sunan Kudus, terus berangkat lagi ke Sunan Muria dan kini kita ke Sunan Bonang. Dari Sunan Muria ke Sunan Boang alhamdulillah merupakan perjalanan siang hari. Pemandangan Kota Tuban di siang hari tampak  jelas. Aku bisa  menikmati pemandangan sekitar pantai yang cukup indah. Tahu juga kota yang bernama Tuban.
            Sebelum ke Makam Sunan Bonang peziarah dimampirkan dahulu ke suatu masjid bawah tanah. Masjid Syekh Maghribi atau yang lebih dikenal dengan nama Masjid Puser Bumi. Penasaran dengan masjid bawah tanah? Mari kita cari tahu apakah memang lokasi masjidnya berada di bawah tanah!
            Dari depan memang tak terlihat ada sebuah masjid. Dari gapuraya hanya tertulis Pondok Pesantren Puser Bumi. Setelah memasuki didalamnya mulailah terlihat kalau di dalam area pesantren memang ada sebuah masjid yang lokasinya ada di bawah tanah.
            Menelusuri lorong demi lorong ternyata memang sangat indah. Rupanya daerah sekitar masjid bawah tanah ini adalah lokasi batu-batu kapur. Oleh salah seorang Kyai yang juga pengelola Ponpes lalu digali. Daerah gersang yang tadinya merupakan tempat pembuangan sampah ini dibenahi. Bagian demi bagiannya ia pugar sampai memperlihatkan bentuk yang sangat indah. Jadilah sebuah masjid bawah tanah yang sangat indah.
            Penerangan lampunya yang sangat indah ditambah dengan tata letak yang bagus membuat masjid ini sangatlah cantik. Masjid yang dibangun tanpa mengandalkan uluran tangan dari pemerintah. Pemiliknya yakin sampai mengharamkan kalau menerima dana dari pemerintah. Lalu darimana dana itu didapat? Semuanya murni dari sumbangan jamaah yang datang ke masjid dan dari pihak Pondok Pesantren itu sendiri.
            Di daerah karst atau kapur yang namanya sumber air kalau tidak kebetulan dekat dengan sungai bawah tanah atau sendang yang namanya air sangatlah sulit. Demikian pula dengan masjid bawah tanah Puser Bumi yang sampai puluhan meter untuk  bisa mendapartkan air bersih. Ngebor puluhan meter akhirnya tak sia-sia. Air akhirnya didapatkan. Disinilah orang mulai memanfaatkan. Katanya air yang diperoleh bisa untuk pengobatan. Wallahu Allam. Tapi pihak pengelola akhirnya menjual air yang katanya membawa berkah itu seharga Rp. 10.000 per botol ukuran 1 liter. Bagi yang percaya silahkan membeli  bagi yang tidak percaya toh tak ada kewajiban untuk membelinya. Yang jelas air itu bisa untuk diminum menghilangkan rasa haus.
            Solat Dhuhur dan Ashar yang dijama qoshor di Masjid Puser Bumi. Sunggguh nikmat bisa melaksanakan sholat berjamaah. Selama ziarah memang sholatnya berjamaah terus. Sayang bagiku karena ada beberapa kali yang tertingggal dengan Kyai sehingga sholatnya sendirian. Tapi selebihnya dilakukan selalu dengan cara berjamaah.
            Lorong demi lorong bawah tanah dilalui akhirnya sampai juga di permukaan. Cukup luas juga komplek Ponpes Puser Bumi yang ada di Tuban. Pak Kyainya juga adalah orang kaya. Lihat saja mobilnya berderet dengan merek-merek yang sangat terkenal. Bukan Kyai sembarangan tentunya.
                                                                        ***
            Makam Sunan Bonang adanya di tengah kota Tuban. Bus parkir di tengah kota yang ramai. Untuk sampai dilokasi harus menggunakan becak terlebih dahulu. Ongkos yang diminta hanya Rp. 5.000 sekali jalan. Tadinya aku kira jauh eh…setelah aku naik becak jaraknya tak seberapa. Disinilah kalau orang tidak tahu. Banyak peziarah yang suka jalan kaki maka mereka menggunakannya dengan jalan kaki. Karena aku membawa seorang nenek yang juga harus aku antar maka  naik becak jadi alternatif.
            Seperti biasanya memasuki lorong yang panjang ke lokasi dipenuhi dengan para pedagang. Berbagai pernak-pernik yang menandakan dilokasi ziarah Sunan Bonang mudah dijumpai. Mereka yang ingin punya kenang-kenangan dengan apa yang ada dilokasi Sunan Bonang tentunya belanja berbagi pernak-pernik itu.
            Subhanallah! Inilah barangkali yang disebut dengan keajaiban. Melihat sekeliling makan Sunan Bonang sepertinya aku pernah ke tempat ini. Kapan? Inilah yang aku tanya-tanyakan dalam diri ini. Pernahkah aku datang ke tempat ini sebelumnya? Setelah aku ingat-ingat ternyata memang aku pernah mengunjungi tempat ini. Dimana? Dalam mimpi! Ya… setelah aku cocok-cocokkan ternyata aku memang pernah mengalami atau berkunjung ke tempat ini. Inilah yang aku sebut sangat luar biasa. Aku diperjalankan dalam sebuah mimpi untuk mengunjungi tempat yang seperti ini. Aku lihat masjidnya memang seperti yang aku lihat dalam mimpi, aku lihat tempat wudhunya memang persis dengan apa yang aku lihat dalam mimpi. Hanya saja aku belum melihat makam Sunan Boang itu sendiri. Jadi ketika aku berada di Makam Sunan Bonang banyak yang cocok. Seolah-olah aku reuni dengan suatu tempat. Subhanallah! Kok bisa seperti ini? Inilah yang barangkali suatu keajaiban. Kok bisanya mimpi sama persis dengan apa yang kini aku lihat. Suatu perjalanan yang sangat menakjubkan.
            Komplek pemakaman Sunan Bonang ketika aku berkunjung sedang dipugar bagian cungkupnya. Kini bagian cungkup dipertingggi sehingga jamaah lebih leluasa lagi kalau berada didalamnya. Sekeliling makam ada areal yang cukup kosong untuk para peziarah berdoa. Ada beberapa rombongan yang sedang tahlilan ketika rombonganku baru datang. Seperti biasa untuk berdoa saja harus antri. Inilah keistimewaan yang dimiliki para Wali. Makamnya tak pernah sepi dari para peziarah.
            Usai berdoa seperti biasa para peziarah kembali menuju bus yang lokasi parkirnya cukup jauh dari lokasi makam. Jalan kaki dahulu sebelum menuju tempat para abang becak ngumpul dekat lampu merah. Diperjalanan aku diberhentikan oleh pemuda setempat yang ternyata berjualan minyak wangi.
“Terserah bapak saja sebagai tanda jadinya”
Aku binggung juga sebab tadinya tak berkeinginann untuk membeli minyak wangi. Ukuran kecil mungkin kalau di cc hanya 5 cc. Pemuda tadi terus mengikuti diriku sementara minyak wangi yang ia tawarkan sudah ada dalam genggaman diriku. Tak enak juga dengan apa yang sudah aku pegang maka aku keluarkan uang Rp. 5.000.
            “Terimakasih Mas”
Aku angggukkan kepala lalu si pemuda tadi balik lagi ke tempatnya mangkal. Strategi dagang yang cukup bagus. Dengan cara yang seperti ini peziarah sungkan sekali untuk menolak sebab barangnya sudah dipegang lebih dahulu oleh peziarah.
Kembali lagi harus naik becak. Aku yang sudah ditungggu ibu-ibu yang sudah tua harus pula mengantarkannya kembali ke bus. Beca yang mengantarkanpun sudah tertatata rapih menungggu orang-orang yang akan kembali ke tempat parkir. Cukup panjang juga deretan becak yang diparkir itu. Mereka menungggu peziarah yang baru selesai dari makam Sunan Bonang.
Di lokasi parkir banyak penjaja makanan dan tukang photo yang beraksi. Mereka ceprat-cepret mencari sasaran. Aku yang tadi sempat kena photo mereka kini harus menebus photo itu. Sebetulnya tak ada keharusan untuk membeli namun kasihan pada tukang photo yang susah payah mencari orang yang wajahnya terpampang di photo. Hanya dengan Rp. 5.000 photo itu akhirnya bisa aku miliki. Ada berapa rekan yang sengaja tak mau menebus photonya. Si tukang photo tak mau kehabisan akal. Photo itu selalu ditawar-tawarkan sampai akhirnya turun harga menjadi Rp. 3.000. Daripada jadi sampah maka photo itu lebih baik diberikan pada si empunya.
Penunpang akhirnya sudah lengkap semua. Perjalanan siap dilanjutkan kembali menuju Komplek Pemakaman Sunan Drajat. Perjalanan yang masih jauh. Suara-suara berisik yang ngobrol mulai tak terdengar lagi. Perjalanan yang masih membutuhkan banyak tenaga. Peziarah tertidur di kursinya masing-masing. Hanya bapak supir yang selalu siaga mengantarkan para peziarah ke komplek pemakaman berikutnya.

                                                                                                            Cirebon, 25 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar