Cerpen
BOS KOREAAN
Oleh : Nurdin Kurniawan
Bukan pemuda kalau hanya tahu
daerahnya sendiri. Bukan pula pemuda kalau lahir bahkan nanti mati juga dikubur
di desa sendiri. Ya… di desanya dari mulai
lahir sampai mati. Begitu jelas dan mempesona apa yang disampaikan Aa Inu mantan buruh migrant alumni Koreaan yang
sudah hampir 8 tahun bekerja di Korea. Pulang di kampungnya langsung saja
menjadi bos bagi pemuda-pemudi di desanya
yang ingin kerja di Korea. Pemuda di desanya memang terkendala masalah uang pemberangkatan
yang hampir diatas 16 juta bahkan lebih. Dari sinilah Aa Inu sebagai
penyelamat. Ia mau menalangi siapa saja yang akan berkeja di Korea. Uang untuk
keperluan tiket sampai paspor ia talangi dengan suatu perjanjian uang kiriman gaji
selama 3 bulan berturut-turut harus untuk membayar hutang orang yang pinjam
tadi.
Bisnis memberangkatkan orang yang
akan ke Korea ternyata menguntungkan juga. Dua kali pembayaran saja dari gaji
sudah tertutup apa yang menjadi hutang orang yang bersangkutan. Satu bulannya sisanya
adalah untung yang didapat. Hampir tak pernah ada TKI yang mengecewakan.
Rata-rata anak-anak muda ini memenuhi janjinya. Terkenallah Aa Inu sebagai bos
Koreaan.
Mobil, tanah, bahkan kini buka
bisnis cuci salju mobil dan motor. Lumayan juga usaha yang digeluti anak muda
ini. Masih muda namun termasuk orang
yang lumayan juga usahanya. Di desanya Aa Inu termasuk bisnisman muda yang diperhitungkan.
Walaupun hanya lulusan SMP namun pengalamannnya di negeri ginseng membuat ia
banyak wawasan.
Juned adalah teman sepermainan Inu
waktu kecil. Hanya saja dalam segi materi Inu jauh lebih sukses. Juned walapun
sarjana dari lulusan sebuah PTN negeri namun sampai sekarang masih saja
ngehonor pada beberapa sekolah.
Penghidupannya yang tak kunjung baik membuat jiwa Juned goyah. Ia iangin juga
membahagiakan anak dan istrinya. Dari honor mengajar di 2 sekolah tak
memberikan penghasilan yang cukup. Pulang hampir sore-sore terus namun isi rumah tak pernah
penuh. Perabotnya masih jauh dari kata lengkap.
“Bu saya ingin mencoba peruntungan
di negeri orang”
“Teman saya si Inu sanggup memberikan
pinjaman untuk keberangkatan dan lain-lainnya”
“Hanya saja tinggal dipotong pada
saat saya menerima gaji ke1,2, barangkali ke-3”
“Bagaimana bu?”
Rumini tak langsung
memberikan jawabn. Ditatapnya wajah sang suami. Selama ini dia tak pernah minta
yang tidak-tidak. Tapi walau demikian harus diakui kalau untuk kepeluan
sehari-hari hanya gali dan tutup lobang saja. Apalagi anak tertuanya kini mau
masuk SMP. Walau tidak mengemukakan penolakan namun Rumini tak bisa berbuat
banyak. Sang suami akhirnya diiyakan untuk mencari rejeki di negeri ginseng.
Tak satu sen pun yang
dikeluarkan Jened untuk bekerja di
Korea. Dari awal memang sudah disepakati segala biaya keperluan akan ditalangi
oleh Inu. Saking percayanya Jujed hanya tahu kalau setidaknya 3 bulan gajinya
akan mengalir ke kas Inu. Habis mau bagaimana lagi hanya dengan cara inilah
barangkali nasibnya akan berubah. Ia harus rela mengorbankan anak istri untuk
mencari nafkah di negeri orang.
***
Shubuh sudah naik sepeda membeli apa
yang akan dijual lagi didepan rumahnya. Kali ini Rumini tidak bisa tinggal diam. Selepas Juned berangkat ke Korea ia yang
tadinya hanya ibu rumahtangga kini harus banting stir. Rumini memberanikan diri
berjualan sayuran dan keperluan lainnya untuk dijual lagi. Walau tidak seberapa
yang ia dapatkan namun ia yakin bisa membantu pengeluarannya yang selama ini
hanya mengandalkan honor sang suami.
Tak terasa sudah berganti bulan.
Sang suami hanya mengabarkan kalau dirinya tidak bisa memberikan apa-apa karena
bulan pertama ini gaji Juned mengalir ke Inu. Rumini hanya bisa membaca berkali-kali
isi surat dari sang suami. Ia sadar kalau sang suami bisa ke Korea juga atas
jasa teman sang suami. Begitu pula
dengan bulan kedua dan ketiga. Rumini tahu hanya sampai bulan ketiga sang suami
punya perjanjian dengan Inu.
Bulan keempat adalah bulan yang bisa
menjadi pengharapan bagi Rumini. Kalau bulan ke-4 ini sang suami akan mengirim
gaji sesuai dengan standar di Korea. Ditunggu minggu pertama. Minggu kedua sampai
minggu ketiga sang suami belum juga kirim. Rumini akhirnya mencoba mendatangi
wartel ingin tahu khabar sang suami kenapa sampai saat ini belum juga
mengirimkan gajinya. Hari yang sangat senang ketika telpon itu sampai juga ke
sang suami. Setelah panjang lebar bicara tentang anak barulah Rumini beranikan
menanyakan tentang gaji.
“Itulah yang saya heran Bu”
“Ternyata si Inu punya alasan kalau
ada biaya tambahan yang diluar kesepakatan yang hanya 3 bulan”
“Alasannya untuk ini dan itulah”
“Saya juga sempat marah-marah namun
itu… gajinya sudah dipotong lewat perusahaan jadi tidak bisa berbuat banyak”
Rumini hanya
diam saja mendengarkan pembicaran sang suami. Ada saja kelakuan orang yang
dengan tega menyunat gaji suaminya yang diluar kesepakatan. Mau menanyakan langsung
pada Inu juga oleh sang suami dilarang.
“Jangan-jangan…”
“Kalau bulan kelima dipotong baru
kita lawan!”
Apa
yang dilakukan Aa Inu ternyata juga dilakukan pada teman-teman seangkatan Juned.
Tidak sedikit orang yang diberangkatakan inu. Sudah bisa dihitung Inu bisa meraup ratusan juta dari orang yang
ia berangkatkan. Banyak yang mengumpat dengan ulah Inu.
“Makan
gaji orang!”
“Semoga
dilaknat Allah!”
Rejeki
memang tak akan lari kemana. Bulan kelima barulah Rumini bisa menikmati gaji sang
suami. Lumayan juga untuk menutup hutang yang cukup banyak. Ada rasa syukur
dengan bisa menikmati gaji pertama sang
suami.
***
Roda
kehidupan terus bergulir. Kadang diatas kadang dibawah. Inu yang bisnisnya kini
merambah ke petani bawang mengalami beberapa kali kerugian. Usaha bisnis
menanam bawang seperti halnya judi. Kalau tidak tahu tekniknya hanya akan jebol
saja. Makanya usaha yang satu ini beresiko besar. Tiga kali gagal rupanya rugi
ratusan juta rupiah. Pundi-pundi dari calo TKI banyak yang tersedot ke
penamaman bawang.
Mulai
hancurnya bisbis yang dikelola Aa Inu initerlihat sekali setelah ia bersekutu
dengan salah seorang bos dari Kalimantan. Dari bisnis batubara ini ia malah
ditipu. Modal yang ditanamkan pada bisnis batubara dibawa kabur oleh rekan
bisnisnya. Aa Inu yang dikenal di desanya dengan orang kaya kini mulai terlilit
hutang di bank.
“Tuh…kalau
bisnis dengan cara mengambil keringat orang lain!”
“Kini
Allah membalas tingkahnya”, ujar Narsiti yang nasibnya sama dengan Rumini yang
suaminya gajinya dipotong oleh Inu.
Rumah Aa Inu
yang kini ditempati akhirnya harus dijual karena Inu didatangi oleh debt colektor sebuah bank. Tak lama
berselang keesokan harinya dari bank yang lain juga menagih. Terpaksa rumah yang
selama ini menaugi anak dan istri dijual juga.
Bos Koreaan yang sukses tahunan di
Korean kini harus jadi mansuia biasa lagi. Bahkan sepeda motor yang dibawanya
untuk keliling mencoba bisnis runtukan juga adalah punya sang adik. Aa Inu kini
sudah tidak bisa menjalankan usahanya seperti dulu lagi. Apa yang ia usahakan
sudah banyak orang yang tahu. Orang sudah tahu kalau dari kebaikannya itu
mengambil untung yang dluar kewajaran. Aa Inu yang berkendaraan mobil kini
tidak tampak seperti dulu lagi. Sesekali ia mampir di tong sampah mencari sampah
plastik ataupun kardus yang kiranya bisa dijual ke bos rongsok. Itulah yang namanya kehidupan bergulir terus seperti
roda . Kadang diatas kadang ada dibawah.
Cirebon, 31 Januari 2014
nurdinkurniawan@ymail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar