ARTIKEL
DINASTI POLITIK
Oleh : Nurdin Kurniawan, S.Pd. *)
Menyimak salah satu liputan khusus
di salah satu televisi swasta tentang putaran kepemimpinan yang terjadi di
Klaten, Jawa Tengah sungguh menyesakkan dada. Seperti tidak ada orang lain lagi
yang bisa menjadi pemimpin. Atau memang Klaten masyarakatnya mengalami krisis
kepemimpinan? Tapi tidak juga mengingat selama pemilihan kepala daerah
berlangsung lebih dari satu calon yang maju. Namun demikian perputaran yang
terjadi hanya dari itu ke itu juga. Perputaran dari dua keluarga besar bupati
ke wakil bupati berlanjut dari istri ke istrinya. Begitu dan begitu yang
terjadi di Klaten.
Adalah Bupati Klaten saat ini bernama Sri Hartini.
Beliau ini adalah wakil dari bupati sebelumnya, Sunarna, yang menjabat selama
dua periode selama 2005-2015. Sri Hartini ini sendiri adalah istri dari bupati
Klaten periode 2000-2005, Haryanto Wibowo. Mari berlanjut ke wakilnya, Sri
Mulyani. Beliau ini adalah istri dari mantan bupati Sunarna. Jadi, setelah
sepuluh tahun mendampingi sang suami menjadi bupati, kini beliau menjabat
menjadi wakil bupati mendampingi mantan wakil dari suaminya. Dan begitulah
terjadinya Duo Sri yang kekuasaannya akan bercokol setidaknya hingga 2020, dan
sangat mungkin diperpanjang lagi.
Sri
Hartini, yang terpilih menjadi bupati periode 2015-2020, merupakan istri
Haryanto Wibowo, Bupati Klaten periode 2000-2005. Dinama sang suami ditetapkan
sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan buku paket tahun ajaran 2003/2004
senilai Rp 4,7 miliar. Politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini
juga dituduh terlibat perkara korupsi penggunaan duit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah untuk pergi ke luar negeri. Kasus Haryanto ditutup setelah
kematiannya.
Sebelum
memimpin Klaten, pada periode 2010-2015 Hartini menjadi wakil untuk periode
kedua Bupati Sunarna. Kini, istri Sunarna yang bernama Sri Mulyati merupakan
wakil bupati Sri Hartini. Satu pemerintahan dinasti yang menjadikan pengisian
kursi kepala daerah mirip arisan. Haryanto-Hartini dan Sunarna-Mulyati seperti
berkompromi mengkapling jabatan bupati dan wakilnya secara bergantian.
Kasus
Sri Hartini mencuat ke permukaan dan banyak diberitakan dalam beberapa hari
ini. Bupati Klaten Sri Hartini yang juga adalah kader PDI Perjuangan dituduh menerima
suap terkait promosi jabatan dalam pengisian susunan organisasi dan tata kerja
organisasi perangkat daerah seperti diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Dari rumah dinas Sri Hartini, KPK
mengamankan uang sekitar Rp2 miliar dan pecahan mata uang asing US$5.700 dan
SGD2.035, selain juga catatan penerimaan uang. KPK juga mengamankan Suramlan
alias SUL, Kepala Seksi SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten, yang diduga
berperan sebagai pemberi suap.
Sri
Hartini diduga memanfaatkan celah Undang-Undang Aparatur Sipil Negara serta
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang
mewajibkan pengisian jabatan melalui lelang terbuka. Aturan ini sesungguhnya
dibuat guna mendapatkan pejabat yang kompeten, melalui proses transparan.
Celakanya, lelang jabatan justru diselewengkan oleh Hartini menjadi ajang
jual-beli kedudukan. Temuan Komisi Aparatur Sipil Negara menunjukkan, Hartini
memasang tarif suap posisi eselon II pada jabatan setingkat kepala dinas dengan
harga hingga Rp 400 juta. Ia bahkan tak malu memperdagangkan posisi jabatan
rendah. Sebagai contoh, ia memasang tarif jabatan pada bagian tata usaha
puskesmas dengan harga Rp 15 juta. Bagaimana bisa menciptakan birokrat yang
mengabdi untuk kepentingan rakyat jika jabatan yang didapatnya juga diperoleh
dengan cara membeli. Pasti yang dipikirkan dalam benak pejabat itu adalah
bagaimana bisa mengembalikan modal yang tadi digunakan untuk membeli jabatan
tersebut.
Semenjak
pemilihan kepala daerah secara langsung memungkinkan politik dinasti seperti
itu. Petahana yang sudah berpengalaman memimpin akan menanamkan pegaruhnya tak akan
ke orang lain. Orang-orang terdekatnya terlebih dahulu yang dikader lewat jalur
kekeluargaan. Dari bupati terus ke wakilnya. Bila bupatinya sudah 2 periode
maka wakilnya yang akan maju. Setelah masa baktinya berlalu kini gantian wakil
yang maju dan sebagai bentuk terimakasih
maka istri bupati sebelumnya dicalonkan mendampingi wakil bupati yang kini
mengincar kedudukan bupati. Mutar-muter disitu-situ juga.
Andai
saja kepemimpinannya mensejahterakan rakyat tentu tak akan ada yang mempermasalahkan.
Justru rakyat akan menyambut gembira pemimpin yang selalu berusaha
mensejahterakan rakyatnya. Namun apabila yang terjadi sebaliknya tentu akan
menjadi pembicaraan rakyat. Dan politik dinasti ini dari beberapa kasus yang
muncul tak jauh-jauh dari yang namanya korupsi. Lihat saja apa yang terjadi di
Banten, mantan gubernurnya, Ratu Atut terdakwa kasus korupsi alat kesehatan. Beliau
ini adalah istri dari anggota DPR-RI 2009-2014, Hikmat Tomet. Adiknya, Tubagus
Chaeri Wardana yang merupakan terdakwa kasus penyuapan hakim Akil Mochtar
adalah suami dari Walikota Tangerang Selatan, Airin Rachmy Diany.
Kenapa Dinasti Politik?
Pada
2015, aturan untuk memutus mata rantai dinasti politik telah dibuat melalui
revisi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Di situ diatur
larangan calon kepala daerah berkonflik kepentingan dengan inkumben.
Definisinya, calon tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, atau garis
keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping, yakni ayah-ibu,
mertua, paman, bibi, kakak, adik ipar, juga menantu. Aturan tidak berlaku
setelah inkumben melewati jeda satu kali masa jabatan.
Sayangnya,
aturan itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yang menerima uji materi dari
Adnan Purichta Ichsan. Anak Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo itu pada saat
mengajukan uji materi sedang menjajaki kemungkinan menjadi calon bupati. Hingga
kini, Dewan dan pemerintah belum membuat rumusan lain soal politik dinasti ini.
Mahkamah Konstitusi yang pada 2015 lalu membatalkan aturan terkait kerabat
petahana dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah
yang awalnya bertujuan membatasi adanya dinasti politik. Walhasil, contoh buruk
politik kekerabatan seperti di Klaten bisa jadi masih akan ditemukan di banyak
daerah.
Selama
belum dibuat lagi aturan main yang melarang orang-orang terdekatnya maju dalam
pilkada seperti yang pernah dibuat UU Nomer 8 Tahun 2015 maka politik dinasti akan selalu ada. Pada dasarnya sistem dinasti politik adalah merupakan strategi
politik yang dibuat ataupun dibangun untuk memperoleh kekuasaan. Harapannya
dengan menggunakan sistem dinasti politik, kekuasaan dapat di wariskan kepada
keturunan ataupun keluarga. Sistem dinasti politik ini dapat dilihat dan
ditelaah melalui dua aspek konotasi. Masing masing konotasi memiliki kekuatan
dan kelemahan masing masing. Plus minusnya selalu ada tinggal bagaimana yang
mempunyai kekuasaan bisa menjalankan amanat dari rakyatnya dengan baik.
Setidaknya
dengan munculnya kasus yang menimpa Bupati Klaten membuat mata kita terbuka.
Kekuasaan bukanlah segalanya. Apa yang sudah menjadi amanat rakyat harus
dijalankan. Dinasti kekuasaan selama konotasinya positif untuk mensejahterakan
masyarakat tentu tak akan banyak yang mencela tapi bila sebaliknya yang
dijalankan bisa menyakiti rakyat inilah
yang berujung petaka bagi pejabat. Menumpuk
kekayaan dengan memperkaya diri sendiri (korupsi) maka inilah yang menjadi masalah
. Sebuah pelajaran buat kita semuanya.
*) Praktisi Pendidikan
Domisili di Gebang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar