Cerpen
ZIARAH
Bagian Ketiga
Oleh : Nurdin Kurniawan
Semalaman di bus tidak tidur karena
memang hari ini banyak sekali yang harus dituju. Dari satu makam ke makam yang
lainnya. Dari pihak panitia memang pernah mengatakan kalau ada 2 tempat peristirahatan
selama kita ziarah. Nyatanya kalau datang dari satu obyek ke obyek yang lainnya
hampir pagi-pagi terus maka tempat yang tadinya harus menjadi tempat istirahat
akhirnya dilewat begitu saja. Sekarang juga akan melanjutkan ke tempat ziarah
berikutnya yaitu Sunan Muria.
Tiba dilokasi Komplek Pemakaman
Sunan Muria sudah hanmpir subuh. Mampir di salah satu rumah penduduk yang sering digunakan
untuk keperluan MCK. Bersih-bersih dahulu sampai menungggu komplek pemakaman
dibuka untuk umum.
Banyak rumah-rumah disekitar komplek
pemakaman yang menyediakan jasa untuk sekedar lesehan atau untuk keperluan bersih-bersih.
Peziarah yang datang dari berbagai kota tentu memanfaatkan rumah yang seperti
ini untuk istirahat. Maklumlah perjalanan yang sangat panjang. Di rumah-rumah
yang seperti ini si Tuan Rumah juga biasanya menyediakan makanan dan minuman.
Tentunya kita harus merogoh kocek untuk pelayanan yang satu ini. Harganya terkangkau oleh para peziarah beda
sekali dengan lokasi obyek wisata non ziarah yang suka menggelembungkan
harga-harga. Para pedagang dilokasi ziarah sunggguh sangat mengerti dengan
kebutuhan para peziarah yang mencantumkan harga apa adanya.
Berjalan menyusuri jalanan yang
cukup menanjak kearah Komplek Pemakaman Sunan Muria. Tukang ojegnya sudah
tertata rapih. Tukang ojeg yang dari bawah tugasnya hanya mengantarkan para
peziarah keatas demikian pula dengan sebaliknya. Tukang ojeg yang dari atas
hanya mengantarkan peziarah dari atas dan pulangnya tidak boleh membawa
penumpang lagi. Ketika aku mencoba memberhentikan mereka entah kenapa mereka
tak mau mengantarkanku.
“Tidak muat Pak!”
Setiap tukang
ojeg yang hendak aku tumpangi mengatakan demikian. Aku lantas berfikir apa karena
memang tubuhku yang besar sehingga mereka mengatakan demikian atau karena
akunya yang memberhentikan bukan pada tempatnya. Entahlah! Tapi aku tak habis pikir
untuk terus saja jalan kaki agar tahu
kondisi komplek pemakanan di Sunan Muria yang seperti apa.
Berjalan terus menanjak membuatku
terasa sekali kewalahan. Maklumlah jarang olahraga tapi kini aku harus jalan
dengan relief tanah yang cukup terjal. Banyak juga para peziarah yang sengaja
jalan kaki. Aku pikir tanjakannya tidaklah seberapa sehingga aku menggunakan
jalan kaki sebagai pilihan. Setapak demi setapak tanjakan aku daki. Beberapa
kali terpaksa harus berhenti karena memang jalannnya yang cukup terjal. Walau sudah ada anak-anak
tanggga namun jumlahnya yang cukup banyak lagi menanjak membuat tubuh ini
berkeringat. Untuk mengatatur nafas maka aku beberapa kali berhenti. Dilihat ke
belakang ternyata cukup curam juga tanjakannya.
Peziarah yang masih muda-muda tak
banyak halangan untuk meniti anak tanggga yang katanya lebih dari 600 buah.
Sempat berhenti untuk menanyakan pada peziarah yang turun.
“Pak masih jauh tidak?”
“Setengahnya lagi Pak”
Wah… setengahnya
lagi! Yang ini juga sudah membuat diriku kewalahan ini masih setengahnya lagi
yang harus ditempuh. Tak mau kalah dengan para peziarah yang sudah tua namun
masih tetap melanjutkan perjalanann maka
akupun melangkah lagi.
Sepanjang kiri-kanan jalan memang
dipenuhi oleh para pedagang yang menjajakan berbagai macam cendera mata. Mulai
dari kaos, baju, pernak-pernik perhiasan dan macam-macam barang yang lainnya.
Barang yang dijual tentu mencirikan lokasi wisata . Ketika di Sunan Muria tentu
kaos dan pakaian yang dijual biasanya ada ornamaen Makam Sanan Muria. Banyak pula jajajan khas yang berasal
dari daerah Muria.
Dibawa melihat-lihat suasana seperti
di pasar membuat perjalanan yang cukup jauh akhirnya tak terasa sudah sampai.
Setelah di atas ternyata lokasinya cukup datar sehingga tak menguras seperti
ketika diawal-awal tadi. Berhenti sebentar untuk melihat-lihat orang yang
jualan berbagai macam cendera mata di Sunan Muria.
Memasuki komplek pemakaman Sunan
Muria sunggguh padat sekali. Rupanya di ruang utama yang tahlil begitu lama
sehingga pintu masuk ditutup dahulu
menungggu peziarah yang sudah ada didalam keluar. Setelah yang tahlilan ataupun
yang berdoa selesai maka pintu dibuka untuk peziarah berikutnya.
Subhanallah!
Baru melihat pertama kali yang namanya berziarah seperti ini. Orang datang dan pergi seolah tak pernah
berhenti. Tak mengenal waktu siang, sore, ataupun malam hari. Mereka datang dan
pergi untuk mendoakan Wali Allah yang telah banyak jasanya dalam mensiarkan
agama Islam.
Masuk perlahan-lahan karena antrian
yang cukup panjang. Berhenti dahulu di tengah jalan karena didepannya juga tak mau bergerak. Aku
lihat ada 4 rombongan yang sedang tahlilan. Tak ada tempat untuk bisa duduk
sampai yang 4 rombongan ini selesai berdoa. Gantian untuk bisa duduk juga.
Pak Kyai yang biasa mempimpin
tahlilan juga tidak ketemu. Entah mereka sudah berdoa lebih dahulu atau
bagaimana yang jelas tidak ada. Ada beberapa jamaah perempuan yang ikut denganku
. Mereka juga rupanya baru sampai di atas. Agar tidak rugi ditempat yang baik ini untuk mengikuti doa
berjamaah maka kami ikut dengan jamaah dari Surabaya untuk berdoa. Beda memang
karena ada urutan-urutan yang berbeda
untuk tahlilan dari beberapa kota yang pernah aku dengar tata caranya.
Kami ikut saja jangan banyak protes. Toh yang namanya berdoa itu bagus dan sangat
dianjurkan. Usai berdoa kamipun keluar meningggalakn Komplek Pemakanam Sunan Muria.
Jamaah yang ikut denganku rupanya
tadi berangkat mengggunakan motor ojeg. Mereka ingin mencoba menuruni tanggga
yang melelahkan itu. Tapi berhubung akunya sudah capai dan ingin naik ojeg saja
akhirnya mereka juga ikut naik ojeg. Ongkos ojeg baik naik ataupun turun adalah
Rp. 7.000.
Jangan tanya betapa ngerinya naik
ojeg di Muria. Jalannnya yang naik turun juga menemukan beberapa tikungan yang sangat
tajam. Tak ada istilah tukang ojeg pelan-pelan jalannya, semuanya ngebut. Bagi
yang tidak biasa tentu merem melek melihat tukang ojeg menjelankan kendarannya
seperti itu.
“Hati-hati Pak”
“Jangan ngebut!”
Rupanya tukang
ojeg tak mengindahkan keingianan penumpang.
“Kalau tidak ngebut motornya mogok
Pak!”
Wah bagimana
lagi? Kalau tidak ngebut katanya motornya mogok. Memang dijalan yang turun naik
dan jalannnya menikung seperti itu motor harus dalam keadaan prima. Sedikit saja
tak main gas tentu motor bisa berhenti di tengah jalan alias mogok. Tak mau
berdebat dengan tukang ojeg akhirnya aku merem-merem bila sudah menghadapi
tikungan yang sangat tajam. Pokoknya ingin cepat-cepat sampai ditempat tujuan.
Alhamdulillah.
Akhhirnya sampai juga di areal parkir. Jantung masih spot dengan rute yang cukup menakutkan. Kalau saja dihadapkan pada
pilihan untuk naik ojeg lagi sepertinya akan pikir-pikir. Tukang ojegnya untung
sudah sangat mengetahui medan sehingga mereka biasa saja dengan rute yang
seperti itu juga.
Dari Makam Sunan Gunung Djati lalu
ke Sunan Muria dua-duanya dikuburkan di daerah yang lebih tingggi. Inilah
pilihan tempat terakhir para Wali dengan memilih tempat yang lebih tingggi. Subhanallah! Semoga Allah memberikan
tempat yang layak untuk para kekasih Alllah ini.
Udara yang sejuk telah memberikan
tempat tersendiri untuk para kekasih Allah. Mereka tenang di tempat yang tingggi.
Makamnya tak pernah sepi dari para peziarah yang datang silih berganti.
Kumandang tahlil, takbir dan tahmid
tak pernah sepi. Inilah kekasih Allah yang selalu didoakan oleh para
pengikutnya sampai akhir zaman. Jasa orang yang baik tentu akan selalu dikenang
sampai akhir zaman. Sungguh beruntung orang-orang yang telah banyak jasanya
bagi nusa, bangsa dan agamanya yang selalu didoakan oleh para peziarah.
Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Segala puji bagi Allah yang telah
menempatkan hamba pilihannya ditempat peristirahatan terakhir. Semoga damai dan
diluaskan alam kuburnya, amien.
Cirebon, 18 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar