Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Senin, 24 Juni 2019

R E N T E N I R (Cerpen)


.Cerpen
R E N T E N I R
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Terbujur kaku di tempat tidur sudah memasuki tahun ketujuh semenjak Rio mengalami kecelakaan lalu-lintas. Hanya ditemani 3 anaknya yang mengurusi keperluan sehari-hari. Kadang  Lia anak pertamanya mengeluh dengan melihat kondisi sang bapak yang sudah tidak bisa apa-apa. Kamar yang dahulu penuh dengan keceriaan kini berubah menjadi kamar gelap yang baunya tidak karuan. Rio melakukan segala sesuatuya di tempat tidur. Kenti sang istri sudah 2 kali kontrak kerjanya habis lalu sekarang memperpanjang lagi untuk kembali kerja di Arab. Kini tulangpunggung kegala keuangan justru ada pada Kenti.
            Satu per satu apa yang ada di rumah melayang hanya untuk berobat Rio. Masyarakat di desa ini mengakui kalau Rio dulunya adalah seorang pemuda yang sukses. Baru pulang dari Korea merintis bisnis kecil-kecilan di kampung. Segala macam usaha setelah pulang dari Korea dicoba. Tak selamanya mulus menjalankan usaha malah rugi yang didapat. Sampai akhirnya Rio mulai mengenal bisnis meminjamkan uang. Masyakat didesanya mengatakan apa yang dilakukan Rio sama dengan renten. Rio sendiri tidak merasakannya kalau sudah masuk katagori renten. Jadilah Rio  sebagai rentenir orang menjulukinya.
            Kebutuhan orang banyak sekali yang harus ditutup. Bahkan sesuatu yang tidak dibutuhkan juga kadangkala dipaksa-paksakan untuk dimiliki.  Melihat peluang seperti itu Rio lalu merambah bisnisnya dengan jual beli emas. Emas yang dijualkan pada tetangganya dengan cara diangsur. Bisnis seperti ini memberi peluang pada bisnis yang sebelumnya sudah dia geluti. Perhiasan emas lalu dibisniskan mengikuti cara-cara renten.
            “Ini cincin harganya 2 juta”
            “Bu Lili boleh  cicil 10 kali”
            “Murah kok hanya 230 ribu saja”
            “Biasa surat- emasnya sebelum lunas saya tahan dahulu”
            “Bila tidak bisa bayar dengan pokoknya ibu bayar bunganya saja”
Ternyata apa yang disyaratkan banyak pula yang setuju. Bisnis seperti ini ternyata menguntungkan bagi rio. Modal yang dahulu sempat rugi akibat tak bisa mengelola dengan baik kini mulai terkumpul lagi.
            Persaingan bisnis yang kian ketat membuat rio juga menerapkan cara-cara premanisme. Apabila ada nasabahnya yang tidak bisa melunasi 3 kali berturut-turut itu barangnya  ia sita lagi. Angsuran yang sudah berjalan dianggap hilang.
            “Pak Rio masa diambil emasnya”
            “Angsuran saya sebelumnya bagaimana?”tanya Wariah sambil merintih
            “Anggap saja ibu menyewa kalung  saya”
            “Wajar kan kalau saya ambil lagi!”
Pantas saja usaha yang seperti ini mempercepat pundi-pundi Rio. Apa yang dillakukan Rio banyak yang ngomongi.
            “Dasar rentenir”
            “Janji awalnya tidak seperti itu!”
Ucapan apapun yang ditujukan pada dirinya seolah tak mempan buat Rio. Rio  yang masih anak orang terpandang didesanya mulai  diomongkan banyak orang. Rubai sebagai orangtua tak enak juga punya anak disebut sebagai rentenir. Sebagai orang yang hidupnya tak jauh dari masjid tak enak juga mendengarkan omongan orang. Namun ia juga tak bisa berbuat banyak kerena memang seperti itulah profesi yang dijalani sang anak.
            Urusan rejeki adalah urusan Allah. Usaha yang dilakukan Rio mengalami jaya-jayanya.  Omsetnya sudah ratusan juta rupiah. Dibalik kesuksesan Rio rupanya Allah berkehendak lain agar anak seorang lebe ini kembali pada agamanya. Habis dari menagih pada nasabahnya yang macet ia membawa uang cukup banyak. Diperjalanan pulang sepeda motor yang dibawanya ditabrak mobil sedan dari belakang. Supir mobil tewas ditempat kejadian manun Rio tak sadarkan diri. Di rumahsakit ucukup lama berobat namun tidak memberikan hasil yang memuaskan. Sejak mengalami celaka sampai memasuki bulan ke-6 Rio masih belum juga sadar. Pundi-pundinya yang sudah lama menggunung kini berangsur-angsur habis digunakan untuk berobat. Apa yang ada di rumah lalu satu per satu habis dijual. Sampai akhirnya sang istri juga kewalahan untuk membiayai hidup sehari-hari . 
Tak bisa hanya berdiam diri. Sebagai istri Kenti berusaha juga bekerja namun apa yang dihasilkan tak sebanding dengan tenaga yang ia keluarkan. Lama merenung akhirnya tercetus niatan untuk kerja sebagai TKW. Kenti hanya melirik pada anak-anaknya.
“Mamah mau kerja di Arab saja”
“Kalian harus mengerti”
“Ini semua dilakukan buat membantu pengobatan ayah kamu”
Anak-anak Kenti hanya diam saja tak memberikan jawaban permintaan sang mamah. Semuanya serba sulit. Memang untuk keseharian saja  susah apalagi kalau sang mamah tidak bekerja. Dengan terpaksa akhirnya Kenti menjadi TKW.
            Masuk tahun kesepulah apa yang diderita Rio seperti tak ada perkembangan. Rio bagaikan mayat hidup yang sudah tidak bisa apa-apa. Hanya kesetiaan sang anak yang sanggup melakukan ini semua. Kenti sebagai sang istri tak bisa bertahan lama mengurusi sang suami yang sudah tidak bisa apa-apa. Lama menantikan belaian sang kekasih rupanya bersambut. Di Arab rupanya ia mengenal  cinta lokasi dengan sang supir majikannya yang juga sama-sama dari Indonesia. Dari sinilah Kenti akhirnya meminta cerai. Rio kini hanya diurusi oleh ketiga anaknya dan sang kakek.
            Tatapannya kosong seperti tidak ada peristiwa yang menggemparkan sebelumnya. Mulutnya menganga tak bisa menutup sama sekali. Kadang air liur menetes begitu saja. Pemuda yang dulunya ganteng , uang banyak dengan bisnisnya yang lumayan aduhai kini tidak bisa kemana-manna. Rio hanya tergolek di kasur. Saudara-saudara yang jauhpun ikut kasihan dengan nasib Rio. Kadang mereka suka memberikan apa saja hanya sekedar  anak-anak Rio bisa makan.
                                                                        ***
            Kejatuhan usaha ataupun diberikannya penyakit pada diri manusia  bisa jadi merupakan suatu ujian bagi manusia. Allah Maha Mengasihi sehingga untuk meningkatkan derajat seseorang maka diberilah ujian. Kalau saja manusia bisa mencermati apa yang diberikan Allah tentu manusia akan selalu berhati-hati. Sayangnya setiap dibei ujian kita selalu ceroboh dan cenderung mengabaikan apa arti dari ujian yang sedang diberikan pada kita.
            Rio sudah beberapa kali ditipu sehingga modal emasnya banyak yang hilang. Namun ia tidak sadar kalau itu adalah ujian  agar ia bertobat untuk tidak melakukan usaha renten. Sudah beberapa kali ditipu juga tetap saja orang yang satu ini tidak sadar. Sampai akhirnya ia harus berbaring lama koma di rumah sakit. Kalau sudah seperti ini barulah orang-orang disekitarnya bisa membaca. Kalau apa yang ditimpakan pada Rio diawal-awal adalah sebagai teguran. Ditegur beberapa kali tidak mempan sampai akhirnya mengalami kecelakaan lalu-lintas, Rio ditabrak. Koma berbulan-bulan dan kini hanya bisa berbaring tanpa bisa melakukan aktivitas apa-apa.
            Bayak cara yang dilakukan manusia untuk mencari untung. Selama apa yang dilakukan adalah hal-hal yang wajar dan sesuai dengan tuntunan agama tentunya tak menjadi masalah. Carilah rejeki yang baik lagi halal. Kedarah kita dan turunan kita akan memberikan efek yang baik. Anak-anak sehat dan berprestasi, tidak menjadi beban di masyarakat. Inilah jalan dari rejeki yang halal. Coba perhatikan dari anak-anak yang orangtuanya korupsi ataupun dari rejeki yang tidak halal. Mana ada mengallir darah yang baik pada anak seperti itu. Kelak suatu hari manakala ia mempunyai jabatan tak beda jauh dengan kelakuan orangtuanya. Selagi Allah belum memberikan teguran akan saja seperti itu. Barulah setelah ditegur Yang Maha Kuasa ada rasa penyesalan. Sebuah penyesalan yang tidak bisa membalikkan cerita.

                                                                                                Cirebon, 4 Pebruari 2014
                                                                                                nurdinkurniawan@ymail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar