Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Senin, 24 Juni 2019

T A B L I G (Cerpen)


Cerpen
T  A  B  L  I  G
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Orangtua yang mengantar anak-anak sekolah di PAUD menyaksikan dari kejauhan serombongan jamaah yang sedang asyik memasak disalah satu sudut masjid. Jumlahnya cukup banyak juga untuk satu rombongan ada kuranglebih 16 orang. Dua orang yang bertugas memasak kali ini adalah Johan dan Narto. Tak disangka dua orang ini rupanya jago juga dalam hal masak memasak. Profesi Johan yang dokter tak membuatnya canggung dalam hal masak memasak. Entah masakan apa yang kali ini ia coba suguhkan pada jamaah yang sudah menanti dari pagi.
            “Akhirnya masak juga!”
Johan menyeka keringat yang membahasi dahi dengan sapu tangan. Masak sayuran dan nasi yang sudah siap itu lalu dibagi-bagi menjadi sejumlah orang yang ada. Ternyata pas juga perkiraannya dengan jumlah orang yang ada. Kekhawatiran kurang malah tidak terbukti. Untungnya saja jamaah yang ada tidak suka banyak makan. Dapat seadanya dari petugas yang membagikan rasanya sudah lebih dari cukup.
            “Sahabat-sahabat sudah siap nih”
Beberapa kawan Johan yang tadi bergerombol membincangkan masalah-masalah agama mendekat di samping emper masjid. Memanjang berderet sesuai dengan jumlah orang yang ada. Berhadap-hadapan menikmati hidangan ala kadarnya seperti yang disuguhkan sekarang sungguh sangat menggoda. Apalagi semalam jamaah sibuk dengan  kiyamul lail.
            Tak ada nama organisasi yag disandang secara resmi untuk jamaah yang satu ini. Namun orang-orang ada yang mengatakannya Jamaah Tablig. Ada pula yang mengatakannya Jamaah Khuruj. Misi dakwah adalah tugas yang diemban dari jamaah ini . Apa yang dilakukan hanya berdakwah dan berdakwah. Dari satu masjid ke masjid yang lainnya.
            “Tugas kami hanyalah berdakwah”
            “Menghidupkan dakwah yang mulai ditinggalkan oleh orang-orang”
            “Kami tidak membawa nama bendera organisasi ataupun aliran tertentu”
            “Misi kami hanyalah berdakwah , menghidupkan kembali apa yang telah diajarkan Rosulnya”
Demikian yang pernah didengar oleh Wawan ketika   ingin mengetahui rombongan yang jumlahnya cukup banyak mampir dimasjid dimana ia mukim.
            Masjid Al Barokah memang misjid yang tidak mencirikan golongan tertentu atau milik jamaah tertentu. Masyarakat disini sudah sangat heterogen, kalau mau dibilang madanipun okelah. Siapapun yang datang tidak akan dipermasalahkan.  Asalkan tidak dakwah yang membawa sara didalamnya ataupun seperti yang sekarang lagi ngetren dengan dakwah-dakwah yang keras lalu menggiring pada terorisme. Kalau sudah ada bau sara sepeerti ini tentu saja oleh masyarakat disini akan ditolak. Namun misi dakwah dari jamaah tablig memang sangat bisa dimengerti dan memang membawa misi dakwah seperti yang diajarkan Rosulullah.
            Ibu-ibu yang mengantarkan anaknya sekolah di PAUD hanya menyaksikan apa yang dilalukan oleh kaum pria yang ada di masjid. Letak PAUD memang berdampingan dengan masjid. Keberadaan para jamaah itu memang tidak mengganggu hanya saja mungkin baru pertama kali dilihat jadi wajar bila jadi pusat perhatian. Laki-laki yang ada ternyata pandai memasak, pandai mencuci pakaiannya sendiri.
            “Apa anak istrinya tidak mencari?”tannya Titin
            “Mungkin sudah biasa kali dengan apa yang dilakukan sang suami”
            “Kasihan juga kan terlalu lama ditinggal sang suami?”
            “Ah...kalau istri-istri seperti itu sudah teruji ketabahannya jadi seperti sudah biasa”
            “Kamu tahu dari mana?”
            “Ada juga tetangga saya yang ikut seperti itu dan dirumahnya biasa-biasa saja”
            “Oh...begitu!”
            Misi dakwahnya ternyata banyak pula manfaat yang diperoleh dari penduduk sekitar terutama anak-anak. Usai sholat wajib kadang jamaah memberikan ceramah keagamaan. Anak-anak yang berada disamping masjid yang juga sekolah madrasah diniyyah ikut mendengarkan apa yang disampaikan. Begitu pula bila usai sholat maghrib. Jamaah selalu menyempatkan waktu untuk memberikan ceramah  walau hanya beberapa menit saja. Kadang sambil menunggu sholat isya anggota jamaah berbaur dengan anak-anak . Ada yang bercerita tentang kisah nabi-nabi, bercerita tentang orang-orang sufi dahulu. Pokoknya apa yang mereka dongengkan adalah kisah-kisah para nabi, para sahabat yang perlu ditiru keteladannya.
            “Ada yang tahu siapakah itu Abdul Muthalib?”
Anak-anak hanya diam mendengarkan apa yang ditanyakan salah seorang jamaah. Rupanya mereka ragu ingin  menunjukkan jarinya. Akhirnya Ustad Narto yang tadi dikelilingi anak-anak lalu menjelaskan siapa Abdul Mutholib. Berlanjutkan cerita tentang orang-orang dekat nabi sampai akhirnya tidak terasa terdengar adzan isya.
            Berbaur tak ada kesan memisahkan diri atau ekslusif beda dengan yang lainnya. Keberadaan Jamaah Khuruj memang bisa diterima masyarakat. Tak ada yang aneh dengan perilakunya yang membuat jamaah ini bisa diterima keberadaannya. Usai sholat isya membaur dengan jamaah yang menjadi tuan rumah.
            “Dari mana asalnya pak?”
            “Oh saya dari Medan”
            “Jauh juga ya...?”
Orang yang diajak bicara hanya tersenyum. Hari ini adalah hari ketiga rombongan berada di masjid ini. Begitu kompak apa yang terihat.
            “Bagaimana tidurnya kemarin malam?”
            “Enak pak , tidak dirasakan apa-apa tahu-tahu sudah pagi saja”
Ya...mereka ini hanya tidur dilantai masjid yang tidak semuanya berkarpet. Oleh ketua DKM disediakan satu ruangan yang dipakai gudang untuk menyimpan segala macam keperluaan jamaah.
            “Sudah berumahtangga?”
            “Oh saya sudah punya anak 3”, jawabnya pendek
            “Kalau lagi dakwah seperti ini anak-anak dengan siapa?”
            “Istri saya yang menjaganya”
            “Kami sudah mempersiapkan segala sesuatunya bila hendah dakwah”
Wawan hanya mengangguk-anggukkan kepala salut dengan pengorbanan para istri yang sering ditingggal jauh oleh suaminya.
            “Lalu biaya selama dalam perjalanan melakukan dakwah seperti ini dari mana?”
Narto yang mendapat banyak pertanyaan selalu memberikan jawaban yang diminta. Kesempatan pula kalau ada penduduk yang ingin mengetahui misi dakwahnya. Lagipula sudah diamanatkan oleh sang ketua untuk tidak menyusahkan penduduk lokal yang didatangi. Berikan penjelaskan yang sejelas-jelasnya manakala ada yang ingin mengetahui misi dakwah yang diemban.
            “Kami  sebelum berangkat sudah meningggalkan uang Rp. 3 juta buat  anak-istri”
            “Di rumah juga kebetulan istri jualan kecil-kecilan”
            “Jadi kami dalam berdakwah juga tidak khawatir dengan masalah makan anak-anak!”
Sekali lagi Wawan hanya mengagguk-angguk mendengarkan apa yang diberikan salah seorang Jamaah Tablig. Tak terasa masakan yang dibuat salah seorang jamaah sudah siap untuk disantap. Rupanya kali ini adalah waktunya makan malam. Wawan tak enak barangkali keberadaannya akan mengganggu jatah makan yang sudah pas buat sejumlah rombongan
            “Saya permisi dulu!”
            “Oh...pak, waktunya makan nih!”
            “Bagaimana kalau makan dulu?”
            “Oh iya terimakasih nanti saja”
Wawan      buru-buru permisi barangkali kehadirannya akan mengganggu kenikmatan rombongan yang sebentar lagi akan santap malam.
                                                                        ***
            Musim hujan yang sedang melanda pesisir Jawa bagian utara tak dirasakan oleh para jamaah. Malam yang makin larut diisinya dengan sholat tahajud. Mendekatkan diri pada yang Maha Kuasa. Sesekali hanya terdengar kalimat tauhid yang mereka ucapkan menunggu senja tiba.
            Hari ini adalah hari terakhir  keberadaan Jamaah Tablig. Setelah dari sini perjalanan akan dilanjutkan lagi pada masjid yang lain. Perjalanan yang tentunya masih sangat jauh dan entah sampai kapan? Tak peduli hujan dengan petirnya yang saling menyambar. Masih ada perjalanan lain lagi yang harus ditempuh. Selagi melihat masjid yang sepi hati ini tak akan merasa senang. Masjid harus diiisi dengan berbagai kegiatan keagamaan. Mengisi masjid dengan ceramah-ceramah yang akan selalu mengingatkan jamaah akan keberadaan Allah Yang Maha Esa.
            Usai sholat shubuh jamaah kembali berkemas-kemas. Tas ransel besar yang dimiliki setiap orangnya mulai penuh kembali.  Peralatan masak yang senantiasa melayani kebutuhan  makanan jamaah dirapikan kembali. Kali ini adalah masjid  desa tetangga yang akan dikunjungi. Dari satu masjid ke masjid yang lain. Menyampaikan apa yang perlu disampaiakan demi perjuangan dakwah. Tablig, tablig dan tablig sampai masyarakat menjadi terang dengan apa yang perlu disampaikan. Tak peduli orang ngomong begini dan begitu. Sudah menjadi suatu resiko kalau yang  namanya dakwah pasti ada saja tantangan dan hambatannya.
            Usai beres-beres di masjid yang akan ditinggalkan, sudah terlihat bersih semua lalu ketuanya pamit pada DKM.
            “Masih ada yang harus kami tuju”
            “Masih ada masjid lain yang harus diisi dengan kegiatan-kegiatan dakwah kami”
            “Kami mohon maaf kiranya keberadaan kami mengganggu jamaah disini”
Ketua DKM yang merasakan kehangatan rombongan tentu tidak mempermasalahkan kedatangan mereka lagi suatu saat.
            “Tidak usah sungkan-sungkan”
            “Bilamana suatu saat akan ke desa kami lagi maka    pintu selalu terbuka”
Sambil menunduk mohon pamit akhirnya rombongan yang berjumlah 16 orang itu melanjutkan perjalannya lagi.
            Berderet bejalan memanjang dengan bawaan yang cukup banyak.  Perjalanan masih sangat panjang. Sebelum 4 bulan masa berdakwah habis, selalu dan selalu seperti itu yang dilakukan. Dari satu masjid ke masjid yang lain. Dari suatu suasana ke suasana yang lain. Tak lain keberadaannya hanya untuk memyampaikan dienul Islam. Tablig dan terus bertablig.

                                                                                                Cirebon, 23 Pebruari 2014
                                                                                               nurdinkurniawan@ymail.com          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar