Cerpen
T A B
L I G
Oleh : Nurdin Kurniawan
Orangtua
yang mengantar anak-anak sekolah di PAUD menyaksikan dari kejauhan serombongan
jamaah yang sedang asyik memasak disalah satu sudut masjid. Jumlahnya cukup
banyak juga untuk satu rombongan ada kuranglebih 16 orang. Dua orang yang
bertugas memasak kali ini adalah Johan dan Narto. Tak disangka dua orang ini
rupanya jago juga dalam hal masak memasak. Profesi Johan yang dokter tak membuatnya
canggung dalam hal masak memasak. Entah masakan apa yang kali ini ia coba
suguhkan pada jamaah yang sudah menanti dari pagi.
“Akhirnya
masak juga!”
Johan menyeka keringat yang membahasi
dahi dengan sapu tangan. Masak sayuran dan nasi yang sudah siap itu lalu
dibagi-bagi menjadi sejumlah orang yang ada. Ternyata pas juga perkiraannya dengan
jumlah orang yang ada. Kekhawatiran kurang malah tidak terbukti. Untungnya saja
jamaah yang ada tidak suka banyak makan. Dapat seadanya dari petugas yang membagikan
rasanya sudah lebih dari cukup.
“Sahabat-sahabat
sudah siap nih”
Beberapa kawan Johan yang tadi
bergerombol membincangkan masalah-masalah agama mendekat di samping emper
masjid. Memanjang berderet sesuai dengan jumlah orang yang ada.
Berhadap-hadapan menikmati hidangan ala kadarnya seperti yang disuguhkan sekarang
sungguh sangat menggoda. Apalagi semalam jamaah sibuk dengan kiyamul
lail.
Tak
ada nama organisasi yag disandang secara resmi untuk jamaah yang satu ini.
Namun orang-orang ada yang mengatakannya Jamaah Tablig. Ada pula yang mengatakannya
Jamaah Khuruj. Misi dakwah adalah tugas yang diemban dari jamaah ini . Apa yang
dilakukan hanya berdakwah dan berdakwah. Dari satu masjid ke masjid yang
lainnya.
“Tugas
kami hanyalah berdakwah”
“Menghidupkan
dakwah yang mulai ditinggalkan oleh orang-orang”
“Kami
tidak membawa nama bendera organisasi ataupun aliran tertentu”
“Misi
kami hanyalah berdakwah , menghidupkan kembali apa yang telah diajarkan
Rosulnya”
Demikian yang pernah didengar oleh Wawan
ketika ingin mengetahui rombongan yang
jumlahnya cukup banyak mampir dimasjid dimana ia mukim.
Masjid
Al Barokah memang misjid yang tidak mencirikan golongan tertentu atau milik
jamaah tertentu. Masyarakat disini sudah sangat heterogen, kalau mau dibilang madanipun okelah. Siapapun yang
datang tidak akan dipermasalahkan.
Asalkan tidak dakwah yang membawa sara didalamnya ataupun seperti yang
sekarang lagi ngetren dengan dakwah-dakwah yang keras lalu menggiring pada
terorisme. Kalau sudah ada bau sara sepeerti ini tentu saja oleh masyarakat
disini akan ditolak. Namun misi dakwah dari jamaah tablig memang sangat bisa
dimengerti dan memang membawa misi dakwah seperti yang diajarkan Rosulullah.
Ibu-ibu
yang mengantarkan anaknya sekolah di PAUD hanya menyaksikan apa yang dilalukan
oleh kaum pria yang ada di masjid. Letak PAUD memang berdampingan dengan
masjid. Keberadaan para jamaah itu memang tidak mengganggu hanya saja mungkin
baru pertama kali dilihat jadi wajar bila jadi pusat perhatian. Laki-laki yang
ada ternyata pandai memasak, pandai mencuci pakaiannya sendiri.
“Apa
anak istrinya tidak mencari?”tannya Titin
“Mungkin
sudah biasa kali dengan apa yang dilakukan sang suami”
“Kasihan
juga kan terlalu lama ditinggal sang suami?”
“Ah...kalau
istri-istri seperti itu sudah teruji ketabahannya jadi seperti sudah biasa”
“Kamu
tahu dari mana?”
“Ada
juga tetangga saya yang ikut seperti itu dan dirumahnya biasa-biasa saja”
“Oh...begitu!”
Misi
dakwahnya ternyata banyak pula manfaat yang diperoleh dari penduduk sekitar
terutama anak-anak. Usai sholat wajib kadang jamaah memberikan ceramah
keagamaan. Anak-anak yang berada disamping masjid yang juga sekolah madrasah diniyyah ikut mendengarkan apa
yang disampaikan. Begitu pula bila usai sholat maghrib. Jamaah selalu
menyempatkan waktu untuk memberikan ceramah
walau hanya beberapa menit saja. Kadang sambil menunggu sholat isya
anggota jamaah berbaur dengan anak-anak . Ada yang bercerita tentang kisah
nabi-nabi, bercerita tentang orang-orang sufi dahulu. Pokoknya apa yang mereka
dongengkan adalah kisah-kisah para nabi, para sahabat yang perlu ditiru keteladannya.
“Ada
yang tahu siapakah itu Abdul Muthalib?”
Anak-anak hanya diam mendengarkan apa yang
ditanyakan salah seorang jamaah. Rupanya mereka ragu ingin menunjukkan jarinya. Akhirnya Ustad Narto
yang tadi dikelilingi anak-anak lalu menjelaskan siapa Abdul Mutholib.
Berlanjutkan cerita tentang orang-orang dekat nabi sampai akhirnya tidak terasa
terdengar adzan isya.
Berbaur
tak ada kesan memisahkan diri atau ekslusif beda dengan yang lainnya.
Keberadaan Jamaah Khuruj memang bisa diterima masyarakat. Tak ada yang aneh
dengan perilakunya yang membuat jamaah ini bisa diterima keberadaannya. Usai
sholat isya membaur dengan jamaah yang menjadi tuan rumah.
“Dari
mana asalnya pak?”
“Oh
saya dari Medan”
“Jauh
juga ya...?”
Orang yang diajak bicara hanya tersenyum.
Hari ini adalah hari ketiga rombongan berada di masjid ini. Begitu kompak apa
yang terihat.
“Bagaimana
tidurnya kemarin malam?”
“Enak
pak , tidak dirasakan apa-apa tahu-tahu sudah pagi saja”
Ya...mereka ini hanya tidur dilantai
masjid yang tidak semuanya berkarpet. Oleh ketua DKM disediakan satu ruangan yang
dipakai gudang untuk menyimpan segala macam keperluaan jamaah.
“Sudah
berumahtangga?”
“Oh
saya sudah punya anak 3”, jawabnya pendek
“Kalau
lagi dakwah seperti ini anak-anak dengan siapa?”
“Istri
saya yang menjaganya”
“Kami
sudah mempersiapkan segala sesuatunya bila hendah dakwah”
Wawan hanya mengangguk-anggukkan kepala
salut dengan pengorbanan para istri yang sering ditingggal jauh oleh suaminya.
“Lalu
biaya selama dalam perjalanan melakukan dakwah seperti ini dari mana?”
Narto yang mendapat banyak pertanyaan
selalu memberikan jawaban yang diminta. Kesempatan pula kalau ada penduduk yang
ingin mengetahui misi dakwahnya. Lagipula sudah diamanatkan oleh sang ketua
untuk tidak menyusahkan penduduk lokal yang didatangi. Berikan penjelaskan yang
sejelas-jelasnya manakala ada yang ingin mengetahui misi dakwah yang diemban.
“Kami sebelum berangkat sudah meningggalkan uang
Rp. 3 juta buat anak-istri”
“Di
rumah juga kebetulan istri jualan kecil-kecilan”
“Jadi
kami dalam berdakwah juga tidak khawatir dengan masalah makan anak-anak!”
Sekali lagi Wawan hanya mengagguk-angguk
mendengarkan apa yang diberikan salah seorang Jamaah Tablig. Tak terasa masakan
yang dibuat salah seorang jamaah sudah siap untuk disantap. Rupanya kali ini
adalah waktunya makan malam. Wawan tak enak barangkali keberadaannya akan
mengganggu jatah makan yang sudah pas buat sejumlah rombongan
“Saya
permisi dulu!”
“Oh...pak,
waktunya makan nih!”
“Bagaimana
kalau makan dulu?”
“Oh
iya terimakasih nanti saja”
Wawan buru-buru permisi barangkali kehadirannya
akan mengganggu kenikmatan rombongan yang sebentar lagi akan santap malam.
***
Musim
hujan yang sedang melanda pesisir Jawa bagian utara tak dirasakan oleh para jamaah.
Malam yang makin larut diisinya dengan sholat tahajud. Mendekatkan diri pada
yang Maha Kuasa. Sesekali hanya terdengar kalimat tauhid yang mereka ucapkan
menunggu senja tiba.
Hari
ini adalah hari terakhir keberadaan Jamaah
Tablig. Setelah dari sini perjalanan akan dilanjutkan lagi pada masjid yang
lain. Perjalanan yang tentunya masih sangat jauh dan entah sampai kapan? Tak
peduli hujan dengan petirnya yang saling menyambar. Masih ada perjalanan lain
lagi yang harus ditempuh. Selagi melihat masjid yang sepi hati ini tak akan
merasa senang. Masjid harus diiisi dengan berbagai kegiatan keagamaan. Mengisi
masjid dengan ceramah-ceramah yang akan selalu mengingatkan jamaah akan keberadaan
Allah Yang Maha Esa.
Usai
sholat shubuh jamaah kembali berkemas-kemas. Tas ransel besar yang dimiliki
setiap orangnya mulai penuh kembali.
Peralatan masak yang senantiasa melayani kebutuhan makanan jamaah dirapikan kembali. Kali ini
adalah masjid desa tetangga yang akan dikunjungi.
Dari satu masjid ke masjid yang lain. Menyampaikan apa yang perlu disampaiakan
demi perjuangan dakwah. Tablig, tablig
dan tablig sampai masyarakat menjadi terang dengan apa yang perlu
disampaikan. Tak peduli orang ngomong begini dan begitu. Sudah menjadi suatu
resiko kalau yang namanya dakwah pasti
ada saja tantangan dan hambatannya.
Usai
beres-beres di masjid yang akan ditinggalkan, sudah terlihat bersih semua lalu
ketuanya pamit pada DKM.
“Masih
ada yang harus kami tuju”
“Masih
ada masjid lain yang harus diisi dengan kegiatan-kegiatan dakwah kami”
“Kami
mohon maaf kiranya keberadaan kami mengganggu jamaah disini”
Ketua DKM yang merasakan kehangatan
rombongan tentu tidak mempermasalahkan kedatangan mereka lagi suatu saat.
“Tidak
usah sungkan-sungkan”
“Bilamana
suatu saat akan ke desa kami lagi maka
pintu selalu terbuka”
Sambil menunduk mohon pamit akhirnya
rombongan yang berjumlah 16 orang itu melanjutkan perjalannya lagi.
Berderet
bejalan memanjang dengan bawaan yang cukup banyak. Perjalanan masih sangat panjang. Sebelum 4
bulan masa berdakwah habis, selalu dan selalu seperti itu yang dilakukan. Dari
satu masjid ke masjid yang lain. Dari suatu suasana ke suasana yang lain. Tak
lain keberadaannya hanya untuk memyampaikan dienul
Islam. Tablig dan terus bertablig.
Cirebon,
23 Pebruari 2014
nurdinkurniawan@ymail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar