Cerpen
L
A N I
Oleh : Nurdin Kurniawan
Terdiam seisi kamar yang terdiri
dari 4 orang penghuninya. Rumah petak yang terdiri dari 4 pintu ini memang
dihuni oleh 4 penyewa yang berbeda. Satu pintu hanya ada 2 kamar yaitu satu kamar
tamu dan satu kamar tidur. Kadang yang namanya ruang tamupun untuk tidur kalau
sudah malam. Lani menghuni salah satu kamar dengan 3 orang temannya. Semuanya sama
bekerja sebagai pedagang asongan di kereta api. Keempat orang ini saling curiga
ketika Lani kehilangan uang.
“Uang itu sudah dua bulan saya
kumpulkan”
“Masa sih ada yang mengambil”
Lani tidak
menuduh pada teman sekamarnya yang mengambil namun fakta uangnya telah hilang dari tas tidak
terbantahkan. Dibuka bolak-balik isi tas
tak ada uang sepeserpun yang tersisa. Sampai malam Lani murung karena misteri
hilangnya uang belum juga terpecahkan. Ridwan yang dituakan di kamar ini juga
tidak mau berprasangka yang tidak-tidak pada yang lainnya. Ia yakin kalau orang
yang masih satu kampung ini tidak akan melakukan hal sejauh itu pada teman
sekamar.
Masih ada modal berupa barang
dagangan yang kemarin belum laku.
Dagangan sekotak inilah yang menjadi
harapan bagi Lani untuk bisa mengais kembali lagi rejekinya yang hilang. Teman
sekamarpun pada mengerti dengan ikut mentraktir makan Lani dalam beberapa hari
ini. Itulah pentingnya arti sebuah persaudaraan. Uang hilang barangkali masih
bisa dicari lagi. Sama-sama dirantau harus saling memahami dan saling membantu.
Sakit salah satunya maka sakit semua penghuni kamar ini.
“Ayo kita berangkat”
Empat anak muda
yang semuanya berprofesi sebagai pedagang asongan jalan bersama-sama. Stasiun
Jatinegara memang tak jauh dari rumah kontrakan Lani dan kawan-kawan. Mengambil
posisi menyebar menerapkan strategi dagang agar bisa mengais rejeki dengan
cepat.
Stasiun di hari Senin terlihat ramai bila dengan hari-hari yang
lainnya. Penumpang yang keluar dan masuk Jakarta lebih padat dari hari-hari
biasanya. Walau pedagang asongan dilarang masuk areal stasiun namun bagi Lani dan Nasihin sudah bukan hal
yang aneh lagi. Berbagai celah ternyata masih bisa ditembus. Memang sih
beberapa kali razia yang namanya pedangang asongan kalau lagi apes terjaring
juga. Berbekal pengalaman inilah pedagang asongan suka pinter-pinternya
mengatur stategi agar jangan sampai terkena trantib.
Berat dagangan yang digendong
didepan mulia terasa berkurang, ini artinya beberapa dagangan seperti minuman
mineral, susu, teh kotak, rokok mulai berkurang. Sungguh senang dagangannya
sudah habis setengahnya. Kadang di pinggir stasiun Bang Boim si pedagang yang
suka mensuplai barang dagangan suka menawari lagi barang-barang yang akan
dijual. Tinggal ambil semauanya tinggal nanti pembayaran diakhir. Namun kali
ini Lani tidak mau diambil pusing oleh tawaran Bang Boim. Ia lebih memilih menghabiskan
sisa dagangannya.
Pedagang asongan yang ada digerbong depan memberikan
kode pada pedagang asongan yang lain. Kode itu bisa diterjemahkan sebagai kode
adanya razia. Tak heran pedagang asongan yang ada digerbong berhamburan meninggalkan
kereta api yang jalannya mulai melambat karena memasuki stasiun. Lani yang
masih meladeni pembeli masih juga menghitung uang kembalian yang akan diberikan
. Transaksinya yang belum selesai ini menjadi petaka buat Lani. Di gerbong
kereta yang ia naiki sudah ada beberapa polisi khusus kereta api dan satpol PP yang naik. Mau lari
ke gerbong yang ada dibelakangnya juga sedemikian karena sudah ada Satpol PP
yang naik. Lani digiring ke kantor Polisi
Khusus kereta api. Barang dagangannya semuanya disita sebagai bukti pelanggaran.
Walau Lani sudah mengajukan berbagai keberatan namun usahanya ini sia-sia.
“Pak ini barang dagangan buat
menyambung hidup”
“Kembalikan barang dagangan saya
pak?”
Mengiba-iba juga
tak membuat polsus kereta api tak menghiraukan.
“Diam kamu!”
Sentakan itulah
yang membuat Lani diam . ia tak ingin masuk kurungan hanya karena melanggar berjualan
didalam kereta api. Setelah didata siapa
namanya barulah Lani dibebaskan. Hanya saja barang dagangannya tidak bisa diberikan
. Lani berjalan lunglai menuju kontrakannya. Jalannya seperti berada di awang-awang.
Belum lama kehilangan uang yang sudah dikumpulkannya berbulan-bulan kini nasib
naas menghampiri lagi. Jadi tak karuan
apa yang dipikirkan Lani.
Diam hanya menatap sudut kamar
kontrakan. Teman-temannya belum pada pulang. Menangis, teriak keraspun tak ada
gunanya lagi. Kejadian apes seperti ini seolah hanya menimpa dirinya. Ketika
teman-temannya mulai berdatanganpun Lani masih saja melamun. Walau tidak
bertanya kenapa namun Ridwan , Nasihin dan Kurdi sudah tahu kalau Lani hari ini
terkena razia. Ini mereka peroleh khabar dari si Bimbim yang telah memberitahu
sebelumnya. Ridwan sebagai yang tertua dikontrakan ini memberikan semangat pada
Lani agar tabah dalam menghadapi ujian.
“Sabar Lan”
“Inilah ujian hidup yang harus kita
hadapi”
Lani seolah tak
mendengar apa yang diucapkan oleh Ridwan. Pikirannya tak menentu dengan apa yang
barusan dihadapi. Mau usaha apa lagi yang kiranya bisa memberikan uang yang
banyak? Belum lama mengumpulkan uang hasil
jualan di kereta api hilang! Kini barang dagangannya dirampas petugas.
Mau apa lagi? Mata terpejam sambil tangannnya meninju tembok rumah kontrakan.
Ketiga sahabatnya mengerti perasaan yang sedang dihadapi Lani.
“Sudah Lan…”
`”Nanti
kami patungan untuk menyumbang lagi agar kamu tetap bisa jualan lagi”,ujar
Nasihin memberikan semangat.
Kejadian yang menimpa Lani memang
memberikan dampak bagi ketiga penghuni kamar yang cukup pengap . Kadang nasib
susah untuk ditentukan ujungnya. Kalau saja razia kemarin bisa diantisipasi
tentunya mereka akan selamat. Namun apa
daya manusia hanya bisa merencanakan namun harus seperti ini kejadiannya. Lani
yang tadinya murah senyum kini lebih banyak diam. Sahabatnya sering memberikan
semangat agar bangkit lagi namun tetap
saja Lani banyak murungnya. Yang membuat teman-temannya makin khawatir ternyata
kejadian beberapa hari yang lalu tetap saja susah untuk Lani lupakan. Lani
malah kini sering ngomong sendirian.
“Lan kamu pulang dulu saja ke kampung
ya?”
“Nanti kami yang akan mengongkosi!”
Lani diam saja
tak merespon apa yang diungkapkan Kurdi. Ketiga orang ini jadi ikut bimbang
dengan apa yang sedang dialami Lani. Sudah dua hari Lani memang tidak berjualan
lagi. Ketiga kawannya makin khawatir setelah tetangganya memberitahu kalau Lani tadi waktu
mandi kembalinya ke kamar tidak mengenakan baju apapun. Hal inilah yang menjadi
kebingungan teman-temannya. Apakah karena hilangnya uang lalu hilangnya
dagangan yang dirazia membuat Lani terpukul? Entahlah yang jelas akibat
kejadian itu Lani murung bahkan dalam beberapa hari tidak ngomong.
Ridwan, Kurdi dan Nasihin akhirnya
berembug untuk memulangkan Lani ke kampungnya di Cirebon. Rencananya hari ini
mereka semua akan pulang. Bentuk solidaritas agar Lani bisa tenang dahulu di
kampung biar nanti kalau beban pikirannya mulai normal tentunya Lani akan diajak kembali lagi ke Jakarta.
Sepanjang perjalanan keempat orang
ini tidak banyak berbicara. Dilihat lagi
temannya yang satu ternyata tidak satu patah katapun yang keluar dari mulutnya.
Lani masih menatap pinggir kaca bus entah apa yang dilihatnya. Sampai di
kampungpun Lani tetap membisu dengan
pikiran yang entah bercabang kemana. Orangtua Lani yang hanya tinggal
ibunya sangat mengkhawatirkan nasib anaknya. Ridwan berusaha menjelaskan duduk persoalannya
sampai akhirnya Lani seperti itu.
Sebagai orangtua Kasirah membawa Lani
ke orang pintar. Mulanya Lani mau ngomong walau hanya satu dua patah kata.
Setelah pulang dari orang pintar kelakuannya seperti yang dulu lagi. Tak ada
satupun kata yang keluar dari mulut Lani. Hari-harinya diiisi dengan diam diri
seribu basa.
***
Kasirah teriak-teriak mencari
keberadaan Lani. Tadi malam ia yang mengunci pintu rumah, tapi esok paginya pintu sudah terbuka. Tertangga
yang merasa kasihan ikut pula mencari keberadaan Lani.
“Kira-kira jam berapa
perginya?”
Kasirah hanya
menggelengkan kepala. Ia tak tuhu persis kapan pintu dibuka anaknya untuk
keluar rumah. Di rumah ini memang hanya Kasirah dan Lani saja penghuninya.
Kakak Lani hanya satu dan itupun sudah pisah rumah. Pencarian terus dilakukan sampai
akhirnya dapat khabar kalau anaknya ini sedang berjalan di daerah Brebes.
Dikirimlah mobil sewaan untuk menjemput Lani yang jalannya makin jauh. Kasirah
hanya bisa menangis melihat anaknya yang
seperti itu.
Hanya selang sehari Lani minggat
dari rumah kini terulang lagi. Lani sudah pergi meninggalkan rumah. Tetangga yang iba dibuat sibuk untuk
mencari keberadaan Lani. Barulah sore harinya Lani diketemukan dan ini sudah
meninggalkan jauh sekali dari rumah. Seringnya Lani meninggalkan rumah membuat Kasirah
berinisiatip agar sang anak ini dikurung saja dalam kamar. Lani tak ubahnya
tahanan yang hanya diizinkan keluar rumah kalau mau BAB dan kencing.
Kasirah hanyalah buruh cuci yang penghasilannya tidak seberapa. Untuk
mengobati Lani ke dokter jelas ia tak sanggup untuk membiayai. Usaha sudah
kesana kemari ia lakukan namun hasilnya tetap nihil. Sampai akhirnya tetangga
semua sudah pada tahu kalau Lani dikatakannya stess.
Lani pemuda tanggung yang belum stabil
dalam hal kemandirian sudah menghadapi
berbagai macam cobaan hidup. Batinnya belum kuat menerima kenyataan sampai
akhirnya terpikirkan terus. Lani stress yang berkepanjangan dan makin hari
makin parah. Ibunya yang makin tua sudah tak sanggup lagi menahan Lani ketika
anak ini pergi tak ketahuan perginya. Lani lontang-lantung di jalan sampai
orang sekampungpun bosan menjemput pemuda yang satu ini.
Cirebon, 5 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar