Cerpen
CEMANI BOLANG
Oleh :Nurdin Kurniawan
Pagi
yang masih buta dengan kabut yang tebal tak jelas apa yang ada dihadapan
mata. Dari kejauhan terdengar sayup-sayup
lantunan orang mengaji. Dulakid mengecek-ucek mata baru bangun dari mimpinya.
Ditatap sekeliling rumah masih seperti yang dulu. Tengak-tengok seperti orang
linglung. Garuk-garuk kepala sambil ngomong sendiri. Perasaan tidak enak sekali
dengan mimpi yang barusan terjadi. Dilihatnya cepat-cepat kandang ayam cemani ayam
kesayangannya barangkali ada yang hilang seperti dalam mimpinya. Diamati
beberapa pintu kandang namun semuanya masih terlihat utuh . Tersenyum dalam
hari sambil duduk kembali di ranjang reot yang ada tak jauh dari kandang.
Dulakid
sosok pemuda yang sudah malas bergaul dengan anak-anak muda kebanyakan.
Keseharian Dulakid disibukkan oleh beternak ayam cemani. Ituloh... ayam yang dari
mata, kaki dan semua bulunya serba hitam. Kegiatannya yang tak jauh dari
kandang ayam cemani sempat membuat orangtunya geram. Pemuda macam anaknya yang tanggung
dalam arti anak-anak bukan, orangtua juga bukan. Di kampung ini sudah tidak ada
lagi teman seangkatannya yang masih membujang.
“Dul...
kamu ini maunya apa?”
“Coba
kamu lihat si Jarwo, si Maksud, si Kamto dan masih banyak temannu yang dulu sering
main ke rumah ini!”
“Mereka
sudah pada menikah, sudah pada punya momongan”
“Kamu
ini bagaimana?”
“Seharian
masih ngurusi ayam terus!”
“Mau
jadi apa kamu ini?”
Dulakid terus saja mengopeni ayam cemani
yang jumlahnya memang lumayan banyak.
Boleh dikata sekampung ini yang hanya memelihara ayam cemani hanya Dulakid.
Orang kampung lainnya tidak begitu suka memelihara ayam yang bulunya serba
hitam ini.
“Apa
kamu tidak ingin menikah Dul?”
“Masa
kamu diloncat lagi sama adikmu?”
“Jangan
ngurusi ayam terus!”
“Nanti
malam adalah malam minggu kamu main geh”
“Si
mbok akan senang kalau kamu bisa membawa
calon istrimu”
Dulakid hanya sesekali mengengok ke arah
si mbok ketika ia ingin punya momongan
dari anak laki-laki satu-satunya.
“Oalah
si Mbok ini ngomel saja”
“Ayam-ayamnya
jadi stress nih!” tangan Dulakid masih terus ngopeni ayam.
Di
negeri ini memeng banyak sekali ayam-ayam lokal yang mempunyai kekhasan
tersendiri. Ada ayam tertawa yang kalau berkokok seperti manusia yang tertawa,
ada ayam pelung yang berkokoknya lama sekali. Dari jenis yang ada itu Dulakid
hanya senang pada ayam cemani yang bulunya serba hitam. Tak hanya hitam bulunya, ayam jenis ini
dagingnyapun konon yang pernah menyembelih serba hitam.
Tempo
hari ada orang dari luar kota yang sengaja mencari ayam yang serba hitam. Entah
apa maksudnya yang dicari adalah jenis ayam cemani. Mungkin ada yang
menunjukkan kalau Dulakid punya hobi memelihara ayam cemani maka ada orang yang
menunjukkan pada Dulakid. Mudah memang mencari alamat anak muda yang satu
ini. Orang yang ngakunya dari Jakarta
ini begitu senang sekali dengan ayam cemani yang dipelihara Dulakid.
“Saya
beli ayamnya deh pak yang jago itu”
Orang yang dari Jakarta itu menunjuk
pada ayam jago yang dijadikan bibit oleh Dulakid.
“Kira-kira
dilepas berapa ya?”
Dari mulai senang memeilihara ayam
cemani sampai sekarang Dulakid memang belum pernah menjualnya. Tak heran dari
bibit yang hanya 3 ekor kini sudah mendekati angka 20. Tamunya yang dari jauh ini
terus saja merayu-rayu agar Dulakid mau melepaskan ayam cemani jago yang
ia ingini.
“Maaf
pak saya tidak bermaksud untuk menjual ayam-ayam ini”
“Saya
hobi saja memelihara dan tak bermaksud menjualnya”
Herman yang ngakunya berasal dari Rawa
Belomng Jakarta ini akhinrya menyabutkan angka biar Dulakid mau kelepaskan ayam
cemaninya.
“Bagaimana
kalau yang jago itu saya beli 2 juta?”
Dulakid sempat melihat mimik orang yang
mengatakan angka sebanyak itu. Namun keteguhan Dulakid dalam menyayangi
ayam-ayamnya tak juga tergoyahkan. Ia sangat begitu senang pada ayam-ayam peliharaannya
apalagi si Bolang ayam jago yang dijadikan pemacek..
“Tidak
pak, terimakasih!”
“Bagaimana
kalau 3 juta pak?”
Dulakid tak goyah juga dengan tawaran
yang cukup menggiurkan itu.
“Sudah
deh pak kalau begitu saya tawar 5 juta bagaimana?”
Entah apa yang ada dalam pikiran Dulakid
uang yang sebesar itu tak juga
mempengaruhi pikirannya untuk mau melepaskan ayam cemani jagonya.
“Yang
jago itu hanya ada 3 pak”
“Tidak
untuk dijual buat pemacek”
Tawar menawar yang dilakukan Herman mentok juga. Lekali paruh baya ini akhirnya
menyerah juga. Dengan penuh penasaran
lekali ini akhirnya meninggalkan rumah Dulakid.
Dulakid memperhatikan tamu yang baru
keluar rumahnya. Dalam pikirannya juga bertanya-tanya kenapa itu orang berani menawar
mahal ayam miliknya. Apa di Jakarta tidak ada orang yang memelilihara
ayam cemani? Dulakid kini tahu kalau ayam miliknya mempunyai harga yang
lumayan. Ia harus hati-hati kalau ada tukang ayam yang keliling suka menawar
ayam-ayam miliknya. Dari orang Jakarta itu Dulakid tahu kalau ayam cemani
nilainya mencapai jutaan rupiah. Kalau di tukang kurung yang suka keliling
paling hanya ditawar Rp. 80.000 sampai Rp. 100.000 saja.
***
Serba
hitam! Identik dengan warna yang mengandung kekuatan gaib. Kata orang-orang
ayam cemani terkenal karena ayam jenis ini sering dijadikan sesajen ketika ada
hajat-hajat yang ingin terkabul. Tapi bukan itu maksud Dulakid memelihatra ayam
cemani. Ketia ia mengantarkan sang paman yang mendapatkan jodoh orang Jawa pulangnya
diberi oleh-oleh ayam cemani yang masih kecil. Dengan rasa senang ayam
pemberian dari pihak mempelai putri ini ia pelihara sampai kini. Dari yang hanya 3 ekor ayam-ayam ini
berkembang biak. Rupanya ada kesamaan iklim di daerah Kedu dengan di Cirebon.
Jadilah ayam itu menyesuaikan dengan iklim setempat. Hasilnya lumayan juga kini
sudah ada 20 ekor yang dimiliki Dulakid.
Punya
binatang kesayangan kalau ada yang sudah menawar lalu tidak diberikan akan
membuat yang punya kecewa demikian kata orang-orang. Entah apa maksud dari
kecewanya ini. Dulakid mendengarkan hal ini dari Kamto sang sahabat.
“Hati-hati
Dul!”
“Saya
dulu punya burung perkutut kesayangan”
“Ada
orang dari Surabaya yang ternyata senang dengan perkutut milik saya”
“Ia
berani menawar mahal buat itu burung”
“Namun
saya tidak memberikannya eh....”
“Dua
hari kemudian itu burung hilag ada yang mencuri!”
“Saya
khawatir itu juga akan menimpumu Dul!”
Dulakid tidak percaya dengan omongan sang
sahabat. Barangkali itu hanya kebetulan lagi sial saja sehingga burungnya
hilang. Setelah sang sahabat pulang apa yang dikatakanhya itu sempat menjadi
pikiran juga buat Dulakid. Jangan-jangan ada benarnya pendapat sang sahabat.
Tapi pikiran Dulakid mengatakan itu tak akan terjadi pada ayam-ayam kesayangannya.
Sudah deh jangan dipikirkan terlalu jauh!
Malam
Jum’at Kliwon! Bagi mereka yang suka kenduri malam seperti Jum’at Kliwon
seperti sekarang ini banyak sekali warga
yang mengadakan acara ritual. Dulakid yang terlahir tak mengenal acara-acara
seperti ini merasakan kalau setiap malam adalah sama saja. Tidak malam Jum’at
ataupun malam yang lain , malam Sabtu ataupun malam Minggu, semuanya berlalu
begitu saja.
“Dul
sana kamu kliwonan di rumah Mbah Surip”
“Tadi
sore anaknya mengundang kita”
Dulakid asyid glelengan di dipan yang menghadap ke arah kandang ayam cemani.
Matanya asyik saja memperhatikan ayam-ayam yang bertenggger di dalam kandang.
“Tidaklah
Mbok saya senang disini saja!”
Mbok Karyem hannya bisa geleng-geleng
dengan anak bujangnya ini. Tak mengerti dengan tingkahlaku anak laki-laki
satu-satunya yang justru senang menyendiri ketimbanng kumpul dengan teman-teman
seangkatannya.
“Pantas
kalau kamu tidak punya-punya jodoh Dul”
“Kamu
ini senang sendirian daripada kumpul-kumpul dengan temanmu!”
Dulakid tak terpengaruh dengan omongan
si mbok. Ia lebih senang menyendiri memandang bintang di lagit ketimbang bergaul
dengan anak-anak sekarang yang sudah terpengaruh dengan minum-minuman keras dan
pil setan.
Bulan sabit tinggal seperdelapannya saja yang masih
terllihat. Malam makin larut membuat angin malam makin menggeliat menerkam mencari
orang-orang yang masih melek. Dulakid sudah tak kuat dengan rasa kantuknya.
Siang tadi cukup banyak pekerjaan yang ia lakukan. Buaian angin malam membuat
tidur seolah terasa nikmat. Kain sarung yang sudah lusuh ia panjangkan membuat
tubuhnya yang tidak terlalu tinggi
tertutup semua. Suara berisik yang ada diluar kandang tak sedikitpun yang
Dulakid rasakan. Semuanya seperti terbawa oleh alam mimpi yang begitu indah.
Orang-orang
sudah pergi ke sawah sementara Dulakid baru bangun dari tidurnya. Seperti ada
yang kurang dipagi ini. Ada suara yang yang hilang selama ia tidur tadi yang membuat
dirinya bangun kesiangan. Merenung sejenak dipikir-pikir apakah gerangan itu?
Mata Dulakid beralih ke sudut pagar yang masih terkunci rapat. Matanya terus
memutar mengarah ke segala arah ke kandang ayam. Terbelalak ketika melihat ada
bagian kandang yang terbuka. Ayamku! Ayamkku! Buru-buru Dulakid bangkit dari
ranjang reot yang dari tadi diduduki. Benar saja ayamnya yang jago yang diberi
nama si Bolang sudah tak ada dari kandangnya. Dulakid teriak-teriak seperti
orang yang kurang waras. Mbok Karyem
langsung menghampiri sang anak.
“Ada
apa Dul?”
Bibir Dulakid tak banyak bergerak, hanya
saja tangan menunjuk pada kandang si Bolang.
“Kenapa
dengan si Bolang?”
Dulakud geleng-geleng kepala namun
matanya meneteskan air mata.
“Si
Bolang hilang Mbok...”
“Si
Bolang hilang Mbok!”
Anehnya yang hilang hanya si Bolang saja
sementara ayam cemani yang lainnya masih utuh. Dulakid keliling kandang barangkali
ayamnya itu lepas atau ia lupa menutup kandangnya. Dicari-cari namun tak juga
ketemu sampai akhirnya bisa memastikan kalau si Bolang memang dicuri orang.
Seharian
dulakid hanya merenungkan ayamnya yang hilang. Bisa-bisanya orang mencuri hanya mengambil si Bolang saja sementara ada
begitu banyak ayam cemani. Dirinya tak mengerti dengan ulah maling yang hanya mengkhususkan pada si Bolang. Ayam kesayangan
yang sudah ada yang berani menawar 5 juta itu hilang begitu saja. Kalau begitu dipikir-pikir
benar juga yang dikatakan Kamto kalau barang peliharaan kita ada yang suka dan
berani membayar dengan harga yang tinggi lebih baik diberikan saja. Kini apa
yang dikatakan sang teman terbukti. Dulakid berfikir ini mungkin pelakunya
orang yang sudah berani mennawar tinggi. Kalau bukan siapa lagi? Tapi Dulakid
tak bisa berbuat banyak karena tidak adanya bukti. Dulakid hanya bisa menyesali
kalau ayam kesayangannya ini kini tidak ada lagi. Inilah nasib! Inikah barangkali yang namanya nasib,
sesuatu yang tidak bisa disesali. Tentunya
kalau ia tahu si Bolang sedang diincar
maling dari dulu tentu siang-malam Dulakid akan menjaganya. Tapi kini tak ada
lagi yang bisa disesali, semuanya sudah berlalu. Masih ada generasi kedua si
bolang yang kecil-kecil dan lucu-lucu. Dalam hari Dulakid berjanji akan merawat
ayam-ayam ini seperti ini merawat si Bolang.
Cirebon, 26 Maret 2014
nurdinkurniawan@ymail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar