Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Selasa, 25 Juni 2019

CEMANI BOLANG (Cerpen)


Cerpen
CEMANI BOLANG
Oleh :Nurdin Kurniawan

            Pagi yang masih buta dengan kabut yang tebal tak jelas apa yang ada dihadapan mata.  Dari kejauhan terdengar sayup-sayup lantunan orang mengaji. Dulakid mengecek-ucek mata baru bangun dari mimpinya. Ditatap sekeliling rumah masih seperti yang dulu. Tengak-tengok seperti orang linglung. Garuk-garuk kepala sambil ngomong sendiri. Perasaan tidak enak sekali dengan mimpi yang barusan terjadi. Dilihatnya cepat-cepat kandang ayam cemani ayam kesayangannya barangkali ada yang hilang seperti dalam mimpinya. Diamati beberapa pintu kandang namun semuanya masih terlihat utuh . Tersenyum dalam hari sambil duduk kembali di ranjang reot yang ada tak jauh dari kandang.
            Dulakid sosok pemuda yang sudah malas bergaul dengan anak-anak muda kebanyakan. Keseharian Dulakid disibukkan oleh beternak ayam cemani. Ituloh... ayam yang dari mata, kaki dan semua bulunya serba hitam. Kegiatannya yang tak jauh dari kandang ayam cemani sempat membuat orangtunya geram. Pemuda macam anaknya yang tanggung dalam arti anak-anak bukan, orangtua juga bukan. Di kampung ini sudah tidak ada lagi teman seangkatannya yang masih membujang.
            “Dul... kamu ini maunya apa?”
            “Coba kamu lihat si Jarwo, si Maksud, si Kamto dan masih banyak temannu yang dulu sering main ke rumah ini!”
            “Mereka sudah pada menikah, sudah pada punya momongan”
            “Kamu ini bagaimana?”
            “Seharian masih ngurusi ayam terus!”
            “Mau jadi apa kamu ini?”
Dulakid terus saja mengopeni ayam cemani yang jumlahnya  memang lumayan banyak. Boleh dikata sekampung ini yang hanya memelihara ayam cemani hanya Dulakid. Orang kampung lainnya tidak begitu suka memelihara ayam yang bulunya serba hitam ini.
            “Apa kamu tidak ingin menikah Dul?”
            “Masa kamu diloncat lagi sama adikmu?”
            “Jangan ngurusi ayam terus!”
            “Nanti malam adalah malam minggu kamu main geh”
            “Si mbok akan senang kalau kamu  bisa membawa calon istrimu”
Dulakid hanya sesekali mengengok ke arah si mbok ketika  ia ingin punya momongan dari anak laki-laki satu-satunya.
            “Oalah si Mbok ini ngomel saja”
            “Ayam-ayamnya jadi stress nih!” tangan Dulakid masih terus ngopeni ayam.
            Di negeri ini memeng banyak sekali ayam-ayam lokal yang mempunyai kekhasan tersendiri. Ada ayam tertawa yang kalau berkokok seperti manusia yang tertawa, ada ayam pelung yang berkokoknya lama sekali. Dari jenis yang ada itu Dulakid hanya senang pada ayam cemani yang bulunya serba hitam.  Tak hanya hitam bulunya, ayam jenis ini dagingnyapun konon yang pernah menyembelih serba hitam.
            Tempo hari ada orang dari luar kota yang sengaja mencari ayam yang serba hitam. Entah apa maksudnya yang dicari adalah jenis ayam cemani. Mungkin ada yang menunjukkan kalau Dulakid punya hobi memelihara ayam cemani maka ada orang yang menunjukkan pada Dulakid. Mudah memang mencari alamat anak muda yang satu ini.  Orang yang ngakunya dari Jakarta ini begitu senang sekali dengan ayam cemani yang dipelihara Dulakid.
            “Saya beli ayamnya deh pak yang jago itu”
Orang yang dari Jakarta itu menunjuk pada ayam jago yang dijadikan bibit oleh Dulakid.
            “Kira-kira dilepas berapa ya?”
Dari mulai senang memeilihara ayam cemani sampai sekarang Dulakid memang belum pernah menjualnya. Tak heran dari bibit yang hanya 3 ekor kini sudah mendekati angka 20. Tamunya yang dari jauh ini terus saja merayu-rayu agar Dulakid mau melepaskan ayam cemani jago yang ia  ingini.
            “Maaf pak saya tidak bermaksud untuk menjual ayam-ayam ini”
            “Saya hobi saja memelihara dan tak bermaksud menjualnya”
Herman yang ngakunya berasal dari Rawa Belomng Jakarta ini akhinrya menyabutkan angka biar Dulakid mau kelepaskan ayam cemaninya.
            “Bagaimana kalau yang jago itu saya beli 2 juta?”
Dulakid sempat melihat mimik orang yang mengatakan angka sebanyak itu. Namun keteguhan Dulakid dalam menyayangi ayam-ayamnya tak juga tergoyahkan. Ia sangat begitu senang pada ayam-ayam peliharaannya apalagi si Bolang ayam jago yang dijadikan pemacek..
            “Tidak pak, terimakasih!”
            “Bagaimana kalau 3 juta pak?”
Dulakid tak goyah juga dengan tawaran yang cukup menggiurkan itu.
            “Sudah deh pak kalau begitu saya tawar 5 juta bagaimana?”
Entah apa yang ada dalam pikiran Dulakid uang  yang sebesar itu tak juga mempengaruhi pikirannya untuk mau melepaskan ayam cemani jagonya.
            “Yang jago itu hanya ada 3 pak”
            “Tidak untuk dijual buat pemacek”
Tawar menawar yang dilakukan Herman  mentok juga. Lekali paruh baya ini akhirnya menyerah juga.  Dengan penuh penasaran lekali ini akhirnya meninggalkan rumah Dulakid.
Dulakid memperhatikan tamu yang baru keluar rumahnya. Dalam pikirannya juga bertanya-tanya kenapa itu orang berani  menawar  mahal ayam miliknya. Apa di Jakarta tidak ada orang yang memelilihara ayam cemani? Dulakid kini tahu kalau ayam miliknya mempunyai harga yang lumayan. Ia harus hati-hati kalau ada tukang ayam yang keliling suka menawar ayam-ayam miliknya. Dari orang Jakarta itu Dulakid tahu kalau ayam cemani nilainya mencapai jutaan rupiah. Kalau di tukang kurung yang suka keliling paling hanya ditawar Rp. 80.000 sampai Rp. 100.000 saja.
                                                                        ***
            Serba hitam! Identik dengan warna yang mengandung kekuatan gaib. Kata orang-orang ayam cemani terkenal karena ayam jenis ini sering dijadikan sesajen ketika ada hajat-hajat yang ingin terkabul. Tapi bukan itu maksud Dulakid memelihatra ayam cemani. Ketia ia mengantarkan sang paman yang mendapatkan jodoh orang Jawa pulangnya diberi oleh-oleh ayam cemani yang masih kecil. Dengan rasa senang ayam pemberian dari pihak mempelai putri ini ia pelihara sampai kini.  Dari yang hanya 3 ekor ayam-ayam ini berkembang biak. Rupanya ada kesamaan iklim di daerah Kedu dengan di Cirebon. Jadilah ayam itu menyesuaikan dengan iklim setempat. Hasilnya lumayan juga kini sudah ada 20 ekor yang dimiliki Dulakid.
            Punya binatang kesayangan kalau ada yang sudah menawar lalu tidak diberikan akan membuat yang punya kecewa demikian kata orang-orang. Entah apa maksud dari kecewanya ini. Dulakid mendengarkan hal ini dari Kamto sang sahabat.
            “Hati-hati Dul!”
            “Saya dulu punya burung perkutut kesayangan”
            “Ada orang dari Surabaya yang ternyata senang dengan perkutut milik saya”
            “Ia berani  menawar mahal buat itu burung”
            “Namun saya tidak memberikannya eh....”
            “Dua hari kemudian itu burung hilag ada yang mencuri!”
            “Saya khawatir itu juga akan menimpumu Dul!”
Dulakid tidak percaya dengan omongan sang sahabat. Barangkali itu hanya kebetulan lagi sial saja sehingga burungnya hilang. Setelah sang sahabat pulang apa yang dikatakanhya itu sempat menjadi pikiran juga buat Dulakid. Jangan-jangan ada benarnya pendapat sang sahabat. Tapi pikiran Dulakid mengatakan itu tak akan terjadi pada ayam-ayam kesayangannya. Sudah deh jangan dipikirkan terlalu jauh!
            Malam Jum’at Kliwon!  Bagi mereka yang  suka kenduri malam seperti Jum’at Kliwon seperti sekarang  ini banyak sekali warga yang mengadakan acara ritual. Dulakid yang terlahir tak mengenal acara-acara seperti ini merasakan kalau setiap malam adalah sama saja. Tidak malam Jum’at ataupun malam yang lain , malam Sabtu ataupun malam Minggu, semuanya berlalu begitu saja.
            “Dul sana kamu kliwonan di rumah Mbah Surip”
            “Tadi sore anaknya mengundang kita”
Dulakid asyid glelengan di dipan yang menghadap ke arah kandang ayam cemani. Matanya asyik saja memperhatikan ayam-ayam yang bertenggger di dalam kandang.
            “Tidaklah Mbok saya senang disini saja!”
Mbok Karyem hannya bisa geleng-geleng dengan anak bujangnya ini. Tak mengerti dengan tingkahlaku anak laki-laki satu-satunya yang justru senang menyendiri ketimbanng kumpul dengan teman-teman seangkatannya.
            “Pantas kalau kamu tidak punya-punya jodoh Dul”
            “Kamu ini senang sendirian daripada kumpul-kumpul dengan temanmu!”
Dulakid tak terpengaruh dengan omongan si mbok. Ia lebih  senang menyendiri  memandang bintang di lagit ketimbang bergaul dengan anak-anak sekarang yang sudah terpengaruh dengan minum-minuman keras dan pil setan.
            Bulan  sabit tinggal seperdelapannya saja yang masih terllihat. Malam makin larut membuat angin malam makin menggeliat menerkam mencari orang-orang yang masih melek. Dulakid sudah tak kuat dengan rasa kantuknya. Siang tadi cukup banyak pekerjaan yang ia lakukan. Buaian angin malam membuat tidur seolah terasa nikmat. Kain sarung yang sudah lusuh ia panjangkan membuat tubuhnya yang  tidak terlalu tinggi tertutup semua. Suara berisik yang ada diluar kandang tak sedikitpun yang Dulakid rasakan. Semuanya seperti terbawa oleh alam mimpi yang begitu indah.
            Orang-orang sudah pergi ke sawah sementara Dulakid baru bangun dari tidurnya. Seperti ada yang kurang dipagi ini. Ada suara yang yang hilang selama ia tidur tadi yang membuat dirinya bangun kesiangan. Merenung sejenak dipikir-pikir apakah gerangan itu? Mata Dulakid beralih ke sudut pagar yang masih terkunci rapat. Matanya terus memutar mengarah ke segala arah ke kandang ayam. Terbelalak ketika melihat ada bagian kandang yang terbuka. Ayamku! Ayamkku! Buru-buru Dulakid bangkit dari ranjang reot yang dari tadi diduduki. Benar saja ayamnya yang jago yang diberi nama si Bolang sudah tak ada dari kandangnya. Dulakid teriak-teriak seperti orang yang kurang waras. Mbok  Karyem langsung menghampiri sang anak.
            “Ada apa Dul?”
Bibir Dulakid tak banyak bergerak, hanya saja tangan menunjuk pada kandang si Bolang.
            “Kenapa dengan si Bolang?”
Dulakud geleng-geleng kepala namun matanya meneteskan air mata.
            “Si Bolang hilang Mbok...”
            “Si Bolang hilang Mbok!”
Anehnya yang hilang hanya si Bolang saja sementara ayam cemani yang lainnya masih utuh. Dulakid keliling kandang barangkali ayamnya itu lepas atau ia lupa menutup kandangnya. Dicari-cari namun tak juga ketemu sampai akhirnya bisa memastikan kalau si Bolang memang dicuri orang.
            Seharian dulakid hanya merenungkan ayamnya yang hilang. Bisa-bisanya orang mencuri  hanya mengambil si Bolang saja sementara ada begitu banyak ayam cemani. Dirinya tak mengerti dengan ulah maling yang hanya  mengkhususkan pada si Bolang. Ayam kesayangan yang sudah ada yang berani menawar 5 juta itu hilang begitu saja. Kalau begitu dipikir-pikir benar juga yang dikatakan Kamto kalau barang peliharaan kita ada yang suka dan berani membayar dengan harga yang tinggi lebih baik diberikan saja. Kini apa yang dikatakan sang teman terbukti. Dulakid berfikir ini mungkin pelakunya orang yang sudah berani mennawar tinggi. Kalau bukan siapa lagi? Tapi Dulakid tak bisa berbuat banyak karena tidak adanya bukti. Dulakid hanya bisa menyesali kalau ayam kesayangannya ini kini tidak ada lagi. Inilah  nasib! Inikah barangkali yang namanya nasib, sesuatu  yang tidak bisa disesali. Tentunya kalau ia tahu  si Bolang sedang diincar maling dari dulu tentu siang-malam Dulakid akan menjaganya. Tapi kini tak ada lagi yang bisa disesali, semuanya sudah berlalu. Masih ada generasi kedua si bolang yang kecil-kecil dan lucu-lucu. Dalam hari Dulakid berjanji akan merawat ayam-ayam ini seperti ini merawat si Bolang.

                                                                                                     Cirebon, 26 Maret 2014
                                                                                                     nurdinkurniawan@ymail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar