Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Kamis, 27 Juni 2019

HELMI FAJAR (Cerpen)


Cerpen
HELMI  FAJAR
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Kasihan juga melihat sang adik tergolek lemas. Panasnya tak mau turun sementara  kedua orangtuanya sedang tidak ada. Helmi sebagai kakak nomer dua harus menjaga sang adik. Maklumlah Ibu dan Bapak sedang menunaikan ibadah haji. Helmi masih ingat ketika Bapaknya menasehati sebelum ia berangkat haji.
            “Sholat yang rajin”
            “Jaga kesehatan”
            “Jangan buat masalah di masyarakat”
Kalimat itu begitu terasa terngiang dalam telinga. Ingat akan nasihat kedua orangtuanya maka Helmi selalu menjalankan perintahnya.
            Kasihan bila melihat sang adik. Panasnya hanya panas biasa namun karena kebetulan kedua orangtua sedang tidak ada jadi seperti ada sesutu yang sangat memprihatinkan.
            “Jangan terlau dipikirkan”
            “Adikmu ini hanya panas biasa”, ujar sang paman ngedem-ngademi.
“Nanti juga kalau obatnya habis akan sembuh”
Syukurlah setelah minum obat kesehatan Irgi berangsur pulih kembali. Tadinya Helmi akan memberitahukan kondisi adik ke Ibu dan Bapak. Tapi setelah dipikir-pikir hanya akan membuat konsentrasi ibadah Ibu dan Bapak buyar saja. Biarlah apa-apa yang terjafi di tanah air tak akan diceritakan pada Ibu dan Bapak. Biarkan Ibu dan Bapak konsentrasi saja pada ibadah.
            Helmi Fajar demikian nama anak ini. Kelahiran Cirebon, 19 Mei 1998 terlahir tak terlalu jauh dari gonjang-ganjing reformasi negeri ini. Masa diakhir Orde Baru. Dilahirkan ketika barang-barang sulit dijumpai karena kerusuhan massal. Namun berkat perolongan Allah anak ini tumbuh menjadi anak yang sehat. Lihat saja badannya yang gemuk, seolah bertolak belakang dengan kondisi reformasi yang ditandai sulitnya sembako dijumpai dipasar-pasar. Namun Helmi Fajar dapat tumbuh menjadi anak yang sehat.
            Anak kedua dari 3 bersaudara. Kakaknya juga dahulu adalah alumni sekolah ini. Sekolah dimana sekarang Fajar menuntut ilmu. Jarak dari sekolah ke rumah hanya beberapa langkah saja. Inilah yang membuat anak ini sering bolak-balik rumah ke sekolah kalau ada hal-hal yang perlu diambil.
            Saat kedua orangtuanya menjalankan ibadah haji adalah saat-saat yang selaku terkenang oleh Fajar. Maklumlah di rumah hanya ada kakak dan adik serta paman dan bibi yang ikut serta menjaga rumah. Perasan sedih sekali ketika ditinggal orangtua menjalankan ibadah haji.  Waktu-waktu yang ada terasa begitu lama sekali. Malam dan siang selalu digunakan untuk mengharap secepatnya kehadiran Ibu dan Bapak di tanah air lagi.
            Selama kedua orangtua naik haji maka dirumah diadakan acara ngaji rutin. Ngaji ini sengaja dilakukan agar kedua orangtua dapat dengan tenang menjalankan ibadah haji. Waktunya usai sholat isya. Ada sekitar 30 orang yang ngaji di rumah selam  waktu yang  40 hari. Ini sengaja diundang selama  40 hari karena memang jadwal dari berangkat dari rumah sampai kembali lagi ke rumah adalah 40 hari. Orang-orang disini menyebutnya dengan acara Yasinan. Dipimpin langsung oleh Bapak Ustad Mui.
Suatu hati Bapak ngebel ke tanah air. Waktu itu adik sedang sakit panas.
            “Halo apa khabarnya semua?”
Fajar tahu kalau di rumah adik sedang sakit namun untuk menjaga agar Ibu dan Bapak tenang dalam melaksanakan ibadah maka Fajar katakan kalau semua yang ada di rumah sehat-sehat saja. Terdengar senang sekali Bapak mendengarkan  kalau keadaan di tanah air sehat-sehat saja. Rindu memang mendengar suara Bapak dari kejauhan. Syukurlah kalau kedua orangtua disana sehat selalu. Itulah yang Fajar inginkan. Ingin agar Bapak dan Ibu selama di Arab   
Saudi dalam keadaan sehat selalu.
            Bila Surat Yasin sudah terdengar selalu saja teringat pada orangtua. Sedang apa disana? Apa yang sedang ia lakukan bila malam-malam seperti ini? Pokoknya gambaran Ibu dan Bapak terasa sekali. Ingin secepatnya kembali bersama lagi. Ingin waktu-waktu yang ada bisa dihabiskan bersama-sama.
            Terasa sekali kalau yang namanya menunggu adalah waktu-waktu yang sangat membosankan. Setelah sekian lama berlalu akhirnya sampai juga khabar berita kalau orangtua sudah berada di Jakarta. Hati ini makin tak menentu. Ingin secepatnya bisa bertemu dengan Ibu dan Bapak. Akhirnya khabar penantian itu terjawab sudah. Pukul 14.00 Bapak dan Ibu datang lagi di rumah. Air mata ini sulit dibendung melihat kedua orangtua yang hampir 40 hari tidak bertemu dan kini berada di depan mata.
            “Bagaimana sehat?”
Itulah pertanyaan yang dikemukann Bapak melihat kami bertiga. Dirangkul satu per satu seperti ketika beliau akan  berangkat dahulu. Alhamdulillah kini semuanya bisa berkumpul bersama lagi.
            Senang sekali dengan kehadiran orangtua yang kini bisa berkumpul lagi. Satu hal lagi yang  membuat kami tambah bersyukur adalah ketika Bapak dan Ibu mulai mengeluarkan barang-barang bawaan dari Arab. Bapak dan Ibu tak lupa dengan membeli oleh-oleh khas Arab.
            “Ini tasbeh buat Fajar”
Aku diberi tasbeh yang terbuat dari tulang onta. Sungguh bagus bentuknya bulat putih mengkilat. Pemberian ini menandakan kalaun aku juga harus banyak- banyak menyebut nama Allah. Biar aku tambah rajin dalam hal berdzikir. Ada lagi oleh-oleh yang lainnya yang juga akan dibagikan pada para tetangga. Rumah ini jadi ramai lagi dengan kehadiran  orangtua.
            Seperti itulah anak yang ditinggalkan kedua orangtuanya menunaikan ibadah haji. Ada perasaan yang selalu dinanti-nantikan akan kehadiran orang yang dijadikan panutan . Maklumlah kami bertiga semuanya masih membutuhkan kasih sayang kedua orangtua. Waktu yang 40 hari terasa lama sekali. Namun itu semuanya telah berakhir dengan kembalinya kedua orangtuaku bersama-sama lagi.
                                                                        ***
            Jarak dari sekolah ke rumah tidak terlalu jauh. Bahkan untuk anak-anak sekolah disini mungkin inilah jarak yang paling dekat. Bagi Fajar tinggal jalan kaki saja. Dalam kurang dari 5 menit sudah berada di halaman sekolah. Meski demkian yang  namanya ongkos tetap harus ada. Setiap harinya Fajar minta ke orangtua Rp. 4.000 uang itu habis semuanya buat jajan. Walau di rumah buka toko yang didalamnya penuh dengan jajanan pasar nanun tetap saja di sekolah jajan lagi.
            “Jajan yang ada di rumah bosan”
            “Ingin merasakan sesuatu yang berbeda lagi!”
Pantas saja kalau diberi uang oleh orangtuanya selalu habis buat jajan.
            Sempat ketika masih kelas 8 Fajar ikut aktif di OSIS. Lumayan juga satu tahun aktif di OSIS merasakan ikut berorganisasi. Setidaknya tahu tata cara orang berorganisasi.
            Kini Fajar sudah duduk di kelas 9 D. Tinggal menunggu waktu ikut UN yang sebentar lagi, setelah itu tentu tinggal menunggu kelulusan. Namun sayang ada saja gangguan yang suka membuat otak juga kadang tidak mengerti. Makin tinggi sekolah maka makin tinggi pula hambatan dan gangguannya.  Suka ada saja teman yang mengajaknya membolos. Kalau sudah seperti ini suka sulit dihindari.
            “Kenapa kamu bolos?”tanya salah seorang Guru
Helmi Fajar memang tertangkap tangan sedang berada di salah satu warung yang ada di sekolah.
            “Inikan masih jam belajar!”
Duh… mau alasan apa lagi kalau sudah seperti ini?
            “Pelajaran siapa sekarang?”
Fajar kemukanan saja apa sebenarnya yang sedang terjadi. Kalau pelajaran matematika memang oleh gurunya tidak harus ikut pelajarannya pun boleh. Namanya Pak Boleng yang mengajarkan matematika. Beliau pada anak-anak memberikan kebebasan untuk tidak mengikuti pelajaraan kalau memang si anak tidak suka. Kontan saja anak-anak yang kurang menyenangi pelajaran matematika pada keluar kelas. Salah satunya adalah Fajar.
            “Habis jarang menerangkan Pak”
            “Kalau ulangan anak-anak  jarang yang bisa!”
Tetap saja alasan yang seperti ini tidak dibenarkan. Fajar akhirnya terkena hukuman oleh guru piket.
            Sampai sekarang Fajar belum mempunyai cita-cita yang tetap. Kalau didesak lagi apa-cita-citanya seperti merenung terlalu lama karena belum menemukan cita-cita yang pas. Setelah merenung yang cukup lama akhirnya terlontar ucapan spontan.
            “Ingin jadi PNS”
            “Eee…. sepertinya jadi guru enak ya Pak?”
Entahlah! Yang jelas masih sangat panjang perjalanan yang harus dilalui Helmi Fajar. Masih panjang lakon hidupnya. Cita-citanya yang ingin jadi seorang guru alangkah mulianya. Mudah-mudahan apa yang dicita-citakan itu dapat terwujud. Butuh waktu dan tenaga untuk bisa mewujudkan hal seperti itu. Tinggal waktu yang akan menjawab apakah bisa terwujud ataukah tidak. Kita tunggu , semoga apa yang dicita-citakan Helmi Fajar menjadi sebuah kenyataan.

                                                                                                          Cirebon, 9 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar