Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Jumat, 28 Juni 2019

K U L Y A N A (Cerpen)


Cerpen
K U L Y A N A
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Nafasnya ngos-ngosan mengejar bola yang digiring lawan sampai didepan mulut gawang. Tendangan langsung kearah mulut gawang dihalau Kulyana. Bola melesat kesamping kiri kiper. Penonton bersorak sorai dan ada pula yang menyangkan tendangan tadi tak membuahkan gol. Kulyana yang menghalau bola tadi justru mendapatkan tepukan dari soporter karena usahanya itu gol tidak terjadi. Kedudukan tetap seri 3-3.
            Permainan semakin memanas dengan sisa waktu yang masih ada. Terobosan-terobosan yang dilakukan PS.Putra Timur dari Cirebon dan PS. Persip Tegal. Laga Tarkam dibawah usia 15 tahun ini sunggguh merupakan tontonan yang menggembirakan. Lapangan yang dipagar seng jadi tak sembarangan yang menonton disini. Mereka yang memiliki tiket saja yang berhak masuk didalamnya. Walau diselenggarakan di kampung namun  penontonnya ada yang dari luar kota.
            Serangan-serangan dari kedua belah pihak membuat penonton makin tegang saja. Babak final tentunya harus ada pemenang. Menjelang menit-menit terakhir inilah PS. Putra Timur yang merupakan finalis tamu kebobolan. Penonton riuh rendah bersorak gembira bahkan ada penonton yang berhamburan ke tengah lapangan. Tak berselang lama lalu wasit meniupkan peluit tanda waktu pertandingan telah habis.
            Dua colt bak yang membawa pemain dan supporter PS Bintang Timur pulang dengan mempersembahkan juara kedua. Mendapat uang pembinaan sebesar 1 juta dan piala. Sepanjang perjalanan anak-anak yang kebanyakan masih sekolah di SD ini tampak gembira. Tiga hari mengikuti kompetisi hasilnya ternyata cukup memuaskan. Tak percumah sebab ada yang bisa dibawa pulang.
            “Hebat kamu  Kulyana”
            “Kalau tidak ada kamu pasti sudah kebobolan banyak”
Kulyana tersenyum dipuji sang pelatih . Posisinya sebagai bek sayap memang banyak sekali menghalau pemain musuh yang masuk wilayah pertahanan. Tak segan-segan dengan larinya yang sangat kencang Kulyana selalu menghadang setiap pemain yang masuk daerah terlarang. Beberapa kali Kulyana jatuh dan bangun untuk mempertahankan wilayah dari serangan musuh yang mencoba mendobrak gawang.
            Menjelang isya rombongan baru tiba di depan Balai Desa. Piala diusung tingggi-tingggi. Masyarakat yang menyaksikan turut gembira tim kesebelasan dari desanya berhasil meraih juara. Masyarakat yang tidak mengerti ada kerumunan lalu bertanya-tanya ada apa gerangan sehingga di Balai Desa penuh dengan anak-anak muda.
            “Habis tanding sepak bola”
            “Kesebelasan kita juara”
Masyarakat jadi mengerti dengan penuhnya anak-anak yang bergerombol di depan Balai Desa. Tak menyangka kesebelasan dari desanya yang sederhana itu mampu juara kedua.
            Anak-anak yang berkerumun itu kini memperoleh uang pembinaan dari sang pelatih. Atas kebijakan pelatih itu masing-masing anak kebagian Rp. 30.000. Sungguh bagi anak-anak seperti Kulyana uang seperti itu sangatlah  besar. Ucapan terimakasih tak henti-hentinya diucapkan pada sang pelatih.
            “Jangan lihat besarnya”
            “Harus ingat kebersamaan dan kekompakan!”
Kulyana menganggukkan kepala menerima uang yang cukup lumayan besar. Sepanjang hidupnya baru kali ini ia menerima uang yang seperti itu. Diciumnya uang itu beberapa kali. Bersorai-sorai pulang menuju rumahnya masing-masing.
            Kegirangan hatinya ia limpahkan pada sang Nenek. Di rumah ini hanya Kulyana dan sang adik kembarnya saja Kulyadi bersama sang Nenek tercinta. Kasih sayang sang Nenek inilah yang ia rasakan sejak kecil. Dari kecil Kulyana dan Kulyadi diperihara sang Nenek. Anak ini mengerti kalau dirinya masih punya Ibu kandung tapi tak ia hiraukan. Dengan bertambahnya umur Kulyana dan Kulyadi mengetahui kalau keberadaan dirinya memang tak dikehendaki. Dirinya seperti anak buangan yang tak pantas hidup. Untung ada sang Nenek yang mau memelihara dirinya sampai kini duduk di kelas 7 SMP.
            “Nek Yana dapat uang “
Kulyana memberikan uang yang baru ia terima dari sang pelatih. Uang itu diberikan semua pada sang Nenek.
            “Uang dari mana?”
            “Yana dapat juara ke-2 main bolanya Nek!”
            “Uang itu dibagikan pelatih masing-masing Rp. 30.000-an setiap pemainnya”
Dipeluknya sang cucu yang sudah dianggap sebagai anak sendiri. Sang adik yang ada disisi  juga ikut banggga sang kakak memperoleh juara sepakbola dengan hadiah uang yang lumayan besar.
                                                                        ***
            Kulyana dan Kulyadi adalah dua anak kembar yang dibesarkan oleh sang nenek. Lalu kemana kedua orangtuanya? Inilah yang menjadi perhatian sejak lama Kulyana dan Kulyadi. Kalau dahulu bertanya tentang kedua orangtuanya selalu dijawab sang Nenek ada lagi merantau di luar kota dan sebagainya. Kini keduanya makin beranjak besar. Kulyana sebagai anak tertua ingin tahu kondisi susunguhnya tentang kedua orangtuanya.
            Suatu saat kedua kakak-beradik ini sepakat mau menanyakan lagi siapa sesungguhnya orangtua kandung dirinya. Mengingat selama ini ia hanya tahu dari tetanggga saja. Maka pada kesempatan yang dianggapnya sangat bagus inilah Kulyana bertanya pada sang Nenek.
            “Ibumu masih ada”
            “Namanya Rahmi”
            “Rahmi yang seminggu lalu datang ke rumah ini Nek?
Neneknya mengangukkan kepala menatap wajah kedua kaka-beradik. Kedua anak ini merasa keheranan kok Ibu kandung datang ke rumah sang Nenek sepertinya tak ada perasaan apa-apa dengan anak kandungnya sendiri. Tak seperti anak-anak yang lain manakala bertenu dengan ibu kandungnya.
            Kulyana mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu ketika itu ia dibawa oleh seorang laki-laki dan seseorang wanita di ke laut. Ia hanya ikut saja karena tak mengerti akan diapakan. Orang-orang yang ada disekitarnya pada menangis. Ada apa dengan orang-orang disekitarnya yang pada menangis. Ada ribut-ribut diantara orang-orang yang ada disekitarnya yang Kulyana lihat.
            Kulyada menangis.  Pengalaman puluhan tahun itu terlintas kembali. Kini ia sadar kalau orang yang dahulu membawa  dirinya itu adalah orang yang mingggu lalu berkunjung ke rumah sang Nenek. Orang yang dalam pembicaraannya mengatakan akan membuang dirinya ke laut. Ternyata yang akan membuang dirinya ke laut itu adalah Ibu kandungnya sendiri. Lalu kenapa pula ia sampai tega akan membuang anak kandungnya sendiri ke laut? Inilah yang sampai sekarang ia belum mengerti. Suatu rahasia yang sampai sekarang belum        terpecahkan.  Makin bertambahnya usia Kulyana membuat pertanyaan-pertanyaan yang dahulu ditujukan pada sang Nenek belum terpecahkan kini mulai menemui titik terang.
            Tak apalah kalau sang Nenek masih belum memberikan  keterangan yang sesunggguhnya. Ia yakin ada sesuatu yang sangat dirahasiakan sehingga sampai-sampai Ibu kandungnya sendiri tak mengakui ia dan sang adik sebagai anak kandung. Kulyana memperhatikan warna kulitnya yang memang berbeda dengan anak-amnak disini. Otaknya mulai berfikir jangan-jangan hanya karena inilah sang Ibu sampai sekarang     tak mengakui dirinya sebagai anak kandung? Apakah kelahiran dirinya sebagai anak tak   diharapkan? Lalu kenapa dirinya bisa lahir dari seorang Ibu yang sampai tega tidak mengakui darahdagingnya sebagai anak kandung? Mungkin inilah yang menjadikan dirinya sejak                                      kecil hanya mengenal kasihsayang sang Nenek.
                                                                        ***
            Rahmi adalah gadis kampung yang ikut kerja sebagai TKW di Arab Saudi. Bertahun-tahun mengais rejeki di negara kaya minyak itu yang kemudian membuahkan janin Kulyana dan Kulyadi. Sang Nenek tak pernah cerita dari mana Bapak kandung kedua anak kembar ini. Kalau melihat kulit Kulyana dan Kulyadi yang hitam tak seperti halnya anak-anak Indonesia jelas kalau Bapak kedua             si kenbar bukanlah orang Indonesia.
            Pulang ke Indonesia  hanya untuk melahirkan dan si anak yang mengurus adalah sang Nenek. Bila melihat si kembar ini sang Ibu bukannya senang melihat anak             yang lahir dari rahimnya sendiri. Rahmi seperti sangat sungkan sekali dan sampai keluar kalimat kalau keduanya bukanlah anak kandung hasil darah dagingnya. Kontan sang Nenek marah besar dengan sikap                                Rahmi yang seperti ini. Rahmi  kembali lagi ke Arab sebagai TKW.
            Bekerja beberapa tahun lagi di Arab dan tak terasa kontraknya habis, ia pulang kembali ke tanah air. Si kembar sudah mulai besar. Rahmi menikah lagi dengan pemuda asli sekampung yang masih perjaka, punya trah bagus dan     cukup terpandang di desa ini. Makin jauhlah Kulyadi dan Kulyana karena si bapak tiri inipun tak mengakui   dia sebagai anaknya Rahmi. Bahkan perlakukan si Bapak tiri ini persis dengan lagu-lagu tentang anak tiri. Perlakukan kasar kerap diterima Kulyana yang merupakan anak yang paling besar.
            Pernah suatu hari ketika Kulyana marathon dengan teman-temannya dikejar oleh motor yang tak lain adalah si bapak tiri. Entah tak tahu alasan  apa-apa  sampai akhirnya si bapak tiri memukul dirinya. Orang yang mau melerai justru dimarahi.
            “Jangan ikut-ikutan”
            “Gara-gara Ibu kalian saya jadi begini!”
Tamparan beberapa kali Kulyana terima. Lelaki itu akhirnya pergi meninggalkan dirinya. Menerima perlakukan yang tidak senonoh itu ia laporkan pada sang Nenek. Kontan sang Nenek marah besar. Setidaknya sebagai cucu yang sudah dianggap anak kandung mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya.
            Cerita penganiayaan ini sampai akhirnya didengar  pihak kepolisian. Petugas langsung datang ke rumah sang Nenek.
            “Mau diperkarakan tidak Nek?”
            “Rohim bisa di sel”
Nenek berfikir cukup lama. Tak enak juga kalau masalah ini menjadi besar. Dengan kebesaran jiwa si Nenek memilih untuk tidak melanjutkan perkara.
            “Biar kalau nanti sekali lagi berulah seperti ini baru akan saya laporkan”
Mendengar kasusnya sudah sempat ditangani polisi Rohim akhirnya ciut juga. Dia tak ingin mendekam di sel tahanan. Tak ada urusannya dengan Kulyana dan Kulyadi tapi seolah-olah ia dendam terhadap anak hasil araban ini.  Entah karena si Rahmi itu yang mengaku gadis ketika menikah lalu Rohim menerimanya karena pengakuannya masih gadis? Atau ada hal lain yang menyebabkan Rohim seperti tidak menerima kenyataan kalau Rahmi itu sudah punya anak 2 sepulang dari kerjanya di Arab periode pertama? Entahlah! Kulyana dan Kulyadi tak mau berandai-andai. Cukuplah dirinya yang hitam ini menanggung penderitaan. Cukup sudah bentu-bentuk penyiksaan yang diterima selama ini. Kalau memang tak mau mengakui dirinya dan sang adik sebagai anak kandung tak apalah. Toh masih punya  sang Nenek yang dengan sayangnya merawat dirinya sampai sekarang. Biarlah Allah yang membalas atas apa yang selama ini ia terima.
            Putus sudah segala bentuk pengakuan terhadap ibu kandung. Tak ada perasaan apa-apa bila melihat Rahmi di jalanpun. Begitu pula dengan Rahmi yang rautnya tak memperlihatkan sebuah penyesalan apapun bila bertemu Kulyadi dan Kulyana.  Hatinya seperti sudah tertutup dengan persoalan pribadi yang tak berkesudahan.
            Kulyana hanya  berharap sang Nenek bisa menyaksikan  dirinya sukses. Kulyana berharap sang Nenek selalu sehat dan diberikan umur yang panjang. Ada suatu yang belum sempat ia berikan pada neneknya tercinta. Ingin membahagiakan sang Nenek diusianya yang tak  muda lagi. Kulyana dan Kulyadi masih banyak membutuhkan tenaga sang Nenek.
            Diperhatikan neneknya yang sudah tertidur pulas. Seharian ia bekerja bantu-bantu tetanggganya mencuci dan menyetrika. Dari hasil jerihpayahnya itu ia mendapatkan upah. Upahnya yang tak seberapa itu digunakan sang Nenek untuk menyekolahkan si kembar. Perjuangan yang sangat   mulia. Tak akan pernah dilupakan jasa Nenek sampai kapanpun. Hanya Allah jualah yang bisa membalas kebaikan sang Nenek selama ini.

                                                                                                              Cirebon, 5 Agustus 2012
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar