Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Rabu, 19 Juni 2019

GARAM LANGKA DI NEGARA MARITIM (Artikel)


ARTIKEL

GARAM LANGKA DI NEGARA MARITIM
Oleh : Nurdin Kurniawan, S.Pd. *)


            Membaca koran lokal bahwasanya  garam menghilang di beberapa kabupaten dari pasaran sungguh terkejut. Bagaimana mungkin Indonesia yang dijuluki sebagai negara maritim dimana luas lautnya merupakan 2/3 dari luas wilayahnya justru garam hilang dari pasaran. Seperti belum bisa menerima. Ibarat peribahasa yang mengatakan ayam mati di lumbung padi. Kok hal ini bisa terjadi di negara yang  laut dan samudranya membentang begitu luas. Kemanakan manfaat Sumber Daya Alam (SDA) seperti laut dan samudra selama ini?
            Baru sadar ternyata luas laut yang menjadi penghubung negera Indonesia dan Samudra Pasifik dan samudra Hindia yang menjadi batas belum sepenuhnya bisa menolong manusia  Indonesia yang ada di dalamnya. Untuk garam saja yang bahan bakunya air laut negara ini belum bisa memanfaatkannya.
Menurut Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) seperti dilansir Tempo.Co. Cucu Sutara mengatakan kebutuhan garam di Indonesia untuk tahun 2017 mencapai sekitar 4,2 juta ton. Kebutuhan garam untuk konsumsi di Indonesia per tahunnya mencapai 750 ribu ton, sementara untuk kebutuhan industri mencapai sekitar 3 juta ton per tahun.
Cucu mengatakan kebutuhan garam untuk industri dibagi menjadi dua kluster yakni kebutuhan garam untuk industri pangan dan industri non pangan dengan rincian untuk industri makanan dan minuman mencapai 450 ribu ton per tahun, pengasinan 400 ribu ton per tahun, untuk penyamakan 50 ribu ton per tahun.
Kemudian untuk pengeboran minyak 50 ribu ton, untuk industri 3.000 ribu ton, industri tekstil 200 ribu ton, untuk kebutuhan pembuatan sabun dan detergen 30 ribu ton per tahun dan kebutuhan garam terbesar itu dibutuhkan untuk industri petrokimia dan industri kertas dan bubur kertas.
Kebutuhan yang bisa ditutup oleh pemerintah baru sebatas kebutuhan garam untuk rumah tangga. Diluar itu terpaksa harus ditutup dengan cara impor dari negara lain. Sangat disayangkan negara dengan garis pantai terpanjang didunia ternyata masih mengimpor garam dari negara lain. SDA yang melimpah ternyata belum bisa diandalkan untuk memperkuat perekonomian nasional. Tak beda dengan hasil laut lainnya seperti ikan yang melimpah di negara ini juga masih dicuri negara lain.
Seperti diketahui, penggunaan garam selama ini cukup luas mulai dari garam untuk keperluan rumah tangga atau untuk konsumsi langsung (table salt), untuk pengasinan ikan dan daging, untuk penyamakan kulit hingga untuk keperluan industri aneka pangan/minuman, industri petrokimia (chlor alkali plant), industri farmasi, industri kosmetik dan kegiatan pengeboran minyak bumi. Garam ternyata banyak sekali dibutuhkan manusia dalam mengerjakan apapun.

Menyalahkan Alam
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus menggalakkan upaya peningkatan produksi garam nasional dalam rangka memenuhi kebutuhan garam di dalam negeri yang terus meningkat dengan melaksanakan Program Pengembangan Industri Garam Nasional melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi produksi garam di berbagai sentra produksi garam potensial di tanah air.
Ternyata faktor alam masih saja menjadi faktor penentu kegagalan mengejar target produksi tersebut. Pada kondisi iklim normal (musim kemarau 4,5-5,5 bulan), produksi garam dari sentra-sentra produksi di Madura, Cirebon, Indramayu, Demak, Pati, Rembang, Jeneponto, Takalar, Bima dan Teluk Kupang mencapai sekitar 1,2-1,3 juta ton/tahun termasuk hasil produksi PT Garam sekitar 330 ribu ton. Namun seiring dengan terjadinya perubahan iklim global, pada tahun 2010 lalu produksi garam nasional mengalami penurunan drastis akibat musim hujan berkepanjangan.
Petani garam membuat garam hanya dengan mengandalkan pemanasan yang hanya berasal dari sinar matahari. Kemarau tahun ini adalah kemarau basah. Rata-rata intensitas curah hujan tahun ini yaitu antara 200 hingga 400 mm per bulan. Sedangkan curah hujan yang ideal agar kegiatan produksi garam tidak terganggu adalah di bawah 150 mm per bulan. Petani garam yang hanya mengandalkan dari pengeringan sinar matahari terkena dampaknya. Produksi garam menurun drastis.
Kini di tahun 2017 alasan seperti itu terulang lagi dan stok nasional tidak bisa memenuhi kebutuhan. Bila di tahun 2016, total produksi garam konsumsi nasional hanya 137.600 ton atau 4,6 persen dari target 3 juta ton. Sementara pada tahun 2017, pemerintah memberikan target produksi 3,2 juta ton. Target di tahun 2016 tidak teralisasi lantaran terjadi musim kemarau basah. Alhasil garam rakyat tidak maksimal produksinya dan tahun sekarangpun produksi garam nasional tidak beda jauh. Sebuah ironi yang terjadi di negara maritim yang luas lautnya melebihi luas daratannya.
Kini mulai dirasakan kalau garam menghilang di pasaran. Kalaupun ada dengan harga yang cukup mahal. Pepatah yang mengatakan bagaikan sayur tanpa garam sepertinya akan terjadi negara ini. Semuanya benar-benar hambar dirasakann! Walaupun sedikit yang namanya sayur dengan garam tentu kombinasi yang sangat enak.
Sentra-sentra penghasil garam yang ada di Cirebon petaninya boleh berbesar hati sebab hasil penjualan garamnya akan memberikan keuntungan yang besar. Namun kegembiraan ini hanya sesaat saja sebab pemerintah sudah bersiap-siap untuk mengimpor garam dari negara lain. Masuknya garam dari hasil impor setidaknya akan merusak mekanisme pasar yang ada. Sebuah upaya penyelamatan yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan garam nasional.
Suka terpikirkan bagaimana kalau masyarakat dibiasakan dengan menggunakan garam cair saja. Bahan bakunya mudah didapat tinggal mengambil air laut tanpa harus menguap dulu menyisakan kristal-kristal garam. Bukankah negara kita luas lautnya melebihi dari luas daratannya? Laut hampir mengelilingi pulau-pulau yang ada. Kalaupun ada perbedaan rasa antara garam yang sudah mengkristal dengan air laut yang juga sama-sama asin hanyalah masalah selera. Setidaknya hal ini bisa mengurangi kebutuhan garam kristal yang sering digunakan selama ini.
Memang sebuah ironi di negara maritim yang kekurangan garam sementara bahan bakunya melimpah ruah. Lalu akan sampai kapan pemerintah mengimpor garam sementara bahan baku tinggal mengeduk dikanan dan kirinya. Teringat akan lagu Koes Plus bahwa bukan lautan hanya kolam susu, segalanya menghidupimu. Tinggal bagaimana kita sebagai manusia bisa memanfaatkan Sumber daya Alam (SDA) yang melimpah dengan sebaik-baiknya. Wallahu alam bishowab.

                                                                                           *) Praktisi Pendidikan
                                                                                                Domisili di Gebang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar