ARTIKEL
GARAM LANGKA DI NEGARA MARITIM
Oleh : Nurdin Kurniawan, S.Pd. *)
Membaca koran lokal bahwasanya garam menghilang di beberapa kabupaten dari
pasaran sungguh terkejut. Bagaimana mungkin Indonesia yang dijuluki sebagai negara
maritim dimana luas lautnya merupakan 2/3 dari luas wilayahnya justru garam
hilang dari pasaran. Seperti belum bisa menerima. Ibarat peribahasa yang
mengatakan ayam mati di lumbung padi. Kok hal ini bisa terjadi di negara yang laut dan samudranya membentang begitu luas.
Kemanakan manfaat Sumber Daya Alam (SDA) seperti laut dan samudra selama ini?
Baru sadar ternyata luas laut yang
menjadi penghubung negera Indonesia dan Samudra Pasifik dan samudra Hindia yang
menjadi batas belum sepenuhnya bisa menolong manusia Indonesia yang ada di dalamnya. Untuk garam
saja yang bahan bakunya air laut negara ini belum bisa memanfaatkannya.
Menurut
Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Industri Pengguna
Garam Indonesia (AIPGI) seperti dilansir Tempo.Co.
Cucu Sutara mengatakan kebutuhan garam di Indonesia untuk tahun 2017 mencapai
sekitar 4,2 juta ton. Kebutuhan garam untuk konsumsi di Indonesia per tahunnya
mencapai 750 ribu ton, sementara untuk kebutuhan industri mencapai sekitar 3
juta ton per tahun.
Cucu mengatakan
kebutuhan garam untuk industri dibagi menjadi dua kluster yakni kebutuhan garam
untuk industri pangan dan industri non pangan dengan rincian untuk industri
makanan dan minuman mencapai 450 ribu ton per tahun, pengasinan 400 ribu ton
per tahun, untuk penyamakan 50 ribu ton per tahun.
Kemudian untuk
pengeboran minyak 50 ribu ton, untuk industri 3.000 ribu ton, industri tekstil
200 ribu ton, untuk kebutuhan pembuatan sabun dan detergen 30 ribu ton per
tahun dan kebutuhan garam terbesar itu dibutuhkan untuk industri petrokimia dan
industri kertas dan bubur kertas.
Kebutuhan yang bisa
ditutup oleh pemerintah baru sebatas kebutuhan garam untuk rumah tangga. Diluar itu terpaksa harus ditutup dengan cara impor
dari negara lain. Sangat disayangkan negara dengan garis pantai terpanjang
didunia ternyata masih mengimpor garam dari negara lain. SDA yang melimpah
ternyata belum bisa diandalkan untuk memperkuat perekonomian nasional. Tak beda
dengan hasil laut lainnya seperti ikan yang melimpah di negara ini juga masih dicuri
negara lain.
Seperti diketahui, penggunaan garam selama ini cukup
luas mulai dari garam untuk keperluan rumah tangga atau untuk konsumsi langsung
(table salt), untuk pengasinan ikan dan daging, untuk penyamakan kulit hingga
untuk keperluan industri aneka pangan/minuman, industri petrokimia (chlor
alkali plant), industri farmasi, industri kosmetik dan kegiatan pengeboran
minyak bumi. Garam ternyata banyak sekali dibutuhkan manusia dalam mengerjakan
apapun.
Menyalahkan Alam
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus menggalakkan
upaya peningkatan produksi garam nasional dalam rangka memenuhi kebutuhan garam
di dalam negeri yang terus meningkat dengan melaksanakan Program Pengembangan
Industri Garam Nasional melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi
produksi garam di berbagai sentra produksi garam potensial di tanah air.
Ternyata faktor alam masih saja menjadi faktor penentu
kegagalan mengejar target produksi tersebut. Pada kondisi iklim normal (musim kemarau 4,5-5,5 bulan),
produksi garam dari sentra-sentra produksi di Madura, Cirebon, Indramayu,
Demak, Pati, Rembang, Jeneponto, Takalar, Bima dan Teluk Kupang mencapai
sekitar 1,2-1,3 juta ton/tahun termasuk hasil produksi PT Garam sekitar 330
ribu ton. Namun seiring dengan terjadinya perubahan iklim global, pada tahun 2010
lalu produksi garam nasional mengalami penurunan drastis akibat musim hujan
berkepanjangan.
Petani garam membuat garam hanya dengan mengandalkan
pemanasan yang hanya berasal dari sinar matahari. Kemarau tahun ini adalah
kemarau basah. Rata-rata intensitas curah hujan tahun ini yaitu antara 200
hingga 400 mm per bulan. Sedangkan curah hujan yang ideal agar kegiatan
produksi garam tidak terganggu adalah di bawah 150 mm per bulan. Petani garam
yang hanya mengandalkan dari pengeringan sinar matahari terkena dampaknya.
Produksi garam menurun drastis.
Kini di tahun 2017
alasan seperti itu terulang lagi dan stok nasional tidak bisa memenuhi
kebutuhan. Bila di tahun 2016, total produksi garam konsumsi
nasional hanya 137.600 ton atau 4,6 persen dari target 3 juta ton. Sementara
pada tahun 2017, pemerintah memberikan target produksi 3,2 juta ton. Target di
tahun 2016 tidak teralisasi lantaran terjadi musim kemarau basah. Alhasil garam
rakyat tidak maksimal produksinya dan tahun sekarangpun produksi garam nasional
tidak beda jauh. Sebuah ironi yang terjadi di negara maritim yang luas lautnya
melebihi luas daratannya.
Kini mulai dirasakan
kalau garam menghilang di pasaran. Kalaupun ada dengan harga yang cukup mahal. Pepatah
yang mengatakan bagaikan sayur tanpa garam sepertinya akan terjadi negara ini. Semuanya
benar-benar hambar dirasakann! Walaupun sedikit yang namanya sayur dengan garam
tentu kombinasi yang sangat enak.
Sentra-sentra penghasil
garam yang ada di Cirebon petaninya boleh berbesar hati sebab hasil penjualan garamnya
akan memberikan keuntungan yang besar. Namun kegembiraan ini hanya sesaat saja
sebab pemerintah sudah bersiap-siap untuk mengimpor garam dari negara lain.
Masuknya garam dari hasil impor setidaknya akan merusak mekanisme pasar yang
ada. Sebuah upaya penyelamatan yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan garam nasional.
Suka terpikirkan bagaimana
kalau masyarakat dibiasakan dengan menggunakan garam cair saja. Bahan bakunya
mudah didapat tinggal mengambil air laut tanpa harus menguap dulu menyisakan
kristal-kristal garam. Bukankah negara kita luas lautnya melebihi dari luas
daratannya? Laut hampir mengelilingi pulau-pulau yang ada. Kalaupun ada
perbedaan rasa antara garam yang sudah mengkristal dengan air laut yang juga
sama-sama asin hanyalah masalah selera. Setidaknya hal ini bisa mengurangi
kebutuhan garam kristal yang sering digunakan selama ini.
Memang sebuah ironi
di negara maritim yang kekurangan garam sementara bahan bakunya melimpah ruah.
Lalu akan sampai kapan pemerintah mengimpor garam sementara bahan baku tinggal
mengeduk dikanan dan kirinya. Teringat akan lagu Koes Plus bahwa bukan lautan hanya kolam susu, segalanya
menghidupimu. Tinggal bagaimana kita sebagai manusia bisa memanfaatkan
Sumber daya Alam (SDA) yang melimpah dengan sebaik-baiknya. Wallahu alam bishowab.
*) Praktisi Pendidikan
Domisili di Gebang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar