Cerpen
K U L Y A D I
Oleh : Nurdin Kurniawan
Mudah sekali untuk mengingat nama
anak yang satu ini. Duduknya paling belakang dan sangat kontras dengan
penampilan anak-anak yang lainnya. Kulyadi
demikian anak ini menyebutkan nama dihadapan teman-temannya. Kulitnya
yang hitam beda dengan anak-anak yang
lainnya yang sawo matang membuat anak ini suka minder sendiri. Dilihat dari
penampilannya tersebut teman-temannya suka berbisik-bisik kalau Kulyadi ini
bukan seperti mereka yang asli Indonesia.
Anaknya yang pendiam tak menjadikan
Kulyadi terpengaruh dengan apa yang sedang dibicarakan teman-temannya. Penampilannya
sederhana dan tak banyak tingkah di kelas. Prestasinya juga biasa-biasa saja
tidak terlalu menoinjol ataupun bodoh.
Baru kali ini guru-guru tahu kalau
anak ini sebenarnya kembar setelah tahun ajaran baru kembarannya masuk di
sekolah ini. Hanya saja sang kakak justru tertinggal. Kakaknya yang bernama
Kulyana pernah tingggal kelas ketika mereka baru duduk di kelas satu sekolah
dasar. Kini di SMP keduanya berjumpa lagi hanya saja ada yang tertinggal satu tingkatan.
Dari penampilannya yang beda ini
suka ada yang ingin diketahui tentang sang anak. Apakah kulitnya yang beda
dengan orang Indonesia pada umumnya memang dia ini asli keturunan Indonesia? Pertanyaan nakal yang justru akan
menambah wawasan. Setelah mencari beberapa informasi dari beberapa rekan Guru
dan juga dari si anak yang bersangkutan memang Kulyadi ini ada keturunan dari
orang asing. Kalau tidak dari Pakistan mungkin dari Banglades ataupun dari
India. Bisanya begitu?
Alkisah sang Ibu bekerja sebagai TKW
di Arab Saudi, sebut saja bernama Rahmi. Lama bekerja di Arab sampailah ia
mengenal seseorang. Entah ceritanya bagaimana
Rahmi akhirnya hamil. Banyak spekulasi tentang siapa bapak si anak ini?
Rahmi akhirnya pulang ke tanah air. Hanya beberapa bulan di tanah air lalu
lahirlah Kulyana dan Kulyadi si kembar.
Kelahiran si kembar inilah yang membawa
petaka bagi Rahmi. Entah karena ada dorongan tertentu dari luar atau memang keluar
dari hati yang paling dalam Kulyadi dan Kulyana tidak diakuinya sebagai anak. Subhanallah! Kedua anak kembarnya ini
lalu diberikan pada sang nenek. Walau sangat berat menerima ini namun sang
nenek mau bagaimana lagi? Dengan kasih sayang seadanya maka dirawatlah kedua
anak kembar ini. Sampai anak ini sekarang sudah kelas 8 sang Ibu masih belum juga
mengakui kalau Kulyadi dan Kulyana ini
sebagai anaknya. Anak kini sudah besar dan sudah bisa merasakan apa yang
diucapkan sang Ibu. Hal ini sudah terpatri pada diri Kulyadi ataupun Kulyana.
Perlakukan Ibu kandung yang seperti itu ia balas dengan tidak mengakui pula Ibu
kandungnya itu sebagai seorang Ibu. Impaskah?
Apakah yang menyababkan si Ibu sampai
tega tak mengakui anak kandung sebagai darah dagingnya sendiri? Kulyadi mulai
bertanya-tanya. Ini pasti ada sesuatu yang menyebabkan si Ibu berfikir seperti
itu. Pola pikirnya yang masih sederhana kini mulai menemukan titik terang setelah
ia bertanya-tanya, walaupun entah benar atau tidak apa yang ia telusuri.
Semenjak sang Ibu menikah lagi
dengan seorang perjaka yang punya keturunan baik dan termasuk orang berada di
kampung ini pemikiran yang seperti itu muncul. Sang Ibu tak mengakui dirinya
sebagai anak kandung. Sang Ibu demi menjaga martabat dan nama baik maka
‘seolah’ menutupi keberadaan dirinya. Cara yang seperti ini memang tak lazim
toh semua penduduk disini sudah tahu kalau Rahmi punya dua anak kembar hasil
Araban. Semua orang juga tahu kalau sepulang dari Arab Rahmi itu hamil dan
lahirlah si kembar Kulyana dan Kulyadi. Itu fakta yang tak bisa ditutup-tutupi.
Namun entah kenapa seorang Ibu bisa berbuat seperti itu.
Kulyadi pernah berfikir apa sebanya
sang Ibu sampai tak mengakui dirinya sebagai anak kandung? Apakah dirinya lahir
karena suatu ‘musibah” ataukah dirinya
lahir dari hasil cinta kasih? Kalaulah dirinya lahir karena cinta kasih tak
mungkin sampai tak diakui sebagai anak kandung. Ataukah dirinya lahir dari
suatu perbuatan yang tidak disukai sang Ibu sehingga Ibunya itu dendam pada
lelaki yang telah menghamilinya? Banyak, banyak sekali pertanyaan yang membuat
Kulyadi sendiri tak bisa menemukan sebuah jawaban.
Pasti ada sesuatu yang dirahasiakan
sang Ibu. Kulyadi tak ingin mengetahui lebih banyak kalau harus bertanya pada
Rahmi. Toh dia sekarang tak mengakui
dirinya sebagai anak kandung lalu buat
apa pula Kulyadi datang menanyakan sebab-sebab
yang menjadikannya seperti ini. Bagi Kulyadi pernyataan dari Rahmi
seperti itu sudah dianggap sebagai penghinaan. Mahal sekali kalau sebuah
penghinaan sampai anak kandung tak diakui sebagai anaknya. Tak mau repot-repot
maka ia juga balas dengan tak mengakui Rahmi sebagai Ibu Kandung.
Hanya saja ada rasa penasaran iangin
tahu siapakah nama Bapak? Masih hidupkah atau sudah mati? Dari negatra manakah
Bapak itu? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul dari diri Kulyadi. Ia ingin
tahu sekali berita tentang sang Bapak. Siapakah orang yang tahu rahasia sang
Bapak ini? Kalau untuk bertanya pada Rahmi jelas cukup sudah sampai disini
saja, masih ada sang nenek yang kini dianggap sebagai Ibu kandung. Pada
neneklah segala sesuatu dicurahkan. Sang nenek? Mulailah ketemu jawabannya.
Pada sang Nenek inilah segara rahasia yang selama ini terpendam rapat-rapat
harus ia ungkap.
Bersama sang kakak di malam nan
penuh bulan purnama keduanya ingin tahu keberadaan sang Bapak. Naluri anak yang
ingin tahu siapa silsilah sang Bapak begitu besar. Maka pada kesempatan yang baik inilah pertanyaan-pertanyaan
tentang sang Bapak ia akan ajukan pada
Nenek. Dulu memang Kulyadi pernah menanyakan siapa Bapaknya ketika dirinya masih
kelas 2 SD. Jawaban yang diberikan sang Nenek seperti kurang meyakinkan.
Kinilah saatnya dengan sang kakak pertanyaan yang sudah puluhan tahun
tersembunyi dengan rapat akan diulangi. Mudah-mudahan ingatan sang Nenek masih
kuat sehingga jelaslah siapa sesungguhnya sang Bapak.
“Bapak kamu sudah meningggal!”
Jawaban yang sama
dengan ketika dirinya masih kecil.
“Bapak meningggal kenapa Nek?”
Sang Nenek
geleng-geleng kepala tak tahu apa peyebab
sang Bapak meningggal. Kulyadi dan Kulyana sebenarnya tahu kalau jawaban seperti ini
agar drinya tak berharap banyak dengan sang Bapak. Bahasa sederhananya sudah
jangan mengharap-harap lagi kedatangan sang Bapak. Selama Kulyadi dan Kulyana
ada dimuka bumi ini pun yang namanya sang Bapak tak pernah seharipun datang.
Jadi buat apa dijelaskan dengan segamblang mungkin juga toh tak akan menjadikan
sang Bapak bisa berada di Indonesia.
“Lalu siapa nama Bapak Nek?”
“Kalau kamu ingin tahu nama Bapak
kamu ada di buku”
“Buku apa Nek?”
Sang Nenek lalu
menunjuk pada buku tulis lecek yang sudah lama tersimpan di lemari. Kulyadi dan
Kulyana buru-buru mencari bukku yang diceritakan sang Nenek. Sebuah buku tulis tua yang berisi alamat anak Nenek yang ada di Jakarta.
“Yang mana Nek?”
Nenek Daeni lalu
membuka halaman yang ia yakin disitu tertera sebuah nama laki-laki yang sampai
sekarangpun dirinya tak pernah bertatap muka.
“Inilah nama Bapak kamu”
Tangan Nenek
menunjuk suatu tulisan yang sudah lama sekali tak pernah ia baca. Tertera nama
Mudasir. Entah nama sesungguhnya atau nama rekaan Rahmi agar tak terlacak jejak tapak orang yang disebut-sebut bernama Mudasir.
“Mudasir?”
“Mudasir?”
“Apakah ia orang Indoneisa?”
“Atau dari negara lain?”
Banyak sekali
pertanyaan yang muncul dari si kembar ini. Sebuah nama yang hanya bisa diingat
namun tak pernah terlintas bentuk
mukanya seperti apa dan bagaimana bentuk tubuh yang lainnya tak bias tertebak.
Kulyadi dan Kulyana akhirnya terduduk lemas di bangku panjang yang sudah
reot. Keinginnnya untuk mengetahui riwayat sang Bapak terkubur dalam-dalam. Ada misteri
yang tak terungkap dari kisah Bapaknya. Mau bertanya
pada siapa lagi? Mau ke uwak? Tanya ke Rahmi? Untuk yang terakhir ini lebih
baik tidak. Sudah tak ada hubungan apa-apa lagi dengannya.
***
Rahmi dengan suami yang sekarang
punya 2 anak. Sama dengan Rahmi yang tak mengakui Kulyadi
dan Kulyana sebagai anaknya maka Bapak tiri pun tak mengakui si kembar ini anak
tirinya. Bagi Kulyadi dan Kulyana hal ini sudah ia terima dari dulu. Biarlah
yang seperti ini menjadi catatan dirinya seumur hidup.
Sang Neneklah yang menjadi tambatan
hati Kulyana dan Kulyadi. Untuk urusan sekolah sang Neneklah yang bersusah
payah mencari uang. Sibuk bekerja pada orang dengan membantu-bantu apa yang bisa
Nenek kerjakan. Kadang Nenek bergantian bekerja dari satu rumah ke rumah yang
lainnya. Dari hasil bekerja itulah Nenek bisa mensekolahkan Kulyadi dan Kulyana.
Kulyadi yang bercita-cita ingin jadi
pemain sepakbola ini terus rajin belajar. Apapun yang dikatakan orang dari
tatapan ataupun dari omongan langsung tak ia hiraukan. Kalau untuk kebaikan
barulah ia tanggapi. Kulyadi memang sosok anak yang sedang mencari jati diri.
Perlakuan yang tidak menyenangkan selama ini terhadap dirinya dianggap sebagai
hal yang biasa. Dirinya hanya berharap agar pada satu-satunya orang yang selama
ini begitu besar kasihsayangnya bisa menyaksikan dirinya berhasil. Ingin sang Nenek
bisa merasakan hasil jerihpayahnya kalau dirinya suatu saat menjadi orang yang
berhasil. Ingin membutktikan tanpa diakui Ibu kandung juga masih bisa bertahan,
masih bisa berprestasi lepas dari ketergantungan pada orang yang selama ini
telah ‘membuangnya’.
Hanya pada Allah-lah segala keluh
kesah ditujukan. Dialah Zat yang Maha Tahu. Tak satupun kalimat yang keluar
dari mulut manusia yang tak tercatat. Semua ada pada catatan-Nya yang tak
pernah kusam dimakan usia.
Cirebon, 29 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar