Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Jumat, 28 Juni 2019

K U L Y A D I (Cerpen)


Cerpen
K U L Y A D I
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Mudah sekali untuk mengingat nama anak yang satu ini. Duduknya paling belakang dan sangat kontras dengan penampilan anak-anak yang lainnya. Kulyadi  demikian anak ini menyebutkan nama dihadapan teman-temannya. Kulitnya yang hitam  beda dengan anak-anak yang lainnya yang sawo matang membuat anak ini suka minder sendiri. Dilihat dari penampilannya tersebut teman-temannya suka berbisik-bisik kalau Kulyadi ini bukan seperti mereka yang asli Indonesia.
            Anaknya yang pendiam tak menjadikan Kulyadi terpengaruh dengan apa yang sedang dibicarakan teman-temannya. Penampilannya sederhana dan tak banyak tingkah di kelas. Prestasinya juga biasa-biasa saja tidak terlalu menoinjol ataupun bodoh.
            Baru kali ini guru-guru tahu kalau anak ini sebenarnya kembar setelah tahun ajaran baru kembarannya masuk di sekolah ini. Hanya saja sang kakak justru tertinggal. Kakaknya yang bernama Kulyana pernah tingggal kelas ketika mereka baru duduk di kelas satu sekolah dasar. Kini di SMP keduanya berjumpa lagi hanya saja  ada yang tertinggal satu tingkatan.
            Dari penampilannya yang beda ini suka ada yang ingin diketahui tentang sang anak. Apakah kulitnya yang beda dengan orang Indonesia pada umumnya memang dia ini  asli keturunan  Indonesia? Pertanyaan nakal yang justru akan menambah wawasan. Setelah mencari beberapa informasi dari beberapa rekan Guru dan juga dari si anak yang bersangkutan memang Kulyadi ini ada keturunan dari orang asing. Kalau tidak dari Pakistan mungkin dari Banglades ataupun dari India. Bisanya begitu?
            Alkisah sang Ibu bekerja sebagai TKW di Arab Saudi, sebut saja bernama Rahmi. Lama bekerja di Arab sampailah ia mengenal seseorang. Entah ceritanya bagaimana  Rahmi akhirnya hamil. Banyak spekulasi tentang siapa bapak si anak ini? Rahmi akhirnya pulang ke tanah air. Hanya beberapa bulan di tanah air lalu lahirlah Kulyana dan Kulyadi si kembar.
            Kelahiran si kembar inilah yang membawa petaka bagi Rahmi. Entah karena ada dorongan tertentu dari luar atau memang keluar dari hati yang paling dalam Kulyadi dan Kulyana tidak diakuinya sebagai anak. Subhanallah! Kedua anak kembarnya ini lalu diberikan pada sang nenek. Walau sangat berat menerima ini namun sang nenek mau bagaimana lagi? Dengan kasih sayang seadanya maka dirawatlah kedua anak kembar ini. Sampai anak ini sekarang sudah kelas 8 sang Ibu masih belum juga mengakui kalau Kulyadi dan Kulyana  ini sebagai anaknya. Anak kini sudah besar dan sudah bisa merasakan apa yang diucapkan sang Ibu. Hal ini sudah terpatri pada diri Kulyadi ataupun Kulyana. Perlakukan Ibu kandung yang seperti itu ia balas dengan tidak mengakui pula Ibu kandungnya itu sebagai seorang Ibu. Impaskah?
            Apakah yang menyababkan si Ibu sampai tega tak mengakui anak kandung sebagai darah dagingnya sendiri? Kulyadi mulai bertanya-tanya. Ini pasti ada sesuatu yang menyebabkan si Ibu berfikir seperti itu. Pola pikirnya yang masih sederhana kini mulai menemukan titik terang setelah ia bertanya-tanya, walaupun entah benar atau tidak apa yang ia telusuri.
            Semenjak sang Ibu menikah lagi dengan seorang perjaka yang punya keturunan baik dan termasuk orang berada di kampung ini pemikiran yang seperti itu muncul. Sang Ibu tak mengakui dirinya sebagai anak kandung. Sang Ibu demi menjaga martabat dan nama baik maka ‘seolah’ menutupi keberadaan dirinya. Cara yang seperti ini memang tak lazim toh semua penduduk disini sudah tahu kalau Rahmi punya dua anak kembar hasil Araban. Semua orang juga tahu kalau sepulang dari Arab Rahmi itu hamil dan lahirlah si kembar Kulyana dan Kulyadi. Itu fakta yang tak bisa ditutup-tutupi. Namun entah kenapa seorang Ibu bisa berbuat seperti itu.
            Kulyadi pernah berfikir apa sebanya sang Ibu sampai tak mengakui dirinya sebagai anak kandung? Apakah dirinya lahir karena suatu ‘musibah”  ataukah dirinya lahir dari hasil cinta kasih? Kalaulah dirinya lahir karena cinta kasih tak mungkin sampai tak diakui sebagai anak kandung. Ataukah dirinya lahir dari suatu perbuatan yang tidak disukai sang Ibu sehingga Ibunya itu dendam pada lelaki yang telah menghamilinya? Banyak, banyak sekali pertanyaan yang membuat Kulyadi sendiri tak bisa menemukan sebuah jawaban.
            Pasti ada sesuatu yang dirahasiakan sang Ibu. Kulyadi tak ingin mengetahui lebih banyak kalau harus bertanya pada Rahmi. Toh dia  sekarang tak mengakui dirinya sebagai  anak kandung lalu buat apa pula Kulyadi datang menanyakan sebab-sebab  yang menjadikannya seperti ini. Bagi Kulyadi pernyataan dari Rahmi seperti itu sudah dianggap sebagai penghinaan. Mahal sekali kalau sebuah penghinaan sampai anak kandung tak diakui sebagai anaknya. Tak mau repot-repot maka ia juga balas dengan tak mengakui Rahmi sebagai Ibu Kandung.
            Hanya saja ada rasa penasaran iangin tahu siapakah nama Bapak? Masih hidupkah atau sudah mati? Dari negatra manakah Bapak itu? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul dari diri Kulyadi. Ia ingin tahu sekali berita tentang sang Bapak. Siapakah orang yang tahu rahasia sang Bapak ini? Kalau untuk bertanya pada Rahmi jelas cukup sudah sampai disini saja, masih ada sang nenek yang kini dianggap sebagai Ibu kandung. Pada neneklah segala sesuatu dicurahkan. Sang nenek? Mulailah ketemu jawabannya. Pada sang Nenek inilah segara rahasia yang selama ini terpendam rapat-rapat harus ia ungkap.
            Bersama sang kakak di malam nan penuh bulan purnama keduanya ingin tahu keberadaan sang Bapak. Naluri anak yang ingin tahu siapa silsilah sang Bapak begitu besar.  Maka pada kesempatan yang baik inilah pertanyaan-pertanyaan tentang sang Bapak ia akan  ajukan pada Nenek. Dulu memang Kulyadi pernah menanyakan siapa Bapaknya ketika dirinya masih kelas 2 SD. Jawaban yang diberikan sang Nenek seperti kurang meyakinkan. Kinilah saatnya dengan sang kakak pertanyaan yang sudah puluhan tahun tersembunyi dengan rapat akan diulangi. Mudah-mudahan ingatan sang Nenek masih kuat sehingga jelaslah siapa sesungguhnya sang Bapak.
            “Bapak kamu sudah meningggal!”
Jawaban yang sama dengan ketika dirinya masih kecil.
            “Bapak meningggal kenapa Nek?”
Sang Nenek geleng-geleng kepala tak tahu apa peyebab  sang Bapak meningggal. Kulyadi dan Kulyana  sebenarnya tahu kalau jawaban seperti ini agar drinya tak berharap banyak dengan sang Bapak. Bahasa sederhananya sudah jangan mengharap-harap lagi kedatangan sang Bapak. Selama Kulyadi dan Kulyana ada dimuka bumi ini pun yang namanya sang Bapak tak pernah seharipun datang. Jadi buat apa dijelaskan dengan segamblang mungkin juga toh tak akan menjadikan sang Bapak bisa berada di Indonesia.
            “Lalu siapa nama Bapak Nek?”
            “Kalau kamu ingin tahu nama Bapak kamu ada di buku”
            “Buku apa Nek?”
Sang Nenek lalu menunjuk pada buku tulis lecek yang sudah lama tersimpan di lemari. Kulyadi dan Kulyana buru-buru mencari bukku yang diceritakan sang Nenek. Sebuah buku  tulis tua yang berisi alamat anak  Nenek yang ada di Jakarta.
            “Yang mana Nek?”
Nenek Daeni lalu membuka halaman yang ia yakin disitu tertera sebuah nama laki-laki yang sampai sekarangpun dirinya tak pernah bertatap muka.
            “Inilah nama Bapak kamu”
Tangan Nenek menunjuk suatu tulisan yang sudah lama sekali tak pernah ia baca. Tertera nama Mudasir. Entah nama sesungguhnya atau nama rekaan Rahmi agar  tak terlacak jejak tapak orang yang disebut-sebut  bernama Mudasir.
            “Mudasir?”
            “Mudasir?”
            “Apakah ia orang Indoneisa?”
            “Atau dari negara lain?”
Banyak sekali pertanyaan yang muncul dari si kembar ini. Sebuah nama yang hanya bisa diingat namun  tak pernah terlintas bentuk mukanya seperti apa dan bagaimana bentuk tubuh yang lainnya tak bias tertebak. Kulyadi dan Kulyana akhirnya terduduk lemas di bangku panjang yang sudah reot.  Keinginnnya untuk mengetahui riwayat  sang Bapak terkubur dalam-dalam. Ada misteri yang tak terungkap dari  kisah                       Bapaknya. Mau bertanya pada siapa lagi? Mau ke uwak? Tanya ke Rahmi? Untuk yang terakhir ini lebih baik tidak. Sudah tak ada hubungan apa-apa lagi dengannya.
                                                                        ***
            Rahmi dengan suami yang sekarang punya  2 anak.  Sama dengan Rahmi yang tak mengakui Kulyadi dan Kulyana sebagai anaknya maka Bapak tiri pun tak mengakui si kembar ini anak tirinya. Bagi Kulyadi dan Kulyana hal ini sudah ia terima dari dulu. Biarlah yang seperti ini menjadi catatan dirinya seumur hidup.
            Sang Neneklah yang menjadi tambatan hati Kulyana dan Kulyadi. Untuk urusan sekolah sang Neneklah yang bersusah payah mencari uang. Sibuk bekerja pada orang dengan membantu-bantu apa yang bisa Nenek kerjakan. Kadang Nenek bergantian bekerja dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Dari hasil bekerja itulah Nenek bisa mensekolahkan Kulyadi dan Kulyana.
            Kulyadi yang bercita-cita ingin jadi pemain sepakbola ini terus rajin belajar. Apapun yang dikatakan orang dari tatapan ataupun dari omongan langsung tak ia hiraukan. Kalau untuk kebaikan barulah ia tanggapi. Kulyadi memang sosok anak yang sedang mencari jati diri. Perlakuan yang tidak menyenangkan selama ini terhadap dirinya dianggap sebagai hal yang biasa. Dirinya hanya berharap agar pada satu-satunya orang yang selama ini begitu besar kasihsayangnya bisa menyaksikan dirinya berhasil. Ingin sang Nenek bisa merasakan hasil jerihpayahnya kalau dirinya suatu saat menjadi orang yang berhasil. Ingin membutktikan tanpa diakui Ibu kandung juga masih bisa bertahan, masih bisa berprestasi lepas dari ketergantungan pada orang yang selama ini telah ‘membuangnya’.
            Hanya pada Allah-lah segala keluh kesah ditujukan. Dialah Zat yang Maha Tahu. Tak satupun kalimat yang keluar dari mulut manusia yang tak tercatat. Semua ada pada catatan-Nya yang tak pernah kusam dimakan usia.

                                                                                                                        Cirebon, 29 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar