Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Rabu, 19 Juni 2019

A B A L - A B A L (Cerpen)


Cerpen
A B A L  -  A B A L
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Pagi yang cerah dengan kicauan burung milik tetangga yang terkurung rapih dalam sangkar.  Indah rasanya kalau pagi yang ceria ini bisa keliling mencari berita. Sekolah saat ini sedang mengadakan  Ulangan Akhir Semester (UAS)  kebetulan Wawan tidak diberi waktu mengawas. Wawan mempersiapkan alat-alat untuk mendokumentasikan nanti saat liputan di sekolah. Seperti biasa kamera dilihat lagi apakah baterainya cukup untuk mengabadikan beberapa momen yang sangat penting. Dilihat baterai yag ada di laptop juga apakah cukup untuk pengetikan naskah yang akan dijadikan narasi pengantar berita. Apa lagi? Merenung sejenak barangkali ada yang tertinggal. Seperti semuanya sudah lengkap karena hanya itu yang dibutuhkan bila hendak meliput kegiatan disuatu sekolah.
            Menyusuri jalanan yang mulai tampak merapat. Damp Truck yang konvoi membuat jalanan tambah  macet terasa bagaikan di kota-kota besar. Jalanan di daerahpun kini mulai macet. Jumlah kendaraan yang datang setiap tahunnya tidak sebanding dengan jumlah ruas jalan yang ada akibatnya seperti ini. Di kampung juga ada yang namanya kemacetan.
            Sepanjang perjalanan mikir kiranya sekolah  mana yang bangus untuk diprofilkan buat mengsisi salah satu rubrik di majalah profesi yang digeluti Wawan. Sepeda motor bebek merah sepertinya masih saja terus melangkah. Rupanya sekehendak motor ini saja maunya kemana. Nanti juga kalau ada sesuatu yang kiranya pas untuk diliput maka akan berhenti dengan sendirinya. Benar saja akhirnya motor berhenti setelah melihat ada sekolah yang bangunannya cukup lumayan bagus.
            Suasana tampak hening karena memang anak-anak sudah pada masuk kelas. Waktu ujian seperti ini memang anak-anak tampak serius dengan mengerjakan soal-soal. Wawan ucapkan salam ketika memasuki salah satu ruangan yang diyakininya merupakan kantor.
            Assalamualaikum wr.wb
Dari dalam terdengar ada suara yang menyahut memberikan balasan. Wawan lalu memperkenalkan diri sebagaimana biasanya kalau bertamu kesuatu sekolah. Mendengar penjelasan Wawan yang  mengatakan dari salah satu majalah profesi raut pempuan ini mulai berubah wajahnya. Seperti tidak senang kalau mendengar nama koresponden ataupun  wartawan.
            “Tidak…tidak….”
            “Sekolah lain saja yang diliputnya!”
            “Sekolah ini hanyalah sekolah kecil”
            “Tidak punya prestasi apa-apa!”
Melihat perubahan raut muka yang sepertinya tidak suka dengan kedatangan wartawan membuat Wawan berusaha menjelaskan maksud kedatangannya.
            “Pokoknya tidak!”
            “Yang lain saja, yang lain saja!”, ujar si ibu sambil berdiri
Wawan punya kode etik sebagai wartawan. Ia tidak boleh memaksa responden yang akan menjadi bahan tulisannya. Apalagi orang yang satu ini seperti punya trauma masa lalu dengan yang namnya wartawan ataupun LSM. Kalau memang seperti ini jangan dipaksakan sebab tak akan menghasilkan sebuah karya yang bagus. Datang saja sudah suudzhon apalagi kalau diteruskan. Tak apalah.
            “Coba lihat surat tugasnya?”
Wawan yang dari majalah profesi memang hanya diberi ID card saja oleh redaksi. Ia datang mengenakan seragam pemda belum juga diakui sebagai orang-orang dari Dialektika. Sebagai majalah profesi semua juga tahu kalau majalah profesi seperti Dialektika wartawannya adalah guru semua. Pakaian pemda ini diharap bisa meyakinkan responden yang didatangi. Ternyata pakaian seragam pemda juga masih disangsikan asli atau palsunya.
            “Sudah kalau begitu yang lain saja…”
“Sekolah yang lain saja!”
Perempuan ini lalu keluar ruangan. Begitu masuk ia membawa guru pria yang akan mendampingi ketika koresponden dari Dialektika ini tak mau juga mengerti. Rupanya masih takut dengan kejadian yang sudah-sudah dengan apa yang terjadi di sekolahnya maka guru pria harus ikut mendampingi. Entah apa yang dibicarakan diluar tadi . Guru pria ini akhirnya yang ikut bicara.
            “Bapak sudah menghadap Ketua MKKS belum?”
            “Belum memangnya kenapa?”
            “Kalau mau meliput sekolah aturannya seperti itu pak!”
Seumur-umur Wawan meliput berapa sekolah saja di Majalah Dialektika tak menghadapi aturan yang seperti ini. Orang majalah profesi dan dibesarkan oleh PGRI malah kini ada yang kurang peduli dengan keberadaannya ya … orang yang profesinya guru juga. Pasti dia juga anggota PGRI! Ya sudah… daripada berdebat lama-lama harus memperlihatkan ini dan itu dulu tak apalah. Tak diliput juga tidak menjadikam masalah. Biar masalalunya yang kurang senang terhadap profesi wartawan jangan merambah ke majalah profesi seperti  Dialektika. Masa sih majalah profesi yang dibesarkan PGRI akan mencoreng-moreng rekan guru yang ada di sekolah? Impossible!  Tapi inilah yang terjadi dari pada diri Wawan.
            “Baiklah kalau begitu…”
            “Kalau ibu tidak mau diwawancarai kami tak memaksa”
Wawan lalu mengemasi lagi laptop yang tadi sudah digelar dimeja. Kameranya ia masukkan  lagi dalam tas. Masih banyak sekolah di Kabupaten Cirebon yang ingin dipublikasikan. Tapi entah ada saja Kepala Sekolah yang sangat, sangat takut kalau didatangi wartawan. Kalaulah wartawan abal-abal alias wartawan yang tidak jelas juntrungannya yang suka minta ini dan itu bolehlah ditolak. Tapi ini! Rekannya sendiri sesama guru jeh… masih saja ditakuti. Ada apa dengan pribadi yang seperti ini? Dari awal penolakannya saja Wawan sudah berkeyakinan kalau sekolah ini pasti ada masalah sebelumnya yang membuat selalu curiga dengan tamu yang datang.
                                                                        ***
            Indah nian menyusuri jalanan di pedesaan. Hujan semalam masih membekas dari sisa-sisa kubangan ditengah jalan. Dedaunan padi yang menghijau sepanjang mata memandang menambah indah pemandangan. Dari kejauhan perbukitan yang gersang perlahan ditinggalkan. Wawan ingat kalau dirinya punya janji dengan seseorang yang akan dimintai sebagai salah satu responden buat angket yang ia buat. Motor berbelok di salah satu sekolah yang  dari kejauhan tampak rindang dengan sejumlah pepohonan.
            Begitu mengucapkan salam tersenyum bibir dari sang kepala sekolah. Wawan tersenyum  dalam hati. Kalau yang seperti ini wajar mendapatkan pahala dari Allah juga. Ada yang datang disambut dengan senyuman yang khas. Seperti biasanya menanyakan  maksud kedatangan. Wawan jelaskan apa adanya.
            “Kalau begitu mulai dari mana?”
Wah …enak sekali ucapan yang dirasakan Wawan. Orangnya sopan dengan senyuman yang selalu keluar dari bibirnya. Pertanyaan demi pertanyaan akhirnya selesai semua. Wawan bernafas lega sebab beberapa responden telah memberikan jawaban seperti yang ia harapkan. Datangnya saja dengan menyambut dengan senyum sudah merupakan semangat untuk mendatangi beberapa responden yang lainnya.
            Pengalamannya disebuah sekolah yang barusan menolak mentah-mentah kedatangan Wawan yang disangkanya wartawan abal-abal dijelaskan. Wawan diam menyimak apa yang diberitakan responden yang satu ini. Manggut-manggut. Oh…pantas saja orang macam dirinya yang tidak tahu permasalahan sebelumnya juga ikut dicurigai. Rupanya sekolah sebelumnya yang Wawan datangi pernah didemo oleh masyarakat. Masyarakat melakukan vandalisme dengan mencoret-coret tembok sekolah. Alasannya bangunan yang direbab yang ditangani sendiri oleh sekolah mutunya jelek. Masyarakat bersama LSM dan wartawan ikut mendemo hasil bangunan yang dianggapnya kurang bermutu. Dari sinilah rupanya sang kepala sekolah lalu marah. Marah pada siapa saja tamu yang dianggapnya akan membuat pusing sekolah. Sampai-sampai koresponden Dialektika sendiri dianggap sebagai wartawan abal-abal. Wawan manggut-manggut dari informasi yang diperoleh. Pantas saja dirinya ikut tidak disenangi walau maksudanya  baik. Tapi itulah kalau sudah cemas terhadap orang lain akan seperti itu adanya. Tak apa! Ini merupakan sebuah pembelajaran. Kalau tidak dapat yang seperti ini rasa-rasanya akan hampa hidup ini. Bukankah pengalaman adalah guru yang sangat berharga! Baru kali ini bisa dibuktikan.
            Dilihat beberapa korespondemn yang sudah menjawab survainya. Lumayan juga bisa dibuktikan kebenarannya, tinggal data yang sudah masuk diolah saja. Rasa-rasaya sudah lebih dari cukup. Tinggal  melakukan langkah selanjutnya agar berita yang didapat bisa diramu menjadi sebuah berita yang enak untuk dibaca.
            Hidup kadang diatas kadang dibawah, kadang mendapat suka kadang mendapat kecewa. Itulah hidup yang harus dijalani. Pengalamannya dicurigai sebagai  wartawan abal-abal sungguh merupakan pelajarang yang sangat berguna. Inilah salah satu ekses dari kebebasan pers. Saking banyaknya pers membuat masyarakat kadang tak tahu mana yang wartawan benar ada surat kabarnya dengan wartawan abal-abal yang tidak punya surat kabar. Tinggal dikembalikan pada diri kita bisakah kita bersikap husnudzon pada orang lain? Dari sinilah kelegowoan kita diuji. Mudah-mudahan apa yang dialaminya hari ini memberikan kedewasaan dalam berfikir dan bertindak.
            Perjalann masih sangat panjang…, masih banyak   kalam Allah yang belum diketahui. Dari ketidaktahuan inilah timbul keingintahuan untuk bisa menulis dan menulis. Selagi bisa menuliskan buat orang lain kenapa tidak dilakukan? Memberikan informasi , berita atau apa sajalah yang kira-kira bisa berguna bagi orang banyak. Sepeda motornya masih terus melaju untuk mencari kalam-kalam yang belum terungkap dengan gamblang. Kakinya tak mau berhenti walau dijalan penuh onak dengan duri.

                                                                                                            Cirebon, 15 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar