Cerpen
A B A L
- A B A L
Oleh : Nurdin Kurniawan
Pagi yang cerah dengan kicauan
burung milik tetangga yang terkurung rapih dalam sangkar. Indah rasanya kalau pagi yang ceria ini bisa
keliling mencari berita. Sekolah saat ini sedang mengadakan Ulangan Akhir Semester (UAS) kebetulan Wawan tidak diberi waktu mengawas.
Wawan mempersiapkan alat-alat untuk mendokumentasikan nanti saat liputan di
sekolah. Seperti biasa kamera dilihat lagi apakah baterainya cukup untuk
mengabadikan beberapa momen yang sangat penting. Dilihat baterai yag ada di
laptop juga apakah cukup untuk pengetikan naskah yang akan dijadikan narasi
pengantar berita. Apa lagi? Merenung sejenak barangkali ada yang tertinggal.
Seperti semuanya sudah lengkap karena hanya itu yang dibutuhkan bila hendak
meliput kegiatan disuatu sekolah.
Menyusuri jalanan yang mulai tampak
merapat. Damp Truck yang konvoi
membuat jalanan tambah macet terasa
bagaikan di kota-kota besar. Jalanan di daerahpun kini mulai macet. Jumlah
kendaraan yang datang setiap tahunnya tidak sebanding dengan jumlah ruas jalan
yang ada akibatnya seperti ini. Di kampung juga ada yang namanya kemacetan.
Sepanjang perjalanan mikir kiranya
sekolah mana yang bangus untuk
diprofilkan buat mengsisi salah satu rubrik di majalah profesi yang digeluti
Wawan. Sepeda motor bebek merah sepertinya masih saja terus melangkah. Rupanya
sekehendak motor ini saja maunya kemana. Nanti juga kalau ada sesuatu yang
kiranya pas untuk diliput maka akan berhenti dengan sendirinya. Benar saja
akhirnya motor berhenti setelah melihat ada sekolah yang bangunannya cukup lumayan
bagus.
Suasana tampak hening karena memang
anak-anak sudah pada masuk kelas. Waktu ujian seperti ini memang anak-anak
tampak serius dengan mengerjakan soal-soal. Wawan ucapkan salam ketika memasuki
salah satu ruangan yang diyakininya merupakan kantor.
“Assalamualaikum
wr.wb”
Dari dalam
terdengar ada suara yang menyahut memberikan balasan. Wawan lalu memperkenalkan
diri sebagaimana biasanya kalau bertamu kesuatu sekolah. Mendengar penjelasan
Wawan yang mengatakan dari salah satu
majalah profesi raut pempuan ini mulai berubah wajahnya. Seperti tidak senang
kalau mendengar nama koresponden ataupun
wartawan.
“Tidak…tidak….”
“Sekolah lain saja yang diliputnya!”
“Sekolah ini hanyalah sekolah kecil”
“Tidak punya prestasi apa-apa!”
Melihat
perubahan raut muka yang sepertinya tidak suka dengan kedatangan wartawan membuat
Wawan berusaha menjelaskan maksud kedatangannya.
“Pokoknya tidak!”
“Yang lain saja, yang lain saja!”,
ujar si ibu sambil berdiri
Wawan punya kode
etik sebagai wartawan. Ia tidak boleh memaksa responden yang akan menjadi bahan
tulisannya. Apalagi orang yang satu ini seperti punya trauma masa lalu dengan
yang namnya wartawan ataupun LSM. Kalau memang seperti ini jangan dipaksakan
sebab tak akan menghasilkan sebuah karya yang bagus. Datang saja sudah suudzhon apalagi kalau diteruskan. Tak
apalah.
“Coba lihat surat tugasnya?”
Wawan yang dari
majalah profesi memang hanya diberi ID card
saja oleh redaksi. Ia datang mengenakan seragam pemda belum juga diakui sebagai
orang-orang dari Dialektika. Sebagai majalah profesi semua juga tahu kalau
majalah profesi seperti Dialektika wartawannya adalah guru semua. Pakaian pemda
ini diharap bisa meyakinkan responden yang didatangi. Ternyata pakaian seragam pemda
juga masih disangsikan asli atau palsunya.
“Sudah kalau begitu yang lain saja…”
“Sekolah
yang lain saja!”
Perempuan ini
lalu keluar ruangan. Begitu masuk ia membawa guru pria yang akan mendampingi
ketika koresponden dari Dialektika ini tak mau juga mengerti. Rupanya masih
takut dengan kejadian yang sudah-sudah dengan apa yang terjadi di sekolahnya
maka guru pria harus ikut mendampingi. Entah apa yang dibicarakan diluar tadi .
Guru pria ini akhirnya yang ikut bicara.
“Bapak sudah menghadap Ketua MKKS
belum?”
“Belum memangnya kenapa?”
“Kalau mau meliput sekolah aturannya
seperti itu pak!”
Seumur-umur
Wawan meliput berapa sekolah saja di Majalah Dialektika tak menghadapi aturan
yang seperti ini. Orang majalah profesi dan dibesarkan oleh PGRI malah kini ada
yang kurang peduli dengan keberadaannya ya … orang yang profesinya guru juga.
Pasti dia juga anggota PGRI! Ya sudah… daripada berdebat lama-lama harus
memperlihatkan ini dan itu dulu tak apalah. Tak diliput juga tidak menjadikam
masalah. Biar masalalunya yang kurang senang terhadap profesi wartawan jangan
merambah ke majalah profesi seperti Dialektika. Masa sih majalah profesi yang
dibesarkan PGRI akan mencoreng-moreng rekan guru yang ada di sekolah? Impossible! Tapi inilah yang terjadi dari pada diri Wawan.
“Baiklah kalau begitu…”
“Kalau ibu tidak mau diwawancarai
kami tak memaksa”
Wawan lalu
mengemasi lagi laptop yang tadi sudah digelar dimeja. Kameranya ia
masukkan lagi dalam tas. Masih banyak
sekolah di Kabupaten Cirebon yang ingin dipublikasikan. Tapi entah ada saja
Kepala Sekolah yang sangat, sangat takut kalau didatangi wartawan. Kalaulah
wartawan abal-abal alias wartawan yang tidak jelas juntrungannya yang suka
minta ini dan itu bolehlah ditolak. Tapi ini! Rekannya sendiri sesama guru jeh…
masih saja ditakuti. Ada apa dengan pribadi yang seperti ini? Dari awal
penolakannya saja Wawan sudah berkeyakinan kalau sekolah ini pasti ada masalah
sebelumnya yang membuat selalu curiga dengan tamu yang datang.
***
Indah nian menyusuri jalanan di
pedesaan. Hujan semalam masih membekas dari sisa-sisa kubangan ditengah jalan.
Dedaunan padi yang menghijau sepanjang mata memandang menambah indah
pemandangan. Dari kejauhan perbukitan yang gersang perlahan ditinggalkan. Wawan
ingat kalau dirinya punya janji dengan seseorang yang akan dimintai sebagai
salah satu responden buat angket yang ia buat. Motor berbelok di salah satu
sekolah yang dari kejauhan tampak
rindang dengan sejumlah pepohonan.
Begitu mengucapkan salam tersenyum bibir
dari sang kepala sekolah. Wawan tersenyum
dalam hati. Kalau yang seperti ini wajar mendapatkan pahala dari Allah
juga. Ada yang datang disambut dengan senyuman yang khas. Seperti biasanya
menanyakan maksud kedatangan. Wawan
jelaskan apa adanya.
“Kalau begitu mulai dari mana?”
Wah …enak sekali
ucapan yang dirasakan Wawan. Orangnya sopan dengan senyuman yang selalu keluar
dari bibirnya. Pertanyaan demi pertanyaan akhirnya selesai semua. Wawan
bernafas lega sebab beberapa responden telah memberikan jawaban seperti yang ia
harapkan. Datangnya saja dengan menyambut dengan senyum sudah merupakan
semangat untuk mendatangi beberapa responden yang lainnya.
Pengalamannya disebuah sekolah yang
barusan menolak mentah-mentah kedatangan Wawan yang disangkanya wartawan abal-abal
dijelaskan. Wawan diam menyimak apa yang diberitakan responden yang satu ini.
Manggut-manggut. Oh…pantas saja orang macam dirinya yang tidak tahu permasalahan
sebelumnya juga ikut dicurigai. Rupanya sekolah sebelumnya yang Wawan datangi
pernah didemo oleh masyarakat. Masyarakat melakukan vandalisme dengan mencoret-coret tembok sekolah. Alasannya bangunan
yang direbab yang ditangani sendiri oleh sekolah mutunya jelek. Masyarakat bersama
LSM dan wartawan ikut mendemo hasil bangunan yang dianggapnya kurang bermutu.
Dari sinilah rupanya sang kepala sekolah lalu marah. Marah pada siapa saja tamu
yang dianggapnya akan membuat pusing sekolah. Sampai-sampai koresponden
Dialektika sendiri dianggap sebagai wartawan abal-abal. Wawan manggut-manggut
dari informasi yang diperoleh. Pantas saja dirinya ikut tidak disenangi walau
maksudanya baik. Tapi itulah kalau sudah
cemas terhadap orang lain akan seperti itu adanya. Tak apa! Ini merupakan
sebuah pembelajaran. Kalau tidak dapat yang seperti ini rasa-rasanya akan hampa
hidup ini. Bukankah pengalaman adalah guru yang sangat berharga! Baru kali ini
bisa dibuktikan.
Dilihat beberapa korespondemn yang
sudah menjawab survainya. Lumayan juga bisa dibuktikan kebenarannya, tinggal
data yang sudah masuk diolah saja. Rasa-rasaya sudah lebih dari cukup.
Tinggal melakukan langkah selanjutnya
agar berita yang didapat bisa diramu menjadi sebuah berita yang enak untuk
dibaca.
Hidup kadang diatas kadang dibawah,
kadang mendapat suka kadang mendapat kecewa. Itulah hidup yang harus dijalani.
Pengalamannya dicurigai sebagai wartawan
abal-abal sungguh merupakan pelajarang yang sangat berguna. Inilah salah satu
ekses dari kebebasan pers. Saking banyaknya pers membuat masyarakat kadang tak
tahu mana yang wartawan benar ada surat kabarnya dengan wartawan abal-abal yang
tidak punya surat kabar. Tinggal dikembalikan pada diri kita bisakah kita
bersikap husnudzon pada orang lain?
Dari sinilah kelegowoan kita diuji. Mudah-mudahan apa yang dialaminya hari ini
memberikan kedewasaan dalam berfikir dan bertindak.
Perjalann masih sangat panjang…,
masih banyak kalam Allah yang belum
diketahui. Dari ketidaktahuan inilah timbul keingintahuan untuk bisa menulis
dan menulis. Selagi bisa menuliskan buat orang lain kenapa tidak dilakukan?
Memberikan informasi , berita atau apa sajalah yang kira-kira bisa berguna bagi
orang banyak. Sepeda motornya masih terus melaju untuk mencari kalam-kalam yang
belum terungkap dengan gamblang. Kakinya tak mau berhenti walau dijalan penuh
onak dengan duri.
Cirebon, 15 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar