ARTIKEL
GAMES PUBG & KEKERASAN
Oleh
: Nurdin Kurniawan, S.Pd. *)
Keberadaan warung-warung internet
meredup bahkan gulung tikar setelah hp-hp pintar membanjiri pasaran. Berbagai
aplikasi dengan mudah diunduh yang menawarkan berbagai kemudahan dalam mengisi
hidup. Jadilah orang-orang diberi kemudahan hanya dengan melihat aplikasi yang
ada di hp pintar. Tak hanya orangtua, mereka yang masih muda bahkan anak-anak usia sekolah dasar sudah pada
pegang hp pintar.
Merebaknya hp pintar menjadikan
manusia asyik dengan dunianya sendiri. Sosialisasi dengan teman sebaya sekarang ini sudah jarang dilakukan. Tak
perlu berdekatan untuk bisa ngobrol dengan teman. Cukup dengan membuka aplikasi
WA ataupun facebook, instagram, line dan sebagainya mereka sudah langsung
terhubung.
Anak-anak kuat jaman now berlama-lama bermain hp. Aplikasi yang paling banyak
digunakan adalah berbagai macam permainan atau games. Mulai dari games
yang sederhana sampai yang paling rumit sekalipun mereka dengan mudah
mengaksesnya. Bahkan kini satu permainan games bisa dimainkan oleh banyak orang secara bersamaan. Tak aneh
apabila anak-anak berlama-lama
berhadapan dengan layar hp. Bahkan anak lupa makan minum berlama-lama bermain game online.
Kemunculan
Game PUBG
Bermunculannya permainan online dengan judul dan tema yang
berbeda-beda adalah hal yang biasa dalam kemajuan teknologi seperti sekarang
ini. Namun munculnya kasus terorisme di Selandia Baru dengan jumlah korban yang
sangat mencengangkan membuat games PUBG
sangat terkenal. Apa penyebabnya? Ternyata si pelaku penembakan di Selandia
Baru hari Jum’at, 15 Maret 2019 yang menewaskan 50 orang adalah pemain aktif
pada permainan PUBG.
Brenton Tarrant si pelaku penembakan secara brutal, menggambarkan dirinya
sebagai pendukung supremasi kulit putih menembaki jamaah masjid. Aksinya itu ia
rekam dengan rekaman video di sebuah helm yang dikenakannya.
Sebelum melakukan aksi
penembakan, pelaku mengunggah manifesto di akun media sosialnya yang bernada
rasis dan mengandung ideologi ekstrem kanan serta supremasi kulit putih. Dia
juga menyiarkan langsung aksinya di media sosial. Polisi telah menahan pelaku
atas nama Brenton Tarrant, 28, warga Australia.
Game PlayerUnknown Battlegrounds (PUBG) adalah
permainan yang memungkinkan 100 pemain bertarung di medan perang virtual secara
bersamaan. Permainan ini gratis dan mudah diakses di semua smartphone
Android atau iOS, banyak orang menjadi kecanduan.
Tidak
ada keraguan bahwa PUBG adalah salah satu mobile
game paling populer. Hanya dalam setahun sejak dirilis, game ini tidak
hanya menjadi fenomena global, tetapi juga telah berhasil mengatur beberapa
turnamen game terbesar. Pada saat yang sama, popularitas permainan yang luar
biasa telah menyebabkan beberapa efek negatif.
Setelah
peristiwa kelam di Selandia Baru beberapa negara mengawasi secara ketat
permainan PUBG. Di India, PUBG telah menjadi sorotan pula. Ada banyak laporan
di India yang menyatakan para siswa yang mengabaikan sekolah, berkinerja buruk
dalam ujian dan bahkan beberapa kasus kekerasan ekstrim, melukai diri sendiri
dan bahkan bunuh diri. Dilaporkan pula , dua orang tewas ditabrak kereta api
saat bermain PUBG. Bahkan Brenton Tarrant, terdakwa pembantai di Selandia Baru,
diberitakan juga bermain PUBG secara aktif. PUBG pun dikaitkan dengan
kekerasan, perang, dan Islamofobia.
Wajar
jika game perang menjadi sumber kekhawatiran banyak pihak. Pasalnya,
Tarrant sendiri telah mengakui dalam manifestonya bahwa “(video game)
mengajarkan saya menjadi pembunuh.” Setelah kebiasaan bermain game
Tarrant terungkap, ada upaya untuk menghubungkan tragedi Selandia Baru dengan
PUBG atau game kekerasan serupa. Beberapa gambar dari game itu
pun menjadi viral. Salah satu gambar dalam adegan adalah karpet yang tampak
seperti sajadah. Ini dikaitkan dengan Islamofobia.
Tidak
hanya yang terjadi di Selandia Baru, kekerasan akibat permainan game online diyakini sebagai pemicu
beberapa kekerasan. Berbagai serangan bersenjata yang terjadi di Amerika
Serikat juga diyakini disebabkan oleh pelaku yang terpapar kekerasan saat bermain
video game. Presiden Trump, misalnya,
menyalahkan video game atas kejadian penembakan di Marjory Stoneman Douglas
High School di Florida, yang menewaskan 17 siswa.
Permainan
role playing game, di mana pemain menggunakan senjata dan membunuh untuk
bertahan hidup, seperti PlayerUnknown's Battlegrounds atau PUBG, menjadi sorotan
dalam beberapa waktu terakhir ini.
Kebrutalan yang dilakukan oleh Brenton
Tarrant di Selandia Baru sungguh diluar batas-batas perikemanusiaan. Banyak
negara mengutuk apa yang dilakukan teroris asal Australia ini. PM Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan serangan
teror yang menyebabkan 50 orang meninggal dunia di Christchurch, Jumat (15/3)
sebagai 'hari terkelam di Selandia Baru'.
Setelah
yang dilakukan India maka beberapa negara mengambil langkah serupa. Di
Indonesia dalam hal ini MUI Jabar mempertimbangkan untuk mengeluarkan fatwa
haram terhadap game PUBG. Mereka tengah mengkaji dampak-dampak dari bermain game online bertema perang tersebut. Memang
pada prinsipnya segala hal yang memberi dampak negatif secara luas akan
diharamkan oleh MUI. Apalagi jika sampai
menginspirasi seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan.
Setelah
MUI Jabar mempertimbangkan mengharamkan PUBG, MUI pusat juga sedang mengkaji pelarangan PUBG. Tak hanya
MUI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga ikut meneliti PUBG dan
dampak-dampak yang ditimbulkan terhadap pemain. Bukan tak mungkin PUBG akan
dilarang jika terbukti berdampak negatif.
Penulis
menyaksikan salah satu tayangan tv swasta yang mewawancarai apakah game PUBG
sebagai penyebab tindak kekerasan? Ada beberapa responden yang dimintai
keterangannya berkaitan dengan game PUBG.
Berbagai pendapat tentunya keluar dari anak-anak muda yang diwawancarai. Ada
yang setuju dengan pertanyaan diatas, dan ada pula yang menolak mentah-mentah
PUBG sebagai pemicu kekerasan yang terjadi di Selandia Baru.
Mereka
yang setuju dengan PUBG sebagai pemicu karena dalam permainan ini memang si pemain
berperan sebagai orang yang menguasai bergaia senjata. Di pemain ‘membunuh’
musuh-musuhnya dengan berbagai senjata canggih yang dikuasai. Dari sinilah
seseorang diyakini dirangsang nalurinya sebagai pembunuh.
Mereka
yang beranggapan tidak ada pengaruhnya
terhadap kejadian di Selandia Baru karena berkeyakinan permainan yang sejenis
dengan ini sudah banyak. Bahkan sebelumnya ada mobillegend yang temanya tak
lepas dari senjata dan kekerasan. Kalau kemudian terjadi peristiwa di Selandia Baru hanya
kebetulan saja. Dikembalikan pada individu masing-masing. Salah seorang
responden mencontohkan dirinya yang tidak terpengaruh bahkan bermain kekerasan
dengan teman atau lingkungan. Hanya sebuah permainan untuk menghibur dalam
mengisi waktu luang. Jadi intinya kembali pada individu masing-masing.
Penelitian
DeCamp dan Ferguson menyimpulkan bahwa kekerasan dalam video game bukan
merupakan penyebab utama kekerasan remaja dan, bahwa keluarga dan lingkungan
sosial adalah faktor yang lebih berpengaruh dalam membuat seseorang berkelakuan
kasar dan brutal.
Sekarang
tinggal bagaimana kita mensikapi berbagai permainan yang ada dengan bijak.
Perbanyaklah bermain di dunia nyata yang sungguh realita ada di dunia nyata.
Bermain games online membuat intuisi
kita melayang jauh entah kemana. Dihadapkan pada hal-hal yang tidak nyata
menghayal entah sampai dimana.
Apa
yang terjadi di Selandia Baru tentunya menjadi keprihatinan kita bersama. Semoga hal yang seperti ini jangan terulang
lagi. Permainan adalah permainan dan jangan sampai mengilhami seseorang untuk
berbuat kerusakan apalagi sampai menghabisi nyawa orang lain. Hati-hati
terhadap permainan yang membuat kita bisa menjadi brutal.
*) Praktisi Pendidikan
Tinggal di Gebang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar