Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Kamis, 27 Juni 2019

KACUNG DARPAN (Cerpen)


Cerpen

KACUNG DARPAN
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Diitung-itung lagi jumlah undangan yang bakal disebar. Kadiran sebagai orang yang sering datang pada acara berbagai macam hajatan tentu sekarang tinggal menghitung hasilnya. Setidaknya baru kali ini ia akan mengadakan acara syukuran sang anak yang bakal disunat. Empat anaknya yang pertama sampai yang keempat semuanya perempuan. Sudah banyak hajatan yang dia datangi bila diundang oleh teman, kerabat, bahkan saudara dekat. Kadiran merasa bersyukur kalau si bungsu ini adalah laki-laki.
            Namanya anak lakil-laki bungsu tentu semua keingiann sang anak dituruti. Kadiran memang agak membedakan perlakuan untuk si  bungsu ini. Belum lama anak ini minta dibelikan sepeda kini ada yang lain lagi permintaannya.
            “Jangan minta games seperti itu sih cung”
            “Tidak ada manfaatnya!”
Beda jaman memang antara anak dengan orangtua. Bagi Kadiran memang permainan seperti PS itu tidak banyak memberikan manfaat, Kadiran saksikan sendiri kalau yang namanya PS membuat anak-anak keblinger. Anak asyik dengan dunianya sendiri saja tanpa ada kegiatan interaksi dengan teman-teman sepermainannnya.
            “Emong… Kacung mintanya games
            “Kalau bapak tidak membeilikan Kacung tidak mau disunat!”
Kacung Darpan sebagai anak kesanyangan tentu saja permintaannya tidak bisa ditolak. Kalau ditolak seperti ini sudah bisa ditebak anak ini bakal mogok sekolah. Daripada anak ini mogok sekolah ataupun merusak barang yang lainnya     maka Kadiran tidak bisa menolak permohonan sang anak.
            “Ya sudah nanti akan bapak belikan”
            “Tapi nanti habis ujian sekolah mau disunat ya!”
Kacung Darpan hanya mengangukkan kepala tanda setuju asal permintaannya bisa dikabulkan.
            Seisi rumah selalu saja berantakan. Maklumlah Kacung Darpan suka pamer kalau dirinya punya mainan baru. Anak-anak tetangga satu desa belum punya yang namanya PS. Entah dari mana mulanya Kacung Darpan lebih mengenal jenis mainan ini dari pada anak-anak kampung yang lain. Anak-anak seusia Kacung hanya bisa menyaksikan Kacung main sendirian. Tak seorangpun yang boleh ikut main dengan Kacung Darpan. Lama-lama anak-anak yang ikut menimbrung  bosan juga karena tidak ada satupun yang diajak main padahal stik ada 2.
            “Pulang saja yuk”
            “Kacung Darpannya pelit tidak mau main bersama”, ujar Mas’ud pada teman-temannya.
Beberapa temannya yang kumpul saling menoleh seolah mengiyakan apa yang diserukan Mas’ud. Satu per satu anak-anak itu akhirnya pada pulang. Kacung Darpan tidak memperdulikan anak-anak yang pulang.
            “Kalau mau main bayar seperti anak-anak di kota!”
            “Sejam 3000 perak”, sambil teriak
Apa yang diucapkan Kacung Darpan tak ada yang menanggapi. Jangankan untuk bayar seperti itu, anak-anak disini kalau sekolah saja tidak ada yang membawa uang jajan.
            Usai ujian Kadiran senang, ia akan menagih janji sang anak yang katanya mau disunat. Dicarinya saat yang baik agar anak ini jangan sampai takut mendengar kata-kata sunat. Ketika Kacung Darpan asyik main games Kadiran berusaha mendekati anak  laki-laki satu-satunya.
            “Sekolah kan sudah liburan”
            “Janjinya pada bapak Kacung mau disunat!”
Kacung Darpan yang baru naik menginjak kelas 3 kaget seolah lupa dengan janjinya sendiri. Rupanya anak ini ada rasa takut melihat teman-temannya yang lebih besar disunat juga pada  menangis.
            “Nanti saja Pak kalau sudah kelas 4”, sambil memelas
Kadiran yang jauh-jauh hari sudah meminta hari dan tanggal yang bagus untuk acara sunatan anaknya ini tentu tidak bisa mengundur-undur lagi. Apalagi orang  yang dimintai tanggal ini kyai yang sudah dituakan oleh seluruh kampung disini. Kadiran tak habis pikir untuk terus membujuk sang buah hati. Dibujuk-bujuk beberapa kali ini ada lagi yang diminta. Kacung Darpan meminta uang yang jumlahnya cukup banyak untuk ukuran orang kampung.
            “Buat apa lagi Cung uang sebanyak itu?”
Uang sebanyak Rp. 200.000 terbilang banyak juga bagi Kadiran yang sehari-hari jualan sayur-sayuran di pasar. Namun demi sang buah hati  akhirnya  apa yang diminta diberikan juga. Ia hanya ingin sang  anak mau disunat dan nanti dirayakan dengan acara organ tunggal seperti penduduk di kampung ini kebanyakan. Dalam ingatan Kadiran sang anak mau disunat saja dulu biar nanti jarak ke acara syukuran agak jauh. Kalau sudah sembuh anak bisa menikmati acara syukuran yang bakal digelar.
            Betapa sibuknya Rasmini kalau anak bungsunya hari ini akan disunat. 4 Entog yang ada dikandang akan disembelih semua. Pokoknya untuk acara selamatan saja dahulu. Acara selamatannya dibuat sederhana  gampang nanti pada acara syukuran diisi dengan banyak acara . Mang Surya yang disuruh menyembelih entog laporan pada Mimi  Rasmini.
            “Mimi Ras entognya kabur satu”
            “Bisanya kabur bagaimana?”
            “Tadi disembelih lupa mengingat sayapnya”
            “Lalu sudah ketemu belum?”
            “Dicari-cari tidak ketemu Mi!”
Rasmini hanya menggerutu melihat apa yang dilakukan Mang Surya tidak becus. Masa daging entog yang seharusnya 4 hanya bisa dinikmati hanya 3 saja. Berhubung acaranya mau acara selametan maka  Rasmini tidak ingin banyak  cincong. Biarlah hilang satu entog tak apa yang penting si Kacung mau disunat.
            Rumah mantri Kendar lumayan jauh juga. Harus naik ojeg untuk bisa ke rumahnya. Kalau mantri sunat yang lain ada juga tapi yang lebih terkenal adalah mantri Kendar yang sudah menggunakan laser. Kadiran ingin agar luka anaknya nanti cepat sembuh kalau menggunakan laser sih, beda dengan yang masih tradisional sembuhnya akan lama sekali.
            Ramai juga suasana rumah mantri Kendar dengan anak-anak yang mau sunat. Antrian sudah berjejer beberapa orangtua yang duduk mendampingi sang anak yang akan disunat. Kadiran daftar dahulu untuk anaknya. Dilihatnya nomer 13 yang masih lama sementara nomer 3 saja masih duduk menunggu.  Dicarinya tempat duduk yang kosong sekedar menenangkan sang anak yang juga sudah mulai gelisah. Di ruangan tempat praktek mantri Kendar juga suka terdengar tangisan anak yang baru disunat. Hal inilah yang membuat hati Kacung Darpan makin tidak karuan. Apalagi kalau ada pasien yang keluar ruangan dibopong-bopong sambil menangis.
            “Pak pulang saja takut!”
            “Pak sunatnya nanti saja…”, sambil menggoyang-goyang tangan sang bapak
Kadiran dan saudara-saudara yang ikut mengantar Kacung Darpan berusaha menenangkan anak ini agar tidak terpengaruh oleh anal-anak yang menangis habis disunat. Entah karena takut yang berlebihan akhirnya Kacung Darpan lari meninggalkan rumah mantri Kendar. Kontan saja Kadiran dan beberapa orang yang mengantar mengejar anak yang satu ini. Dikejar orang banyakan akhirnya Kacung Darpan tertangkap juga.
            “Emong disunat…emong disunat!”
Meronta-ronta tak ingin dipegangi oleh siapa-siapa. Kewalahan juga Kadiran dalam menenangkan anaknya yang satu ini. Kadiran akhirnya meminta pendapat  saudara-saudara yang lainnya berkenaan dengan ulah Kacung Darpan.
            “Kalau dipaksakan juga sepertinya anak ini akan lari lagi mang”
Dipikir-pikir secara mendalam akhirnya apa yang didapat dari saran beberapa adik dan kakaknya akhirnya  diputuskan kalau Kacung Darpan batal untuk disunat.
            Di rumah Kacung Darpan menjadi pembicaraan sekeluarga. Anak ini memang banyak sekali kemauannya, apa yang diminta tidak bisa ditolak. Tapi dengan batalnya disunat membuat Kadiran marah-marah.
            “Sudah nanti sih kalau minta apa-apa jangan dituruti”
            “Anak manja…”
Undangan yang sudah dicetak hanya tinggal membagikan saja juga tidak jadi dibagikan. Kadiran yang ingin punya hajat dari dulu terpaksa harus menunda keinginannya ini. Kacung Darpan anak laki satu satunya tidak mau untuk disunat. Tapi karena anak laki-laki satu-satunya maka apa yang ia lakukan dengan marah-marah pada sang anak juga hanya sesaat. Kadiran selalu teringat dengan perjuangan sang istri yang hampir meninggal gara-gara melahirkan anak bungsunya ini. Kalau mengingat hal itu lumerlah kemarahan Kadiran. Kacung Darpan memang anak lakil-laki satu-satunya yang kelak akan menggantikan kedudukan dirinya. Di        belainya sang anak yang asyik main PS.
            “Nanti kalau sudak kelas 4 sih mau ya cung?”
            “Malu Kacungnya…”
            “Malu masa teman-teman yang lain sudah disunat Kacung kok belum!”
Sambil asyik main PSnya Kacung Darpan menganggukkan kepala. Kadiran  merasa lega dengan anggukan sang anak. Mudah-mudahan iya apa yang dianggukannya ini tidak seperti yang sekarang. Doa orangtua lalu terucap dengan sendirinya mendoakan dengan tulus sang buah hati.

                                                                                                       Cirebon, 10 Maret 2014
                                                                                                       nurdinkurniawan@ymail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar