Cerpen
KACUNG DARPAN
Oleh : Nurdin Kurniawan
Diitung-itung lagi jumlah undangan
yang bakal disebar. Kadiran sebagai orang yang sering datang pada acara berbagai
macam hajatan tentu sekarang tinggal menghitung hasilnya. Setidaknya baru kali
ini ia akan mengadakan acara syukuran sang anak yang bakal disunat. Empat
anaknya yang pertama sampai yang keempat semuanya perempuan. Sudah banyak
hajatan yang dia datangi bila diundang oleh teman, kerabat, bahkan saudara
dekat. Kadiran merasa bersyukur kalau si bungsu ini adalah laki-laki.
Namanya anak lakil-laki bungsu tentu
semua keingiann sang anak dituruti. Kadiran memang agak membedakan perlakuan
untuk si bungsu ini. Belum lama anak ini
minta dibelikan sepeda kini ada yang lain lagi permintaannya.
“Jangan minta games seperti itu sih cung”
“Tidak ada manfaatnya!”
Beda jaman
memang antara anak dengan orangtua. Bagi Kadiran memang permainan seperti PS
itu tidak banyak memberikan manfaat, Kadiran saksikan sendiri kalau yang
namanya PS membuat anak-anak keblinger.
Anak asyik dengan dunianya sendiri saja tanpa ada kegiatan interaksi dengan
teman-teman sepermainannnya.
“Emong… Kacung mintanya games”
“Kalau bapak tidak membeilikan Kacung
tidak mau disunat!”
Kacung Darpan
sebagai anak kesanyangan tentu saja permintaannya tidak bisa ditolak. Kalau
ditolak seperti ini sudah bisa ditebak anak ini bakal mogok sekolah. Daripada
anak ini mogok sekolah ataupun merusak barang yang lainnya maka Kadiran tidak bisa menolak permohonan
sang anak.
“Ya sudah nanti akan bapak belikan”
“Tapi nanti habis ujian sekolah mau
disunat ya!”
Kacung Darpan
hanya mengangukkan kepala tanda setuju asal permintaannya bisa dikabulkan.
Seisi rumah selalu saja berantakan.
Maklumlah Kacung Darpan suka pamer kalau dirinya punya mainan baru. Anak-anak
tetangga satu desa belum punya yang namanya PS. Entah dari mana mulanya Kacung
Darpan lebih mengenal jenis mainan ini dari pada anak-anak kampung yang lain.
Anak-anak seusia Kacung hanya bisa menyaksikan Kacung main sendirian. Tak seorangpun
yang boleh ikut main dengan Kacung Darpan. Lama-lama anak-anak yang ikut
menimbrung bosan juga karena tidak ada
satupun yang diajak main padahal stik ada
2.
“Pulang saja yuk”
“Kacung Darpannya pelit tidak mau
main bersama”, ujar Mas’ud pada teman-temannya.
Beberapa
temannya yang kumpul saling menoleh seolah mengiyakan apa yang diserukan
Mas’ud. Satu per satu anak-anak itu akhirnya pada pulang. Kacung Darpan tidak
memperdulikan anak-anak yang pulang.
“Kalau mau main bayar seperti
anak-anak di kota!”
“Sejam 3000 perak”, sambil teriak
Apa yang
diucapkan Kacung Darpan tak ada yang menanggapi. Jangankan untuk bayar seperti
itu, anak-anak disini kalau sekolah saja tidak ada yang membawa uang jajan.
Usai ujian Kadiran senang, ia akan
menagih janji sang anak yang katanya mau disunat. Dicarinya saat yang baik agar
anak ini jangan sampai takut mendengar kata-kata sunat. Ketika Kacung Darpan
asyik main games Kadiran berusaha
mendekati anak laki-laki satu-satunya.
“Sekolah kan sudah liburan”
“Janjinya pada bapak Kacung mau
disunat!”
Kacung Darpan
yang baru naik menginjak kelas 3 kaget seolah lupa dengan janjinya sendiri.
Rupanya anak ini ada rasa takut melihat teman-temannya yang lebih besar disunat
juga pada menangis.
“Nanti saja Pak kalau sudah kelas
4”, sambil memelas
Kadiran yang
jauh-jauh hari sudah meminta hari dan tanggal yang bagus untuk acara sunatan
anaknya ini tentu tidak bisa mengundur-undur lagi. Apalagi orang yang dimintai tanggal ini kyai yang sudah
dituakan oleh seluruh kampung disini. Kadiran tak habis pikir untuk terus
membujuk sang buah hati. Dibujuk-bujuk beberapa kali ini ada lagi yang diminta.
Kacung Darpan meminta uang yang jumlahnya cukup banyak untuk ukuran orang kampung.
“Buat apa lagi Cung uang sebanyak
itu?”
Uang sebanyak
Rp. 200.000 terbilang banyak juga bagi Kadiran yang sehari-hari jualan
sayur-sayuran di pasar. Namun demi sang buah hati akhirnya
apa yang diminta diberikan juga. Ia hanya ingin sang anak mau disunat dan nanti dirayakan dengan
acara organ tunggal seperti penduduk di kampung ini kebanyakan. Dalam ingatan
Kadiran sang anak mau disunat saja dulu biar nanti jarak ke acara syukuran agak
jauh. Kalau sudah sembuh anak bisa menikmati acara syukuran yang bakal digelar.
Betapa sibuknya Rasmini kalau anak
bungsunya hari ini akan disunat. 4 Entog yang ada dikandang akan disembelih
semua. Pokoknya untuk acara selamatan saja dahulu. Acara selamatannya dibuat
sederhana gampang nanti pada acara
syukuran diisi dengan banyak acara . Mang Surya yang disuruh menyembelih entog
laporan pada Mimi Rasmini.
“Mimi Ras entognya kabur satu”
“Bisanya kabur bagaimana?”
“Tadi disembelih lupa mengingat
sayapnya”
“Lalu sudah ketemu belum?”
“Dicari-cari tidak ketemu Mi!”
Rasmini hanya
menggerutu melihat apa yang dilakukan Mang Surya tidak becus. Masa daging entog
yang seharusnya 4 hanya bisa dinikmati hanya 3 saja. Berhubung acaranya mau
acara selametan maka Rasmini tidak ingin
banyak cincong. Biarlah hilang satu entog tak apa yang penting si Kacung
mau disunat.
Rumah mantri Kendar lumayan jauh
juga. Harus naik ojeg untuk bisa ke rumahnya. Kalau mantri sunat yang lain ada juga
tapi yang lebih terkenal adalah mantri Kendar yang sudah menggunakan laser.
Kadiran ingin agar luka anaknya nanti cepat sembuh kalau menggunakan laser sih,
beda dengan yang masih tradisional sembuhnya akan lama sekali.
Ramai juga suasana rumah mantri Kendar
dengan anak-anak yang mau sunat. Antrian sudah berjejer beberapa orangtua yang
duduk mendampingi sang anak yang akan disunat. Kadiran daftar dahulu untuk
anaknya. Dilihatnya nomer 13 yang masih lama sementara nomer 3 saja masih duduk
menunggu. Dicarinya tempat duduk yang
kosong sekedar menenangkan sang anak yang juga sudah mulai gelisah. Di ruangan
tempat praktek mantri Kendar juga suka terdengar tangisan anak yang baru
disunat. Hal inilah yang membuat hati Kacung Darpan makin tidak karuan. Apalagi
kalau ada pasien yang keluar ruangan dibopong-bopong sambil menangis.
“Pak pulang saja takut!”
“Pak sunatnya nanti saja…”, sambil
menggoyang-goyang tangan sang bapak
Kadiran dan
saudara-saudara yang ikut mengantar Kacung Darpan berusaha menenangkan anak ini
agar tidak terpengaruh oleh anal-anak yang menangis habis disunat. Entah karena
takut yang berlebihan akhirnya Kacung Darpan lari meninggalkan rumah mantri Kendar.
Kontan saja Kadiran dan beberapa orang yang mengantar mengejar anak yang satu
ini. Dikejar orang banyakan akhirnya Kacung Darpan tertangkap juga.
“Emong disunat…emong disunat!”
Meronta-ronta
tak ingin dipegangi oleh siapa-siapa. Kewalahan juga Kadiran dalam menenangkan
anaknya yang satu ini. Kadiran akhirnya meminta pendapat saudara-saudara yang lainnya berkenaan dengan
ulah Kacung Darpan.
“Kalau dipaksakan juga sepertinya
anak ini akan lari lagi mang”
Dipikir-pikir
secara mendalam akhirnya apa yang didapat dari saran beberapa adik dan kakaknya
akhirnya diputuskan kalau Kacung Darpan
batal untuk disunat.
Di rumah Kacung Darpan menjadi
pembicaraan sekeluarga. Anak ini memang banyak sekali kemauannya, apa yang
diminta tidak bisa ditolak. Tapi dengan batalnya disunat membuat Kadiran
marah-marah.
“Sudah nanti sih kalau minta apa-apa
jangan dituruti”
“Anak manja…”
Undangan yang
sudah dicetak hanya tinggal membagikan saja juga tidak jadi dibagikan. Kadiran
yang ingin punya hajat dari dulu terpaksa harus menunda keinginannya ini.
Kacung Darpan anak laki satu satunya tidak mau untuk disunat. Tapi karena anak
laki-laki satu-satunya maka apa yang ia lakukan dengan marah-marah pada sang
anak juga hanya sesaat. Kadiran selalu teringat dengan perjuangan sang istri
yang hampir meninggal gara-gara melahirkan anak bungsunya ini. Kalau mengingat
hal itu lumerlah kemarahan Kadiran. Kacung Darpan memang anak lakil-laki
satu-satunya yang kelak akan menggantikan kedudukan dirinya. Di belainya sang anak yang asyik main PS.
“Nanti kalau sudak kelas 4 sih mau
ya cung?”
“Malu Kacungnya…”
“Malu masa teman-teman yang lain
sudah disunat Kacung kok belum!”
Sambil asyik
main PSnya Kacung Darpan menganggukkan kepala. Kadiran merasa lega dengan anggukan sang anak.
Mudah-mudahan iya apa yang dianggukannya ini tidak seperti yang sekarang. Doa
orangtua lalu terucap dengan sendirinya mendoakan dengan tulus sang buah hati.
Cirebon, 10 Maret 2014
nurdinkurniawan@ymail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar