Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Kamis, 27 Juni 2019

KINGWAN ATIYANI (Cerpen)


Cerpen
KINGWAN  ATIYANI
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Tatapan anak  ini  kosong entah pikirannya melayang sedang berada dimana. Perasaan hati ini tak tenang melihat kedua orangtua bertengkar. Sebagai anak Yani hanya berharap kedua orangtuanya bisa akur. Setiap harinya ada saja yang diributkan orangtuanya. Belajarpun jadi tak tenang. Boro-boro ingin belajar ataupun mengerjakan PR, yang ada hanya pusing dan pusing terus bila kedua orangtuanya sudah ribut-ribut.
            Namanya Kingwan Atiyani atau lebih akrab disapa dengan Yani. Anak kelahiran Cirebon, 6 Juni 1997. Anak kedua dari 3 bersaudara dari pasangan Yayang dan Rumiyati.
            Kekecewaan Ibu memuncak setelah mendengar khabar dari adik Bapak kalau Bapak ternyata sudah menikah lagi.
            “Kamu kata siapa?”
            “Saya mendengar langsung dari Kakak”
Pusing setelah mendengarkan khabar yang seperti ini. Jelas ini suatu  pengkhiatan atas janji suci. Dulu waktu mulai membina rumahtangga akan menjalaninya sehidup semati. Kini? Suatu penghianatan atas janji suci yang diucapkan dulu. Bapak malah secara diam-diam menikahi orang lain.
            Yati penasaran  ingin mengetahui apa yang didengarnya dari sang adik. Yati ingin mengetahui langsung dari orangnya. Maka Yayang dicari-cari untuk menjelaskan hal ini. Rasa penasaran ini begitu kuat. Jantung berdebar-debar tak menentu setelah mendengarkan khabar yang seperti ini. Tak terlalu sulit Bagi Yani untuk mencari keberadaan suaminya. Begitu ketemu dengan Yayang maka apa yang mengganjal dalam hati ini langsung dikemukakan. Ingin tadinya tenang dahulu agar ia bisa menanyakan pada sang suami mengenai khabar yang kurang enak itu. Tapi begitu melihat wajah Yayang maka amarahpun langsung meledak. Dicecar dengan berbagai pertanyaan Bapak tidak bisa mengelak, akhirnya Bapak mengakui kalau dirinya telah menikah siri dengan seorang janda.
            “Ya…”
Ibu pusing mendengarkan apa yang barusan diucapkan Bapak. Kepala ini seolah berputar-putar  hampir tak percaya dengan apa yang barusan diucapkan Bapak. Ibu masuk ke kamar tidur mengunci diri. Kenapa hal yang diluar jangkauannya seperti ini harus terjadi?
            Pusing dengan tingkahlaku Bapak yang telah mengecewakan Ibu maka Ibu memutuskan pergi ke Boyolali. Ibu ingin menenangkan dari di Boyolali di salah satu saudaranya. Yani juga ikut dengan ibu ke Boyolali. Ketika Ibu di Boyolali malah Bapak seperti tidak ada masalah saja. Bapak tak mau ambil psuing, Bapak malah tinggal dengan istri mudanya.
            Kemarahan Ibu banyak sekali hal yang memicunya. Uang yang digunakan Bapak untuk nikah adalah uang kiriman dari Teh Lilis. Uang itu sedianya digunakan untuk membeli sapi  dan sawah. Sungguh keterlaluan Bapak ini yang menggunakan uang kiriman dari anaknya untuk menikah.
            “Pokoknya uang itu harus dikembalikan lagi!”
            “Pokoknya Ibu tidak mau tahu”
            “Jumlahnya harus 10 juta lagi!”
Bapak yang sudah menggunakan uang itu tentu beralasan uangnya sudah dipakai. Didesak seperti apapun tak membuat Bapak mau mengganti.
            “Tidak bisa!”
            “Uangnya sudah terpakai”
Bapak tidak menjelaskan uangnya terpakai untuk apa, yang jelas Ibu tahu uang itu dipakai buat apa. Ibu bukan main marahnya  dengan alasan Bapak yang seperti itu. Kasihan Teh Lilis yang sudah capai-capai kerja di Taiwan kalau uang hasil kirimannya justru digunakan Bapak untuk menikah lagi.
            Sepulang dari Boyolali Ibu makin tak menentu. Rumah yang dulu tempat tinggal Ibu dan anak-anaknya kini ditempati istri kedua Bapak. Kontan ini membuat pertentangan baru. Bagaimanapun rumah ini adalah rumah hasil kiriman Teh Lilis. Sudah barang tentu tidak ada kaitannya dengan apa-apa hasil dari istri muda Bapak. Jelas ibu sangat tidak setuju  dengan apa yang dilakukan Bapak dengan membawa istri kedua masuk ke rumah ini. Namun karena Ibu baru datang ia hanya bisa membaca situasi saja. Tak langsung mengusir ibu tiri Yani. Ibu sementara tingggal di rumah Bibi sambil menungggu saat yang tepat agar bisa kembali ke rumah yang dulu.
            Ibu adalah korban dari kekerasan dalam rumahtangga. Kalau lagi ribut dengan Bapak maka Ibu suka sekali mendapatkan perlakuan yang kasar. Yani sebagai anaknya hanya miris melihat hal yang seperti ini. Ini tak lain dari permintaan ibu yang menuntut agar uang yang sudah digunakan Bapak agar dikembalikan utuh.
                                                                        ***
            Seenak-enaknya tinggal di rumah bibi maka bila kelamaan akan tidak enak juga. Terpikirkan oleh Yati harus secepatnya kembali ke rumah yang dulu.  Toh ia yang lebih berhak tinggal di rumah itu daripada  istri Bapak yang dinikahi secara siri. Maka dengan keberaniannya Ibu datangi rumah dimana Ibu tiri ada didalamnya. Sudah dapat dibayangkan akan  terjadi pertengkaran yang cukup hebat antara Ibu dengan Ibu tiri. Kalimat-kalimat kasar terdengar dari luar. Ibu jelas lebih punya argument yang lebih baik daripada ibu tiri yang baru beberapa hari menempati rumah ini. Bapak tidak banyak berbuat ketika pertengkaran ini terjadi seolah membiarkan apa yang memang harus terjadi. Bapak ikut kaku dibuatnya. Dengan kemampuan diplomasi yang masuk akal akhirnya Ibu berhasil mengusir  istri muda Bapak.
            Istri siri Bapak sudah menikah 3 kali. Bapak adalah suaminya yang keempat. Menurut khabar suami dari ibu tiriku ini  semuanya meninggal dunia. Entah apa penyebab meninggalnya yang jelas ibu tiriku sudah jadi janda 3 kali.
            Setelah Ibu kembali menempati rumah yang  sekarang keadaan kembali berangsur-angsur membaik. Bapak mulai membagi waktu antara bagian dengan Ibu dan dengan Ibu tiri. Sempat Ibu malah minta cerai sama Bapak tapi Bapak tidak pernah mengabulkan permintaan Ibu. Setiap ada pemintaan yang seperti itu Bapak selalu saja mengemukakan pendapat-pendapat baik buruknya kalau terjadi perceraian. Sampai akhirnya Ibu berhenti sendiri lupa dengan apa yang pernah ia inginkan. Lambat laun akhirya tak pernah terdengar lagi ribut-ribut antara Bapak dan Ibu.
            Sebagai anak rasanya bangga melihat Ibu dan Bapak akur lagi. Bapak dan Ibu satu rumah lagi. Pembangunan rumah ini terus berlangsung. Rumah hasil keringat kakak yang bekerja di Taiwan.
            Apa yang terjadi di kampung halaman rupanya sampai juga ke telinga kakak di Taiwan. Kakak juga ikut prihatin dengan apa yang terjadi di rumah. Makanya ada keinginan kakak kalau pulang nanti Ibu dan Bapak kalau bisa tidak tingggal di rumah ini lagi. Tentu ini semua kalau kakak  nanti sudah berumahtangga. Tapi itu baru katanya sebatas keinginan kakak yang tidak mau direpoti oleh persoalan yang terjadi antara Ibu dengan Bapak, belum bisa dipastikan akan kesungguhan  sang kakak. Mudah-mudahan kakak juga sadar kalu aku masih ingin bersama di rumah ini.  Bukannya rumah ini masih ada 4 kamar? Kalau ada 4 kamar kalaupun kakak menikah nanti masih ada kamar yang kosong. Mudah-mudahan kakak bisa mengerti dengan keadaan di kampung halaman. Yani masih ingin mendapatkan ketenangan. Masih ada hal yang jauh lebih penting ketimbang masalah apa yang sedang terjadi antara Ibu dengan Bapak.
            Yani hanya bisa mengambil nafas dalam-dalam. Setidaknya satu persoalan yang sedang terjadi sedikit-demi sedikit dapat diselesaikan.  Jalan masih sangat panjang dan ini memerlukan perjuangan tersendiri.  Sebagai seorang anak Yani ingin agar kedua orangtuanya jangan berantakan, ingin agar Ibu Bapaknya hidup rukun, Ingin Bapak ada kesibukan lagi dengan bekerja seperti biasanya, ingin Kakak yang masih di Taiwan tidak pelit, dan masih banyak lagi keinginan Yani.
                                                                        ***
            Sebagai pelajar tugas utama Yani adalah belajar. Setidaknya kini Yani sudah berada di kelas 9. Tinggal menunggu beberapa bulan lagi agar bisa menyelesaikan Ujian Nasional. Rasanya kalau sudah ikut UN waktu hanya tinggal menunggu waktu saja.
            Yani masih akui ada beberapa pelajaran yang sulit untuk diterima. Kalau dibilang sulit maka boleh dikata demikian. Habis mata pelajaran yang satu ini susah untuk ditangkap. Kadang Pak Gurunya memberikan materi seperti anak kuliahan. Bagi anak-anak tentu hal yang seperti ini sulit untuk ditangkap. Entah cara  mengajar yang seperti ini seringkali diterapkan oleh guru matematika. Inginnya Yani sebagai pelajar tentu kalau ada materi yang masih baru Bapak Gurunya menerangkan terlebih dahulu. Tanyakan pada siswa kalau ada materi yang belum dimengerti. Jangan     datang lalu duduk, menulis materi, menulis soal. Bagaimana siswanya mengerti akan hal yang seperti ini! Ya sudahlah, ini catatan tersendiri bagi Yani.
            Yani punya cita-cita ingin jadi isyinyur. Tidak mau jadi TKW seperti yang dilakukan kakak sekarang. TKW itu jauh dari orangtua. Yani susah sekali menghilangkan rasa rindu kalau jauh dari orangtua. Makanya tidak terbersit keinginan untuk jadi TKW. Bisa berkerja di tanah air adalah yang paling menyenangkan. Pepatah mengatakan hujan emas di negeri orang hujan batu di negeri sendiri. Masih beruntung hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas  jauh di negeri orang.
            Itulah perjalanan Yani yang sampai sekarang susah untuk dilupakan. Ada kisah sedih, ada kisah yang menggembirakan, ada canda, ada tawa. Semuanya  bercampur jadi satu. Apa yang terjadi merupakan suatu pelajaran tersendiri bagi Yani.  Kalau hidup ternyata banyak sekali lika-likunya. Mudah-mudahan apa  yang dialami Yani ini setidaknya memberikan pelajaran tersendiri buat Yani.
            Mentari masih memancarkan sinarnya. Masih jauh jalan kehidupan yang harus Yani tempuh. Satu per satu persoalan dapat diselesaikan. Kiranya Allah memberikan jalan terbaik bagi Yani. Jalan kehidupan yang masih terlalu jauh untuk ditempuh.

                                                                                                           Cirebon, 2 November 2012
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar