Artikel
HARUSKAH PR DIHAPUS?
Oleh: Nurdin Kurniawan, S.Pd. *)
Masih ingatkah kita ketika sekolah
dahulu guru mengatakan “Buka halaman 13 kerjakan bagian A sampai D kerjakan di
rumah dan besok sudah harus ada di meja Bapak”. Setelah dilihat yang namanya
bagian A memang ada di halaman 13 tapi bagian D sudah ada dihalaman 15. Bagaian A saja sudah 10 soal bagaimana pula
dengan bagian B, C dan D? Setelah dihitung mulamayan banyak juga soal yang
harus dikerjakan. Wajar jika kemudian guru yang memberi Pekerjaan Rumah (PR) seperti ini dikatagorikan guru killer. Kalau dikerjakan jumlahnya
lumayan banyak, tak dikerjakan sudah bisa dibaca akan berada diluar kelas
sampai PRnya selesai dikerjakan baru kemudian boleh masuk.
Kelakuan anak-anak sekolah dahulu
walau katakan lupa mengerjakan PR masih berani tanggungjawab untuk mengerjakannya
walau harus rela belajar diluar kelas. Namun bila menilik anak-anak jaman
sekarang ketika tak mengerjakan PR dan si anak disuruh keluar kelas malah
senang. Sampai pelajaran si guru tadi usai sang anak menghilang entah kemana.
Yang jelas tidak dalam posisi sedang mengerjakan PR. Keesokan harinya si anak
ditanya kemana? Sang anak dengan lugas dan tak ada beban sama sekali jawabnya
hanya ha..ha..he..he nyengir seperti kuda yang baru melihat sang betinanya
lewat.
Kini setelah bukan lagi jadi siswa
bahkan sekarang sudah jadi orangtua yang namanya PR masih dirasakan sebagai
sesuatu ‘beban’. Anak habis pulang sekolah ada saja PR yang harus dikerjakan.
Disatu sisi sebagai orangtua ada baiknya sekolah terus menerapkan yang namanya
PR karena si anak mau tak mau akhirnya akan belajar. Tapi ada sisi grundelnya sebab ada saja kesibukan yang harus dikerjakan
untuk mendampingi sang anak untuk mengerjakan PR. Sebagai seorang pendidik
masih saja merasakan hal seperti ini. Bagaimana pula dengan anak yang orangtuanya
bukan pendidik? Apakah adanya PR sang buah hati ikut disibukkan dengan
mengerjakan PR sang anak?
Ada orangtua siswa yang mengungkapkan kalau dirinya selalu disibukkan
oleh perkerjaan anak dalam hal ini mengerjakan PR. Mulanya ketika sang anak masih
kecil masih bisa mendampingi. Soal-soal yang diberikan masih mampu untuk
dikerjakan. Kini sang buah hati sudah mulai beranjak besar tentu soal yang
dihadapi makin sulit. Dahulu apalagi sang orangtuanya tidak diberikan pelajaran
seperti yang diterima sang anak. Jadilah orangtua kesulitan dengan soal-soal yang diberikan
untuk sang anak. Sehari dua haru masih bisa dihadapi namun lama-kelamaan sang
orangtua menyerah juga dengan banyaknya PR yang harus dikerjakan sang anak.
Rupanjya keluhan sang orangtua ini
banyak dikeluhkan pula oleh orangtua anak yang lainnya. PR yang diberikan
hampir tiap hari mengganggu keasyikan sang orangtua yang sedang menonton
telenovela. PR sudah mengganggu acara yang dinanti-nantikan. Ketika sang anak
menyodorkan PR langsung saja tidak mendapatkan respon yang baik. Dijawabnya PR
lagi PR lagi!
Pro
Kontra
Mendikbud yang sekarang Prof. Dr.
Muhadjir Efendy mewacanakan PR dihapus. Tentu karena yang bicaranya seorang
menteri mendapatkan banyak sekali reaksi. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Dalam negara demokrasi yang namanya pro
kontra adalah hal yang wajar. Mereka yang tetap mempertahankan PR
mengemukakan betapa masih diperlukannya PR. Keterbatasan waktu di sekolah
sering menjadi salah satu alasan diberikannya pekerjaan rumah kepada siswa.
Guru berharap siswa akan mengerjakan tugas pekerjaan rumah (PR) sebagai bentuk
latihan dari penjelasan yang sudah diberikan guru di kelas. Dengan demikian
pekerjaan rumah sebagai alternatif tambahan waktu untuk memberikan kesempatan berlatih
kepada siswa. Di samping itu, sekaligus melalui pemberian tugas pekerjaan rumah
akan mempersiapkan siswa untuk pertemuan berikutnya. Artinya, pekerjaan rumah
dapat digunakan sebagai penggerak agar siswa berlatih untuk dapat menuntaskan
tugas akademisnya dan sekaligus mempersiapkan siswa untuk mengikuti atau
melanjutkan pelajaran selanjutnya.
PR itu diberikan untuk mengevaluasi
siswa yang kemudian diarahkan pada pemberian feedback. Dari adanya PR
ini pula bisa diketahui daya serap siswa dalam memahami sebuah masalah yang
diberikan sang guru dalam suatu pembelajaran. Seringnya dilatih akan menjadikan
siswa jauh lebih memahami apa yang ditanyakan soal-soal dalam PR.
Pekerjaan
rumah sering dipilih sebagai alternatif untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam
mengikuti pelajaran. Nilai-nilai yang terdapat di dalam pemberian pekerjaan
rumah kepada siswa antara lain tanggung jawab, disiplin, teratur, tekun, dan
seterusnya. Hal tersebut merupakan dampak pengiring dari kegiatan belajar yang
dilakukan siswa ketika mengerjakan pekerjaan rumah.
Sebuah ikhtisar penelitian penting
dipublikasikan oleh Cooper (1989, 1994).
ia menemukan bahwa PR sangat menguntungkan bagi peningkatan prestasi
siswa. Tujuh puluh persen studi yang dilihatnya menemukan bahwa murid-murid yang
mengerjakan PR mencapai kemajuan yang lebih besar dibanding murid-murid yang
tidak mengerjakan PR. Selain itu, murid-murid yang mengerjakan PR lebih banyak
per minggu memiliki prestasi belajar yang lebih baik dibanding mereka yang
mengerjakan PR dalam jumlah sedikit per minggu, seperti yang diukur oleh
perbandingan antara kedua kelompok ini dengan murid-murid yang sama sekali
tidak mengerjakan PR.
Adapun
mereka yang kontra diberikannya PR
bagi anak diantaranya PR menyita waktu sang anak. PR merenggut sebagian waktu anak untuk kegiatan-kegiatan
lain yang juga berharga, dan sebagian orang tua mungkin merasa tidak mampu
membantu anak mereka untuk menyelesaikan PRnya dengan baik.
Kadang antara satu guru dengan guru yang lain
tak ada koordinasi. Pada saat yang bersamaan semuanya memberikan PR. Akibatnya
sang anak ketika berada di rumah disibukkan oleh mengerjakan PR. Kegiatan lain
yang sudah diagendakan bisa dilangkahi atau bahkan tidak dikerjakan karena
waktuya juga digunakan untuk mengerjakan PR.
Kadang
ditemui juga setelah PR dikerjakan dengan baik oleh siswa kesalahan fatal
dilakukan oleh guru. PR yang dikumpulkan di meja guru namun PR tersebut tidak dikoreksi sang guru! Pada lain
kesempatan buku yang ada PRnya dikembalikan pada sang anak. Begitu melihat
PRnya tidak diapa-apakan maka anak-anak kecewa berat. Capai-capai mengerjakan
PR eh… ternyata PRnya tidak diapa-apakan. Nah kalau dari awal sudah tidak dikoreksi, lantas bagaimana?
Tentu akan merugikan siswa. Saat pengajaran dilakukan dan bahkan sudah memberikan
kerugian untuk siswa, ini akan menjadi cara yang salah. Ratusan lembar PR tidak
akan bermanfaat pastinya.
Kenyataan yang dijumpai dilapangan
seperti ini yang rupanya membuat Mendikbud yang sekarang Prof. Dr. Muhadjir Efendy mempunyai ide kalau
yang namanya PR dihapus. Terserah mau yang pro
ataupun yang kontra tentu saja
penghapusan PR ini ada sisi positif dan sisi negatifnya. Tergantung dari sisi
mana kita menilainya. Mudah-mudahan apa yang menjadi beban bahkan menyita sebagian
waktu orangtua kita dengan PR yang
diberikan sang guru ada jawabannya. Kalaupun PR mau dipertahankan oleh guru setidaknya
memperhatikan juga jumlahnya. Kalau bisa jangan banyak-banyak! Harus ada koordinasi dengan guru mata
pelajaran yang lain agar jangan sampai dari jam pertama sampai jam terakhir
gurunya semua memberikan PR. Jangan sampai pula ada orangtua mengeluh karena
harus mendampingi putra-putrinya mengerjakan PR. Bahkan ada orangtua yang harus
dibuat sibuk karena sang anak menyerah tak mau lagi mengerjakan PR dan peran
mengerjakan PR diambil alih orangtuanya. Orangtua yang seperti inilah yang
kemudian banyak ngomel akan tugas PR-PR
yang diberikan guru.
Kini tergantung dari sudut mana
memandang, akankah PR dihapus atau tetap ada karena PR masih dibutuhkan dalam
sebuah proses pembelajaran.
*) Praktisi Pendidikan
Domisili di Gebang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar