Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Rabu, 26 Juni 2019

HARUSKAH PR DIHAPUS? (Artikel)


Artikel

HARUSKAH PR DIHAPUS?
Oleh: Nurdin Kurniawan, S.Pd. *)


            Masih ingatkah kita ketika sekolah dahulu guru mengatakan “Buka halaman 13 kerjakan bagian A sampai D kerjakan di rumah dan besok sudah harus ada di meja Bapak”. Setelah dilihat yang namanya bagian A memang ada di halaman 13 tapi bagian D sudah ada dihalaman 15.  Bagaian A saja sudah 10 soal bagaimana pula dengan bagian B, C dan D? Setelah dihitung mulamayan banyak juga soal yang harus dikerjakan. Wajar jika kemudian guru yang memberi Pekerjaan Rumah (PR)  seperti ini dikatagorikan guru killer. Kalau dikerjakan jumlahnya lumayan banyak, tak dikerjakan sudah bisa dibaca akan berada diluar kelas sampai PRnya selesai dikerjakan baru kemudian boleh masuk.
            Kelakuan anak-anak sekolah dahulu walau katakan lupa mengerjakan PR masih berani tanggungjawab untuk mengerjakannya walau harus rela belajar diluar kelas. Namun bila menilik anak-anak jaman sekarang ketika tak mengerjakan PR dan si anak disuruh keluar kelas malah senang. Sampai pelajaran si guru tadi usai sang anak menghilang entah kemana. Yang jelas tidak dalam posisi sedang mengerjakan PR. Keesokan harinya si anak ditanya kemana? Sang anak dengan lugas dan tak ada beban sama sekali jawabnya hanya ha..ha..he..he nyengir seperti kuda yang baru melihat sang betinanya lewat.
            Kini setelah bukan lagi jadi siswa bahkan sekarang sudah jadi orangtua yang namanya PR masih dirasakan sebagai sesuatu ‘beban’. Anak habis pulang sekolah ada saja PR yang harus dikerjakan. Disatu sisi sebagai orangtua ada baiknya sekolah terus menerapkan yang namanya PR karena si anak mau tak mau akhirnya akan belajar. Tapi ada sisi grundelnya  sebab ada saja kesibukan yang harus dikerjakan untuk mendampingi sang anak untuk mengerjakan PR. Sebagai seorang pendidik masih saja merasakan hal seperti ini. Bagaimana pula dengan anak yang orangtuanya bukan pendidik? Apakah adanya PR sang buah hati ikut disibukkan dengan mengerjakan PR sang anak?
            Ada orangtua siswa  yang mengungkapkan kalau dirinya selalu disibukkan oleh perkerjaan anak dalam hal ini mengerjakan PR. Mulanya ketika sang anak masih kecil masih bisa mendampingi. Soal-soal yang diberikan masih mampu untuk dikerjakan. Kini sang buah hati sudah mulai beranjak besar tentu soal yang dihadapi makin sulit. Dahulu apalagi sang orangtuanya tidak diberikan pelajaran seperti yang diterima sang anak. Jadilah orangtua     kesulitan dengan soal-soal yang diberikan untuk sang anak. Sehari dua haru masih bisa dihadapi namun lama-kelamaan sang orangtua menyerah juga dengan banyaknya PR yang harus dikerjakan sang anak.
            Rupanjya keluhan sang orangtua ini banyak dikeluhkan pula oleh orangtua anak yang lainnya. PR yang diberikan hampir tiap hari mengganggu keasyikan sang orangtua yang sedang menonton telenovela. PR sudah mengganggu acara yang dinanti-nantikan. Ketika sang anak menyodorkan PR langsung saja tidak mendapatkan respon yang baik. Dijawabnya PR lagi PR lagi!
            Pro Kontra
            Mendikbud yang sekarang Prof. Dr. Muhadjir Efendy mewacanakan PR dihapus. Tentu karena yang bicaranya seorang menteri mendapatkan banyak sekali reaksi. Ada yang pro dan ada yang kontra. Dalam negara demokrasi yang namanya pro kontra adalah hal yang wajar. Mereka yang tetap mempertahankan PR mengemukakan betapa masih diperlukannya PR. Keterbatasan waktu di sekolah sering menjadi salah satu alasan diberikannya pekerjaan rumah kepada siswa. Guru berharap siswa akan mengerjakan tugas pekerjaan rumah (PR) sebagai bentuk latihan dari penjelasan yang sudah diberikan guru di kelas. Dengan demikian pekerjaan rumah sebagai alternatif tambahan waktu untuk memberikan kesempatan berlatih kepada siswa. Di samping itu, sekaligus melalui pemberian tugas pekerjaan rumah akan mempersiapkan siswa untuk pertemuan berikutnya. Artinya, pekerjaan rumah dapat digunakan sebagai penggerak agar siswa berlatih untuk dapat menuntaskan tugas akademisnya dan sekaligus mempersiapkan siswa untuk mengikuti atau melanjutkan pelajaran selanjutnya.
PR itu diberikan untuk mengevaluasi siswa yang kemudian diarahkan pada pemberian feedback. Dari adanya PR ini pula bisa diketahui daya serap siswa dalam memahami sebuah masalah yang diberikan sang guru dalam suatu pembelajaran. Seringnya dilatih akan menjadikan siswa jauh lebih memahami apa yang ditanyakan soal-soal dalam PR.
Pekerjaan rumah sering dipilih sebagai alternatif untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam mengikuti pelajaran. Nilai-nilai yang terdapat di dalam pemberian pekerjaan rumah kepada siswa antara lain tanggung jawab, disiplin, teratur, tekun, dan seterusnya. Hal tersebut merupakan dampak pengiring dari kegiatan belajar yang dilakukan siswa ketika mengerjakan pekerjaan rumah.
Sebuah ikhtisar penelitian penting dipublikasikan oleh Cooper (1989, 1994).  ia menemukan bahwa PR sangat menguntungkan bagi peningkatan prestasi siswa. Tujuh puluh persen studi yang dilihatnya menemukan bahwa murid-murid yang mengerjakan PR mencapai kemajuan yang lebih besar dibanding murid-murid yang tidak mengerjakan PR. Selain itu, murid-murid yang mengerjakan PR lebih banyak per minggu memiliki prestasi belajar yang lebih baik dibanding mereka yang mengerjakan PR dalam jumlah sedikit per minggu, seperti yang diukur oleh perbandingan antara kedua kelompok ini dengan murid-murid yang sama sekali tidak mengerjakan PR.  
Adapun mereka yang kontra diberikannya PR bagi anak diantaranya PR menyita waktu sang anak. PR merenggut sebagian waktu anak untuk kegiatan-kegiatan lain yang juga berharga, dan sebagian orang tua mungkin merasa tidak mampu membantu anak mereka untuk menyelesaikan PRnya dengan baik.
 Kadang antara satu guru dengan guru yang lain tak ada koordinasi. Pada saat yang bersamaan semuanya memberikan PR. Akibatnya sang anak ketika berada di rumah disibukkan oleh mengerjakan PR. Kegiatan lain yang sudah diagendakan bisa dilangkahi atau bahkan tidak dikerjakan karena waktuya juga digunakan untuk mengerjakan PR.
Kadang ditemui juga setelah PR dikerjakan dengan baik oleh siswa kesalahan fatal dilakukan oleh guru. PR yang dikumpulkan di meja guru namun PR tersebut  tidak dikoreksi sang guru! Pada lain kesempatan buku yang ada PRnya dikembalikan pada sang anak. Begitu melihat PRnya tidak diapa-apakan maka anak-anak kecewa berat. Capai-capai mengerjakan PR eh… ternyata PRnya tidak diapa-apakan. Nah kalau dari awal sudah tidak dikoreksi, lantas bagaimana? Tentu akan merugikan siswa. Saat pengajaran dilakukan dan bahkan sudah memberikan kerugian untuk siswa, ini akan menjadi cara yang salah. Ratusan lembar PR tidak akan bermanfaat pastinya.
Kenyataan yang dijumpai dilapangan seperti ini yang rupanya membuat Mendikbud yang sekarang  Prof. Dr. Muhadjir Efendy mempunyai ide kalau yang namanya PR dihapus. Terserah mau yang pro ataupun yang kontra tentu saja penghapusan PR ini ada sisi positif dan sisi negatifnya. Tergantung dari sisi mana kita menilainya. Mudah-mudahan apa yang menjadi beban bahkan menyita sebagian waktu  orangtua kita dengan PR yang diberikan sang guru ada jawabannya. Kalaupun PR mau dipertahankan oleh guru setidaknya memperhatikan juga jumlahnya. Kalau bisa jangan banyak-banyak!  Harus ada koordinasi dengan guru mata pelajaran yang lain agar jangan sampai dari jam pertama sampai jam terakhir gurunya semua memberikan PR. Jangan sampai pula ada orangtua mengeluh karena harus mendampingi putra-putrinya mengerjakan PR. Bahkan ada orangtua yang harus dibuat sibuk karena sang anak menyerah tak mau lagi mengerjakan PR dan peran mengerjakan PR diambil alih orangtuanya. Orangtua yang seperti inilah yang kemudian banyak ngomel akan tugas PR-PR yang diberikan guru.
Kini tergantung dari sudut mana memandang, akankah PR dihapus atau tetap ada karena PR masih dibutuhkan dalam sebuah proses pembelajaran.

                                                                                                *) Praktisi Pendidikan
                                                                                                    Domisili di Gebang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar