Cerpen
LINA PATMAWATI
Oleh : Nurdin Kurniawan
Pagi sebelum ayam berkokok Ibu sudah
bangun untuk mempersiapkan dagangan yang
akan diedarkan di pagi hari. Ibu memang punya kesibukan sebagai penjual nasi
kuning. Beliau tidak memilih disalah satu tempat untuk menjualkannya tapi Ibu memilih
keliling menjual nasi kuning bungkus. Tak terlau jauh memang kelilingnya hanya
sekitar tempat tingggal saja.
Lina bangun tidur semua masakan yang dibuat
Ibu sudah matang semua dan siap diedarkan. Kadang suka kasihan juga bila
melihat apa yang dikerjakan Ibu tiap harinya. Lina tidak bisa membantu banyak.
“Sudah
kamu jangan repot-repot bantu Ibu”
“Tugas Lina hanyalah belajar”
“Yang
rajin sekolahnya”
“Jangan
kecewakan Ibu!”
Lina sudah
mengerti tugas apa yang harus dikerjakan bilamana Ibu berangkat menjajakan nasi
kuning keliling kampung. Diantara tugas Lina adalah mencuci piring dan menyapu
rumah dan halaman. Lina berangkat sekolah Ibu masih saja berputar-putar
menjajakan nasi kuning yang dibuatnya. Sekitar pukul 08.00 biasanya Ibu sudah pulang lagi. Masakan yang
dibuatnya hampir tak tersisa.
Semenjak Bapak meningggal dunia jauh
sebelum Lina dilahirkan, Ibu harus banting tulang mencari penghasilan tambahan.
Sudah mencoba usaha-usaha yang lain namun tak bertahan lama. Maka berjualan nasi
kuning inilah yang cukup lama ditekuni Ibu.
“Kalau Bapak kamu masih ada nasib
kita tak akan seperti ini!”
“Kamu harus prihatin Lin”
Lina tak kuat
menahan air mata. Kalau Ibu sudah bicara
tentang Bapak ingin rasanya wajah sang Bapak bisa dilihatnya. Ada tatapan
kosong yang ia bayangkan untuk sosok yang satu ini. Lina hanya bisa melihat
photo manakala ia rindu akan figur sang Bapak.
Terkadang kalau mendengar cerita Ibu
tentang kematian Bapak hampir tak percaya juga.
Menurut Ibu, Bapak meninggal dunia bukan karena hal yang sewajarnya.
Bapak ada yang menyantet. Pernah ketika masih sakit Bapak dibawa ke dokter dan
menurut hasil diagnose dokter tak ada penyakit yang diderita di tubuh Bapak. Bapak
diperiksa melalui komputer juga tidak memperlihatkan hal-hal yang aneh. Bapak
merasakan sakit yang berlebihan. Penasaran dengan apa yang sedang diderita
Bapak maka Bapak lalu dibawa ke Kyai yang tahu akan hal-hal klenik. Dari
informasi Pak Kyai inilah baru diketahui kalau Bapak ada yang menyantet.
Bapak muntah-muntah dan menahan
sakit yang berkepanjangan. Sampai akhirnya Bapak muntah darah dan dalam
muntahnya itu ada paku, jarum serta rambut. Setelah kejadian itu Bapak langsung
meningggal dunia. Dari sinilah Ibu yakin kalau Bapak meningggal dunia karena
terkena santet.
Lalu siapakah yang menyantet Bapak?
Ibu tak pernah meneliti sejauh itu. Namun diperkirakan hal ini berkenaan dengan
kedudukan Bapak yang kini mulai menanjak. Bapak bekerja di sebuah proyek di
Bagor sebagai pekerja bangunan. Lama bekerja di proyek sampai akhirnya Bapak
mendapat kepercayaan dari pimpinan proyek.
Kedudukannya yang bagus inilah yang diperkirakan menjadikan orang-orang
tertentu tak senang dengan Bapak. Bapak mulai sering sakit-sakitan. Kalau
diperiksakan ke dokter tak diketemukan penyakit yang membahayakan , bahkan
dokter kadang tak mendiagnosa apa-apa dari keluhan yang diderita Bapak. Baru
setelah Bapak muntah yang membawanya sampai
meninggal dunia barulah Ibu percaya dunia santet-menyantet. Dunia yang dulu
tidak terpikirkan sama sekali.
Kondisi ekonomi keluarga jadi
goyang. Ibu yang tadinya hanya ibu rumahtangga kini harus berbalik arah.
Mancari penghasilan tambahan untuk mencukupi keluarga. Walau aku waktu itu
masih sangat kecil namun sering diajak-ajak Ibu berjualan. Tak terasa kini aku
sudah duduk di kelas 9. Ibu masih saja menekuni usaha yang satu ini hanya untuk
membantu keuangan. Ibu berharap
aku masih bisa sekolah sampai ke perguruan tingggi.
“Selama Ibu masih kuat akan Ibu
coba”
“Maka doakan Ibu agar diberi
kesehatan”
Kadang kalau Ibu
sudah mengatakan yang seperti itu hati ini begitu terenyuh . Lina ingin membahagiakan
Ibu. Lina ingin bila
Lina kelak berhasil nanti Ibu masih ada. Lina ingin Ibu bisa menikmati jerih payah
Lina.
***
Lina Patmawati adalah anak bungsu
dari 3 bersaudara. Kakak Lina yang pertama sudah bekerja di Kalimantan dan
mendapatkan istri orang sana. Keadaan ekonomi yang belum mapan yang menyebabkan
kakak Lina yang pertama ini belum bisa membantu Ibu. Bahkan bila pulang ke
Jawa, Ibulah yang memberi ongkos untuk pulang ke Kalimantan. Kakak Lina yang
kedua perempuan dan sudah menikah. Suaminya bekerja sebagai pedagang bubur di
Banten. Kakak Lina yang kedua ini ikut membantu Ibu di rumah.
Segala keuangan sekolah Ibu berusaha
untuk menutupinya. Pihak sekolah tahu kalau Lina sudah yatim. Di sekolah Lina
mendapatkan beasiswa Bantuan Siswa Miskin (BSM). Keuangan sekolah Lina jadi
ikut terbantu dengan adanya BSM.
Di kelas 9 ini Lina harus lebih sungguh-sunggguh
lagi. Waktu di kelas 8 alhamdulillah
Lina juara satu di kelas. Kini setidaknya ranking itu harus dipertahankan.
Bukankah kalau mempertahankan jauh lebih sulit lagi? Makanya Lina tidak gegabah
dengan prestasi yang pernah Lina raih. Segalanya harus dipertanggungjawabkan.
Lina harus lebih bersungguh-sungguh lagi.
Kedua kakak Lina memang sekolahnya
tidak ada yang tingggi. Lina ingin agar Ibu punya kekuatan dan rejeki sehingga
bisa mensekolahkan Lina jauh lebih tingggi lagi. Lina punya cita-cita ingin
jadi bidan. Lina senang akan profesi yang satu ini. Bisa membantu orang yang
akan melahirkan. Mulia sekali kalau bisa membantu orang yang sedang kesulitan.
Terbayang oleh Lina bagaimana Ibu melahirkan Lina sementara Bapak sudah meninggal
ketika Lina masih dalam kandungan berusia 7 bulan. Hal inilah yang menginspirasi
Lina bercita-cita jadi bidan.
Lina di sekolah ikut kegiatan OSIS.
Di kepengurusan OSIS Lina menduduki
Seksi Budi Pekerti salah satu seksi yang ada di kepengurusan OSIS SMPN 2
Pabedilan. Sekolah sambil ikut belajar berorganisasi. Bukankah orang yang
berorganisasi itu sangat baik? Bisa berbaur dengan sesama siswa dan juga bisa
bergaul dengan siswa yang dari luar sekolah. Pokoknya banyak hal yang bisa diambil
manfaatnya kalau kita masuk dalam sebuah organisasi.
Kondisi yang seperti inilah yang menbuat
Lina berfikir jauh kedepan. Apa yang dialami Ibu Lina merupakan pendorong bagi
Lina untuk hidup lebih prihatin. Banyak yang dipikirkan dalam hidup ini bagaimana
agar bisa mensejahterakan Ibu. Inilah PR
yang sampai sekarang belum bisa dipecahkan. Ingin, ingin sekali Lina bisa
membahagiakan Ibu. Ingin usia Ibu panjang sehingga bisa menyaksikan apa yang
telah Lina raih kelak. Banyak sekali yang terpikirkan untuk bisa membalas jasa Ibu, namun rasa-rasanya tak sanggup
untuk dibalasnya. Jasa Ibu amatlah besar. Banyak hal yang tidak bisa dibalas walau dengan pengorbanan yang sangat
besar. Ibu merupakan segalanya bagi Lina.
***
Terdengar dari kejauhan suara orang
yang sedang menawarkan nasi kuning. Kadang terenyuh bila mendengarkan sekilas. Suaranya
makin lama makin jelas. Lina sudah sangat mengenal suara yang satu ini. Nasib
orang memang siapa tahu. Ingin hidup makmur dengan tanpa kekurangan apapun
namun siapa yang menyangka kalau akhirnya akan seperti ini. Banyak misteri yang
tak terpecahkan dengan kejadian-kejadian yang dialami tempo dulu. Namun biarlah
hal itu bergulir apa adanya. Semua sudah
merupakan kehendak dari Yang Maha Kuasa.
Roda kehidupan akan terus bergulir
dan terus berjalan. Waktu ini harus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat. Terasa sekali masih jauh langkah yang harus ditempuh. Kuperhatikan
Ibu dengan kesibukan sehari-harinya. Usianya tak muda lagi. Sudah ribuan
kilometer jalan yang beliau tempuh untuk menjajakan nasi kuning. Sudah banyak
pula asam garam kehidupan yang beliau rasakan. Ingin waktu itu bergulir dengan
cepatnya, namun sayang aku masih seperti
ini. Aku masih duduk di kelas 9 SMP. Masih sangat jauh sekali perjalanan yang
akan aku tempuh.
Rasa-rasaya baru kemarin aku
dibangunkan Ibu untuk mandi pagi. Rasa-rasanya baru kemarin Ibu meninabobokan
diriku. Kubuka mata ini secara perlahan. Ibu masih saja asyik dengan pekerjaan
di dapur. Kesibukan sehari-hari yang belum juga dilepaskan. Kapankan aku akan
membahagiakan Ibu? Kapankan aku akan menyenangkan Ibu? Oh… rindu rasanya kalau
aku bisa membalas jasa Ibu. Dengan segala perjuangannya rasa-rasanya aku tak
akan bakal mampu membalasnya walau dengan
keringat darah sekalipun. Ibu… maafkan Lina yang masih menyusahkan Ibu.
Cirebon, 8 September
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar