Cerpen
SULUK MANG DURJA
Oleh : Nurdin Kurniawan, S.Pd.
Seperti tidak terasa dari waktu dhuhur ke ashar yang begitu cepat.
Mang Durja menggeliat dari rebahan di lantai masjid yang begitu terasa dingin.
Seharian mencari oli bekas rupanya menyedot tenaganya yang tidak lagi muda.
Bergegas mengambil air wudhu untuk mengikuti sholat berjamaah. Walau ada
perasaan masih ngantuk namun sang imam sudah ada dideretan baris paling depan.
Komatpun dikumandangkan.
Apa yang dialami dalam mimpi tadi
masih menyisakan banyak tanda tanya. Kok sepertinya bukan mimpi sebab apa yang
dirasakan Mang Durja seperti masih dalam keadaan sadar. Ia tahu betul waktu kisah
itu terjadi dirinya masih bisa mengingat orang-orang yang berada didalam masjid. Oh tidak! Ini antara
sadar dan tidak sadar. Mang Durja makin penasaran dengan apa yang ia alami
waktu tidur siang. Nanti kalau orang-orang tidak banyak yang mengerubungi pak
kyai akan ia tanyakan langsung perihal mimpi yang ia alami.
Kyai Ibnu selalu
sibuk dengan tamu-tamunya. Tadi hanya tinggal satu orang lagi, eh…ada lagi yang
datang. Mang Durja sebagai orang lama sudah dianggap bukan orang lain. Setiap
hari ada saja di masjid jadi punya kesempatan bertanya kalau memang ingin ada sesuatu
yang ingin ditanyakan pada pak kyai. Namun kali ini karena yang akan ditanyakan
adalah masalah yang menyangkut diri sendiri maka nanti saja dipilih waktu kalau
pak kyai sedang tak ada tamu. Dari tadi ditunggu-tunggu ternyata susah juga
mencari pak kyai yang sedang tidak melayani tamu. Atau barangkali waktunya yang
tidak tepat sehingga seperti sekarang
ini. Harus bagaimana lagi? Akhirnya menunggu saja sampai nanti tamu terakhir
pulang.
Tak banyak orang lagi inilah waktu
yang tepat untuk menanyakan apa yang
tadi siang dialami. Masih di masjid ini juga Mang Durja bermimpi kalau melihat
pak kyai sedang tidur di lantai masjid. Apa yang dilihat Mang Durja kok pak kyai
dikelilingi oleh 3 tumpuk kotoran manusia membentuk congcot (ujung tumpeng). Kalau bermimpi di majid suka ada hal-hal
nyata ataupun kisah-kisah penuh lambang. Namun Mang Durja belum bisa menakwilkan
apa arti dari mimpinya itu. Pada kesempatan yang baik inilah ia ungkapkan pada
pak kyai.
Mau memulai pembicaraan seperti
kaku. Memang Mang Durja jamaah yang paling setia berada di masjid. Hampir setiap sholat 5
waktu ia kerjakan bersama pak kyai. Boleh dikata murid kesayangan walau usia
dengan pak kyai masih jauh lebih tua Mang Durja. Mang Durja selalu manut dengan
apa yang dititahkan pak kyai. Belum ngomong apa-apa pak kyai sudah mesem
duluan.
“Ada apa?”
Agak kaku juga
sebab biasanya Mang Durja mendekat pada pak kyai kalau ada sesuatu maksud saja.
Biasanya pula bila urusan yang menyangkut dengan gambar Soekarno-Hatta. Tapi
kali ini bukan masalah fulus. Ada sesuatu
yang harus ia sampaikan mudah-mudahan apa yang disampaikan nanti pak kyai bisa
menakwilkan arti mimpinya.
“Begini pak kyai…”
Mulailah Mang
Durja menceritakan apa yang ia alami ketika tadi siang ia tidur di masjid. Tak
ada yang terlewat apa yang ia lihat dalam mimpi itu diceritakan pada pak kyai.
“Maaf pak kyai”
“Apa takwil mimpi yang saya alami
itu?”
Seperti biasa
pak kyai Ibnu hanya mesem mendengarkan penuturan murid yang paling senior di Masjid
Nurul Iman. Kalau pertanyaan dari Mang Durja selalu
berbobot dan biasanya memang ia merupakan suatu kenyataan. Dari kisah Mang
Durja inilah banyak sekali hikmah yang bisa diambil pelajaran untuk murid kyai
yang lainnya. Hanya saja ceritanya memang berasal dari Mang Durja. Sebagai bentuk pembelajaran buat santri-santri yang
lainnya.
Mengubah posisi duduk kini
berhadapan langsung dengan Mang Durja. Mengangguk-angguk seolah mengerti banget
dengan apa yang dialami murid senior. Perjalanan Mang Durja sampai akhirnya
bisa mengenal Kyai Ibnu juga merupakan suatu pertemuan yang sulit untuk dinalar.
Dari orang yang suka berjudi, suka main perempuan, suka mabok, suka
kebut-kebutan sampai akhirnya sadar bisa melaksanakan sholat 5 waktu, dzikir
dan kini menjadi murid pak kyai yang paling setia.
“Ada 3 kotoran lagi yang harus Mang
Durja bersihkan”
“Coba Mang Durja punya kesalahan apa
waktu masih muda dengan yang namanya perempuan?”
Lama Mang Durja
merenung dengan pertanyaan pak kyai. Kalau dibilang perjalanan masa muda bukan
ceritakan lagi sebab begitu banyak pengalaman di dunia hitam yang telah Mang Durja lakukan.
“Coba dari sekian perjalanan hidup
itu pasti ada seseorang yang telah Mang Durja sakiti”
“Siapa dia?”
Rasa-rasanya
terlaku banyak wanita yang masih jamannya Ali Topan demikian Mang Durja mengistilahkan
masa mudanya dahulu. Dengan kendaraan
motor trail dijamannya Mang Durja sudah banyak melakukan perjalanan
jauh. Banyak kisah yang ia torehlan dengan si Ali Topannya itu.
“Mang Durja telah berbuat apa?”
Mang Durja akhirnya
malu sendiri sebab kisah hidupnya diketahui pak kyai. Oh…rupanya ini yang
dimaksud dengan 3 gundukan kotoran yang
tadi mengelili pak kyai. Ini kisah hidup diri Mang Durja yang harus
dibersihkan. Pantasan saja dalam beberapa hari ini yang namanya kaki inginnya
pergi ke Kuningan terus. Rupanya ada suatu perjalanan yang harus Mang Durja
lakukan dengan melakukan suluk.
“Mang Durja sempatkan waktu”
“Kunjungi bekas pacar Mang Durja yang
dahulu telah dihitamputihkan Mamang”
“Mintalah maaf atas apa yang pernah
Mamang lakukan”
Ada perasaan
malu juga sebab pak kyai kok akhirnya tahu apa yang ia lakukan ketika masa muda
dahulu dengan salah seorang mojang Kuningan yang bernama Mimin.
Ada bab baru yang harus dilakukan
Mang Durja bila suluk ke mantan kekasihnya.
Itu kejadian sudah puluhan tahun yang lalu. Ketika Mang Durja masih
perjakan. Kini apakah Mimin akan memaafkan dirinya yang dahulu telah ia
tinggalkan? Belum lagi nanti bagaimana kalau Mimin sudah mempunyai suami?
Alasan apa yang nanti akan diungkapkan pada sang suami Mimin yang sekarang?
Seribu satu pertanyaan yang muncul dalam benak Mang Durja. Tapi Mang Durja
harus melakukan suluk untuk meningkatkan kadar keimanannya. Bila suluk ini
tidak dilakukan maka akan semakin banyak dosa saja sebab yang dahulu dilakukan
akan selalu terngiang dalam-dalam. Harus…harus
suluk walau nanti akan banyak permasalahan baru. Kalau hal ini diketahui
oleh istri Mang Durja tentu akan menjadi persoalan baru lagi. Bahkan tidak menutup
kemungkinan akan menjadi arena
pertengkaran baru.
***
Terlalu ekstrim kalau mau jujur
dengan apa yang telah dilakukan masa muda Mang Durja. Namanya juga pergaulan
anak muda jadi kadang melanggar batas-batas norma yang diajarkan agama. Terlalu
riskan kalau hal ini diceritakan lalu
didengar orang-orang dekat. Bukan tidak mungkin akan menjadi persoalan baru
lagi. Namun karena niat akan membersihkan diri maka apa yang telah dilakukan
Mang Durja dimasa muda harus ia datangi. Intinya Mang Durja akan menghadap
Mimin dan memohon maaf dengan apa yang tekah ia lakukan dahulu.
Harus mencari teman yang mau diajak
untuk menemani dalam perjalanan menuju Kuningan. Maklumlah sekarang beda dengan
dahulu lagi. Dulu memang roda lagi di atas apapun yang diingini Durja muda selalu
terpenuhi. Kini posisi sedang berada di bawah yang telah memutarbalikkan semua
kondisi ekonomi Mang Durja. Untuk bisa bepergian saja kini Mang Durja hanya
mengandalkan motor bebek tua. Sementara perjalanan menuju Kuningan harus membutuhkan
kendaraan yang masih kuat nanjak. Maklumlah ia hafal betul kondisi jalan menuju
rumah Mimin penuh tanjakan dan turunan yang tajam. Bila motor bebek yang
sekarang ia gunakan jelas-jelas tak akan mampu membawa Durja kesana.
Bila perjalan suluk seperti ini
ditemani Sukida rasa-rasanya akan tepat. Sahabatnya yang satu ini motornya
masih bagus. Disamping itu Sukida termasuk orang yang dengan mudah memberikan
pinjaman manakala berhadapan dengan kas yang lagi kosong. Mudah-mudahan
orangnya ada waktu luang sehingga bisa menjadi teman Mang Durja nanti dalam
perjalanannya.
Syukur begitu mengungkapkan apa yang
harus dilakukan buat suluk Sukida langsung mengerti. Rata-rata santri Kyai Ibnu
mengalami semua yang namanya suluk. Suatu perjalanan religi yang diperintahkan
atas suatu peristiwa. Suluk ini tidak bisa dipaksakan sebab apa yang dialami
sang santri macam-macam. Kalau harus melakukan suatu perjalanan maka jangan ditunggu-tunggu
sampai lupa. Nanti akan ada pelajaran yang baru yang bisa dipetik dari hasil
suluknya itu.
“Kapan berangkatnya?”
“Besok pagi saja”
“OK!”
Sepanjang perjalanan diisi dengan
ngobrol. Tak terasa akhirnya sampai juga didaerah Kuningan.
“Kemana ini?”
“Rasa-rasanya sudah dekat”
“Ikuti jalan yang ini saja”
Tujuh belas
tahun yang lalu tentu beda dengan sekarang. Kalau dahulu jalannya tidak semulus
sekarang. Pantas saja banyak yang lupa dengan kemajuan Kuningan. Jalannya
bagus-bagus diaspal sampai pelosok desa.
“Nah itu rumahnya”
Kalau rumah
hanya sedikit perbedaannya walau kini dikanan-kirinya sudah muncul rumah-rumah
baru yang tentunya jauh lebih bagus. Rumah
mantan kekasih masih teringat jelas sebab bentuknya hanya sedikit yang
mengalami perombakan.
Penuh kecamuk dalam jiwa. Ada
perasaan berdebar yang kencang begitu akan mengetuk pintu. Jangan-jangan nanti
suaminya yang sekarang yang muncul. Kalau dia yang muncul mau ngomong apa? Ah…jangan
terlau terbawa perasaan. Datangnya diri Mang Darji ke Kuningan
adalah untuk memperbaiki persoalan yang dulu mengganjal sehingga menjadi
kotoran buat pak kyai. Ini harus dibersihkan dengan meminta maaf langsung pada
orangnya. Beberapa kali ketukan akhirnya ada yang membukakan pintu.
Tatapan beku tanpa kata-kata. Mimin
tahu siapa orang yang kini berdiri dihadapannya begitu pula dengan Mang Durja. Sosok
yang sudah tak asing lagi. Walau usia sudah tak
muda lagi namun tetap saja wajah ini tidak bisa begitu lupa dengan
begitu saja.
“Durja ya?”
Durja menganggukkan
kepala pada Mimin yang menatapnya dengan tajam. Disela-sela mata Mimin
mengelurkan buliran air seperti kristal.
“Dengan siapa?”
“Teman”
“Ayo masuk”
Duduk berhadap-hadapan
namun masih saja Mang Durja belum bisa memulai mengatakan apa pada Mimin yang
sudah 17 tahun ia tinggalkan begitu saja. Akhirnya Sukida yang memulai pembicaraan. Diceritakan panjang lebar
akhirnya Mimin mengerti kalau Durja kesini intinya akan memohon maaf atas apa
yang telah dilakukan semasa mudanya dahulu.
“Anak kita sudah besar mas…”
“Sudah berumahtangga dan sudah punya
anak satu”
Mang Durja
menghela nafas dalam-dalam. Tidak menyangka anak yang dahulu menjadi buah kasih
dengan Mimin sudah besar dan bahkan sudah menikah. Terlalu banyak dosa kalau
mau diceritakan sampai punya anak sudah besar dan kini menikah tanpa dihadiri
lagi. Tapi sudahlah…itu masa lalu yang kini justru kedatangan Mang Durja adalah
untuk meminta maaf pada Mimin.
Belum banyak pembicaraan yang
dilakukan akhirnya suami Mimin datang. Malu rasanya kalau berhadap-hadapan
dengan orang yang baru ketemu ternyata kini ia yang memiliki Mimin seutuhnya.
Mang Durja mohon pamit sebentar untuk ngobrol dengan pemilik rumah yang ada
disamping rumah Mimin. Mang Durja tahu
jelas kalau itu rumah adiknya Mimin. Sementara biarlah Sukida yang lalu ngobrol
dengan Mimin dan suami Mimin.
Satu persoalan sudah beres. Satu
kotoran yang tadi mengelilingi tidur pak kyai sudah menghilang. Durja masih
berfikir ternyata masih ada 2 kotoran lagi yang harus ia bersihkan. Dalam hati
Mang Durja bertanya-tanya dengan siapakah lagi gerangan? Tokh masih ada 2
kotoran lagi. Apakah dengan gadis keturunan Arab anak pemilik toko tekstil?
Atau dengan mojang amoy yang dahulu
sempat menghiasi hidup perjalanan Durja muda? Entahlah…
Perjalan suluk ini masih akan
berlangsung. Namun Mang Durja kini yang ia lakukan hanya memperbanyak dzikir. Kalau
nanti ia diperintahkan suluk lagi mengenai perjalan masa muda yang penuh dengan
petualangan Mang Durja sudah siap. Pokoknya kalau mesti suluk lagi dan meminta
maaf akan ia lakukan. Masih ada 2 gundukan
kotoran lagi yang mesti ia bersihkan. Mang Durja menghabiskan waktu disepertiga
malam dengan memperbanyak dzikir. Memohon ampun atas apa yang telah dilakukan ketika
masih muda. Nyatanya belum terlambut untuk bertobat. Mudah-mudahan masih diberi
umur panjang sehingga Mang Durja bisa bersilaturahmi dengan orang-orang yang
dahulu pernah menghiasi hati Mang Durja.
Cirebon, 3 Desember 2015
nurdinkurniawan@ymail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar