Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Senin, 24 Juni 2019

ZIARAH Bagian Keenam (Cerpen)


Cerpen
ZIARAH
Bagian Keenam
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Hiruk pikuk yang tadi sempat terdengar kini mulai hening lagi. Satu per satu peziarah masuk lagi bus. Perjalanan masih sangat panjang. Bus melaju lagi menuju tempat ziarah berikutnya yaitu Sunan Kudus. Perjalanan dilanjutkan dari Kota Demak ke Kudus. Masih di jalur pantura menyusuri jalanan  darat membuat para peziarah lelah. Hampir seharian mereka dijalan. Kini bus menjadi sepi hanya pak supir saja yang harus awas dengan segala sesuatunya.
            Bila diperjalanan aku sangat susah tidur, inilah yang membedakan diriku dengan peziarah yang lain. Saat-saat seperti ini walau ngantuk seperti apapun aku sulit untuk tidur di bus. Mata sudah coba  aku pejamkan, namun tetap saja suara-suara orang yang sedang ngobrol masih aku dengar. Aku belum terbiasa untuk tidur di bus. Kalau melihat orang yang ada disamping tidur dengan pulas sepertinya aku ingin juga. Akhirnya sepanjang perjalanan mata aku tujukan terus ke depan. Melihat pemandangan kota yang aku lewati. Kebetulan daerah Demak sampai Kudus masih asing bagiku. Kesempatan di pagi dini hari ini aku gunakan untuk mengamati kota Kudus yang terkenal dengan kota rokok kreteknya.
            Kurang lebih  pukul 02.00 rombongan tiba di Komplek Pemakaman Sunan Kudus. Bus yang ada masuk ke terminal yang katanya dekat ke lokasi pemakaman. Dari terminal ini harus dilanjutkan dengan naik ojeg. Tukang ojegnya pun jumlahnya ratusan. Ketika aku tanyakan katanya angggotanya sampai 140. Wah… cukup banyak juga!
            Biaya untuk naik ojeg sampai ke lokasi Makam Sunan Kudus cuma Rp. 5.000. Ingin cepat sampai maka aku juga naik ojeg. Keingintahuanku yang sangat besar harus ditunjang dengan kecepatan langkah. Walau terasa dingin namun tak aku hiraukan. Tukang ojegnya juga dalam membawa kendaraan tak ada yang pelan, semuanya ngebut.
            Ada satu hal yang membuatku takjub dengan para tukang ojeg di daerah Kudus ini. Mereka begitu rapih dan sangat sopan. Ada satu ketentuan yang harus dihormati oleh para tukang ojeg. Mereka membawa peziarah secara bergantian. Tukang ojeg yang ada dibawah mengenakan helem berwarna putih dan tugasnya hanya pengantar peziarah sampai ke atas. Untuk urusan sebaliknya maka ada tukang ojeg yang lain yang mengenakan helem berwarna merah. Jadi mereka berangkat bawa penumpang dan pulangnya kosong untuk yang pertama dan untuk tukang ojeg yang kedua mengantarkan penumpang sampai terminal dan pulang laginya dalam keadaan kosong. Kalau ketentuan ini dilangggar maka sanksinya sangat tegas. Mereka tidak boleh beroperasi lagi selama 3 bulan. Sungguh peraturan yang kalau dijalankan sangat bagus dan selama ini efektif untuk menindak tukang ojeg yang suka rebutan penumpang.
                                                                        ***
            Bertepatan dengan acara ziarah di TV lagi ramai-ramainya yang namanya Piala Eropa. Pertandingan sepakbola ini juga menyita peziarah yang lainnnya. Kebetulan ketika di Sunan Kudus disekitar terminal ada yang nyetel TV. Pas sekali waktu itu sedang final antara Spanyol dengan Italia. Yang gila sepak bola berhenti dahulu untuk ikut penyaksikan Piala Eropa, yang tak senang bola tentu langsung menuju obyek ziarah Sunan Kudus.
            Kalau saja datangnya siang hari mungkin jalan sedikit saja akan juga sampai. Karena banyak yang pertama kali datang seperti diriku yang tak tahu lokasi maka tukang ojeg adalah alternatifnya.Sebentar duduk di belakang tukang ojeg eh…sudah sampai.
            Naik sebentar jalannya menuju ke lokasi Makam Sunan Kudus. Banyak kesamaannya lokasi makam para Wali yang satu dengan Wali yang lainnya. Mereka memilih tempat peristirahatan terakhir di daerah yang lebih tingggi. Begitu pula dengan Makam Sunan Kudus yang bersebelahan dengan masjid. Ada yang membedakan masjid-,masjid yang sudah kita lalui dengan masjid yang ada di Komplek Sunan Kudus. Masjid ini ada menaranya yang arsitekturnya sangat khas. Arsitektur yang masih memadukan dua kebudayaan yang sangat berbeda. Bangunan masjid bercirikan Arab sedang menaranya masih Hindu asli dari unsur kebudayaan Majapahit.
            Sudah ada 2 rombongan yang sedang tahlilan dilokasi makam. Peziarah yang baru datang karena tempatnya yang memang sempit harus menungggu yang sudah datang lebih awal itu selesai. Kalau siang hari lokasi makam ini masih bisa dibuka lagi sehingga peziarah masih bisa berdoa di dalam. Namun sayang kami datangnya masih terlalu pagi sehinggga komplek makam masih dikunci. Mereka yang ingin berdoa  menggunakan bagian luar dan daerah sekitar masjid untuk berdoa.
            Melihat kondisi masjid yang berbeda dengan masjid-masjid yang ada membuat diriku lebih senang sholat tahajud di masjid. Melihat arsitektur yang masih khas Majapahit. Budaya yang tepat dipertahankan oleh Sunan  Kudus. Beliau memang arif dengan masih mempertahankan bagunan lamanya. Jadilah sebuah masjid yang memadukan dua kebudayaan yang berbeda. Terjadi akulturasi budaya Hindu dan Budaya Islam yang sangat kental.
            Halaman masjid bagian luar dipenuhi dengan peziarah yang istirahat. Mereka kelehan dan memilih teras depan Masjid Sunan Kudus ini sebagai tempat peristirahatan. Sholat tahajud di masjid yang sangat bersejarah. Mulanya aku sholat dibagian depan karena memang bagian utama masjid belum dibuka. Sholat beberapa rokaat barulah pengurus masjid membuka pintu bagian ruang utamanya. Aku langsung menuju ruang utama ingin tahu apa isinya. Di dalam masjid masih ada gapura lagi. Entah apa nama gapura ini, yang jelas didepan ada satu dan di ruang utama ada lagi satu. Kalau kita sholat dekat gapura ini maka pandangan kita ke mimbar akan terhalang. Gapuranya yang bercirikan Majapahit memang dilestarikan sampai sekarang. Makanya di Masjid ini beda sekai dengan masjid-masjid yang ada.
            Sunggguh senang bisa mengabadikan beberapa gambar bagian dalam masjid. Ceprat sana cepret sini memphoto apa yang memang sedang menjadi perhatianku selama ini. Kalau gambar-gambar itu ada tentunya aku bisa bercerita banyak tentang masjid Sunan Kudus. Melihat menaranya yang menjulang tingggi dengan susunan bata merah sunggguh membuatku merasa takjub. Sunggguh hebat arsitektur yang dibangun. Tentu hebat pula orang yang mendesain bangunan yang seperti ini. Seorang wali yang sangat mengerti sekali dengan yang namanya seni bangunan. Memadukan dua kebudayaan yang tentunya tidaklah mudah. Itulah Sunan Kudus.
                                                                        ***
            Jam menunjukkan pukul 03.25 para peziarah mulai masuk lagi ke busnya masing-masing. Dari jauh terdengar sayup-sayup orang yang mengaji. Perjalanan harus tetap dilanjutkan untuk menuju lokasi ziarah yang berikutnya. Beberapa orang yang sudah sepuh terlihat memang tetap berada di dalam bus. Perjalanan yang sangat melelahkan namun untuk yang pertama seperti diriku tentunya sangat menyenangkan.
            Di bus duduk sambil memijit-mijit kaki yang terlihat bengkak. Rupanya seharian duduk di bus membuat air yang ada di dalam kaki ini turun. Apalagi untuk orang seperti diriku tentu terasa sekali kaki ini harus banyak digerakkan. Menggantung seperti ini duduk di bus berjam-jam membuat tak nyaman. Kaki terlihat jadi bengkak. Untuk sebuah perjalanan religi tak mengapa. Pasti ada hikmah yang dapat aku ambil. Suasana bus yang tadi ramai kini mulai sepi lagi. Perjalanan akan dilanjutkan lagi ke Sunan Muria.
            Sayang sekali dalam perjalanan ini aku tidak membawa peta. Setidaknya sebagai orang geografi sangat penting sekali itu yang namanya peta. Dari satu lokasi ke lokasi yang lain harus dicocokkan dengan peta. Rute juga harus diperhatikan agar suatu saat aku berkunjung lagi dengan mudah menemukan lokasi berikutnya. Sampai tulisan ini dibuatpun aku belum memcoba membuka peta. Entah petanya pada kemana sehingga ingin mencocokkan rute yang ada seperti kesulitan. Nanti kakau sudah ketemu petanya akan coba diraba-raba lagi perjalanan yang sudah aku lakukan selama ziarah.
            Bercerita tetang suatu perjalanan yang namanya ziarah alangkah bagusnya juga kalau kita tahu siapa tokoh yang akan didatangi. Aku berziarah belum banyak tahu tentang tokoh-tokohnya. Jadi ketika aku sampai di tempat ziarah banyak yang  kosong pengetahuan sang tokoh yang dituju. Inilah ruginya tak membaca sebelumnya riwayat para Wali yang akan dikunjungi. Setelah aku yakin banyak sekali kegunaannya mengetahi sejarah para Wali barulah aku mendowload di internet. Tak percumah karena data yang aku butuhkan ternyata sangat banyak. Kini  tugas berikutnya adalah membacanya. Ingin agar apa yang aku tulis juga sinkron dengan sejarah para Wali yang sesungguhya. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ada kesempatan untuk membacanya. Kalau tahu sejarahnya setidaknya alur tulisan juga jadi lebih variatif. Banyak hal-hal yang tak diketahui menjadi tahu.
            Bertambah satu hal lagi yang aku ketahui tentang para Wali. Aku jadi tahu makam Sunan Kudus. Aku jadi tahu Masjid yang menaranya sangat unik karena memadukan budaya asli Indonesia yaitu yang bernuansa Majapahit dengan budaya Arab. Aku masih teringat ketika wudhu switer yang aku gunakan basah kuyup karena aku taruh di bak masjid yang besar untuk tempat wudhunya dan  masih mengggunakan gayung. Itulah kenangan yang dapat aku tuliskan sepanjang perjalaan di Sunan Kudus. Semoga Allah memberikan nikmat kubur pada para  Waliyullah dan meluaskan alam kuburnya. Amien.

                                                                                                                         Cirebon, 24 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar