Cerpen
ZIARAH
Bagian Keenam
Oleh : Nurdin Kurniawan
Hiruk pikuk yang tadi sempat
terdengar kini mulai hening lagi. Satu per satu peziarah masuk lagi bus.
Perjalanan masih sangat panjang. Bus melaju lagi menuju tempat ziarah
berikutnya yaitu Sunan Kudus. Perjalanan dilanjutkan dari Kota Demak ke Kudus.
Masih di jalur pantura menyusuri jalanan
darat membuat para peziarah lelah. Hampir seharian mereka dijalan. Kini
bus menjadi sepi hanya pak supir saja yang harus awas dengan segala sesuatunya.
Bila diperjalanan aku sangat susah
tidur, inilah yang membedakan diriku dengan peziarah yang lain. Saat-saat
seperti ini walau ngantuk seperti apapun aku sulit untuk tidur di bus. Mata sudah
coba aku pejamkan, namun tetap saja
suara-suara orang yang sedang ngobrol masih aku dengar. Aku belum terbiasa
untuk tidur di bus. Kalau melihat orang yang ada disamping tidur dengan pulas sepertinya
aku ingin juga. Akhirnya sepanjang perjalanan mata aku tujukan terus ke depan.
Melihat pemandangan kota yang aku lewati. Kebetulan daerah Demak sampai Kudus
masih asing bagiku. Kesempatan di pagi dini hari ini aku gunakan untuk
mengamati kota Kudus yang terkenal dengan kota rokok kreteknya.
Kurang lebih pukul 02.00 rombongan tiba di Komplek Pemakaman
Sunan Kudus. Bus yang ada masuk ke terminal yang katanya dekat ke lokasi pemakaman.
Dari terminal ini harus dilanjutkan dengan naik ojeg. Tukang ojegnya pun jumlahnya
ratusan. Ketika aku tanyakan katanya angggotanya sampai 140. Wah… cukup banyak
juga!
Biaya untuk naik ojeg sampai ke
lokasi Makam Sunan Kudus cuma Rp. 5.000. Ingin cepat sampai maka aku juga naik
ojeg. Keingintahuanku yang sangat besar harus ditunjang dengan kecepatan langkah.
Walau terasa dingin namun tak aku hiraukan. Tukang ojegnya juga dalam membawa
kendaraan tak ada yang pelan, semuanya ngebut.
Ada satu hal yang membuatku takjub dengan
para tukang ojeg di daerah Kudus ini. Mereka begitu rapih dan sangat sopan. Ada
satu ketentuan yang harus dihormati oleh para tukang ojeg. Mereka membawa
peziarah secara bergantian. Tukang ojeg yang ada dibawah mengenakan helem
berwarna putih dan tugasnya hanya pengantar peziarah sampai ke atas. Untuk
urusan sebaliknya maka ada tukang ojeg yang lain yang mengenakan helem berwarna
merah. Jadi mereka berangkat bawa penumpang dan pulangnya kosong untuk yang
pertama dan untuk tukang ojeg yang kedua mengantarkan penumpang sampai terminal
dan pulang laginya dalam keadaan kosong. Kalau ketentuan ini dilangggar maka
sanksinya sangat tegas. Mereka tidak boleh beroperasi lagi selama 3 bulan.
Sungguh peraturan yang kalau dijalankan sangat bagus dan selama ini efektif
untuk menindak tukang ojeg yang suka rebutan penumpang.
***
Bertepatan dengan acara ziarah di TV
lagi ramai-ramainya yang namanya Piala Eropa. Pertandingan sepakbola ini juga
menyita peziarah yang lainnnya. Kebetulan ketika di Sunan Kudus disekitar
terminal ada yang nyetel TV. Pas sekali waktu itu sedang final antara Spanyol
dengan Italia. Yang gila sepak bola berhenti dahulu untuk ikut penyaksikan
Piala Eropa, yang tak senang bola tentu langsung menuju obyek ziarah Sunan
Kudus.
Kalau saja datangnya siang hari
mungkin jalan sedikit saja akan juga sampai. Karena banyak yang pertama kali
datang seperti diriku yang tak tahu lokasi maka tukang ojeg adalah
alternatifnya.Sebentar duduk di belakang tukang ojeg eh…sudah sampai.
Naik sebentar jalannya menuju ke
lokasi Makam Sunan Kudus. Banyak kesamaannya lokasi makam para Wali yang satu
dengan Wali yang lainnya. Mereka memilih tempat peristirahatan terakhir di
daerah yang lebih tingggi. Begitu pula dengan Makam Sunan Kudus yang
bersebelahan dengan masjid. Ada yang membedakan masjid-,masjid yang sudah kita
lalui dengan masjid yang ada di Komplek Sunan Kudus. Masjid ini ada menaranya
yang arsitekturnya sangat khas. Arsitektur yang masih memadukan dua kebudayaan
yang sangat berbeda. Bangunan masjid bercirikan Arab sedang menaranya masih
Hindu asli dari unsur kebudayaan Majapahit.
Sudah ada 2 rombongan yang sedang
tahlilan dilokasi makam. Peziarah yang baru datang karena tempatnya yang memang
sempit harus menungggu yang sudah datang lebih awal itu selesai. Kalau siang
hari lokasi makam ini masih bisa dibuka lagi sehingga peziarah masih bisa
berdoa di dalam. Namun sayang kami datangnya masih terlalu pagi sehinggga
komplek makam masih dikunci. Mereka yang ingin berdoa menggunakan bagian luar dan daerah sekitar
masjid untuk berdoa.
Melihat kondisi masjid yang berbeda
dengan masjid-masjid yang ada membuat diriku lebih senang sholat tahajud di masjid.
Melihat arsitektur yang masih khas Majapahit. Budaya yang tepat dipertahankan
oleh Sunan Kudus. Beliau memang arif
dengan masih mempertahankan bagunan lamanya. Jadilah sebuah masjid yang
memadukan dua kebudayaan yang berbeda. Terjadi akulturasi budaya Hindu dan
Budaya Islam yang sangat kental.
Halaman masjid bagian luar dipenuhi dengan
peziarah yang istirahat. Mereka kelehan dan memilih teras depan Masjid Sunan
Kudus ini sebagai tempat peristirahatan. Sholat tahajud di masjid yang sangat
bersejarah. Mulanya aku sholat dibagian depan karena memang bagian utama masjid
belum dibuka. Sholat beberapa rokaat barulah pengurus masjid membuka pintu
bagian ruang utamanya. Aku langsung menuju ruang utama ingin tahu apa isinya.
Di dalam masjid masih ada gapura lagi. Entah apa nama gapura ini, yang jelas
didepan ada satu dan di ruang utama ada lagi satu. Kalau kita sholat dekat
gapura ini maka pandangan kita ke mimbar akan terhalang. Gapuranya yang bercirikan
Majapahit memang dilestarikan sampai sekarang. Makanya di Masjid ini beda sekai
dengan masjid-masjid yang ada.
Sunggguh senang bisa mengabadikan
beberapa gambar bagian dalam masjid. Ceprat sana cepret sini memphoto apa yang
memang sedang menjadi perhatianku selama ini. Kalau gambar-gambar itu ada
tentunya aku bisa bercerita banyak tentang masjid Sunan Kudus. Melihat
menaranya yang menjulang tingggi dengan susunan bata merah sunggguh membuatku
merasa takjub. Sunggguh hebat arsitektur yang dibangun. Tentu hebat pula orang
yang mendesain bangunan yang seperti ini. Seorang wali yang sangat mengerti sekali
dengan yang namanya seni bangunan. Memadukan dua kebudayaan yang tentunya
tidaklah mudah. Itulah Sunan Kudus.
***
Jam menunjukkan pukul 03.25 para
peziarah mulai masuk lagi ke busnya masing-masing. Dari jauh terdengar
sayup-sayup orang yang mengaji. Perjalanan harus tetap dilanjutkan untuk menuju
lokasi ziarah yang berikutnya. Beberapa orang yang sudah sepuh terlihat memang
tetap berada di dalam bus. Perjalanan yang sangat melelahkan namun untuk yang
pertama seperti diriku tentunya sangat menyenangkan.
Di bus duduk sambil memijit-mijit
kaki yang terlihat bengkak. Rupanya seharian duduk di bus membuat air yang ada
di dalam kaki ini turun. Apalagi untuk orang seperti diriku tentu terasa sekali
kaki ini harus banyak digerakkan. Menggantung seperti ini duduk di bus
berjam-jam membuat tak nyaman. Kaki terlihat jadi bengkak. Untuk sebuah
perjalanan religi tak mengapa. Pasti ada hikmah yang dapat aku ambil. Suasana
bus yang tadi ramai kini mulai sepi lagi. Perjalanan akan dilanjutkan lagi ke
Sunan Muria.
Sayang sekali dalam perjalanan ini
aku tidak membawa peta. Setidaknya sebagai orang geografi sangat penting sekali
itu yang namanya peta. Dari satu lokasi ke lokasi yang lain harus dicocokkan dengan
peta. Rute juga harus diperhatikan agar suatu saat aku berkunjung lagi dengan
mudah menemukan lokasi berikutnya. Sampai tulisan ini dibuatpun aku belum
memcoba membuka peta. Entah petanya pada kemana sehingga ingin mencocokkan rute
yang ada seperti kesulitan. Nanti kakau sudah ketemu petanya akan coba
diraba-raba lagi perjalanan yang sudah aku lakukan selama ziarah.
Bercerita tetang suatu perjalanan
yang namanya ziarah alangkah bagusnya juga kalau kita tahu siapa tokoh yang
akan didatangi. Aku berziarah belum banyak tahu tentang tokoh-tokohnya. Jadi
ketika aku sampai di tempat ziarah banyak yang
kosong pengetahuan sang tokoh yang dituju. Inilah ruginya tak membaca
sebelumnya riwayat para Wali yang akan dikunjungi. Setelah aku yakin banyak sekali
kegunaannya mengetahi sejarah para Wali barulah aku mendowload di internet. Tak percumah karena data yang aku butuhkan
ternyata sangat banyak. Kini tugas
berikutnya adalah membacanya. Ingin agar apa yang aku tulis juga sinkron dengan
sejarah para Wali yang sesungguhya. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ada
kesempatan untuk membacanya. Kalau tahu sejarahnya setidaknya alur tulisan juga
jadi lebih variatif. Banyak hal-hal yang tak diketahui menjadi tahu.
Bertambah satu hal lagi yang aku
ketahui tentang para Wali. Aku jadi tahu makam Sunan Kudus. Aku jadi tahu
Masjid yang menaranya sangat unik karena memadukan budaya asli Indonesia yaitu
yang bernuansa Majapahit dengan budaya Arab. Aku masih teringat ketika wudhu
switer yang aku gunakan basah kuyup karena aku taruh di bak masjid yang besar
untuk tempat wudhunya dan masih
mengggunakan gayung. Itulah kenangan yang dapat aku tuliskan sepanjang
perjalaan di Sunan Kudus. Semoga Allah memberikan nikmat kubur pada para Waliyullah dan meluaskan alam kuburnya. Amien.
Cirebon, 24 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar