Cerpen
AKU KENAL SUARA ITU
Oleh : Nurdin Kurniawan
Suara gaduh tetangga sebelah membuat
orang-orang yang masih terjaga lalu keluar rumah.
“Ada apa?”
“Ada maling”
“Tadi ada orang yang masuk dapur
rumah saya!”
Banyaknya
tetangga yang berdatangan membuat maling tak berani keluar rumah. Ia malah
sembunyi dibelakang kandang ayam.
“Sepertinya masih ada malingnya”
Kontan saja
tetangga Parmin menyebar mencari orang yang menurut istri Parmin masih ada di
rumah. Pencarian yang tak berlangsung lama itu membuahkan hasil. Ada sesosok
bayangan gelap yang sembunyi di belakang kandang ayam. Kontan Kusno yang
melihat duluan langsung teriak.
“Malingnya ada disini”
“Maling-maling…”
Warga yang tadi
konsentrasi mencari maling langsung mendatangi sumber suara. Si maling yang
tahu posisinya diketahui lalu lari pontang-panting. Warga yang sudah menyebar dengan
mudah mengepung si maling. Kusno yang paling depan bisa memegang sarung si
maling yang menutupi wajah. Si maling kontan saja berusaha melepaskan diri.
Tenaga Kusno yang tidak lagi muda membuat si maling bisa melepaskan diri. Namun
Kusno mengenali wajah si maling itu.
“Rupanya kau Kasmud!”
Kasmud yang
namanya sempat disebut Kusno mengambil
langkah seribu. Ia tidak ingin mati konyol digebugi warga yang sudah mulai
berdatangan.
Malam Jum’at Kliwon itu menjadikan
malam meleknya para warga. Kejadian di rumah
Parmin membuat warga makin meningkatkan kewaspadaannya.
“Jadi malingnya si Kasmud?”
“Dasar kurang ajar anak itu”
“Maling masih di daerahnya sendiri”
Nama Kamsud
mendadak ramai dibicarakan warga. Pemuda tanggung ini memang tingkahlakunya
meresahkan warga terus. Belum lama pemuda ini digelandang warga ke balai desa
hanya gara-gara apel terlalu malam di rumah janda.
Paling tak enak tentu orangtua
Kasmud yang memang jaraknya dengan rumah Parmin tidak terlalu jauh. Peristiwa malam
Jum’at Kliwon membuat Dulakid memilih berdiam diri di rumah. Sudah terlalu menyakitkan kalau
mendengarkan omongan warga.
“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”
“Jangan menyalahkan anak kalau sudah
seperti ini”
“Pasti ada kaitannya dengan perilaku
orangtuanya”
Dulakid berusaha
sabar dengan peristiwa yang menimpa anaknya. Entah kini dimana keberadaan si Kasmud.
Sudah 2 hari sejak peristiwa itu anaknya belum juga berani pulang ke rumah. Hal
inilah yang membuat Dulakid yakin kalau apa yang dilihat oleh Kusno memang
benar anaknya. Dulakid hanya bisa geleng-geleg kepala dengan ulah anaknya yang
membikin heboh seiisi kampung.
***
Stasiun Babakan sudah terlihat
ramai. Pukul 07.00 memang ada kereta yang ditunggu-tunggu warga yang akan
bepergian ke Jakarta. Kereta ekonomi yang sangat dinanti kehadirannya selain
karena tiketnya memang murah, kereta Tegal Arum memang keretanya wong cilik.
Siapa saja bisa menaiki kereta ini. Selain penumpamg resmi banyak pula
penumpang gelap yang kalau ketahuan bisa nego dengan cara membayar diatas
kereta.
Kereta Tegal Arum pula disebut
kereta perang. Lihat saja kalau malam tiba. Sepanjang lorong dipenuhi oleh
orang-orang yang tiduran karena tidak kebagian tempat duduk. Belum lagi tukang asongan yang bolak-balik
silih berganti pindah-pindah gerbong. Jadilah kereta ini lebih ramai dari pasar
tradisional sekalipun.
Walau ada uang namun Parmin lebih memilih
naik kereta perang ini. Kereta yang mengingatkan dirinya akan sebuah film tempo doeleo ‘Kereta Api Terakhir’
yang dulu dibintangi oleh Giro Rollies. Kereta yang terlalu sopan karena
selalu memberikan lewat lebih dahulu kerete jenis argo. Kereta ini harus
mengalah kalau ada kereta argo yang mau lewat, namun tetap saja dalam hal peminat jumlahnya
mengalahkan penumpang kereta kelas argo yang terkesan sombong.
“Ayo bu siap-siap”
“Keretanya suda datang”
Parmin membawa
kardus yang berisi ikan asin , terasi
dan beberapa makanan tradisonal yang tidak akan dijumpainya di Jakarta.
Baju-baju yang akan digunakan juga semuanya berada dalam kardus mie yang sama.
Kardus-kardus seperti ini bagi Parmin merupakan koper yang serba guna. Tak akan
ada copet yang senang merogoh-rogoh isi kardus sebab copet juga tahu koper yang
seperti ini pasti tak ada barang berharganya.
Hanya 15 menit kereta berhenti di
stasiun Babakan. Tak berapa lama terdengar suara klakson dari si masinis.
Keretapun melanjutkan perjalannya ke Jakarta. Kereta api yang penuh kesabaran.
Itulah yang dirasakan oeh penumpang di kereta Tegal Arum. Cepat sekali kereta
ini berhenti di stasiun-stasiun kecil. Hal ini selain memberikan kesempatan
lewat lebih dahulu kereta argo, juga karena memang di stasiun-stasiun kecil ini
penumpang kereta membludak. Walau sudah
sesak terus saja penumpang masih bisa dijejer seperti ikan pindang.
Pengap, gerah, sesak itulah yang
dirasakan oleh penumpang Tegal Arum. Setiap stasiun hampir menaikkan penumpang sementara yang turun
tidak ada. Bisa dibayangkan baru memasuki wilayah Sukamandi saja kereta sudah
penuh sesak.
“Yang hausnya-yang hausnya!”
“Es…es…es…”
“Minumannya minumannya pak”
“Nasi bungsusnya pak… bu…”
“Yang belum bayar-yang belum bayar”,
ujar kondektur yang selalu keliling menagihi orang-orang yang baru naik.
Seperti itulah gambaran yang bisa dilihat kalau sudah berada di atas Tergal
Arum.
Parmin beberapa kali mengipas-ngipaskan
sobekan kardus kearah tubuhnya. Siang yang menyengat ini udara terasa sekali
panasnya. Penumpang yang berjubel dan hampir tak bisa bergerak membuat Parmin
hanya bisa duduk dengan posisi tegak. Terasa kaku sekali posisi duduk yang seperti
ini. Mau senderan ke jok belakang disitu sudah anda anak kecil yang nagkring.
Mau direbahkan ke sisi bagian kereta disitu sudah dipenuhi dengan barang-barang
bawaan penumpang. Seperti inilah nasib kalau jadi orang kecil. Bisa terbawa
saja sudah beruntung apalagi kalau menuntut kenyamanan didalamnya masih seperti
barang mahal!
Lorong yang biasa digunakan untuk
lalu-lalang juga dipenuhi penumpang. Hanya tukang asongan yang bisa menyelinap
masuk diantara sela-sela penumpang. Mereka tak bosan-bosan menawarkan apa yang
dijualnya. Orang yang tak kebagian tempat duduk alias berdiri selalu saja tak
tenang dibikin oleh si pedagang asongan. Sesekali mereka lewat disaat kantuk
yang tidak bisa dibendung. Seperti itu yang dirasakan oleh penumpang yang
berdiri di lorong.
Adakah WC yang nyaman di kereta api?
Rupanya jawaban yang sangat mahal untuk diucapkan. Di kereta Tegal Arum yang
namanya WC juga dipenuhi sesak oleh penumpang. Rata-rata dalam satu WC ada 4 sampai
6 orang didalamnya. WC pun menjadikan tempat yang nyaman untuk sementara waktu.
Daripada tak kebagian tempat maka WC inilah yang dijadikan oleh sementara
penumpang sebagai tempat yang paling nyaman. Sudah bisa dibayangkan dengan bau
pesing dan aroma khas lainnya yang ada di WC.
Satu botol air yang dikemas dalam
wadah botol mineral sudah habis . Parmin masih saja mengipas-ngipaskan kardus
kearah tubuhnya. Mata ini harus tetap terjaga bila keadaan seperti ini. Kewaspadaan
jangan sampai ditinggalkan. Penuh sesak seperti ini memang banyak dimanfaatkan
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sesekali Parmin memegang
kardusnya erat-erat. Takut ada orang yang iseng mengambil kardus istimewanya.
Ngantuk berat seperti ini memang
enaknya minum kopi. Tukang dagang yang selalu berseliweran di kereta membuat
Parmin tak susah jauh-jauh mencari asongan yang menjual minuman kopi. Terdengar
orang yang baru masuk gerbong dimana Parmin duduk. Asongan ini jelas menawarkan
kopi seperti keinginan Parmin. Namun ada yang beda dengan orang ini. Dari arah
belakang Parmin sepertinya mengenal suara orang ini. Ya…suara orang yang sudah
lama hilang dari kampungnya. Parmin berusaha menoleh kebelakang dimana sumber
suara itu berasal.
“Kopinya pak… kopinya bu…”
“Kopi-kopi”
Makin dekat
asongan tadi makin jelaslah suara yang Parmin dengar. Parmin sudah yakin dengan
suara khas yang satu ini. Topi Parmin coba lebih kebawahkan agar bisa menuputi wajahnya.
“Kopinya pak?”
“Ya bikin 2”, ujar Parmin cepat
Pedagang asongan
itu terus saja membuatkan minuman kopi seperti apa yang diminta Parmin.
“Ini pak jadi Rp. 5.000 semuanya”
Barulah Parmin
mengangkatkan topinya agar si penjual kopi itu tahu juga wajahnya.
“Eh… kamu Mud!”
Kontan Kasmud
yang disebut namanya oleh Parmin kaget. Tak menyangka orang yang ia layani itu
adalah tetangganya. Kasmud tak bisa berkutik dengan kejadian yang tak
disangka-sangka ini. Hampir 3 bulan ia meninggalalkan kampung halamannya agar
jangan sampai bertemu dengan orang-orang dikampungnya sampai kasus yang pernah
menimpanya dilupakan warga.
“Iya…”
Parmin
mengeluarkan uang Rp. 10.000 dari saku bajunya.
“Dah kembaliannya buat kamu!”
Uang itu
langsung dimasukkan Kasmud.
“Saya keliling lagi pak”
Parmin langsung
menganggukkan kepala. Tak menyangka orang yang dahulu sempat dicari-cari warga
kini beralih profesi menjadi pedagang asongan dikereta api. Pantasan suara itu
seperi mengingatkan akan seseorang. Parmin yakin kalau suara itu memang suara
Kasmud anaknya Mang Dulakid yang sempat
dikejar-kejar warga akibat maling ayam.
Pelariannya si Kasmud telah menjadikan
anak ini sadar akan pekerjaan yang selama ini dilakukan ternyata keliru. Kasmud
lari dari kampungnya tak ingin babak belur dihajar warga. Ia memilih menjadi pedagang
asongan di kereta api. Dari usahanya ini rupanya telah memberikan penghidupan yang bagus. Kasmud menjadi betah
dengan berprofesi sebagai penjual minuman diatas kereta.
Disetiap tegukannya membuat Parmin
memikirkan anak yang satu ini. Syukurlah kalau ia sadar dan kini berganti
profesi. Dulu yang namanya Kasmud selalu ramai menjadi pembicaraan orang dikampungnya
karena memang ia rese suka bikin ulah. Kini nama itu hilang seperti ditelan
bumi. Waktulah yang mendera Kasmud sehingga ia bisa mandiri dengan menjadi pedagang
asongan.
Cirebon, 14 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar