Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Selasa, 25 Juni 2019

AKU KENAL SUARA ITU (Cerpen)


Cerpen
AKU KENAL SUARA ITU
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Suara gaduh tetangga sebelah membuat orang-orang yang masih terjaga lalu keluar rumah.
            “Ada apa?”
            “Ada maling”
            “Tadi ada orang yang masuk dapur rumah saya!”
Banyaknya tetangga yang berdatangan membuat maling tak berani keluar rumah. Ia malah sembunyi  dibelakang kandang ayam.
            “Sepertinya masih ada malingnya”
Kontan saja tetangga Parmin menyebar mencari orang yang menurut istri Parmin masih ada di rumah. Pencarian yang tak berlangsung lama itu membuahkan hasil. Ada sesosok bayangan gelap yang sembunyi di belakang kandang ayam. Kontan Kusno yang melihat duluan langsung teriak.
            “Malingnya ada disini”
            “Maling-maling…”
Warga yang tadi konsentrasi mencari maling langsung mendatangi sumber suara. Si maling yang tahu posisinya diketahui lalu lari pontang-panting. Warga yang sudah menyebar dengan mudah mengepung si maling. Kusno yang paling depan bisa memegang sarung si maling yang menutupi wajah. Si maling kontan saja berusaha melepaskan diri. Tenaga Kusno yang tidak lagi muda membuat si maling bisa melepaskan diri. Namun Kusno mengenali wajah si maling itu.
            “Rupanya kau Kasmud!”
Kasmud yang namanya sempat disebut Kusno  mengambil langkah seribu. Ia tidak ingin mati konyol digebugi warga yang sudah mulai berdatangan.
            Malam Jum’at Kliwon itu menjadikan malam meleknya para warga. Kejadian di rumah  Parmin membuat warga makin meningkatkan kewaspadaannya.
            “Jadi malingnya si Kasmud?”
            “Dasar kurang ajar anak itu”
            “Maling masih di daerahnya sendiri”
Nama Kamsud mendadak ramai dibicarakan warga. Pemuda tanggung ini memang tingkahlakunya meresahkan warga terus. Belum lama pemuda ini digelandang warga ke balai desa hanya gara-gara apel terlalu malam di rumah janda.
            Paling tak enak tentu orangtua Kasmud yang memang jaraknya dengan rumah Parmin tidak terlalu jauh. Peristiwa malam Jum’at Kliwon membuat Dulakid memilih berdiam  diri di rumah. Sudah terlalu menyakitkan kalau mendengarkan omongan warga.
            “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”
            “Jangan menyalahkan anak kalau sudah seperti ini”
            “Pasti ada kaitannya dengan perilaku orangtuanya”
Dulakid berusaha sabar dengan peristiwa yang menimpa anaknya. Entah kini dimana keberadaan si Kasmud. Sudah 2 hari sejak peristiwa itu anaknya belum juga berani pulang ke rumah. Hal inilah yang membuat Dulakid yakin kalau apa yang dilihat oleh Kusno memang benar anaknya. Dulakid hanya bisa geleng-geleg kepala dengan ulah anaknya yang membikin heboh seiisi kampung.
                                                                        ***
            Stasiun Babakan sudah terlihat ramai. Pukul 07.00 memang ada kereta yang ditunggu-tunggu warga yang akan bepergian ke Jakarta. Kereta ekonomi yang sangat dinanti kehadirannya selain karena tiketnya memang murah, kereta Tegal Arum memang keretanya wong cilik. Siapa saja bisa menaiki kereta ini. Selain penumpamg resmi banyak pula penumpang gelap yang kalau ketahuan bisa nego dengan cara membayar diatas kereta.
            Kereta Tegal Arum pula disebut kereta perang. Lihat saja kalau malam tiba. Sepanjang lorong dipenuhi oleh orang-orang yang tiduran karena tidak kebagian tempat duduk.  Belum lagi tukang asongan yang bolak-balik silih berganti pindah-pindah gerbong. Jadilah kereta ini lebih ramai dari pasar tradisional sekalipun.
            Walau ada uang namun Parmin lebih memilih naik kereta perang ini. Kereta yang mengingatkan dirinya akan sebuah film tempo doeleo ‘Kereta Api Terakhir’  yang dulu dibintangi oleh Giro Rollies. Kereta yang terlalu sopan karena selalu memberikan lewat lebih dahulu kerete jenis argo. Kereta ini harus mengalah kalau ada kereta argo yang mau lewat,  namun tetap saja dalam hal peminat jumlahnya mengalahkan penumpang kereta kelas argo yang terkesan sombong.
            “Ayo bu siap-siap”
            “Keretanya suda datang”
Parmin membawa kardus yang berisi  ikan asin , terasi dan beberapa makanan tradisonal yang tidak akan dijumpainya di Jakarta. Baju-baju yang akan digunakan juga semuanya berada dalam kardus mie yang sama. Kardus-kardus seperti ini bagi Parmin merupakan koper yang serba guna. Tak akan ada copet yang senang merogoh-rogoh isi kardus sebab copet juga tahu koper yang seperti ini pasti tak ada barang berharganya.
            Hanya 15 menit kereta berhenti di stasiun Babakan. Tak berapa lama terdengar suara klakson dari si masinis. Keretapun melanjutkan perjalannya ke Jakarta. Kereta api yang penuh kesabaran. Itulah yang dirasakan oeh penumpang di kereta Tegal Arum. Cepat sekali kereta ini berhenti di stasiun-stasiun kecil. Hal ini selain memberikan kesempatan lewat lebih dahulu kereta argo, juga karena memang di stasiun-stasiun kecil ini penumpang kereta  membludak. Walau sudah sesak terus saja penumpang masih bisa dijejer seperti ikan pindang.
            Pengap, gerah, sesak itulah yang dirasakan oleh penumpang Tegal Arum. Setiap stasiun hampir  menaikkan penumpang sementara yang turun tidak ada.  Bisa dibayangkan baru  memasuki wilayah Sukamandi saja kereta sudah penuh sesak.
            “Yang hausnya-yang hausnya!”
            “Es…es…es…”
            “Minumannya minumannya pak”
            “Nasi bungsusnya pak… bu…”
            “Yang belum bayar-yang belum bayar”, ujar kondektur yang selalu keliling menagihi orang-orang yang baru naik. Seperti itulah gambaran yang bisa dilihat kalau sudah berada di atas Tergal Arum.
            Parmin beberapa kali mengipas-ngipaskan sobekan kardus kearah tubuhnya. Siang yang menyengat ini udara terasa sekali panasnya. Penumpang yang berjubel dan hampir tak bisa bergerak membuat Parmin hanya bisa duduk dengan posisi tegak. Terasa kaku sekali posisi duduk yang seperti ini. Mau senderan ke jok belakang disitu sudah anda anak kecil yang nagkring. Mau direbahkan ke sisi bagian kereta disitu sudah dipenuhi dengan barang-barang bawaan penumpang. Seperti inilah nasib kalau jadi orang kecil. Bisa terbawa saja sudah beruntung apalagi kalau menuntut kenyamanan didalamnya masih seperti barang mahal!
            Lorong yang biasa digunakan untuk lalu-lalang juga dipenuhi penumpang. Hanya tukang asongan yang bisa menyelinap masuk diantara sela-sela penumpang. Mereka tak bosan-bosan menawarkan apa yang dijualnya. Orang yang tak kebagian tempat duduk alias berdiri selalu saja tak tenang dibikin oleh si pedagang asongan. Sesekali mereka lewat disaat kantuk yang tidak bisa dibendung. Seperti itu yang dirasakan oleh penumpang yang berdiri di lorong.
            Adakah WC yang nyaman di kereta api? Rupanya jawaban yang sangat mahal untuk diucapkan. Di kereta Tegal Arum yang namanya WC juga dipenuhi sesak oleh penumpang. Rata-rata dalam satu WC ada 4 sampai 6 orang didalamnya. WC pun menjadikan tempat yang nyaman untuk sementara waktu. Daripada tak kebagian tempat maka WC inilah yang dijadikan oleh sementara penumpang sebagai tempat yang paling nyaman. Sudah bisa dibayangkan dengan bau pesing dan aroma khas lainnya yang ada di WC.
            Satu botol air yang dikemas dalam wadah botol mineral sudah habis . Parmin masih saja mengipas-ngipaskan kardus kearah tubuhnya. Mata ini harus tetap terjaga bila keadaan seperti ini. Kewaspadaan jangan sampai ditinggalkan. Penuh sesak seperti ini memang banyak dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sesekali Parmin memegang kardusnya erat-erat. Takut ada orang yang iseng mengambil kardus istimewanya.
            Ngantuk berat seperti ini memang enaknya minum kopi. Tukang dagang yang selalu berseliweran di kereta membuat Parmin tak susah jauh-jauh mencari asongan yang menjual minuman kopi. Terdengar orang yang baru masuk gerbong dimana Parmin duduk. Asongan ini jelas menawarkan kopi seperti keinginan Parmin. Namun ada yang beda dengan orang ini. Dari arah belakang Parmin sepertinya mengenal suara orang ini. Ya…suara orang yang sudah lama hilang dari kampungnya. Parmin berusaha menoleh kebelakang dimana sumber suara itu berasal.
            “Kopinya pak… kopinya bu…”
            “Kopi-kopi”
Makin dekat asongan tadi makin jelaslah suara yang Parmin dengar. Parmin sudah yakin dengan suara khas yang satu ini. Topi Parmin coba lebih kebawahkan  agar bisa menuputi wajahnya.
            “Kopinya pak?”
            “Ya bikin 2”, ujar Parmin cepat
Pedagang asongan itu terus saja membuatkan minuman kopi seperti apa yang diminta Parmin.
            “Ini pak jadi Rp. 5.000 semuanya”
Barulah Parmin mengangkatkan topinya agar si penjual kopi itu tahu juga wajahnya.
            “Eh… kamu Mud!”
Kontan Kasmud yang disebut namanya oleh Parmin kaget. Tak menyangka orang yang ia layani itu adalah tetangganya. Kasmud tak bisa berkutik dengan kejadian yang tak disangka-sangka ini. Hampir 3 bulan ia meninggalalkan kampung halamannya agar jangan sampai bertemu dengan orang-orang dikampungnya sampai kasus yang pernah menimpanya dilupakan warga.
            “Iya…”
Parmin mengeluarkan uang Rp. 10.000 dari saku bajunya.
            “Dah kembaliannya buat kamu!”
Uang itu langsung dimasukkan Kasmud.
            “Saya keliling lagi pak”
Parmin langsung menganggukkan kepala. Tak menyangka orang yang dahulu sempat dicari-cari warga kini beralih profesi menjadi pedagang asongan dikereta api. Pantasan suara itu seperi mengingatkan akan seseorang. Parmin yakin kalau suara itu memang suara Kasmud anaknya Mang  Dulakid yang sempat dikejar-kejar warga akibat maling ayam.
            Pelariannya si Kasmud telah menjadikan anak ini sadar akan pekerjaan yang selama ini dilakukan ternyata keliru. Kasmud lari dari kampungnya tak ingin babak belur dihajar warga. Ia memilih menjadi pedagang asongan di kereta api. Dari usahanya ini rupanya telah memberikan  penghidupan yang bagus. Kasmud menjadi betah dengan berprofesi sebagai penjual minuman diatas kereta.
            Disetiap tegukannya membuat Parmin memikirkan anak yang satu ini. Syukurlah kalau ia sadar dan kini berganti profesi. Dulu yang namanya Kasmud selalu ramai menjadi pembicaraan orang dikampungnya karena memang ia rese suka bikin ulah. Kini nama itu hilang seperti ditelan bumi. Waktulah yang mendera Kasmud sehingga ia bisa mandiri dengan menjadi pedagang asongan.

                                                                                                                Cirebon, 14 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar