Cerpen
DROUP
OUT
Oleh : Nurdin Kurniawan
Krang kring …krang kring… bunyi jam
weker tak banyak dilirik. Asyik dialam mimpi walau jam sudah menunjukkan pukul
06.00. Terasa seolah masih malam lalu menguap dengan enaknya sementara mata
terasa sepet sehingga bobo diteruskan.
Orang-orang di rumah juga sepertinya sudah bosan memberikan nasehat pada
Tantri. Sudah terlalu kebal untuk diberi nasehat kalau mau seperti ini
terus terserah kamu demikian sang ibu yang
sudah bosan membangunkan Tantri disetiap paginya. Jam weker dilihat lalu tidur
lagi seolah masih belum puas. Merenung sejenak lalu bangkit disisi ranjang
masih dalam keadaan mata merem. Rutinitas yang membosankan ujar Tantri dalam
hati. Jam weker dimatikan lalu berusaha bangkit menuju kamar mandi.
Dilihat suasana rumah sudah mulai
sepi. Ibu sudah pergi ke pasar sementara adik-adik juga sudah pergi ke sekolah.
Mau berangkat ke sekolah terasa sekali beratnya. Dipikir-pikir sampai terlalu
lama lalu akhirnya punya kesimpulan sendiri
untuk tidak berangkat ke sekolah.
Percuma kalau berangkat juga sebab akan kesiangan. Nanti disekolah
dihukum mengepel halaman sekolah atau mencabut rumput. Ah… pekerjaan yang
memalukan. Di rumah saja tak pernah mengepel lantai ini malah dirusuh mengepel teras
kelas. Pekerjaan yang memalukan dan tentunya
membosankan.
Malam memang teman-teman sekolah berkumpul di rumah. Biasa anak-anak sekarang
yang namamya malam apa saja selalu begadang. Kongkow sampai larut malam. Tidur
terasa pulas sekali dan baru terasa bangun sudah siang. Begitu yang dikakukan
Tanti dalam beberapa bulan ini. Tidak ada kontrol dari orangtua yang
menyebabkan kejadian seperti ini berlalut-laut. Ayah sudah meninggal 3 tahun
yang lalu. Semenjak sang ayah meninggal memang tak ada figur lelaki yang bisa
dibanggakan. Ibu yang sibuk berjualan di pasar seolah asyik dengan dunianya sendiri. Mancari nafkah
memang kini bertumpu pada sang ibu.
Surat panggilan dari sekolah yang
tergeletak di meja diambil. Tantri kaget ternyata ada surat panggilan dari
sekolah. Menghela nafas dalam-dalam sambil berusaha untuk membaca apa isinya.
Bisa dimengerti kalau ada panggilan dari sekolah. Sudah beberapa minggu memang
Tantri tidak masuk sekolah. Surat panggilan itu lalu dirobek agar tidak
ketahuan sama ibunya. Beruntung tadi yang mengantarkan tidak bertemu langsung
ibu. Kalau saja ibu yang menerimanya tentu akan berakibat fatal. Setidaknya
Tantri akan diomeli.
Surat panggilan yang pertama masih
bisa disembunyikan, demikian pula yang kedua tidak sampai ke orangtua karena
waktu mengirimkan langsung diterima Tantri,
naas untuk yang ketiga rupanya diberikan ketika Ibu ada di rumah.
“Surat apa Rin?
“Ini bu…surat panggilan orangtua”
“Memangnya ada apa?”
“Saya tidak tahu bu…”
Komsah lalu membaca
surat panggian dari sekolah. Tertera dalam surat panggilan itu ada keterangan
sang anak tidak masuk sekolah sudah dari 2 minggu. Komsah seolah tidak percaya
dengan surat yang dibawa oleh Rina anak tetangganya. Untuk meyakinkah apakah
sang anak benar tidak sekolah-sekolah seperti yang diberitakan dalam surat panggilan
Komsah berencana datang ke sekolah besok sesuai dengan surat panggilan
tersebut.
Alangkah kagetnya Konsah setelah
dipertemukan dengan guru BP dan walikelas. Ternyata bila diakumulasikan alpa
sang anak lebih dari 30 hari. Ini artinya hampir sebulan penuh, memang sih tidak
berturut-turut namun dengan adanya yang seperti ini mencengangkan juga.
“Coba lihat bukan November ada 12
hari”
“Di bulan Desember 16 hari”
“Belum dengan bulan yang sekarang…”
Di semester ganjil ada beberapa mata
pelajaran yang tidak ada nilainya. Diberitahu oleh walikelas agar anak ini untuk
memenuhi tugas yang diberikan oleh guru mata pelajaran namun tidak juga
menyelesaikannya. Jadilah buku raport banyak yang bolong.
Betapa malunya Komsah mendengarkan
penjelasan dari guru. Kalau anaknya seperti ini saja bisa dipastikan tidak akan
lulus. Dengan perasaan lunglai Komsah menuju rumah. Ada pekerjaan berat yang
harus dikerjakan sepulang dari sekolah. Anak sulungnya ini harus mendapatkan
perhatian. Malu rasanya kalau anak pertama saja pendidikannya tidak tuntas.
Teringat sama mendiang yang semasa hidupnya selalu mengingatkan agar mendidik
anak dengan baik. Kesibukan yang membuat terlena. Anak-anak sampai tidak
terurus.
Di rumah Tantri hanya bisa diam
setelah ibunya mengetahui kalau selama ini Tantri tidak sampai ke sekolah.
“Kamu selama ini kemana saja?”
“Bikim malu orangtua!”
“Terus mau seperti ini saja!”
“Tantri….”
“Kamu ini sudah kelas 9”
“Sayang kalau kamu seperti ini….!”
Tak bisa
menjawab apapun kalau ibu sudah marah-marah. Rasa-rasanya menjawab juta tak
mendapatkan balasan yang seimbang. Posisi
salah! Data-data yang dibawa sang ibu sudah akurat banget tadi tak bisa
dibantah lagi.
“Jujur sama ibu…”
“Kamu kemana saja dalam beberapa hari
tidak masuk sekolah?”
Hening tak ada
jawaban sampai sang ibu mengulangi untuk yang kedua kali.
“….main bu”
Komsah hanya
geleng-geleng melihat jawaban sang anak seperti ini. Anak sulungnya sudah bisa
berbohong. Anak yang kelak menjadi harapan sang ibu dalam menopang keadaan di
rumah kok seperti ini! Komsah menangis teringat akan mendiang yang selalu gigih
dalam mendidik anak-anak.
***
Jagad mendung seperti ini membuat
orang malas untuk beraktivitas. Pagi sudah terdengar gemuruh. Kilat saling menyambar
seperti akan turun hujan yang begitu lebat. Komsah sengaja tak akan ke pasar seperti hari-hari
biasanya. Kali ini akan mengantarkan sang anak untuk mendaftarkan sekolah di
sekolah yang diminta sang anak. Beberapa dokumen dipersiapkan untuk mendaftarkan anak di
sekolah yang baru. Tantri sang anak sudah tak mau disekolah yang lama dengan
berbagai tugas yang harus dikerjakan bila ingin raportnya ada nilainya.
Ditambah lagi angka bolosnya yang begitu
banyak membuat makin berat bila melanjutkan di sekolah yang lama. Mau sekolah
lagi kalau pindah sekolah. Berbagai cara diupayakan oleh sang ibu sampai akhirnya
surat rekomendasi untuk pindah sekolah didapat.
Dipilih sekolah swasta yang satu ini
dengan alasan bisa lebih santai. Hal ini menurut pandangan Surti anak tetangga
yang sekolahnya memang disitu.
“Sekolah disini enak”
“Tidak terlalu ketat”
“Gurunya baik-baik lagi”
Hal seperti
itulah yang membuat Tantri memilih rujukan seperti yang disarankan sang teman.
Dilihat dokumen yang diperlukan
sudah lengkap. Tantri diantar sang ibu menuju sekolah yang baru. Sekolahnya yang
masuk ke dalam membuat terasa lebih nyaman. Tak banyak anak-anak yang berada
diluar halaman sekolah. Lebih sepi bila dibanding dengan sekolah yang dulu.
Menemui satpam lalu diantar ke kepala sekolah. Cukup nyaman juga di ruangan kepala sekolah. Komsah
berusaha menenangkan diri bersiap-siap dengan alasan apa yang menyebabkan
anaknya pindah sekolah. Mudah-mudahan sekolah yang baru bisa menerima sang anak
dengan baik.
Tamu kepala sekolah pulang kini
giliran Komsah masuk ruangan kepala sekolah. Dijelaskan maksud dan tujuan
kedatangannya kemari. Kepala sekolah kini tahu
maksud kedatangan sang tamu.
“Ibu begini ya….”
“Sekolah kami sudah membuat daftar
usulan (US 1) yaitu daftar untuk
anak-anak yang akan ikut Ujian Nasional ke propinsi”
“Jadi datanya sudah jadi dan sudah
dikirim”
“Jadi untuk pindahan kelas 9 sudah
tidak bisa lagi!”
“Kalau kelas 7 dan 8 masih bisa…”
“Jadi pa…”
“Maaf dengan terpaksa sekolah tidak
menerima murid baru lagi untuk kelas 9”
Dijelaskan
peraturannya sepeti itu membuat pusing Komsah. Harus bagaimana lagi kalau sudah
begini. Kemarin juga sempat diberitahu sekolah yang lama kalau disuruh mencari
sekolah yang belum mengirimkan daftar nama anak-anak yang akan ikut ujian
nasional. Namun sekolah-sekolahnya yang mana tentu belum tahu. Kini baru tahu
kalau ada aturan yang seperti itu memang tidak bisa diganggu-gugat. Terpaksa
Komsah pulang lagi dengan perasaan kecewa.
Hampir tiap hari sang anak
dinasehati agar jangan sampai putus sekolah (DO). Komsah sampai berusaha
mendatangi sekolah yang lama agar anaknya bisa diterima kembali di sekolah yang
lama. Dengan melalui perdebatan yang panjang sampai menangis-nangis akhirnya kepala
sekolah yang lama mau menerima kembali Tantri. Kini giliran Komsah yang
marah-marah sama sang anak. Dibujuk berulangkali namun sang anak tak mau
kembali ke sekolah yang lama.
“Kamu ini bagaimana?”
“Apa kamu mau jadi gelandangan?”
“Malu kalau hanya punyaijazah SD!”
“Kerja di Arab saja kini harus
ijazah SMA!”
Sampai menangis-nangis
tak membuat Tantri mau sekolah. Sudah
terlalu jenuh dengan tugas-tugas yang
harus dikerjakan. Main dirasa jauh lebih enak ketimbang harus mengerjakan ini
dan itu. Omongan-omongan dari paman dan bibinya yang ikut menasihati sudah
tidak mampu lagi. Tantri lebih memilih
dengan dunianya. Malam bisa main sepuasnya sementara kalau siang digunakan
untuk tidur dan main game. Drop Out (DO)
lebih dipilih ketimbang harus melanjutkan pendidikan. Pemikiran pintas yang belum bisa ditimbang baik buruknya.
Pemikiran sesaat dari anak-anak yang belum bisa berpikiran jauh.
Cirebon, 26 Januari 2017
nurdinkurniawan@ymail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar