Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Rabu, 19 Juni 2019

DROUP OUT (Cerpen)


Cerpen

DROUP    OUT
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Krang kring …krang kring… bunyi jam weker tak banyak dilirik. Asyik dialam mimpi walau jam sudah menunjukkan pukul 06.00. Terasa seolah masih malam lalu menguap dengan enaknya sementara mata terasa sepet sehingga bobo  diteruskan. Orang-orang di rumah juga sepertinya sudah bosan memberikan nasehat pada Tantri. Sudah terlalu kebal untuk diberi nasehat kalau mau seperti ini terus  terserah kamu demikian sang ibu yang sudah bosan membangunkan Tantri disetiap paginya. Jam weker dilihat lalu tidur lagi seolah masih belum puas. Merenung sejenak lalu bangkit disisi ranjang masih dalam keadaan mata merem. Rutinitas yang membosankan ujar Tantri dalam hati. Jam weker dimatikan lalu berusaha bangkit menuju kamar mandi.
            Dilihat suasana rumah sudah mulai sepi. Ibu sudah pergi ke pasar sementara adik-adik juga sudah pergi ke sekolah. Mau berangkat ke sekolah terasa sekali beratnya. Dipikir-pikir sampai terlalu lama lalu  akhirnya punya kesimpulan sendiri untuk tidak berangkat ke sekolah.  Percuma kalau berangkat juga sebab akan kesiangan. Nanti disekolah dihukum mengepel halaman sekolah atau mencabut rumput. Ah… pekerjaan yang memalukan. Di rumah saja tak pernah mengepel lantai ini malah dirusuh mengepel teras  kelas. Pekerjaan yang memalukan dan tentunya membosankan.
            Malam memang    teman-teman sekolah  berkumpul di rumah. Biasa anak-anak sekarang yang namamya malam apa saja selalu begadang. Kongkow sampai larut malam. Tidur terasa pulas sekali dan baru terasa bangun sudah siang. Begitu yang dikakukan Tanti dalam beberapa bulan ini. Tidak ada kontrol dari orangtua yang menyebabkan kejadian seperti ini berlalut-laut. Ayah sudah meninggal 3 tahun yang lalu. Semenjak sang ayah meninggal memang tak ada figur lelaki yang bisa dibanggakan. Ibu yang sibuk berjualan di pasar seolah  asyik dengan dunianya sendiri. Mancari nafkah memang kini bertumpu pada sang ibu.
            Surat panggilan dari sekolah yang tergeletak di meja diambil. Tantri kaget ternyata ada surat panggilan dari sekolah. Menghela nafas dalam-dalam sambil berusaha untuk membaca apa isinya. Bisa dimengerti kalau ada panggilan dari sekolah. Sudah beberapa minggu memang Tantri tidak masuk sekolah. Surat panggilan itu lalu dirobek agar tidak ketahuan sama ibunya. Beruntung tadi yang mengantarkan tidak bertemu langsung ibu. Kalau saja ibu yang menerimanya tentu akan berakibat fatal. Setidaknya Tantri akan diomeli.
            Surat panggilan yang pertama masih bisa disembunyikan, demikian pula yang kedua tidak sampai ke orangtua karena waktu mengirimkan langsung diterima Tantri,  naas untuk yang ketiga rupanya diberikan ketika Ibu ada di rumah.
            “Surat apa Rin?
            “Ini bu…surat panggilan orangtua”
            “Memangnya ada apa?”
            “Saya tidak tahu bu…”
Komsah lalu membaca surat panggian dari sekolah. Tertera dalam surat panggilan itu ada keterangan sang anak tidak masuk sekolah sudah dari 2 minggu. Komsah seolah tidak percaya dengan surat yang dibawa oleh Rina anak tetangganya. Untuk meyakinkah apakah sang anak benar tidak sekolah-sekolah seperti yang diberitakan dalam surat panggilan Komsah berencana datang ke sekolah besok sesuai dengan surat panggilan tersebut.
            Alangkah kagetnya Konsah setelah dipertemukan dengan guru BP dan walikelas. Ternyata bila diakumulasikan alpa sang anak lebih dari 30 hari. Ini artinya hampir sebulan penuh, memang sih tidak berturut-turut namun dengan adanya yang seperti ini mencengangkan juga.
            “Coba lihat bukan November ada 12 hari”
            “Di bulan Desember  16 hari”
            “Belum dengan bulan yang sekarang…”
            Di semester ganjil ada beberapa mata pelajaran yang tidak ada nilainya. Diberitahu oleh walikelas agar anak ini untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru mata pelajaran namun tidak juga menyelesaikannya. Jadilah buku raport banyak yang bolong.
            Betapa malunya Komsah mendengarkan penjelasan dari guru. Kalau anaknya seperti ini saja bisa dipastikan tidak akan lulus. Dengan perasaan lunglai Komsah menuju rumah. Ada pekerjaan berat yang harus dikerjakan sepulang dari sekolah. Anak sulungnya ini harus mendapatkan perhatian. Malu rasanya kalau anak pertama saja pendidikannya tidak tuntas. Teringat sama mendiang yang semasa hidupnya selalu mengingatkan agar mendidik anak dengan baik. Kesibukan yang membuat terlena. Anak-anak sampai tidak terurus.
            Di rumah Tantri hanya bisa diam setelah ibunya mengetahui kalau selama ini Tantri tidak sampai ke sekolah.
            “Kamu selama ini kemana saja?”
            “Bikim malu orangtua!”
            “Terus mau seperti ini saja!”
            “Tantri….”
            “Kamu ini sudah kelas 9”
            “Sayang kalau kamu seperti ini….!”
Tak bisa menjawab apapun kalau ibu sudah marah-marah. Rasa-rasanya menjawab juta tak mendapatkan  balasan yang seimbang. Posisi salah! Data-data yang dibawa sang ibu sudah akurat banget tadi tak bisa dibantah lagi.
            “Jujur sama ibu…”
            “Kamu kemana saja dalam beberapa hari tidak masuk sekolah?”
Hening tak ada jawaban sampai sang ibu mengulangi untuk yang kedua kali.
            “….main bu”
Komsah hanya geleng-geleng melihat jawaban sang anak seperti ini. Anak sulungnya sudah bisa berbohong. Anak yang kelak menjadi harapan sang ibu dalam menopang keadaan di rumah kok seperti ini! Komsah menangis teringat akan mendiang yang selalu gigih dalam mendidik anak-anak.
                                                                        ***
            Jagad mendung seperti ini membuat orang malas untuk beraktivitas. Pagi sudah terdengar gemuruh. Kilat saling menyambar seperti akan turun hujan yang begitu lebat. Komsah  sengaja tak akan ke pasar seperti hari-hari biasanya. Kali ini akan mengantarkan sang anak untuk mendaftarkan sekolah di sekolah yang diminta sang anak. Beberapa dokumen  dipersiapkan untuk mendaftarkan anak di sekolah yang baru. Tantri sang anak sudah tak mau disekolah yang lama dengan berbagai tugas yang harus dikerjakan bila ingin raportnya ada nilainya. Ditambah lagi angka  bolosnya yang begitu banyak membuat makin berat bila melanjutkan di sekolah yang lama. Mau sekolah lagi kalau pindah sekolah. Berbagai cara diupayakan oleh sang ibu sampai akhirnya surat rekomendasi untuk pindah sekolah didapat.
            Dipilih sekolah swasta yang satu ini dengan alasan bisa lebih santai. Hal ini menurut pandangan Surti anak tetangga yang sekolahnya memang disitu.
            “Sekolah disini enak”
            “Tidak terlalu ketat”
            “Gurunya baik-baik lagi”
Hal seperti itulah yang membuat Tantri memilih rujukan seperti yang disarankan sang teman.
            Dilihat dokumen yang diperlukan sudah lengkap. Tantri diantar sang ibu menuju sekolah yang baru. Sekolahnya yang masuk ke dalam membuat terasa lebih nyaman. Tak banyak anak-anak yang berada diluar halaman sekolah. Lebih sepi bila dibanding dengan sekolah yang dulu. Menemui satpam lalu diantar ke kepala sekolah. Cukup  nyaman juga di ruangan kepala sekolah. Komsah berusaha menenangkan diri bersiap-siap dengan alasan apa yang menyebabkan anaknya pindah sekolah. Mudah-mudahan sekolah yang baru bisa menerima sang anak dengan baik.
            Tamu kepala sekolah pulang kini giliran Komsah masuk ruangan kepala sekolah. Dijelaskan maksud dan tujuan kedatangannya kemari. Kepala sekolah kini tahu   maksud kedatangan sang tamu.
            “Ibu begini ya….”
            “Sekolah kami sudah membuat daftar usulan (US 1)  yaitu daftar untuk anak-anak yang akan ikut Ujian Nasional ke propinsi”
            “Jadi datanya sudah jadi dan sudah dikirim”
            “Jadi untuk pindahan kelas 9 sudah tidak bisa lagi!”
            “Kalau kelas 7 dan 8 masih bisa…”
            “Jadi pa…”
            “Maaf dengan terpaksa sekolah tidak menerima murid baru lagi untuk kelas 9”
Dijelaskan peraturannya sepeti itu membuat pusing Komsah. Harus bagaimana lagi kalau sudah begini. Kemarin juga sempat diberitahu sekolah yang lama kalau disuruh mencari sekolah yang belum mengirimkan daftar nama anak-anak yang akan ikut ujian nasional. Namun sekolah-sekolahnya yang mana tentu belum tahu. Kini baru tahu kalau ada aturan yang seperti itu memang tidak bisa diganggu-gugat. Terpaksa Komsah pulang lagi dengan perasaan kecewa.
            Hampir tiap hari sang anak dinasehati agar jangan sampai putus sekolah (DO). Komsah sampai berusaha mendatangi sekolah yang lama agar anaknya bisa diterima kembali di sekolah yang lama. Dengan melalui perdebatan yang panjang sampai menangis-nangis akhirnya kepala sekolah yang lama mau menerima kembali Tantri. Kini giliran Komsah yang marah-marah sama sang anak. Dibujuk berulangkali namun sang anak tak mau kembali ke sekolah yang lama.
            “Kamu ini bagaimana?”
            “Apa kamu mau jadi gelandangan?”
            “Malu kalau hanya punyaijazah SD!”
            “Kerja di Arab saja kini harus ijazah SMA!”
Sampai menangis-nangis tak membuat Tantri  mau sekolah. Sudah terlalu  jenuh dengan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Main dirasa jauh lebih enak ketimbang harus mengerjakan ini dan itu. Omongan-omongan dari paman dan bibinya yang ikut menasihati sudah tidak mampu lagi.  Tantri lebih memilih dengan dunianya. Malam bisa main sepuasnya sementara kalau siang digunakan untuk tidur dan main game. Drop Out (DO) lebih dipilih ketimbang harus melanjutkan pendidikan. Pemikiran pintas yang        belum bisa ditimbang baik buruknya. Pemikiran sesaat dari anak-anak yang belum bisa berpikiran jauh.

                                                                                                       Cirebon, 26 Januari 2017
                                                                                                       nurdinkurniawan@ymail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar