Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Rabu, 19 Juni 2019

AKU BUKAN DIFABEL (Cerpen)


Cerpen

AKU BUKAN DIFABEL
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Bel istirahat berbunyi memecah kegerahan siswa yang selama ini dihimpit di ruangan  berukuran 8 x 9 meter persegi. Anak-anak berhamburan keluar melepas kepenatan selama dikurung di ruangan yang kurang begitu nyaman. Ventilasi yang ditutup dengan plastik dan kertas manila sementara didalam kelas tak ada kipas angin  sama sekali. Tadinya berharap akan  ada AC sebagai pendingin ruangan namun program hanya program sampai beberapa kali ganti kepala sekolah tetap keadaannya sama. Ruangan kelas seperti sekolah-sekolah di pedesaan pada umumnya. Gerah dan panas adalah keadaan yang harus diterima anak-anak.
Tidak banyak yang dilakukan Yanto selama berada di sekolah. Duduk dipojok sambil sesekali matanya menatap teman-teman yang mulai memasuki ruangan dengan membawa makanan di tangan kanan dan kirinya. Teman-teman Yanto begitu asyiknya melahap makanan yang tadi dibeli dari kantin sekolah. Anak-anak di sekolah ini memang belum bisa teratur dalam hal kebersihan. Buktinya sudah ada aturan namanya jajajan sekolah harus dihabiskan di kantin namun  nyatanya ada saja yang membawanya ke ruangan kelas. Seolah tak peduli dengan apa yang dilakukan beberapa temannya Yanto asyik saja denga dunianya sendiri. Anak ini hanya diam tak mengeluarkan sepatah katapun ketika anak-anak yang lain asyik bercengkrama.
            Yanto baru duduk di kelas 7. Anak yang satu ini memang terlihat beda dengan anak-anak pada umumnya. Ya, postur tubuhnya yang begitu besar sehingga mudah sekali dikenal. Kalau boleh dibilang diantara  siswa yang belajar di sekolah ini yang paling besar dan paling tinggi postur tubuhnya  adalah Yanto. Dari nomer sepatu saja sudah yang paling besar untuk anak-anak sebayanya. Begitu pula dengan ukuran baju dan celana yang lain ada ukurannya sementara untuk Yanto tidak ada. Untuk pakaian seragam anak sekolah akhirnya pihak sekolah menyerahkan kainnya saja pada orangtua Yanto agar dijahit sendiri. Beruntung orangtua Yanto mengerti dan memang sadar akan kebutuhan sang anak.
            “Saya menyadari tak ada ukurannya”
            “Kalau begitu minta kainnya saja untuk saya jahit sendiri”
Wali kelas akhirnya hanya memberikan kain untuk Yanto. Kalau siswa yang lain sudah menerima yang sudah jadi hanya Yanto yang menerima  kainnya untuk dibuat sesuai dengan kebutuhannya yang memang khusus. Hanya ketika pakaian olahraga diberikan pada siswa yang lainnya dari pihak konveksi menyadari kalau anak yang satu ini ukurannya beda. Hanya untuk satu anak inilah dari konveksi pakaian olahraga datang khusus untuk membuat sesuai ukuran Yanto.
            “Makannya apa Dik bisa sebesar ini?”
Yanto hanya diam saja ketika badanya diukur
            “Masya Allah ini lingkaran perutnya…”
Diajak komunikasi namun Yanto tetap diam saja tak memberikan komentar apapun. Sampai semuanya telah selesai Yanto tak mengucapkan satu patah kalimatpun. Itulah sosok Yanto anak paling besar dan paling gemuk yang tidak pernah terdengar suaranya seperti apa.
            Tak ada mimik apapun yang keluar dengan apa yang dilakukan teman-temannya ketika mengajak bicara. Karena tak ada respon seperti inilah lalu teman-temannya mengambil kesimpulan sendiri-sendiri. Kalau memang temannya yang satu ini tidak bisa bicara. Tak percaya dengan laporan dari anak didiknya Pak Sumadi mencoba menggali sebenarnya apa yang bisa dilakukan Yanto sebagai anak didiknya.
            “Nama kamu siapa?”
Hening tak langsung dijawab. Tatapnya sendu dengan sesekali mencoba menatap mata Pak Sumadi lalu malu dan  menunduk lagi.
            “Dengar tidak apa yang bapak  tanyakan?”
Yanto menatap wajah Pak Sumadi namun lidahnya tak langsung menyebutkan nama seperti apa yang ditanyakan Pak Sumadi.
            “Jawab dong masa diam saja?”
            “Sekali lagi bapak tanya…”
            “Siapa namamu?”
Ujung sepatu Yanto dihentak-hentakkan ke lantai keramik sekolah. Beberapa kali seperti lupa dengan apa yang ditanyakan gurunya. Pak Sumadi tak patah semangat menghadapi anak yang seperti ini. Diulangi lagi  apa yang tadi ditanyakan.
            “Siapa nama kamu?”
Kali ini Yanto mencoba mengucapkan sesuatu, namun lidahnya seperti sulit sekali mengucapkan apa yang ada dalam benaknya. Lidahnya mulai bergerak namun kalimat itu seperti susah sekali untuk keluar. Pak Sumadi seperti ngeden-ngeden ingin agar ada sesuatu kalimat yang keluar dari mulut Yanto.
            “Ya…ya…”
“Ya…Yanto”
“Nah begitu saja kok sulit!”
“Jadi nama kamu Yanto!”
Pak Sumadi mengangguk-angguk baru kali ini anak yang bernama Yanto bisa mengucapkan namanya sendiri. Dari berapa guru yang masuk dikelasnya Yanto hampir semuanya mengatakan bahwa tak pernah anak ini dilihat bicara. Ada kebanggan tersendiri  bagi Pak Sumadi sebab anak yang selama ini pendiam bahkan hampir tak  ada kalimat yang terlontar dari mulut sang anak kini bisa didengar suaranya. Satu kalimat saja lamanya  bukan main membuat Pak Sumadi yang tadinya akan mewawancara Yanto mengurungkan niatnya. Bisa dipastikan anak ini tak akan lancar bicara seperti yang diharapkan. Baru satu pertanyaan saja lebih dari 10 menit untuk bisa didengar jawabannya apalagi nanti kalau banyak yang ditanyakan seperti apa jadinya. Tak mau bespekulasi lebih banyak membuat Pak Sumadi mengajak salaman pada Yanto.
            Tahu sekolah mempunyai anak didik seperti Yanto dalam rapat dinas  Yanto ini diagendakan untuk dibahas. Selain masalah sekolah, ada beberapa kasus yang menyangkut anak didik harus didiskusikan untuk mencari solusi apa yang terbaik buat anak dan juga buat sekolah. Maka dibuka sesi tanya jawab ketika semua laporan sudah dibahas satu per satu. Kini apa yang dialami Yanto dibahas untuk dicarikan penyelesaiannya. Maka dibukalah sesi  tanya jawab. Karena sebelumnya Yanto sudah dibicarakan sesama guru maka  sudah ada beberapa guru yang mengetahui apa yang dialami anak gemuk yang satu ini.
            “Bapak Kepala Sekolah yang terhormat”
            “Untuk masalah Yanto sebaiknya anak ini dipindahkan saja ke SLB”
            “Diperlakukan seperti apa saja sangatlah sulit”
            “Anak ini tidak mau bicara”
Apa yang diketahui wali kelas diungkapkan dalam rapat untuk mencari jalan terbaik buat Yanto.
            “Anak ini bisa membaca tidak”,tanya Kepala Sekolah
            “Kalau mengenal huruf ‘ya’“
            “Anak tidak bisa merangkai kalimat”
            “Bisa dikatakan  anak tidak bisa membaca”
Kepala sekolah hanya geleng-geleng. Kok bisa-bisanya anak tidak bisa membaca bisa sampai diterima di sekolah ini. Bagaimana dengan pendidikan di sekolah dasarnya. Sebuah sistem memang seperti ini jadi sangatlah sulit untuk menyalahkan satu per satunya. Karena anak ini sudah berapa di SMP maka kasus Yanto ini harus segera dituntaskan.
            “Coba wali kelasnya apakah sudah pernah kunjungan ke rumah anak ini?”
            “Sudah pak”
            “Orangtuanya juga sudah menyadari dengan tingkah-laku sang anak”
            “Namun tetap pak…”
            “Ada permintaan sang orangtua agar Yanto tetap sekolah di SMP ini tak mau
             dipindahkan ke sekolah lain”
            “Apalagi kalau SLB”
Rapat yang  tadinya terlihat tegang kini mulai melumer. Yanto yang memang  sangat hemat dalam bicara kini menjadi pembicaraan guru-guru. Bagaimana menghadapi anak yang seperti ini yang bergaul dengan teman sekelas saja seperti sulit. Komunikasi antar sesama teman tidak berjalan dengan baik. Tapi kalau dibilang rajin maka anak yang satu ini tidak diragukan lagi kerajinannya. Bisa dikatakan kalau yang namanya Yanto anak yang paling rajin. Datang jauh sebelum teman-temannya datang ke sekolah maka Yanto adalah anak yang datang paling awal.
                                                                        ***


            Djarot sengaja datang ke sekolah mendengar informasi kalau sang anak dibahas guru-guru untuk diusulkan pindah. Bocoran ini diperoleh dari salah satu kerabat Djarot yang juga menjadi guru dimana Yanto sekolah. Di ruangan BP Djarot membicarakan apa yang dialami anak ini dari kecil sampai sekarang.
            “Anak saya ini normal pak…”
            “Anak saya tidak cacat!”
            “Anak saya bukan penyandang difabel!”
            “Pokoknya anak saya normal seperti anak-anak yang lain”
            “Tolong anak saya tetap sekolah disini saja”
Kepala Sekolah dan Guru BP hanya bisa mendengarkan saja apa yang diucapkan Djarot sebagai orangtua. Setelah selesai  bicaranya barulah Kepala Sekolah menjelaskan apa yang dialami anak ini  diantara teman-teman sepermainannya. Setelah dijelaskan seperti itu Djarot bisa mengerti namun tetap saja minta kebijakan sekolah agar sang buah hati tetap sekolah di sekolah anak-anak yang  normal. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya apa yang dialami Yanto bisa diputuskan menunggu Ujian Akhir Semester (UAS). Bila dalam UAS anak ini bisa mengikuti pelajaran dengan baik yang bisa dibuktikan dengan nilai raport yang bagus maka akan tetap di sekolah ini, namun bila nanti hasil UASnya mengecewakan maka anak ini terpaksa akan dikembalikan pada orangtuanya. Sekolah hanya bisa menganjurkan Yanto mendapatkan penanganan khusus dan juga pendidikan yang khusus. SLB sepertinya lebih tepat untuk anak-anak berkebutuhan khusu seperti Yanto.

                                                                                                        Cirebon, 21 Desember 2016
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar