Cerpen
AKU BUKAN DIFABEL
Oleh : Nurdin Kurniawan
Bel istirahat berbunyi memecah
kegerahan siswa yang selama ini dihimpit di ruangan berukuran 8 x 9 meter persegi. Anak-anak berhamburan
keluar melepas kepenatan selama dikurung di ruangan yang kurang begitu nyaman.
Ventilasi yang ditutup dengan plastik dan kertas manila sementara didalam kelas
tak ada kipas angin sama sekali. Tadinya
berharap akan ada AC sebagai pendingin
ruangan namun program hanya program sampai beberapa kali ganti kepala sekolah tetap
keadaannya sama. Ruangan kelas seperti sekolah-sekolah di pedesaan pada
umumnya. Gerah dan panas adalah keadaan yang harus diterima anak-anak.
Tidak
banyak yang dilakukan Yanto selama berada di sekolah. Duduk dipojok sambil sesekali
matanya menatap teman-teman yang mulai memasuki ruangan dengan membawa makanan
di tangan kanan dan kirinya. Teman-teman Yanto begitu asyiknya melahap makanan
yang tadi dibeli dari kantin sekolah. Anak-anak di sekolah ini memang belum
bisa teratur dalam hal kebersihan. Buktinya sudah ada aturan namanya jajajan
sekolah harus dihabiskan di kantin namun
nyatanya ada saja yang membawanya ke ruangan kelas. Seolah tak peduli
dengan apa yang dilakukan beberapa temannya Yanto asyik saja denga dunianya
sendiri. Anak ini hanya diam tak mengeluarkan sepatah katapun ketika anak-anak
yang lain asyik bercengkrama.
Yanto baru duduk di kelas 7. Anak
yang satu ini memang terlihat beda dengan anak-anak pada umumnya. Ya, postur
tubuhnya yang begitu besar sehingga mudah sekali dikenal. Kalau boleh dibilang
diantara siswa yang belajar di sekolah
ini yang paling besar dan paling tinggi postur tubuhnya adalah Yanto. Dari nomer sepatu saja sudah
yang paling besar untuk anak-anak sebayanya. Begitu pula dengan ukuran baju dan
celana yang lain ada ukurannya sementara untuk Yanto tidak ada. Untuk pakaian
seragam anak sekolah akhirnya pihak sekolah menyerahkan kainnya saja pada orangtua
Yanto agar dijahit sendiri. Beruntung orangtua Yanto mengerti dan memang sadar
akan kebutuhan sang anak.
“Saya menyadari tak ada ukurannya”
“Kalau begitu minta kainnya saja
untuk saya jahit sendiri”
Wali kelas
akhirnya hanya memberikan kain untuk Yanto. Kalau siswa yang lain sudah
menerima yang sudah jadi hanya Yanto yang menerima kainnya untuk dibuat sesuai dengan kebutuhannya
yang memang khusus. Hanya ketika pakaian olahraga diberikan pada siswa yang
lainnya dari pihak konveksi menyadari kalau anak yang satu ini ukurannya beda.
Hanya untuk satu anak inilah dari konveksi pakaian olahraga datang khusus untuk
membuat sesuai ukuran Yanto.
“Makannya apa Dik bisa sebesar ini?”
Yanto hanya diam
saja ketika badanya diukur
“Masya Allah ini lingkaran
perutnya…”
Diajak
komunikasi namun Yanto tetap diam saja tak memberikan komentar apapun. Sampai
semuanya telah selesai Yanto tak mengucapkan satu patah kalimatpun. Itulah
sosok Yanto anak paling besar dan paling gemuk yang tidak pernah terdengar
suaranya seperti apa.
Tak ada mimik apapun yang keluar
dengan apa yang dilakukan teman-temannya ketika mengajak bicara. Karena tak ada
respon seperti inilah lalu teman-temannya mengambil kesimpulan sendiri-sendiri.
Kalau memang temannya yang satu ini tidak bisa bicara. Tak percaya dengan
laporan dari anak didiknya Pak Sumadi mencoba menggali sebenarnya apa yang bisa
dilakukan Yanto sebagai anak didiknya.
“Nama kamu siapa?”
Hening tak langsung
dijawab. Tatapnya sendu dengan sesekali mencoba menatap mata Pak Sumadi lalu
malu dan menunduk lagi.
“Dengar tidak apa yang bapak tanyakan?”
Yanto menatap
wajah Pak Sumadi namun lidahnya tak langsung menyebutkan nama seperti apa yang
ditanyakan Pak Sumadi.
“Jawab dong masa diam saja?”
“Sekali lagi bapak tanya…”
“Siapa namamu?”
Ujung sepatu
Yanto dihentak-hentakkan ke lantai keramik sekolah. Beberapa kali seperti lupa
dengan apa yang ditanyakan gurunya. Pak Sumadi tak patah semangat menghadapi
anak yang seperti ini. Diulangi lagi apa
yang tadi ditanyakan.
“Siapa nama kamu?”
Kali ini Yanto
mencoba mengucapkan sesuatu, namun lidahnya seperti sulit sekali mengucapkan
apa yang ada dalam benaknya. Lidahnya mulai bergerak namun kalimat itu seperti
susah sekali untuk keluar. Pak Sumadi seperti ngeden-ngeden ingin agar ada sesuatu kalimat yang keluar dari mulut
Yanto.
“Ya…ya…”
“Ya…Yanto”
“Nah
begitu saja kok sulit!”
“Jadi
nama kamu Yanto!”
Pak Sumadi
mengangguk-angguk baru kali ini anak yang bernama Yanto bisa mengucapkan namanya
sendiri. Dari berapa guru yang masuk dikelasnya Yanto hampir semuanya
mengatakan bahwa tak pernah anak ini dilihat bicara. Ada kebanggan tersendiri bagi Pak Sumadi sebab anak yang selama ini
pendiam bahkan hampir tak ada kalimat yang
terlontar dari mulut sang anak kini bisa didengar suaranya. Satu kalimat saja
lamanya bukan main membuat Pak Sumadi yang
tadinya akan mewawancara Yanto mengurungkan niatnya. Bisa dipastikan anak ini
tak akan lancar bicara seperti yang diharapkan. Baru satu pertanyaan saja lebih
dari 10 menit untuk bisa didengar jawabannya apalagi nanti kalau banyak yang
ditanyakan seperti apa jadinya. Tak mau bespekulasi lebih banyak membuat Pak
Sumadi mengajak salaman pada Yanto.
Tahu sekolah mempunyai anak didik seperti
Yanto dalam rapat dinas Yanto ini diagendakan
untuk dibahas. Selain masalah sekolah, ada beberapa kasus yang menyangkut anak
didik harus didiskusikan untuk mencari solusi apa yang terbaik buat anak dan juga
buat sekolah. Maka dibuka sesi tanya jawab ketika semua laporan sudah dibahas
satu per satu. Kini apa yang dialami Yanto dibahas untuk dicarikan
penyelesaiannya. Maka dibukalah sesi tanya
jawab. Karena sebelumnya Yanto sudah dibicarakan sesama guru maka sudah ada beberapa guru yang mengetahui apa yang
dialami anak gemuk yang satu ini.
“Bapak Kepala Sekolah yang
terhormat”
“Untuk masalah Yanto sebaiknya anak
ini dipindahkan saja ke SLB”
“Diperlakukan seperti apa saja
sangatlah sulit”
“Anak ini tidak mau bicara”
Apa yang
diketahui wali kelas diungkapkan dalam rapat untuk mencari jalan terbaik buat
Yanto.
“Anak ini bisa membaca tidak”,tanya
Kepala Sekolah
“Kalau mengenal huruf ‘ya’“
“Anak tidak bisa merangkai kalimat”
“Bisa dikatakan anak tidak bisa membaca”
Kepala sekolah
hanya geleng-geleng. Kok bisa-bisanya anak tidak bisa membaca bisa sampai
diterima di sekolah ini. Bagaimana dengan pendidikan di sekolah dasarnya.
Sebuah sistem memang seperti ini jadi sangatlah sulit untuk menyalahkan satu
per satunya. Karena anak ini sudah berapa di SMP maka kasus Yanto ini harus
segera dituntaskan.
“Coba wali kelasnya apakah sudah
pernah kunjungan ke rumah anak ini?”
“Sudah pak”
“Orangtuanya juga sudah menyadari
dengan tingkah-laku sang anak”
“Namun tetap pak…”
“Ada permintaan sang orangtua agar
Yanto tetap sekolah di SMP ini tak mau
dipindahkan ke sekolah lain”
“Apalagi kalau SLB”
Rapat yang tadinya terlihat tegang kini mulai melumer.
Yanto yang memang sangat hemat dalam
bicara kini menjadi pembicaraan guru-guru. Bagaimana menghadapi anak yang
seperti ini yang bergaul dengan teman sekelas saja seperti sulit. Komunikasi
antar sesama teman tidak berjalan dengan baik. Tapi kalau dibilang rajin maka
anak yang satu ini tidak diragukan lagi kerajinannya. Bisa dikatakan kalau yang
namanya Yanto anak yang paling rajin. Datang jauh sebelum teman-temannya datang
ke sekolah maka Yanto adalah anak yang datang paling awal.
***
Djarot sengaja datang ke sekolah mendengar
informasi kalau sang anak dibahas guru-guru untuk diusulkan pindah. Bocoran ini
diperoleh dari salah satu kerabat Djarot yang juga menjadi guru dimana Yanto
sekolah. Di ruangan BP Djarot membicarakan apa yang dialami anak ini dari kecil
sampai sekarang.
“Anak saya ini normal pak…”
“Anak saya tidak cacat!”
“Anak saya bukan penyandang
difabel!”
“Pokoknya anak saya normal seperti
anak-anak yang lain”
“Tolong anak saya tetap sekolah
disini saja”
Kepala Sekolah
dan Guru BP hanya bisa mendengarkan saja apa yang diucapkan Djarot sebagai
orangtua. Setelah selesai bicaranya barulah
Kepala Sekolah menjelaskan apa yang dialami anak ini diantara teman-teman sepermainannya. Setelah
dijelaskan seperti itu Djarot bisa mengerti namun tetap saja minta kebijakan
sekolah agar sang buah hati tetap sekolah di sekolah anak-anak yang normal. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya
apa yang dialami Yanto bisa diputuskan menunggu Ujian Akhir Semester (UAS).
Bila dalam UAS anak ini bisa mengikuti pelajaran dengan baik yang bisa
dibuktikan dengan nilai raport yang bagus maka akan tetap di sekolah ini, namun
bila nanti hasil UASnya mengecewakan maka anak ini terpaksa akan dikembalikan
pada orangtuanya. Sekolah hanya bisa menganjurkan Yanto mendapatkan penanganan
khusus dan juga pendidikan yang khusus. SLB sepertinya lebih tepat untuk
anak-anak berkebutuhan khusu seperti Yanto.
Cirebon, 21 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar