Cerpen
ABI
MELAMARKU
Oleh : Nurdin Kurniawan
Suasana pondok pagi itu sudah ramai
dengan santriwati yang sedang melakukan aktivitas pagi. Walau masyarakat
sekitar banyak yang menyediakan jasa mencuci namun santriwati disini sudah
dibiasakan untuk mencuci pakaiannya sendiri. Santriwati yang tak sempat mencuci
sendiri mereka lebih banyak menggunakan jasa para pencuci dari masyarakat
sekitar kampung yang diberdayakan oleh pesantren, Nazwa hanya menyaksikan rekan
rekannya mencuci. Aktivitas mencuci banyakan seperti ini memang sering
dilakukan. Lagipula tidak terasa capai kalau mencuci sama-sama.
“Kok hanya melihat saja sih?”
“Memangnya tidak ada pakaian kotor?”
Nazwa berusaha
tersenyum namun tetap saja batinnya
tidak merasa nyaman. Walau bibir berusaha untuk senyum namun Nazwa tidak bisa
menyembunyikan perasaannya yang tidak menentu.
Dua hari yang lalu Umi Sadiyah orangtua
yang sudah mengasuh sejak kecil seperti biasa mengunjungi Nazwa di pesantren.
Namun dalam kunjungannya kali ini Umi tidak hanya sekedar berkunjung. Ia
membawa pesan dari Abi yang harus disampaikan. Betapa kagetnya Nazwa setelah
mengetahui kalau pesan yang disampaikan Abi sangat tidak masuk akal. Abi Toto
Abdulah lelaki yang sudah dianggap sebagai orangtua sendiri melamar Nazwa lewat
Umi. Hal inilah yang dalam dua hari menjadi pikiran buat Nazwa.
Nazwa memang bukanlah anak kandung
dari pasangan Abi dan Umi. Dari kecil Nazwa dipungut
sebagai anak angkat. Waktu itu Abi dan Umi belum mempunyai anak kandung. Kata
orang agar bisa mendapatkan anak kandung dari pernikahan yang cukup lama tidak
dikaruniai anak maka harus mencari anak angkat. Biar sebagai pancingan agar
nantinya bisa punya anak sendiri. Memang ada keajaiban setelah Nazwa diangkat
sebagai anak angkat oleh keluarga Umi dan Abi. Umi yang sudah 12 tahun tidak
dikaruniai anak ternyata bisa hamil.
Kebahagiaan bertambah sempurna
setelah ada adik-adik Nazwa. Tidak tanggung-tanggung Nazwa diberi adik dua
sekaligus. Anak kembar yang lahir dari rahim Umi yaitu Yunus dan Yusuf. Tak ada
perbedaan dalan mendidik yang dilakukan Abi dan Umi. Perasaan cinta kasih yang
diberikan Abi dan Umi sangat terasa sekai dalam keseharian. Sampai akhirnya
Nazwa harus sekolah diluar kota. Selain menuntut ilmu di sekolah formal Nazwa
juga dipesantrenkan agar ilmu agama jangan sampai tertinggal.
Tak ada perasaan ataupun firasat
apa-apa dengan keadaan di rumah. Sampai akhirnya terdengar jelas sekali apa
yang diungkapkan oleh Umi.
“Dengar baik-baik Nazwa…”
“Walau kamu hidup di keluarga Umi
dari kecil namun kamu bukanlah anak kandung Umi”
“Abi mengutus Umi untuk meminang
dirimu!”
Nazwa menangis
sejadi-jadinya. Ia tak menyangka kalau didikan yang begitu tulus dari Abi harus
diterjemahkan lain. Abi begitu perhatiannya sampai harus melamar dirinya
sebagai istri. Jauh….jauh sekai dari perkiraan. Kalau ternyata orangtua yang selama
ini menjaga dan merawat ternyata ada keinginan yang lebih dari itu. Lebih tak
percaya lagi ketika yang mengungkapkan hal itu adalah Umi sendiri yang sudah
tak ada sekat antara Nazwa dengan Umi.
Merenung sendiri di kamar tak menentu
dengan apa yang harus dilakukan. Kalaulah dirinya pulang pada saat ini maka itu
artinya lamaran dari Abi ia terima. Nazwa menutupi mukanya dengan bantal tak
kuasa menahan kesedihan yang selama ini ia terima. Teman-temannya sekamar heran
dengan apa yang dilakukan sang sahabat.
“Ada apa Nazwa tak biasanya kamu
menangis seperti ini?”
Nazwa yang
dikelilingi 3 sahabat sekamarnya menatap wajah sang teman satu per satu.
Tangis memecah
keheningan kamar nomer 4 . Beberapa temannya makin heran saja dengan apa yang
dilakukan Nazwa.
“Ada apa Nazwa sok ceritakan saja
pada kami”
Perlahan bantal
yang menutupi wajah Nazwa mulai terbuka perlahan. Mata memerah dengan rambut yang
sedikit acak-acakan. Masih dengan suara terbata-bata Nazwa berusaha untuk
menjelaskan apa yang bisa ia ungkapkan.
“Abi melamarku!”
Ketiga
sahabatnya saling pandang seolah tak percaya dengan apa yang diungkapkan Nazwa.
“Abi…Abinya siapa?”
Tangis Nazwa
mulai terasa lagi. Makin guguplah teman sekamar Nazwa mendengarkan isak yang
membuatnya ikut terharu.
“Abiku…Abiku di rumah melamarku!”
Ketiga temannya
saling pandang tak percaya. Memang ketika sama-sama masuk pesantren masing-masing
dari teman sekamar ini menceritakan tentang keluarga masing-masing. Latar
belakang dari mana-dari mana semuanya hampir tiap malam ada saja yang
menceritakan. Honsah, Suci dan Yuliana jadi tahu kalau Nazwa memang bukanlah
anak kandung dari Abi dan Umi yang selama ini sering datang menjenguk ke
pesantren.
Sunyi, senyap… beberapa saat tak ada
suara yang keluar dari mulut penghuni kamar nomer 4 ini. Keempatnya berangkulan
tak percaya denga nasib yang dialami salah seorang sahabatnya. Honsah, Suci dan
Yuliana juga tahu apa resikonya bila menolak lamaran dari sang Abi. Suatu yang
sangat sulit yang bisa diungkapkan. Apalagi kalau Nazwa dari mulai orok sudah
diasuh oleh Abi dan Umi. Rasanya tak mungkin bayi yang dulu dibuang orangtuanya
di emper masjid ini bisa menolak apa yang diinginkan sang Abi. Tidak mungkin!
Susah! Susah sekali untuk menolaknya.
Balas jasa? Apakah balas jasa harus
seperti ini kejadiannya? Ah… rasa-rasanya tidak mungin. Pusing sekali
memikirkan hal ini! Lebih tak masuk akal lagi kenapa Umi orang yang memintanya
? Bukankah Umi juga seorang wanita? Tentu ia punya perasaan seperti Nazwa saat
ini? Entahlah ada apa dengan hidup yang
saya alami ini ungkap Nazwa dalam hati.
Kalaulah punya saudara yang jelas
tentu Nazwa akan minta pertolongan mereka. Dipikir dalam hati harus pada siapa
akan ia ungkapkan permasalahan yang ia hadapi? Karena tak tahu siapa keturunan
dan asal asalnya dari mana maka Nazwa
tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya tahu kalau saudara-saudara itu berarti
dari pihak Umi dan Abi saja, selain itu tak tahu jelas.
***
Terasa lama waktu bergulir bila ada
sesuatu yang diharapkan. Dilihat lagi jam tangan ah…kok lama sekali. Nazwa
melirik ke kantor dimana guru-guru sedang istirahat. Tadi Nazwa sempat masuk
kantor mencari walikelasnya namun yang
bersangkutan sedang keluar sedang ada kepentingan. Nanti katanya Bu Aisyah datang
lagi setelah memberikan pengajian di desa tetangga. Lama akhirnya pengharapan
yang dimaksud datang juga. Tak enak untuk masuk ke ruang kerjanya lagi.
Maklumlah Bu Aisyah sedang mengerjakan sesuatu dimeja kerjanya. Kalau diam
seperti ini saja khawatir Bu Aisyah akan keluar lagi. Dengan hati yang berdebar-debar
akhirnya Nazwa paksakan untuk menemui walikelasnya ini. Ia akan menyampaikan
unek-unek yang selama beberapa hari ini mengganjal pikirannya.
“Assalamualaikum”
Bu Aisyah menghentikan
apa yang sedang ia kerjakan. Ia melihat sosok yang sudah tak asing lagi. Dengan
senyumannya yang menawan mengajak salaman pada Nazwa.
“Ada keperluan apa?”
Memang jam
pelajaran masih sedang berlangsung. Tadi Nazwa izin dahulu pada Pak Kholil yang
sedang mengajarkan masalah Budaya Islam.
“Bu bisa tidak kita bicara diruangan
yang sepi?”
Bu Aisyah makin
heran dengan apa yang diminta Nazwa. Memang dilingkungan kantor masih banyak
guru yang sedang mengerjakan sesuatu. Kalau mereka harus keluar tentunya tidak
etis. Bu Aisyah lalu melihat kanan-kiri.
“Oh ya….?”
“Maunya dimana?”
Dilihat ruag BP
memang lagi kosong tidak ada guru BPnya. Bu Aisyah lalu mengajak Nazwa keruang
BP.
Terdiam tak kuat untuk memulai apa yang
harus ia ucapkan lebih dahulu. Malah air mata Nazwa yang akhirnya keluar lebih
dahulu. Kerudung putih yang akhirnya menutupi wajah Nazwa yang ayu.
“Ada apa Nazwa?” punggung Nazwa
dielus-elus oleh Bu Aisyah
Bu Aisyah tidak
langsung memulai pada apa permasalahan yang dialami anak ini. Ia tahu apa yang
dialami Nazwa sungguh berat. Sebagai walikelas kelas 12 Aisyah tentunya memahami kalau yang dihadapi anak ini sungguh
terasa berat. Belum mengungkapkan apa yang dialami saja anak ini sudah
menangis. Setelah reda dari tangisnya barulah Aisyah bertanya lagi.
“Ada apa gerangan sehinggga Nazwa
seperti ini?”
“Tidak biasanya anak ibu yang satu
ini sedih!”
Nazwa berhenti
sejenak untuk memikirkan kembali apa yang sedang ia alami. Dirinya mengambil
nafas dalam-dalam ingin mengungkapkan apa yang dialaminya pada Bu Aisyah.
Sekali lagi ditatapnya wajah Bu Aisyah yang dari tadi memperhatikan. Diusapnya
air mata yang masih menetes disela-sela mata. Beberapa kali mengucapkan bismillahirrohmanirrohim. Barulah Nazwa mengungkapkan walau
terbata-bata. Tak satupun apa yang diungkapkan Nazwa dipotong. Biarlah anak ini
mengungkapkan apa yang ada didadanya agar terlapang bebas. Diakhir pembicaraan
Nazwa menangis lagi. Bu Aisyah mengusap-usap punggung anak kesayangannya ini.
Wajah Bu Aisyah menatap langit-langit. Mengambil nafas dalam-dalam lalu
mengusap-usap punggung Nazwa.
“Apa yang harus ibu lakukan?” bu
Aisyah bertanya ulang
Nazwa memeluk
Ibu Aisyah erat sekali. Ibu Aisyah sadar kalau anak ini sebenarnya tak ingin
menikah dengan orang yang sudah dianggap sebagai bapak kandungnya sendiri. Di
ruang BP kedua orang ini mencari solusi agar apa yang selama ini menjadi pikiran
bagi Nazwa bisa diselesaikan dengan cara yang bijak.
“Sudah kamu di pondok saja”
“Jangan sekali-kali pulang kalau kau
tidak ingin dinikahkan dengan Abimu”
“Besok ibu dan Pak Hidayat yang akan
menemui Abimu”
Hanya soal waktu saja. Apa yang
diusahakan Bu Aisyah dan Pak Hidayat memang menyelesiakan masalah waktu yang
pendek bukan untuk waktu yang panjang. Lamaran Abi akhirnya ditunda sampai
Nazwa menyelesaikan sekolahnya di
Aliyah. Setelah selesai …tak bisa ditolak lagi.
Waktu-waktu penantian yang membuat
perasaan penghuni kamar nomer 4 tidak menentu.
Janji setia akan melanjutkan ke perguruan tinggi akhirnya hanya dimiliki
oleh Honsah, Suci dan Yuliana. Nazwa hanya bisa memendam asa berkepanjangan.
Panantian sudah didepan mata untuk membina rumahtangga dengan Abi Toto Abdulah
yang sejak kecil merawatnya. Tak kuasa menolak dengan segala kebaiakan yang
telah Abi berikan.
Cirebon,
13 Oktober 2013
Nurdinkurniawan@ymail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar