Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Senin, 24 Juni 2019

ABI MELAMARKU (Cerpen)


Cerpen
ABI  MELAMARKU
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Suasana pondok pagi itu sudah ramai dengan santriwati yang sedang melakukan aktivitas pagi. Walau masyarakat sekitar banyak yang menyediakan jasa mencuci namun santriwati disini sudah dibiasakan untuk mencuci pakaiannya sendiri. Santriwati yang tak sempat mencuci sendiri mereka lebih banyak menggunakan jasa para pencuci dari masyarakat sekitar kampung yang diberdayakan oleh pesantren, Nazwa hanya menyaksikan rekan rekannya mencuci. Aktivitas mencuci banyakan seperti ini memang sering dilakukan. Lagipula tidak terasa capai kalau mencuci sama-sama.
            “Kok hanya melihat saja sih?”
            “Memangnya tidak ada pakaian kotor?”
Nazwa berusaha tersenyum  namun tetap saja batinnya tidak merasa nyaman. Walau bibir berusaha untuk senyum namun Nazwa tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang tidak menentu.
            Dua hari yang lalu Umi Sadiyah orangtua yang sudah mengasuh sejak kecil seperti biasa mengunjungi Nazwa di pesantren. Namun dalam kunjungannya kali ini Umi tidak hanya sekedar berkunjung. Ia membawa pesan dari Abi yang harus disampaikan. Betapa kagetnya Nazwa setelah mengetahui kalau pesan yang disampaikan Abi sangat tidak masuk akal. Abi Toto Abdulah lelaki yang sudah dianggap sebagai orangtua sendiri melamar Nazwa lewat Umi. Hal inilah yang dalam dua hari menjadi pikiran buat Nazwa.
            Nazwa memang bukanlah anak kandung dari  pasangan  Abi dan Umi. Dari kecil Nazwa dipungut sebagai anak angkat. Waktu itu Abi dan Umi belum mempunyai anak kandung. Kata orang agar bisa mendapatkan anak kandung dari pernikahan yang cukup lama tidak dikaruniai anak maka harus mencari anak angkat. Biar sebagai pancingan agar nantinya bisa punya anak sendiri. Memang ada keajaiban setelah Nazwa diangkat sebagai anak angkat oleh keluarga Umi dan Abi. Umi yang sudah 12 tahun tidak dikaruniai anak ternyata bisa hamil.
            Kebahagiaan bertambah sempurna setelah ada adik-adik Nazwa. Tidak tanggung-tanggung Nazwa diberi adik dua sekaligus. Anak kembar yang lahir dari rahim Umi yaitu Yunus dan Yusuf. Tak ada perbedaan dalan mendidik yang dilakukan Abi dan Umi. Perasaan cinta kasih yang diberikan Abi dan Umi sangat terasa sekai dalam keseharian. Sampai akhirnya Nazwa harus sekolah diluar kota. Selain menuntut ilmu di sekolah formal Nazwa juga dipesantrenkan agar ilmu agama jangan sampai tertinggal.
            Tak ada perasaan ataupun firasat apa-apa dengan keadaan di rumah. Sampai akhirnya terdengar jelas sekali apa yang diungkapkan oleh Umi.
            “Dengar baik-baik Nazwa…”
            “Walau kamu hidup di keluarga Umi dari kecil namun kamu bukanlah anak kandung Umi”
            “Abi mengutus Umi untuk meminang dirimu!”
Nazwa menangis sejadi-jadinya. Ia tak menyangka kalau didikan yang begitu tulus dari Abi harus diterjemahkan lain. Abi begitu perhatiannya sampai harus melamar dirinya sebagai istri. Jauh….jauh sekai dari perkiraan. Kalau ternyata orangtua yang selama ini menjaga dan merawat ternyata ada keinginan yang lebih dari itu. Lebih tak percaya lagi ketika yang mengungkapkan hal itu adalah Umi sendiri yang sudah tak ada sekat antara Nazwa dengan Umi.
            Merenung sendiri di kamar tak menentu dengan apa yang harus dilakukan. Kalaulah dirinya pulang pada saat ini maka itu artinya lamaran dari Abi ia terima. Nazwa menutupi mukanya dengan bantal tak kuasa menahan kesedihan yang selama ini ia terima. Teman-temannya sekamar heran dengan  apa yang dilakukan sang sahabat.
            “Ada apa Nazwa tak biasanya kamu menangis seperti ini?”
Nazwa yang dikelilingi 3 sahabat sekamarnya menatap wajah sang teman satu per satu.
Tangis memecah keheningan kamar nomer 4 . Beberapa temannya makin heran saja dengan apa yang dilakukan Nazwa.
            “Ada apa Nazwa sok ceritakan saja pada kami”
Perlahan bantal yang menutupi wajah Nazwa mulai terbuka perlahan. Mata memerah dengan rambut yang sedikit acak-acakan. Masih dengan suara terbata-bata Nazwa berusaha untuk menjelaskan apa yang bisa ia ungkapkan.
            “Abi melamarku!”
Ketiga sahabatnya saling pandang seolah tak percaya dengan apa yang diungkapkan Nazwa.
            “Abi…Abinya siapa?”
Tangis Nazwa mulai terasa lagi. Makin guguplah teman sekamar Nazwa mendengarkan isak yang membuatnya ikut terharu.
            “Abiku…Abiku di rumah melamarku!”
Ketiga temannya saling pandang tak percaya. Memang ketika sama-sama masuk pesantren masing-masing dari teman sekamar ini menceritakan tentang keluarga masing-masing. Latar belakang dari mana-dari mana semuanya hampir tiap malam ada saja yang menceritakan. Honsah, Suci dan Yuliana jadi tahu kalau Nazwa memang bukanlah anak kandung dari Abi dan Umi yang selama ini sering datang menjenguk ke pesantren.
            Sunyi, senyap… beberapa saat tak ada suara yang keluar dari mulut penghuni kamar nomer 4 ini. Keempatnya berangkulan tak percaya denga nasib yang dialami salah seorang sahabatnya. Honsah, Suci dan Yuliana juga tahu apa resikonya bila menolak lamaran dari sang Abi. Suatu yang sangat sulit yang bisa diungkapkan. Apalagi kalau Nazwa dari mulai orok sudah diasuh oleh Abi dan Umi. Rasanya tak mungkin bayi yang dulu dibuang orangtuanya di emper masjid ini bisa menolak apa yang diinginkan sang Abi. Tidak mungkin! Susah! Susah sekali untuk menolaknya.
            Balas jasa? Apakah balas jasa harus seperti ini kejadiannya? Ah… rasa-rasanya tidak mungin. Pusing sekali memikirkan hal ini! Lebih tak masuk akal lagi kenapa Umi orang yang memintanya ? Bukankah Umi juga seorang wanita? Tentu ia punya perasaan seperti Nazwa saat ini? Entahlah ada apa dengan  hidup yang saya alami ini ungkap Nazwa dalam hati.
            Kalaulah punya saudara yang jelas tentu Nazwa akan minta pertolongan mereka. Dipikir dalam hati harus pada siapa akan ia ungkapkan permasalahan yang ia hadapi? Karena tak tahu siapa keturunan dan asal asalnya dari mana  maka Nazwa tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya tahu kalau saudara-saudara itu berarti dari pihak Umi dan Abi saja, selain itu tak tahu jelas.
                                                                        ***
            Terasa lama waktu bergulir bila ada sesuatu yang diharapkan. Dilihat lagi jam tangan ah…kok lama sekali. Nazwa melirik ke kantor dimana guru-guru sedang istirahat. Tadi Nazwa sempat masuk kantor mencari walikelasnya namun  yang bersangkutan sedang keluar sedang ada kepentingan. Nanti katanya Bu Aisyah datang lagi setelah memberikan pengajian di desa tetangga. Lama akhirnya pengharapan yang dimaksud datang juga. Tak enak untuk masuk ke ruang kerjanya lagi. Maklumlah Bu Aisyah sedang mengerjakan sesuatu dimeja kerjanya. Kalau diam seperti ini saja khawatir Bu Aisyah akan keluar lagi. Dengan hati yang berdebar-debar akhirnya Nazwa paksakan untuk menemui walikelasnya ini. Ia akan menyampaikan unek-unek yang selama beberapa hari ini mengganjal pikirannya.
            Assalamualaikum
Bu Aisyah menghentikan apa yang sedang ia kerjakan. Ia melihat sosok yang sudah tak asing lagi. Dengan senyumannya yang menawan mengajak salaman pada Nazwa.
            “Ada keperluan apa?”
Memang jam pelajaran masih sedang berlangsung. Tadi Nazwa izin dahulu pada Pak Kholil yang sedang mengajarkan masalah Budaya Islam.
            “Bu bisa tidak kita bicara diruangan yang sepi?”
Bu Aisyah makin heran dengan apa yang diminta Nazwa. Memang dilingkungan kantor masih banyak guru yang sedang mengerjakan sesuatu. Kalau mereka harus keluar tentunya tidak etis. Bu Aisyah lalu melihat kanan-kiri.
            “Oh ya….?”
            “Maunya dimana?”
Dilihat ruag BP memang lagi kosong tidak ada guru BPnya. Bu Aisyah lalu mengajak Nazwa keruang BP.
            Terdiam tak kuat untuk memulai apa yang harus ia ucapkan lebih dahulu. Malah air mata Nazwa yang akhirnya keluar lebih dahulu. Kerudung putih yang akhirnya menutupi wajah Nazwa yang ayu.
            “Ada apa Nazwa?” punggung Nazwa dielus-elus oleh Bu Aisyah
Bu Aisyah tidak langsung memulai pada apa permasalahan yang dialami anak ini. Ia tahu apa yang dialami Nazwa sungguh berat. Sebagai walikelas kelas 12 Aisyah tentunya  memahami kalau yang dihadapi anak ini sungguh terasa berat. Belum mengungkapkan apa yang dialami saja anak ini sudah menangis. Setelah reda dari tangisnya barulah Aisyah bertanya lagi.
            “Ada apa gerangan sehinggga Nazwa seperti ini?”
            “Tidak biasanya anak ibu yang satu ini sedih!”
Nazwa berhenti sejenak untuk memikirkan kembali apa yang sedang ia alami. Dirinya mengambil nafas dalam-dalam ingin mengungkapkan apa yang dialaminya pada Bu Aisyah. Sekali lagi ditatapnya wajah Bu Aisyah yang dari tadi memperhatikan. Diusapnya air mata yang masih menetes disela-sela mata. Beberapa kali  mengucapkan bismillahirrohmanirrohim. Barulah Nazwa mengungkapkan walau terbata-bata. Tak satupun apa yang diungkapkan Nazwa dipotong. Biarlah anak ini mengungkapkan apa yang ada didadanya agar terlapang bebas. Diakhir pembicaraan Nazwa menangis lagi. Bu Aisyah mengusap-usap punggung anak kesayangannya ini. Wajah Bu Aisyah menatap langit-langit. Mengambil nafas dalam-dalam lalu mengusap-usap punggung Nazwa.
            “Apa yang harus ibu lakukan?” bu Aisyah bertanya ulang
Nazwa memeluk Ibu Aisyah erat sekali. Ibu Aisyah sadar kalau anak ini sebenarnya tak ingin menikah dengan orang yang sudah dianggap sebagai bapak kandungnya sendiri. Di ruang BP kedua orang ini mencari solusi agar apa yang selama ini menjadi pikiran bagi Nazwa bisa diselesaikan dengan cara yang bijak.
            “Sudah kamu di pondok saja”
            “Jangan sekali-kali pulang kalau kau tidak ingin dinikahkan dengan Abimu”
            “Besok ibu dan Pak Hidayat yang akan menemui Abimu”
            Hanya soal waktu saja. Apa yang diusahakan Bu Aisyah dan Pak Hidayat memang menyelesiakan masalah waktu yang pendek bukan untuk waktu yang panjang. Lamaran Abi akhirnya ditunda sampai Nazwa menyelesaikan  sekolahnya di Aliyah. Setelah selesai …tak bisa ditolak lagi.
            Waktu-waktu penantian yang membuat perasaan penghuni kamar nomer 4 tidak menentu.  Janji setia akan melanjutkan ke perguruan tinggi akhirnya hanya dimiliki oleh Honsah, Suci dan Yuliana. Nazwa hanya bisa memendam asa berkepanjangan. Panantian sudah didepan mata untuk membina rumahtangga dengan Abi Toto Abdulah yang sejak kecil merawatnya. Tak kuasa menolak dengan segala kebaiakan yang telah Abi berikan.

                                                                                                Cirebon, 13 Oktober 2013
                                                                                                Nurdinkurniawan@ymail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar