Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Senin, 24 Juni 2019

I S T I D R A Z (Cerpen)


Cerpen
I  S  T  I  D  R  A  Z
Oleh : Nurdin Kurniawan

            Hembusan angin kumbang terasa sekali melingkar disekujur tubuh. Kulit tangan terasa kasar dengan mudah sekali digambar-gambar sesuai dengan kehendak hati. Kondisi yang seperti ini tak Maemunah perhatikan . Matanya tertuju pada pohon randu yang berguguran daunnya di musim kemarau. Daun-daun yang berguguran itu seperti sedang memperlihatkan apa yang sedang ia alami. Hidup ini seperti berada di titik nadhir yang paling dalam. Mau bergerak seperti dulu masih jaya terasa berat. Sekelilingnya hanya mencibir dengan tingkah lakunya yang jauh dari tuntunan agama. Maemunah menangis ketika tetangganya menggosip dirinya yang jauh sekali dari tuntunan agama.
            “Masa anak kyai merentenkan duit!”
            “Dinasehati malah melotot dan marah-marah”
            “Kini Tuhan memperlihatkan rahman dan rahimnya”
            “Sebagai teguran anak semata wayangnya diambil lagi Yang Kuasa”
            “Ditegur seperti itu oleh Yang Maha Kuasa masih juga belum sadar”
            “Rentennya berjalan terus!”
            Apa yang kurang dari Maemunah? Dari silsilah keturunan ia lahir dari orang baik-baik. Bahkan anak seorang kyai walau kyai level kampung. Setidaknya untuk orang yang punya tajug maka orang di kampung biasa memanggil si pemilik tajug dengan sebutan kyai. Apalagi kalai ia juga memimpin sholat rawatib maka gelar kyai sudah melekat. Maemunah bahkan diangkat menjadi PNS setelah lama sekali menjadi tenaga honorer. Ia punya suami yang juga PNS. Bertambah bahagianya setelah sekian lama membina rumahtangga akhirnya Maemunah dikarunia seorang anak perempuan. Kurang apa kalau urusan materi? Justru dari sinilah masyarakat mulai menggunjingkan Maemunah dengan bisnis sampingannya memimjamkan uang dengan mematok bunga yang cukup lumayan. Dari bisnis sampingannya inilah Maemunah lebih dikenal ketimbang sebagai seorang PNS. Aktivitasnya yang sering melalukan penagihan uang dari rumah ke rumah  yang membuat masyarakat menjulukinya dengan rentenir.
            Doni adalah suami Maemunah yang juga tangan kanan sang istri. Segala urusan kridit macet para nasabah Doni yang menangani. Bahkan tindakan Doni yang  suka menggunakan kekerasan kalau menangih membuat orang yang punya persangkutan dengan Maemunah sedikit meringis.
            “Ini sudah jatuh tempo”
            “Mau sampai kapan bayarnya?”
Ngadimin yang memang punya hutang sama Maemunah tak banyak memberikan komentar. Kalau mau menjanjikan tentu sudah harus ada uangnya. Usaha yang dilakukan dalam beberapa hari ini tak membuahkan hasil. Sungai yang ada di desanya banyak yang mongering sehingga bisnis mencari belut dan ikan di pinggir sungai tidak banyak memberikan hasil.
            “Minta waktulah Pak Ulis”
Doni mremang menjadi juru tulis sebutan untuk sekertais desa. Kalau sudah urusan duit Doni juga tak mau kompromi. Apalagi kalau menagih tidak menghasilkan  maka sang istri ngomel-ngomel. Justru omelan sang istri inilah yang kadang lebih menyakitkan dari omongan orang yang diutanginya. Menghindari hal yang seperti ini Doni lebih suka mengambil barang yang da sebagai jaminan.
            “Sudah itu tape dek saya bawa saja”
            “Nanti kalau ada uangnya boleh ditebus”
            “Kalau seminggu belum ada anggap saja barang ini sebagai angsurannya”
Jelas Ngadimin tidak setuju dengan cara sepetti ini. kalaulah barang tersebut dijual tentu harganya lebih tinggi ketimbang angsuran yang harus dibayarkan pada Maemunah. Namun karena yang datang adalah Doni maka  Ngadimin tak bisa berbuat banyaki. Orang seperti Doni dengan mudah menendang  apa saja yang ada kalau apa yang diutangihnya tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
            Jadilah Maemunah dan Doni sebagai rentinir yang terkenal di Desa Umbul Rejo. Hampir setiap warganya bahkan ada juga yang dari desa tetangga kalau butuh uang dengan segera mendatangi Maemunah. Pinjaman yang dilakukan Maemunah memang sangatlah sederhana. Tidak ada barang jaminan ketika akan mencairkan apa yang dipinjam bahkan orang yang baru dikenalpun tak akan dipersulit ketika akan memimjam. Hal inilah yang membuat orang berduyun-duyun meminjam uang pada Maemunah. Namun syaratnya adalah kalau sudah waktunya bayar maka harus bayar jangan ada alasan yang macam-macam.
                                                                        ***
            Marzuki mengerutkan keningnya ketika banyak sekali anak didiknya yang bertanya masalah muamalat yang ia ajarkan pada pertemuan kali ini pada anak didiknya.
            “Pak ustadz kenapa meminjamkan uang dengan membungakan uang dilarang dalam agama?”
Dijelaskan panjang lebar namun ada sajaua anak yang tidak puas dengan jawaban sang ustadz. Ada anak lainnya yang suka tunjuk jari menanyakan hal yang tidak beda jauh.
            “Apa hukumnya pak ustadz kalau anak kyai merentenkan uang?”
Ustadz Marzuki seperti tak percaya dengan apa yang ditanyakan sang anak namun ia yakin apa yang  ditanyakan anak pasti ada contohnya. Makanya Ustadz Marzuki bertanya ulang pada Hendro si penanya.
            “Memangnya ada anak seorang kyai merentenkan uang?”
            “Ada pak ustadz”
            “Di desa saya ada”
Hampir copot jantung Ustadz Marzuki mendengarkan penuturan sang anak kalau didesanya ada seorang anak kyai yang merentenkan uang. Untuk menjawab pertanyaan sang anak kali ini ustadz harus hati-hati. Sebab Ustadz Marzuki sendiri sebenranya tahu dengan apa yang ditanyakan sang anak. Bahkan ia bisa menyebutkan nama orang yang dimaksud sang anak. Namun untuk kehati-hatian maka ia juga menjaga agar jawabannya ini jangan sampai menyinggung seseorang.
            “Dalam ajaran agama merentenkan uang itu haram hukumnya”
            “Tidak ada keberkahan dari usaha yang seperti itu”
            “Allah Maha Rahman dan Maha Rohim”
            “Siapapun yang mau berusaha akan dibukakan pintu rejeki”
            “Tapi bukan dari hasil merentenkan uang!”
Ada anak dibelakang yang juga tunjuk jari ingin bertanya.
            “Pantesan tetangga saya cepat kaya”
            “Duitnya diduitkan lagi!”
Ustadz Marzuki hanya tersenyum dengan apa yang dikemukan anak didiknya.
“Tapi anak-anak harus ingat!”
“Dalam agama ada istilah istidraz
“Apa itu istidraz?”
Istidraz adalah penangguhan azab!”
“Bolehlah sekarang yang merentenkan uang hidupnya bergelimang harta”
“Bolehkan rumahnya bagus dengan jumlah kendaraan yang banyak!”
“Tapi ingat….!”
“Itu semua adalah penangguhan azab”
“Oleh Allah mereka itu diberi keleluasaan waktu agar segera bertobat”
“Caranya?”
“Orang yang merentenkan uang diberikan musibah yang dengan musibah tersebut berharap agar yang bersangkutan bertobat”
“Kalau belum juga  mau tobat maka sekalian azabnya tidak hanya didunia tapi juga diakhirat!”
Ustadz Marzuki mengernyitkan dahi. Ia tahu apa yang ia ungkapkan tadi pada anak didiknya sebenarnya tak jauh dari seputar kehidupan dirinya. Marzuki berasal dari desa tetangga namun mengajar di Umbul Rejo. Tapi walaupun dari desa tetanga ia tahu dengan apa yang sering diceritakan warga Umbul Rejo dengan adanya beberapa warga yang usahanya memang dari membungakan uang. Salah satunya adalah Maemunah. Maemunah adalah kakak ipar dari Marzuki. Dari sinilah Marzuki  sebenarnya juga ada pergolakan batin dengan situasi yang seperti ini. Sudah beberapa kali Doni sang kakak ia ingatkan tentang kelakuakan kakak iparnya  namun tak membekas. Bahkan kini Marzuki tahu sendiri kalau sang kakak yang menjadi tukang tagih kalau ada nasabah yang macet.
Kyai Mudhofir yang juga bapak dari Maemunah sudah mendengar langsung apa yang dilakukan sang anak. Tak henti-hentinya Pak Kyai menasehati anak agar jangan usaha yang seperti itu. Tapi namanya anak kalau sudah melihat duit banyak lupa! Lupa akan  dari mana ia dilahirkan, lupa dari mana lingkungan ia dibesarkan. Capai akan tingkah laku sang anak akhirnya Kyai Mudhofir mengkel dan tak mengakui lagi Maemunah sebagai anaknya.
“Kamu juangan kembali lagi ke rumah ini!”
“Saya tak mau pujya anak berprofesi sebagai rentenir!”
“Kamu sudah menjadi pegawai bahkan suamimu juga pegawai!”
“Masih kurang apa?”
“Malu-maluin keluarga saja!”
Tak hanya Kyai yang mengatakan seperti itu, kakak dan adik-adik Maemunah juga sepaham dengan sang bapak. Namun kalau hati sudah tertutup kesenangan dunia susah sekali terbukanya. Maemunah terus dan terus bergelut dengan bisnisnya membungakan uang yang ia pinjamkan pada masyarakat.
                                                                        ***
            Penangguhan azab atau istidraz memang berlaku pada hamba Allah. Manusia memang diberi ujian dangan berbagai rupa ujian. Ada yang namanya hukuman kalau memang itu sudah dilakukan berkali-kali bergelimang dengan dosa. Ada yang mengatakan itu sebuah ujian untuk meningkatkan derajat seorang manusia. Bahkan laknat Alah akan datang kalau manusianya sudah benar-benar jauh dari tuntunan Allah.
            Istidraz bagi manusia tak terkecuali Maemunah itu berlaku. Anak semata wayangnya Fitri mengalami kecelakaan lalu-lintas. Fitri tertabrak dump truk yang penuh dengan muatan pasir ketika hendak menyebrang. Suaminya yang sering tenaganya digunakan untuk menagih manakala ada kridit macet ternyata main mata dengan wanita lain. Doni sudah berani menduakan dirinya ketika rumahtangga ini hampa tanpa ada seorang anakpun di rumah. Merasa dikhianati maka Maemunah mengajukan cerai pada sang suami. Semenjak pisah dengan Doni kridit macet diluar makin tak terbendung. Inilah jalan bagi kebangkrutan Maemunah. Uanga yang ia pinjam dari beberapa bank untuuk memperbesar usahanya kini juga ikut-ikutan macet. Maemunah sering kena teguran dari atasan karena bila hendak gajian harus mencari dana talangan sebab gaji Maemunah min. Sering ditagih pihak bank yang meminta agar secepatnya dibayar membuat Memunah pusing tujuh keliling. Kini harapan satu-satunya adalah rumah setelah sebelumnya beberapa mobil ikut dilepas.
            Merenung dalam kesendirian menatap jatuhnya daun pohon randu. Kakak  dan adiknya tak mau pusing dengan ulahnya. Mau kembali ke orangtua juga bukan pilihan yang baik. Ia sudah diusir karena tidak sejalan dengan pola pikir orangtua. Mata Maemunah celong dengan tatapan hampa tanpa tujuan. Rambut acak-acakan dibiarkan bebas terusai oleh desiran angin kumbang. Bibirnya retak-retak seperti tak sanggup lagi harus berbuat apa. Inilah yang namanya  istidraz? Inikah yang namanya penangguhan hukuman lalu begitu ia datang langsung semua ditimpakan pada dirinya? Musibah datang silih berganti seolah tiada henti. Tangannya gemetar tak sanggup menanggung beban yang begitu banyak. Mulut Maemunah ngomong sendiri tak jelas dengan apa yang ia omongkan. Kadang ia menjerit berontak seperti ada sesuatu yang tak terselesaikan. Rambutnya ia jambak keras-keras, kadang kepala  dibenturkan pada tembok. Maemunah yang terkenal kaya, punya mobil banyak, rumah mewah kini ngomong sendiri setelah hartanya habis. Maemunah yang cantik anak seorang kyai kini komat-kamit bicara sendiri! Maemunah stress…! Kadang ia berjalan cengar-cengir tanpa mengenakan busana! Maemunah gila!
           
                                                                                                                 Cirebon, 19 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar