Cerpen
I
S T I
D R A Z
Oleh : Nurdin Kurniawan
Hembusan angin kumbang terasa sekali
melingkar disekujur tubuh. Kulit tangan terasa kasar dengan mudah sekali
digambar-gambar sesuai dengan kehendak hati. Kondisi yang seperti ini tak
Maemunah perhatikan . Matanya tertuju pada pohon randu yang berguguran daunnya
di musim kemarau. Daun-daun yang berguguran itu seperti sedang memperlihatkan
apa yang sedang ia alami. Hidup ini seperti berada di titik nadhir yang paling
dalam. Mau bergerak seperti dulu masih jaya terasa berat. Sekelilingnya hanya
mencibir dengan tingkah lakunya yang jauh dari tuntunan agama. Maemunah
menangis ketika tetangganya menggosip dirinya yang jauh sekali dari tuntunan
agama.
“Masa anak kyai merentenkan duit!”
“Dinasehati malah melotot dan
marah-marah”
“Kini Tuhan memperlihatkan rahman
dan rahimnya”
“Sebagai teguran anak semata
wayangnya diambil lagi Yang Kuasa”
“Ditegur seperti itu oleh Yang Maha
Kuasa masih juga belum sadar”
“Rentennya berjalan terus!”
Apa yang kurang dari Maemunah? Dari
silsilah keturunan ia lahir dari orang baik-baik. Bahkan anak seorang kyai walau
kyai level kampung. Setidaknya untuk orang yang punya tajug maka orang di kampung
biasa memanggil si pemilik tajug dengan sebutan kyai. Apalagi kalai ia juga
memimpin sholat rawatib maka gelar kyai sudah melekat. Maemunah bahkan diangkat
menjadi PNS setelah lama sekali menjadi tenaga honorer. Ia punya suami yang
juga PNS. Bertambah bahagianya setelah sekian lama membina rumahtangga akhirnya
Maemunah dikarunia seorang anak perempuan. Kurang apa kalau urusan materi?
Justru dari sinilah masyarakat mulai menggunjingkan Maemunah dengan bisnis sampingannya
memimjamkan uang dengan mematok bunga yang cukup lumayan. Dari bisnis
sampingannya inilah Maemunah lebih dikenal ketimbang sebagai seorang PNS.
Aktivitasnya yang sering melalukan penagihan uang dari rumah ke rumah yang membuat masyarakat menjulukinya dengan
rentenir.
Doni adalah suami Maemunah yang juga
tangan kanan sang istri. Segala urusan kridit macet para nasabah Doni yang
menangani. Bahkan tindakan Doni yang
suka menggunakan kekerasan kalau menangih membuat orang yang punya persangkutan
dengan Maemunah sedikit meringis.
“Ini sudah jatuh tempo”
“Mau sampai kapan bayarnya?”
Ngadimin yang
memang punya hutang sama Maemunah tak banyak memberikan komentar. Kalau mau
menjanjikan tentu sudah harus ada uangnya. Usaha yang dilakukan dalam beberapa
hari ini tak membuahkan hasil. Sungai yang ada di desanya banyak yang mongering
sehingga bisnis mencari belut dan ikan di pinggir sungai tidak banyak
memberikan hasil.
“Minta waktulah Pak Ulis”
Doni mremang
menjadi juru tulis sebutan untuk sekertais desa. Kalau sudah urusan duit Doni
juga tak mau kompromi. Apalagi kalau menagih tidak menghasilkan maka sang istri ngomel-ngomel. Justru omelan
sang istri inilah yang kadang lebih menyakitkan dari omongan orang yang diutanginya.
Menghindari hal yang seperti ini Doni lebih suka mengambil barang yang da
sebagai jaminan.
“Sudah itu tape dek saya bawa saja”
“Nanti kalau ada uangnya boleh
ditebus”
“Kalau seminggu belum ada anggap saja
barang ini sebagai angsurannya”
Jelas Ngadimin
tidak setuju dengan cara sepetti ini. kalaulah barang tersebut dijual tentu
harganya lebih tinggi ketimbang angsuran yang harus dibayarkan pada Maemunah.
Namun karena yang datang adalah Doni maka
Ngadimin tak bisa berbuat banyaki. Orang seperti Doni dengan mudah menendang
apa saja yang ada kalau apa yang diutangihnya
tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Jadilah Maemunah dan Doni sebagai
rentinir yang terkenal di Desa Umbul Rejo. Hampir setiap warganya bahkan ada
juga yang dari desa tetangga kalau butuh uang dengan segera mendatangi Maemunah.
Pinjaman yang dilakukan Maemunah memang sangatlah sederhana. Tidak ada barang
jaminan ketika akan mencairkan apa yang dipinjam bahkan orang yang baru
dikenalpun tak akan dipersulit ketika akan memimjam. Hal inilah yang membuat
orang berduyun-duyun meminjam uang pada Maemunah. Namun syaratnya adalah kalau
sudah waktunya bayar maka harus bayar jangan ada alasan yang macam-macam.
***
Marzuki mengerutkan keningnya ketika
banyak sekali anak didiknya yang bertanya masalah muamalat yang ia ajarkan pada
pertemuan kali ini pada anak didiknya.
“Pak ustadz kenapa meminjamkan uang
dengan membungakan uang dilarang dalam agama?”
Dijelaskan panjang
lebar namun ada sajaua anak yang tidak puas dengan jawaban sang ustadz. Ada
anak lainnya yang suka tunjuk jari menanyakan hal yang tidak beda jauh.
“Apa hukumnya pak ustadz kalau anak
kyai merentenkan uang?”
Ustadz Marzuki
seperti tak percaya dengan apa yang ditanyakan sang anak namun ia yakin apa yang
ditanyakan anak pasti ada contohnya.
Makanya Ustadz Marzuki bertanya ulang pada Hendro si penanya.
“Memangnya ada anak seorang kyai
merentenkan uang?”
“Ada pak ustadz”
“Di desa saya ada”
Hampir copot
jantung Ustadz Marzuki mendengarkan penuturan sang anak kalau didesanya ada
seorang anak kyai yang merentenkan uang. Untuk menjawab pertanyaan sang anak
kali ini ustadz harus hati-hati. Sebab Ustadz Marzuki sendiri sebenranya tahu
dengan apa yang ditanyakan sang anak. Bahkan ia bisa menyebutkan nama orang
yang dimaksud sang anak. Namun untuk kehati-hatian maka ia juga menjaga agar
jawabannya ini jangan sampai menyinggung seseorang.
“Dalam ajaran agama merentenkan uang
itu haram hukumnya”
“Tidak ada keberkahan dari usaha
yang seperti itu”
“Allah Maha Rahman dan Maha Rohim”
“Siapapun yang mau berusaha akan
dibukakan pintu rejeki”
“Tapi bukan dari hasil merentenkan
uang!”
Ada anak dibelakang
yang juga tunjuk jari ingin bertanya.
“Pantesan tetangga saya cepat kaya”
“Duitnya diduitkan lagi!”
Ustadz Marzuki
hanya tersenyum dengan apa yang dikemukan anak didiknya.
“Tapi
anak-anak harus ingat!”
“Dalam
agama ada istilah istidraz”
“Apa
itu istidraz?”
“Istidraz adalah penangguhan azab!”
“Bolehlah
sekarang yang merentenkan uang hidupnya bergelimang harta”
“Bolehkan
rumahnya bagus dengan jumlah kendaraan yang banyak!”
“Tapi
ingat….!”
“Itu semua
adalah penangguhan azab”
“Oleh
Allah mereka itu diberi keleluasaan waktu agar segera bertobat”
“Caranya?”
“Orang
yang merentenkan uang diberikan musibah yang dengan musibah tersebut berharap
agar yang bersangkutan bertobat”
“Kalau
belum juga mau tobat maka sekalian
azabnya tidak hanya didunia tapi juga diakhirat!”
Ustadz
Marzuki mengernyitkan dahi. Ia tahu apa yang ia ungkapkan tadi pada anak
didiknya sebenarnya tak jauh dari seputar kehidupan dirinya. Marzuki berasal
dari desa tetangga namun mengajar di Umbul Rejo. Tapi walaupun dari desa
tetanga ia tahu dengan apa yang sering diceritakan warga Umbul Rejo dengan
adanya beberapa warga yang usahanya memang dari membungakan uang. Salah satunya
adalah Maemunah. Maemunah adalah kakak ipar dari Marzuki. Dari sinilah Marzuki sebenarnya juga ada pergolakan batin dengan
situasi yang seperti ini. Sudah beberapa kali Doni sang kakak ia ingatkan tentang
kelakuakan kakak iparnya namun tak membekas.
Bahkan kini Marzuki tahu sendiri kalau sang kakak yang menjadi tukang tagih
kalau ada nasabah yang macet.
Kyai
Mudhofir yang juga bapak dari Maemunah sudah mendengar langsung apa yang
dilakukan sang anak. Tak henti-hentinya Pak Kyai menasehati anak agar jangan
usaha yang seperti itu. Tapi namanya anak kalau sudah melihat duit banyak lupa!
Lupa akan dari mana ia dilahirkan, lupa
dari mana lingkungan ia dibesarkan. Capai akan tingkah laku sang anak akhirnya
Kyai Mudhofir mengkel dan tak mengakui lagi Maemunah sebagai anaknya.
“Kamu
juangan kembali lagi ke rumah ini!”
“Saya
tak mau pujya anak berprofesi sebagai rentenir!”
“Kamu
sudah menjadi pegawai bahkan suamimu juga pegawai!”
“Masih
kurang apa?”
“Malu-maluin
keluarga saja!”
Tak hanya Kyai
yang mengatakan seperti itu, kakak dan adik-adik Maemunah juga sepaham dengan sang
bapak. Namun kalau hati sudah tertutup kesenangan dunia susah sekali
terbukanya. Maemunah terus dan terus bergelut dengan bisnisnya membungakan uang
yang ia pinjamkan pada masyarakat.
***
Penangguhan azab atau istidraz memang berlaku pada hamba
Allah. Manusia memang diberi ujian dangan berbagai rupa ujian. Ada yang namanya
hukuman kalau memang itu sudah dilakukan berkali-kali bergelimang dengan dosa.
Ada yang mengatakan itu sebuah ujian untuk meningkatkan derajat seorang
manusia. Bahkan laknat Alah akan datang kalau manusianya sudah benar-benar jauh
dari tuntunan Allah.
Istidraz
bagi manusia tak terkecuali Maemunah itu berlaku. Anak semata wayangnya Fitri
mengalami kecelakaan lalu-lintas. Fitri tertabrak dump truk yang penuh dengan muatan pasir ketika hendak menyebrang.
Suaminya yang sering tenaganya digunakan untuk menagih manakala ada kridit
macet ternyata main mata dengan wanita lain. Doni sudah berani menduakan
dirinya ketika rumahtangga ini hampa tanpa ada seorang anakpun di rumah. Merasa
dikhianati maka Maemunah mengajukan cerai pada sang suami. Semenjak pisah
dengan Doni kridit macet diluar makin tak terbendung. Inilah jalan bagi
kebangkrutan Maemunah. Uanga yang ia pinjam dari beberapa bank untuuk memperbesar
usahanya kini juga ikut-ikutan macet. Maemunah sering kena teguran dari atasan
karena bila hendak gajian harus mencari dana talangan sebab gaji Maemunah min.
Sering ditagih pihak bank yang meminta agar secepatnya dibayar membuat Memunah pusing
tujuh keliling. Kini harapan satu-satunya adalah rumah setelah sebelumnya
beberapa mobil ikut dilepas.
Merenung dalam kesendirian menatap
jatuhnya daun pohon randu. Kakak dan
adiknya tak mau pusing dengan ulahnya. Mau kembali ke orangtua juga bukan
pilihan yang baik. Ia sudah diusir karena tidak sejalan dengan pola pikir
orangtua. Mata Maemunah celong dengan tatapan hampa tanpa tujuan. Rambut
acak-acakan dibiarkan bebas terusai oleh desiran angin kumbang. Bibirnya
retak-retak seperti tak sanggup lagi harus berbuat apa. Inilah yang namanya istidraz?
Inikah yang namanya penangguhan hukuman lalu begitu ia datang langsung semua
ditimpakan pada dirinya? Musibah datang silih berganti seolah tiada henti. Tangannya
gemetar tak sanggup menanggung beban yang begitu banyak. Mulut Maemunah ngomong
sendiri tak jelas dengan apa yang ia omongkan. Kadang ia menjerit berontak seperti
ada sesuatu yang tak terselesaikan. Rambutnya ia jambak keras-keras, kadang
kepala dibenturkan pada tembok. Maemunah
yang terkenal kaya, punya mobil banyak, rumah mewah kini ngomong sendiri
setelah hartanya habis. Maemunah yang cantik anak seorang kyai kini komat-kamit
bicara sendiri! Maemunah stress…! Kadang ia berjalan cengar-cengir tanpa
mengenakan busana! Maemunah gila!
Cirebon, 19 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar