ARTIKEL
AKTIVIS
MAHASISWA dan
BAYANG-BAYANG D O
Oleh : Nurdin Kurniawan, S.Pd. *)
Kampus adalah sebuah lembaga dimana
kebebasan mimbar dijunjung tinggi-tinggi. Civitas akademika yang ada di kampus
dengan bebas mengemukakan apa saja tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Dari
kebebasan mimbar inilah mucul cendikia-cendikia bukan karbitan. Mereka yang
lahir dari kebebasan mimbar ini bicara lantang pada siapapun. Wajar jikalau banyak pihak yang
menggantungkan asa pada mahasiswa untuk meneriakkan hal sekecil apapaun yang
terjadi di masyarakat. Mahasiswa masih dianggap netral tidak berpihak pada
siapapun. Ketika ada sesuatu yang membuat rakyat menderita maka mahasiswa
inilah yang dianggap bisa menyuarakan aspirasi rakyat .
Sungguh ironis ketika calon-calon
intelektual muda yang vokal lalu sang rektor
mengatasnamakan ‘kekuasaan” lalu mencoba membungkam aspirasi. Sungguh
merupakan suatu tindakan ‘bodoh’ jika men-DO mahasiswa hanya karena sang rektor
tak kuat dengan kritikan-kritikan mahasiswa yang justru mereka adakah mahasiswa
yang aktif , mahasiswa yang kritis bahkan inovatif di kampusnya.
Adalah Ronny Setiawan selain sebagai
mahasiswa bisa dibilang cukup populer di
kampusnya. Sebab selama ini, ia pun menjabat sebagai Ketua BEM UNJ periode 2015-2016.
Jelas menjadi Ketua BEM di sebuah kampus tidaklah mudah. Selain harus bisa membagi
waktu antara kegiatan kampus harus juga bisa membagi waktu dengan kegiatan di
sekertariatan.
Aktif di
kampus sedikit banyak mengetahui kegiatan di kampus. Mulai dari hal-hal yang
terbisa diperbincangkan sampai pada hal-hal yang tidak semua mahasiswa ataupun
dosen bisa mendengarkannya. Maka tak
heran bila aktivis kampus lebih dahulu mengetahui hal-hal yang terjadi daripada
mahasiswa biasa yang datang dan pulang setelah mengikuti kegiatan perkuliahan.
Ronny
Setiawan mendadak terkenal setelah hari Selasa, 5 Jnauari 2016 mendapat
undangan dari Dekan FMIPA. Didalam surat itu tidak dijelaskan secara rinci
maksu dan tujuan pemanggilan Ronny.
Akhirnya Ronny hadir
bersama kakaknya Ricky Adrian memenuhi panggilan dari dekan FMIPA. Pada 5
Januari 2016 kakak beradik ini pun kaget saat mendengarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Negeri
Jakarta Nomor : 01/SP/2016 tentang Pemberhentian sebagai Mahasiswa Universitas
Negeri Jakarta dibacakan oleh Dekan Fakultas MIPA. Ia pun diberhentikan sebagai
mahasiswa UNJ atas tuduhan tindak kejahatan berbasis teknologi dan aktivitas
penghasutan.
Jagad perguruan
tinggi jadi ramai dengan kasus yang menimpa Ronnya Setiawan setelah Ronny
memposting ke jejaring sosial apa yang telah menimpa dirinya. Simpati bahkan
kecaman mulai berdatangan yang ditujukan pada arogansi sang rektor. Wakil Ketua
DPR dari fraksi PKS Fahri Hamzah menulis surat yang ditujukan langsung ke
Rektor UNJ, Prof. Djaali yang juga diposting melalui facebook. Sebagai seorang yang dulunya juga aktivis sangat menyayangkan
tindakan yang dilakukan rektor UNJ. Surat terbuka yang ditujukan pada rektor
UNJ diantaranya Anda harus bangga punya
mahasiswa yang kritis, karena itu pertanda nurani bangsa kita masih hidup.
Mungkin Pak Rektor tidak pernah jadi aktivis sehingga nurani tidak pernah
diasah krisis. Atau Pak rektor tidak pernah keluar dari dalam laboratorium atau
perpustakaan kepada dunia nyata yang dinamis.
Menyesallah Pak rektor karena Anda
tidak pernah menjadi demonstran seperti mahasiswa yang Anda pecat. Menyesallah
Pak rektor karena Anda bercokol lebih sebagai pejabat daripada penjaga
kebebasan akademis.
Tahukah Anda arti kebebasan akademik
wahai Pak rektor? Dunia akademik yang Anda pimpin harus dibebaskan dari tekanan
apapun selain ilmu pengetahuan. Sehingga dalam kampus, tempat kebebasan
berpikir kita semai, tidak boleh ada simbol kekuasaan. Dan kalau Rektor telah
berubah menjadi simbol kekuasaan maka Rektor pun layak ditumbangkan!
Unjuk rasa ataupun demo sekarang ini
bukanlah hal yang tabu. Demo seperti bumbu dari yang namanya demokrasi. Apasih
di negara ini yang tidak didemo? Tinggal bagaimana mensikapi dari para pendemo
tersebut. Jikalau tidak mempunyai salah maka temui saja pendemo itu. Tokh demo
di suatu institusi apalagi yang berbasis keilmuan seperti perguruan tinggi atau
universitas adalah hal yang lumrah. Bukankah sudah dimulai dengan adanya
kebebesan mimbar. Dari kebebasan mimbar ini sepertinya pada dosen atau rektor
sudah terbiasa dikritik ataupun mengkritik.
Rektor UNJ Prof Djaali sepertinya meraih karier bukan dari
sang aktivis. Baru didemo seperti itu saja langsung bertindak tangan besi.
Mahasiswa yang aktiv dan banyak menggerakkan kegiatan di kampus justru yang
terkena DO. Kalau dulu yang terkena DO adalah mahasiswa yang sudah kadaluwarsa (melebihi
batas waktu yang telah ditentukan) masa kuliahnya. Kini dengan melihat kasus
Ronny mahasiswa bisa saja di-DO kalau melawan sang rektor. Kebijakan memalukan
di era reformasi.
Sebagai alumni UNJ Tahun 1995
(dahulu IKIP Jakarta) tentu merasakan prihatin dengan ulah sang rektor. Penulis
masih ingat beberapa rektor UNJ yang juga pernah didemo oleh mahasiswa. Mantan
rektor Bu Anna pernah didemo oleh mahasiswanya, mantan rektor Pak Cipto juga
pernah didemo oleh mahasiswanya, demikian juga dengan Pak Bejo. Rata-rata yang
namanya rektor UNJ setidaknya pernah didemo oleh mahasiswanya. Dari yang telah
didemo tersebut bisa menangani aksi demo yang dilakukan oleh mahasiswanya. Baru
pada kepemimpinan Prof Djaali di era reformasi ini yang men-DO mahasiswa hanya
karena kebijakan sang rektor didemo.
Seperti yang dikutip oleh sebuah laman
@saveRonny seperti disampaikan Ketua Aliansi Mahasiswa
UNJ Bersatu Ahmad Firdaus mengatakan kejadian ini berawal saat mahasiswa FMIPA
berunjuk rasa di kampus A UNJ pada Rabu, 23 Desember 2015. Menurut dia, awalnya
mahasiswa menolak pemindahan Gedung FMIPA dari kampus B ke kampus A karena
fasilitas penunjang akademik dan organisasi belum memadai.
Rabu, 30
Desember 2015, melalui perantara BEM UNJ, Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu
mengajukan surat permohonan audiensi kepada Rektorat UNJ untuk meminta
penjelasan dan klarifikasi atas kebenaran isu yang beredar di kalangan
mahasiswa. Tenggat waktu yang diberikan adalah hingga 5 Januari 2016.
Pada 5 Januari 2016, melalui surat
bernomor 01/SP/2016 Rektor UNJ melakukan Drop Out terhadap Ronny. Dia
dikeluarkan karena dituding melakukan tindak kejahatan berbasis Teknologi dan
Penghasutan. Selain itu, Ronny dinilai telah menyampaikan surat kepada Rektor
UNJ yang bernada ancaman.
Menanggapi kekisruhan yang terjadi
di UNJ , Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu menyatakan sikap: 1. Menyayangkan sikap
Rektor UNJ yang telah bertindak sewenang-wenang membungkam dan mencoreng wajah
demokrasi kampus. 2. Kami, Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu, menuntut Rektor UNJ
untuk mencabut surat bernomor 01/SP/2016 tentang Pemberhentian Sebagai
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta. 3. Kami menyerukan kepada seluruh
mahasiswa UNJ dan seluruh civitas akademika UNJ untuk tidak berdiam diri
terhadap tindakan sewenang-wenang ini. 4. Kami menuntut Rektorat UNJ untuk
bertindak kooperatif dengan Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu dalam menyelesaikan
kekisruhan yang terjadi di UNJ. 5. Kami meminta pihak-pihak yang terkait,
Komnas HAM & Kemenristekdikti RI untuk menindaklanjuti tindakan
sewenang-wenang yang telah dilakukan Rektor UNJ. 6. Kami akan terus bergerak
untuk tetap mengawal isu dalam kampus UNJ dan tidak akan pernah mundur dalam
mengatakan kebenaran.
Sangat disayangkan diera reformasi
seperti sekarang ini masih ada rektor yang tingkat intelektualnya tinggi masih
saja menggunakan arogansi kekuasaan terhadap mahasiswa yang menentang kebijakan
yang diambilnya. Sebagai alumni UNJ penulis berharap semoga kasus yang menimpa
Ronny Setiawan segera diselesaikan dengan baik. Berharap agar SK pen-DO-an
Ronny dicabut. Semoga UNJ tetap jaya dan kondusifitas kampus tetap terjaga
dengan baik sebagaimana sediakala.
*)
Alumni UNJ Tahun 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar