ARTIKEL
SYUKURAN dan GRATIFIKASI
Oleh : Nurdin Kurniawan, S.Pd. *)
Tugas keseharian yang sudah sibuk
kini direpotkan dengan pemberkasan mengisi dapodik. Baru selesai dengan dapodik
kini ada pemberkasan lagi yang namanya PUPNS 2015. Sepertinya data-data yang
seperti ini akan selalu muncul untuk melengkapi data-data keadministrasian yang
tidak pernah selesai. Kalau saja ada sinergi yang baik antar intansi atau antar
kementrian setidaknya pemberkasan seperti ini tidak akan terjadi. Ini baru
selesai kini di intansi yang lain membutuhkan data yang sama yang bila dilihat
isinya tidak beda jauh. Salah seorang teman disamping lalu nyletuk kalau yang seperti ini akan terus berlangsung selama ada
dananya dan bernuansa proyek.
Tak mau berpolemik antara proyek
ataupun yang bukan proyek, ataupun ingin diketahui kalau menteri si A punya
jejak dengan meninggalkan gebragan-gebragan yang sebenarnya di jaman menteri sebelumnya juga sudah ada. Kegiatan-kegiatan macam
pemberkasan memang suatu hal yang harus dilalui. Karena memang datanya sedang
dibutuhkan maka ikuti saja. Ini dengan alasan pasti ada sesuatu yang harus
dibenahi. Tak ada salahnya loyal meski cara mengumpulkan dokumen-dokumen yang
sudah lama tidak dibuka membutuhkan waktu dan ketelitian yang ekstra.
Bagi
rekan-rekan yang tidak mau pusing dengan harus mengisi angket atau pengisian
ini dan itu tentu akan menggunakan jasa pihak ketiga. Belum lagi mereka-mereka
yang sudah sepuh bila harus mengumpulkan berkas yang sudah puluhan tahun tidak
dibuka. Mencari katakankah arsip SK pertama sampai terakhir, atau mencari kartu
taspen yang dari awal memang tidak pernah lagi melihat bentuknya karena sudah
digadaikan di salah satu bank. Mengumpulkan dokumen seperti ini memang
membutuhkan ketelitian dan kesabaran yang ekstra tinggi. Tak mau pusing maka
menggunakan jasa teman yang bersedia adalah hal yang paling gampang.
Bila
pemberkasan sukses dan kita diuntungkan dengan jasa yang diberikan oleh
katakanlah teman yang masih sekantor apakah itu masuk dalam katagori
gratifikasi? Atau dengan yang telah dikakukan seorang teman yang telah membantu
kita dikantor lalu kita berikan ‘sesuatu’ bisa dikatakan gratifikasi? Pertanyaan yang seperti itu menguat ketika
orang sedang ramai-ramainya membicarakan gratifikasi.
Penulis berusaha
mencari pengertian gratifikasi dari buku saku yang dikeluarkan oleh KPK. Budaya memberi dan menerima hadiah
kepada dan oleh penyelenggara negara atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat
digolongkan ke dalam “gratifikasi”. Sebuah perbuatan dianggap sebagai
gratifikasi atau suap apabila pemberian tersebut dilakukan karena berhubungan
dengan jabatan Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri Sipil tersebut
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Peraturan tentang Gratifikasi diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. Tujuan dari pemberlakuan
peraturan ini adalah untuk menghentikan budaya pemberian dan penerimaan hadiah
atau gratifikasi di lingkungan Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri Sipil
sehingga tindak pidana pemerasan dan suap dapat diminimalkan atau bahkan
dihilangkan.
Setelah membuka buku saku tersebut mulai ada titik terang. Pengertian
gratifikasi terdapat pada Penjelasan
Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, yakni :
“Yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam
arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.
Ada perasaan bersalah juga kalau
membiarkan tradisi tersebut terulang-ulang terus. Tapi disisi lain kita juga sebagai
manusia biasa tidak bisa bekerja sendiri pada saat yang bersamaan dituntut
untuk cepat menyelesaikan suatu pekerjaan. Tetap saja ada pihak yang dimintai
bantuannya. Apalagi yang dimintai bantuan adalah teman dekat yang sudah tidak
asing lagi.
Gratifikasi dalam masyarakat
Indonesia masih dianggap sebagai hal yang lumrah. Bahkan secara
sosiologis, hadiah adalah sesuatu yang bukan saja lumrah tetapi juga berperan
sangat penting dalam merekat ‘kohesi sosial’ dalam suatu masyarakat maupun
antarmasyarakat bahkan antarbangsa. Padahal kebiasaan ini bisa menjadi
suatu budaya yang mengarah pada kegiatan bersifat negatif karena dapat menjadi
potensi perbuatan korupsi di kemudian hari.
Rasa-rasanya masih sulit untuk membedakan
mana yang gratifikasi atau yang memberikan dengan cuma-cuma atau boleh
dikatakan sebagai tanda ucapan terimakasih. Dilingkungan teman-teman sering
disebutnya sebagai syukuran. Sesungguhnya, praktik gratifikasi atau pemberian
hadiah di kalangan masyarakat tidak dilarang tetapi perlu diperhatikan adanya
sebuah rambu tambahan yaitu larangan bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara
Negara untuk menerima gratifikasi yang dapat dianggap suap. Disinilah yang
kadang suka sulit untuk dipisahkan. Sebagai Penyelenggara Negara (PNS) sangat
berpotensi nyrempet-nyrempet pada
hal-hal yang seperti ini.
Kegiatan meminta bantuan teman lalu
kita memberikan ‘sesuatu’ yang katanya bisa diindentikkan dengan gratifikasi
kadang sulit dihindari. Bila tidak seperti ini kita akui kadang tidak bisa dilakukan sendiri. Pasti
ada saja yang harus dikerjakan oleh orang lain. Apa yang dikemukakan penulis
adalah hal-hal yang bisa dikatagorikan yang masih kecil. Jumlah pemberian juga
belumlah seberapa. Tapi bila dijadikan suatu kebiasaan justru akan membahayakan.
Disinilah rupanya perlu kesadaran bersama agar budaya yang seperti ini memang
harus dihilangkan.
Jika seorang Penyelenggara Negara
atau Pegawai Negeri Sipil dapat mengidentifikasi motif pemberian adalah
gratifikasi ilegal maka langkah yang sepatutnya diambil adalah menolak gratifikasi tersebut secara baik
dan sedapat mungkin tidak menyinggung perasaan pemberi. Jika keadaan
saat itu “memaksa” untuk menerima gratifikasi tersebut, misalnya pemberian
terlanjur dilakukan melalui orang terdekat (suami, istri, anak dan
lain-lain) atau ada perasaan tidak enak karena dapat menyinggung pemberi, maka
sebaiknya gratifikasi yang diterima segera dilaporkan ke KPK. Jika instansi tempat bekerja kebetulan
adalah salah satu instansi yang telah bekerjasama dengan KPK dalam Program
Pengendalian Gratifikasi (PPG), maka Penyelenggara Negara atau Pejabat Negeri
Sipil yang bersangkutan dapat melaporkan langsung di instansi tersebut. Itu
idealnya, tapi bisakah kita seperti itu manakala yang dihadapinya adalah teman
sendiri? Teman yang sudah lama sekantor? Ternyata susah juga ya!
Mudah-mudahan
pembicaraan tentang gratifikasi atau syukuran terhadap apa yang telah kita
lakukan atas suatu keberhasilan dalam mengerjakan sesuatu tugas /usaha bisa
ditindaklanjuti. Tentunya juga berharap yang seperti ini bukan masuk dalam
katagori suap. Ini semata-mata bentuk rasa syukur atas keberhasilan suatu
proses yang telah dicapai. Bentuk rasa syukur inilah dengan memberikan sesuatu
pada teman. Dengan contoh gratifikasi yang bisa dianggap sebagai suap berikut
ini mudah-mudahan bisa membatasi kita untuk tidak bertindak kebablasan.
Berikut ini contoh gratifikasi yang biasa ditemui dalam
kedinasan. Gratifikasi yang diterima pegawai dalam kepasitas sebagai wakil
instansi yang sah dalam kegiatan kedinasan. Pengertian secara sah adalah
diberikan secara terbuka di hadapan umum dalam kegiatan formal dan/atau
diberikan sesuai aturan dan bukti pendukung pemberian/serah terima yang sah.
Contoh gratifikasi dalam kedinasan:1. Penerimaan fasilitas transportasi,
akomodasi, uang saku dalam kegiatan yang terkait pelaksanaan tugas dan
kewajiban di intansi dari rekanan berdasarkan penunjukan dan penugasan resmi
dari instansi. 2. Penerimaan plakat, vendel, goody
bag/gimmick dari panitia seminar, lokarya, pelatihan, yang mana
keikutsertaannya di dasarkan pada penunjukkan dan penugasan resmi dari
instansi.3. Penerimaan hadiah undian, door
prize, hadiah atas pengisian angket, kuisiner dan lain-lain yang sejenis, yang
mana keikutsertaannya didasarkan pada penugasan resmi dari instansi.
Mudah-mudahan sedikit banyak membuka mata kita sebagai PNS dalam
bekerja. Apa yang kita lakukan di kantor bukan dalam katagori gratifikasi seperti
yang diungkap dalam buku saku gratifikasi dari KPK melainkan hanya rasa syukur
atas suatu keberhasilan.
*)
Praktisi Pendidikan
Domisili di Gebang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar