Mengenai Saya

Foto saya
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Nurdin Kurniawan, S.Pd. Bekerja sebagai PNS disalah satu sekolah di kota Kabupaten Cirebon. Selain sebagai guru aktif menulis di beberapa surat kabar yang ada di cirebon. Diorganisasi PGRI tercatat pula sebagai redaktur majalah Diaelktika, majalah milik PGRI Kab. Cirebon. Tinggal di Gebang yang merupakan Kampung Nelayan yang ada di Cirebon

Sabtu, 15 Juni 2019

BAHAN BAKAR FOSIL (Artikel)

ARTIKEL

BAHAN BAKAR FOSIL
Oleh : Nurdin Kurniawan, S.Pd.*)


            Sebagai negara yang sedang berkembang pembangunan insfrastruktur sedang pesat-pesatnya dilakukan. Kebutuhan akan energi juga terus diupayakan terpenuhi. Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah sebagai salah satu keuntungan kondisi geologis Indonesia. SDA banyak namun belum sepenuhnya bisa dikelola dengan baik. Dari sekian banyak energi fosil maka batubara salah satu diantanya yang banyak diperbincangkan.
            Batubara sebagai bahan bakar telah digunakan  sejak berabad-abad yang lalu. Pada awalnya , batubara mengubah sejarah dunia modern dengan mendorong Revolusi Industri di Inggris, sejak itu batubara tak berhenti mengubah wajah dunia dengan berbagai jejak kerusakan yang ditinggalkannya.
            Batubara dalam beberapa minggu ini banyak mendapatkan perhatian terutama mayarakat Cirebon. Mulai dari penutupan aktivitas bongkar muat batubara sampai akan dibangunnya PLTU II yang juga lokasinya juga di Cirebon. Penutupan aktivitas bongkar muat batubara di pelabuhan yang belum ada solusinya sampai akan dibangunnya PLTU tahap II yang juga masih menyisakan banyak masalah.
            Bahan bakar fosil masih menjadi bahan bakar utama yang digunakan orang di negeri ini. Dalam keseharian kita yang memiliki kendaraan bermotor tak akan lepas dari yang namanya premium, pertamax, pertalite. Belum lagi ibu-ibu rumahtangga yang kesehariannya tak lepas dari apa yang disebut sebagai gas melon (elpiji). Kebutuhan seperti itu akan terus bertambah sampai bisa menemukan energi terbarukan.
            Sebagai bahan bakar yang tidak dapat diperbarui, energi fosil suatu saat akan habis. Manusia terus berinovasi untuk bisa menemukan energi alternatif yang bisa menggantikan energi fosil. Energi alternatif yang juga tentunya diharapkan ramah akan lingkungan. Selama ini diakui yang namanya energi fosil tidak ramah lingkungan alias menimbulkan polusi.
            Bagi kita yang jauh dari lokasi PLTU mungkin tak akan mengalami polusi seperti yang dekat dengan pabrik. Polusi memang bisa diminimalisir namun tetap saja tidak bisa menghilangkan 100%. Di negara-negara yang sudah maju energi fosil sudah mulai ditinggalkan salah satu diantaranya adalah energi batubara. Namun seperti Indonesia yang melimpah akan persediaan batubara akankah mengikuti negara-negara maju untuk beralih ke energi lain? Inilah yang masih menjadi bahan perdebatan. Sumber daya alam yang sayang tentunya kalau dibiarkan saja tanpa dieksploitasi.
            Lalu, seperti apakah polusi yang diakibatkan oleh batubara? Bentuk polusi yang paling banyak diakibatkan oleh pembakaran batubara adalah polusi udara. Polusi udara adalah terkontaminasinya udara oleh bahan berbahya yang karena jumlah ataupun karakteristiknya dapat membahayakan kesehatan manusia atau lingjungan sekitarnya. Selain menghasilkan gas-gas buangan yang dapat mencemari udara, akumulasi dari debu-debu hasil pembakaran batubara dapat menempel di pipa-pipa boiler dan membentuk semacam kerak yang disebut slag.
            Polutan yag dihasilkan dari pembakaran batubara seperti SO2, CO, material partikulat. Selain itu ada bahan polutan lain yang disebut udara beracun. Ini dalah polutan yang sangat berbahaya meskipun jumlahnya hanya sedikit dihasilkan oleh pembakaran batubara.
            Sulfur Oksida (SO2) secara langsung dapat menyebabkan iritasi pada alat pernafasan manusia, mengurangi jarak pandang, sesak nafas, lebih lanjut bisa mengakibatkan kematian. Reaksi sulfur oksida dengan kelembaban ataupun hujan bisa menimbulkan hujan asam yang sangat  berbahaya bagi tenaman, hewan dan manusia.
            Hal lain pembakaran batubara adalah abu. Abu tersebut mudah terlihat oleh mata bahkan dapat menggangu jarak pandang jika tersebar di uadara bebas. Jika terhirup oleh manusia bisa mengakibatkan luka pada bagian sistem alat pernafasan. Pembakaran batubara di PLTU adalah sumber utama gas rumah kaca penyebab perubahan iklim seperti karbon dioksida, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan metana yang memperburuk kondisi  iklim kita.
            Tidak Ramah Lingkungan
            Sepanjang siklus pemanfaatannya batubara  menimbulkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki pada bumi dan manusia di dalamnya. Siklus hidup batubara mulai dari bawah tanah hingga ke limbah beracun yang dihasilkannya, biasanya disebut sebagai rantai kepemilikan. Rantai kepemilikan ini memiliki tiga rantai utama yaitu penambangan, pembakaran, sampai ke pembuangan limbahnya. Setiap bagian dari rantai ini, menimbulkan daya rusak yang harus ditanggung bumi dan manusia didalamnya.
            Pembakaran batubara meninggalkan jejak kerusakan yang tak kalah dahsyat. Air dalam jumlah yang besar dalam pengoperasian PLTU mengakibatkan kelangkaan air di banyak tempat. Polutan beracun yang keluar dari cerobong asap PLTU mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar. Partikel halus debu batubara adalah penyebab utama penyakit pernapasan akut, merkuri perusak perkembangan saraf anak-anak balita dan janin dalam kandungan ibu hamil yang tinggal di sekitar PLTU.
Jejak kerusakan yang ditinggalkan oleh batubara tidak berhenti di saat pembakarannya. Di ujung rantai kepemilikannya, terdapat pertambangan batubara yang ditinggalkan setelah dieksploitasi habis, limbah pembakaran batubara, dan hamparan alam yang rusak tanpa pernah akan bisa kembali seperti sediakala.
Pertambangan yang ditinggalkan pasca dieksploitasi habis, meninggalkan segudang masalah untuk lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Lubang-lubang raksasa, drainase tambang asam, dan erosi tanah hanya sebagian dari masalah. Hamparan alam yang rusak adalah adalah kondisi permanen yang tak akan pernah pulih , sekeras apapun usaha yang dilakukan untuk mengembalikannya.
Berdasarkan penelitian yag dikeluarkan Walhi dihasilkan fakta PLTU batubara dengan kapasitas 1.000 MW ternyata menimbulkan radiasi ke lingkungan 100 kali lebih besar dibanding dengan energi lainnya.
Belum adanya energi terbarukan yang ramah lingkungan yang bisa dihasilkan maka penggunaan batubara memang alternatifnya. Perlu diperhatikan pula agar pemanfaatan batubara seefektif dan seefisien  mungkin jangan sampai merugikan masyarakat sekitar. Negara ini memang masih membutuhkan energi untuk gerak roda pembangunannya.
Menjadi sangat penting juga bila energi batubara masih digunakan maka agar jangan sampai menimbulkan konflik yang lebih jauh maka berdayakan masyarakat sekitar untuk jadi karyawannya. Lahan pertanian, tambak yang beralih fungsi untuk dibangun PLTU setidaknya menimbulkan tingkat pengangguran baru. Diharapkan dari mereka yang tergusur lahannya ini bisa tetap bekerja walau kini harus jadi karyawan. Tak masalah yang penting sedikit banyak bisa meredam masalah baru yang akan timbul kemudian.

                                                                                             *) Praktisi Pendidikan
                                                                                                 Domisili di Gebang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar